Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

“Demam Berdarah Dengue”


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Raja Ahmad Tabib Provinsi Kepulauan Riau

Pembimbing :
dr. Dedi Irwansyah, Sp.PD

Disusun Oleh :
Lissa Marisca Nanulaitta
102123048

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR UNIVERSITAS BATAM


STASE ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP RAJA AHMAD THABIB TANJUNG PINANG
TAHUN 2023
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi DBD.....................................................................................2
2. Etiologi DBD ....................................................................................2
3. Patofisiologi DBD .............................................................................2
4. Manifestasi Klinis DBD ....................................................................6
5. Diagnosis DBD .................................................................................9
6. Pemeriksaan Penunjang DBD............................................................11
7. Penalaksanaan DBD ..........................................................................14
8. Pognosis DBD ...................................................................................17
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue masuk ke
dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot (myalgia) atau
nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam (maculopapular skin
rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik (Suhendro, et
al., 2007).
Berdasarkan data dari Kemenkes RI tahun 2012, didapatkan jumlah kasus
DBD mencapai angka 90.245 kasus dengan angka kematian sebesar 0,88%.
Pada saat ini seluruh provinsi di Indonesia pernah terjangkit oleh virus
dengue ini. Virus dengue tipe 1, 2, 3, dan 4 berhasil diisolasi dari penderita
DBD di Indonesia, dan virus dengue tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian
merupakan serotipe virus dengue yang paling dominan ditemukan di
Indonesia, namun virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus DBD
yang berat (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia , 2019).
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD) dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS). Manifestasi klinis ditandai dengan demam tinggi terus
menerus selama 2-7 hari. Pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif,
trombositopenia, dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh pada demam berdarah dengue (World Health Organization , 2011).
angka 90.245 kasus
Berdasarkan

dengan angka kematian


2
sebesar 0,88%. Pada
saat ini seluruh provinsi di
Indonesia pernah terjangkit
oleh virus dengue ini.
Virus
dengue tipe 1, 2, 3, dan 4
berhasil diisolasi dari
penderia DBD di
Indonesia, dan
virus dengue tipe 2 dan
tipe 3 secara bergantian
merupakan serotipe virus
dengue
2
yang paling dominan
ditemukan di Indonesia,
namun virus dengue tipe 3
sangat
berkaitan dengan kasus
DBD yang berat.
angka 90.245 kasus dengan
angka kematian sebesar
2
0,88%. Pada
saat ini seluruh provinsi di
Indonesia pernah terjangkit
oleh virus dengue ini.
Virus
dengue tipe 1, 2, 3, dan 4
berhasil diisolasi dari
3
penderia DBD di
Indonesia, dan
virus dengue tipe 2 dan
tipe 3 secara bergantian
merupakan serotipe virus
dengue
yang paling dominan
ditemukan di Indonesia,
namun virus dengue tipe 3
sangat
berkaitan dengan kasus
DBD yang bera sbj

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dengue Haemoragic Fever atau Deman Berdarah Dengue
1. Definisi DBD
Dengue haemoragic fever atau Demam berdarah merupakan salah satu
penyakit tropis paling umum yang menyerang manusia. Demam berdarah
adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty dan aedes
albopictus yang tergolong dalam famili Flaviviridae, disebabkan oleh sala satu
dari empat seropati (DENV-1, -2, -3, dan -4), ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk (Mishra, et al., 2019).
2. Etiologi DBD
demam dengue disebabkan oleh virus dengue yang merupakan group B
arthropod borne virus (arboviruses) yang saat ini disebut dengan sebagai genus
flavivirus, famili flavivirus. Virus ini memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe virus dengue akan
menimbulkan antibodi seumur hidup namun hanya terhadap serotipe tersebut
saja tidak ada perlindungan untuk serotipe yang lain. Semua jenis serotipe virus
dengue ini dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut studi
epidemiologi, serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dengan kasus
berat (World Health Organization, 2016)
3. Patofisiologi DBD
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang
berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada kondisi
renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus
akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah
lima hari gejala panas. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting
Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan menagaktifasi sel T-
Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-
Helper akan mengaktifasi sel T-Sitotoksik yang akan melisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Juga akan mengaktifkan sel B yang akan melepas
antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antiboodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (World Health
Organization, 2009).
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi menifestasi pendarahan ini bersifat
ringan. Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory) (World Health
Organization, 2009).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti
juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat
tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun
pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom
virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang
dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling
virulen (World Health Organization, 2016).
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan
bahwa jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka
antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi
terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus,
justru dapat menimbulkan penyakit yang berat (Wibawa, 2012). Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan

6
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Hadinegoro &
Rezeki, 2014).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi
virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan
di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak
tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang
dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian (Hadinegoro & Rezeki, 2014).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD.
Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-

7
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulapati konsumtif (KID: koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kallikrein sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan
faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi (Hadinegoro & Rezeki, 2014).

8
Gambar 1 Patogenesis Demam Berdarah Dengu

4. Manifestasi Klinis DBD

9
Gambar 2 Spektrum Klinis Infeksi Dengue
a. Undifferential fever (sindrom infeksi virus)
Pada sindrom infeksi virus, demam sederhana yang tidak dapat
dibedakan dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa
maculopapular, timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan
saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue
 Anamnesis : demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung,
facial flushed, lesi, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, dan nyeri
tenggorokan.
 Pemeriksaan fisik
1) Demam : 39-40°C, berakhir 5-7 hari
2) Pada hari ke 1 - 3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
leher, dan dada
3) Pada hari ke 3-4 timbul ruam kulit maculopapular/rubeolliform
4) Mendekati akhir fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian
dorsal, lengan atas, dan tangan
5) Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat
pada kulit yang normal, dapat disertai rasa gatal (dikenal dengan
white island in the sea of red).
6) Manifestasi perdarahan:
- Uji bending positif dan petekie
- Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, pendarahan
saluran cerna (pada umunya terjadi akibat proglonged shock,
syok teratasi dalam waktu lebih dari 60 menit).
c. Demam berdarah dengue
Fase demam
Anamnesis:
1) Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang
demam

10
2) Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga
kanan, dan nyeri perut
Pemeriksaan fisik:
- Manifestasi perdarahan
1) Uji bending positif (>10 petekie/inch2) merupkan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
2) Mudah lebam dan pada daerah tusukan untuk jalur vena
3) Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak
4) Epistaksis, perdarahan gusi
5) Perdarahan saluran cerna
6) Hematuria (jarang)
7) Menorrhagia
- Hepatomegali teraba 2 - 4 cm dibawah arcus costae kanan dan kelainan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD
Berbeda dengan DD, pada DBD terdaat hemostasis yang tidak normal,
pembesaran plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hypovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam (World
Health Organization, 2016).
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescencc) ditandai dengan:
1) Peningkatan hematokrit 10-20% di atas nilai dasar.
2) Tanda perembesan plasma seperti foto dada (dengan posisi right lateral
decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi pembesaran
plasma tersebut.
3) Terjadi penurunan kadar albumin >0,5g/dL dari nilai dasar <3,5g/dL
yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda pembesaran plasma.

11
4) Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,
sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba, hipotensi,
tekanan nadi <20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik, akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik), diuresis menurun (<
1/ml/kgBB/jam) sampai anuria
5) Komplikasi berupa asidosis metabolic, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multiple organ, dan perdarahan hebat apabila syok
tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan
kembali, merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala
umum dapat ditemukan sinus brakikardi/aritmia dan karakteristik confluent
petechial rash seperti pada DBD (World Health Organization, 2016).

Gambar 3 Perjalanan penyakit DBD


d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati,
ginjal, otak, dan jantung. kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi
penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
5. Diagnosis DBD

12
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 2011 terdiri dari kriteria klinis laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan
WHO 2011:
a. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit,
nyeri seluruh tubuh, myalgia, atralgia, dan sakit kepala.
b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:
- Uji tourniket positif (yang paling umum)
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epitaksis, dan perdarahan pada gusi
- Hematemesis atau melena
c. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai
dengan nadi lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah
Berdasarkan tingkat keparahan, WHO 2011 membagi demam berdarah
dengue menjadi 4 derejat, yaitu:
a. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
b. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan
perdarahan lainnya.
c. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
d. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
DF/ Derajat Gejala Laboratorium
DHF
DF Demam disertai 2 atau lebih - Leukopenia (< 5000
tanda: sel/mm3)
- Sakit kepala - Trombositopenia
- Nyeri otot (Platelet <150.000
- Myalgia/ nyeri otot cells/mm3).
- Arthralgia - Peningkatan HCT (5%

13
- Ruam - 10%).
- Tidak adanya tanda
kebocoran plasma
DHF I Demam dan manifestasi - Trombositopenia
perdarahan (uji bending positif) (<100.00/ul)
dan adanya bukti ada kebocoran - Peningkatan HCT
plasma >20%
DHF II Gejala pada derajat I disertai - Trombositopenia
dengan perdarahan spontan (<100.00/ul)
- Peningkatan HCT
>20%
DHF III Gejala pada derajat I atau II - Trombositopenia
disertai dengan kegagalan (<100.00/ul)
sirkulasi (nadi lemah, hipotensi, Peningkatan HCT >20%
kulit dingin atau lembab serta
gelisah)
DHF IV Syok berat disertai dengan - Trombositopenia
tekanan darah dan nadi tidak (<100.00/ul)
teratur Peningkatan HCT >20%

6. Pemeriksaan Penunjang DBD


a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Pada pasien DBD dapat dijumpai leukopenia
(leukosit <5.000 sel/ul, biasanya limfositosis), trombositopenia
(trombosit <100.000 sel/mm3), peningkatan hematokrit >20% (pada fase
kritis).
2) Antigen NSI dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam akan menurun
sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5 dan ke-6. Deteksi antigen
virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya
infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.

14
3) Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
 Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada haru sakit ke-5,
mencapai puncaknya pada hari ke 10-14, dan akan menurun atau
menghilang pada akhir minggu keempat sakit
 Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi mulai
minggu ke-2 sakit dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi
sejak awal sakit.
 Rasio IgM atau IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM dan IgG rasio > 1,2 menunjukkan
infeksi primer namun apabila IgM dan IgG rasio < 1,2 menunjukkan
infeksi sekunder.
Diagnosis Antibodi anti dengue Keterangan
IgM IgG
Infeksi primer Positif Negatif
Infeksi sekunder Poisitif Positif
Infeksi lampau Negatif Positif
Bukan dengue Negatif Negatif Apabila klinis
mengarah ke infeksi
dengue, pada fase
penyembuhan: IgM
dan IgG diulang.

4) Pemeriksaaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat
tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup,
maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A- Acidosis: gas darah, B -
Bleeding: hematokrit, C - Calsium: Elektrolit, Ca ++ dan S - Sugar : gula
darah (dekstrostik).
Singkatan Pemeriksaan Keterangan
laboratorium
A - Acidosis Analisis gas darah Indikasi proglonged

15
(AGD) shock, terdapat
keterlibatan organ
Periksa: fungsi hati,
BUN, kreatinin.
B - Bleeding Hematokrit Apabila Hemotokrit
menurun
dibandingkan
sebelumnya atau tidak
meningkat, segera
periksa golongan
darah
C - Calcium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi
pada hampir semua
pasien DBD namun
asimtomatik. Indikasi:
kasus berat/
komplikasi. Dosis Ca
glukonat 1mg/kgBB
dilarutkan dua kali, iv
perlahan, maksimal 10
ml. (dapat diulang
setiap 6 jam).
S Blood Sugar Gula darah, dextristix Kasus DBD berat,
nafsu makan
menurun, muntah:
gangguan fungsi hati
menyebabkan
hipoglikemia. Namun
beberapa kasus dapat
menyebabkan terjadi

16
hiperglikemia.

b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi:
 Distres pernafasan/ sesak.
 Jika klinis meragukan, perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis
terjadi apabila pada pembesaran plasma telah mencapai 20-40%.
 Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru overload pemberian cairan.
 Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kiri, dan efusi pleura.
 Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
7. Penatalaksanaan DBD
Berdasarkan paduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, C. pasien yang
termasuk Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien pasien yang
termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai
saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi
bersifat simptomatis dan suportif (World Health Organization, 2009).
a. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs
dan mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan
memproduksi urine minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan
rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien dengan
hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Tetapi di rumah untuk pasien
grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan
cairan oral yang cukup, serta pemberian paracetamol. Pasien beserta

17
keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul
warning signs selama perawatan di rumah.
b. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan
pasien dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien
dengan kondisi penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes
mellitus gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal
yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika
pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah
yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan
NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes maintenance.
Monitoring meliputi pola suhu, balance cairan (cairan masuk dan cairan
keluar), produksi urine, dan warning signs.
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah berikut:
1) Mulai dengan pemberian larutan isotonik (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5/kg/jam
selama 2-4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam
sesuai respons klinis.
2) Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika
hematokrit stabil atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan
dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam
3) Jika terjadi pemburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT,
tingkatkan kecepatan tetes menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.
4) Nilai kembali status klinis, evalusi nilai hematokrit dan evaluasi
kecepatan tetes infus. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika
mendekati akhir fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi
urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah
nilai baseline.
5) Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien
melewati fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah

18
terapi pengganti cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan
fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai
indikasi).
c. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma
(plasma leakage) berat yang menimbulkan syok atau akumulasi cairan
abnormal dengan distress nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi
organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
1) Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat pernaikan, turunkan
kecepatan tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien.
Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
2) Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus
cairan pertama. Jka nilai hematokrit meningkat atau masih tinggi
(>50%), ulangi bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20
ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi
kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan
pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada
poin sebelumnya.
3) Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya
perdarahan dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:
1) Mulai dengan larutan kristaloid isotonic intravena 20 ml/kg/jam
sebagai bolus diberikan dalam 15 menit
2) Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10
ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara
gradual

19
3) Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi
nilai hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%),
hal ini menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan
transfuse. Jika hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan
dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30
menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
4) Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan
kurangi kecepatan tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.
5) Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah
bolus cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini
menandakan adanya perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau
bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam
sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid
dan kurangi kecepatan tetes.
6) Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfuse PRC segar
atau 10-20 ml/kg/jam whole blood segar.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila:
1) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2) Nafsu makan membaik
3) Secara klinis tampak perbaikan
4) Hematokrit stabil
5) Tiga hari setelah syok teratasi
6) Jumlah trombosir > 50.000 ribu/ul
7) Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis).
8. Prognosis DBD
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya

20
baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien
dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-
50% tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2%.
Penelitain pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus-kasus DHF
yang disertai komplikasi seperti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk.

21
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Mishra, R., Lata, S., Ali, A. & Banerjea, A. C., 2019. Dengue haemorrhagic
fever: a jib done via exosomes. Dalam: T. &. F. Group, penyunt. Emerging
Microbs & Infection . New Delhi : s.n., pp. 1626-1635.
2. World Health Organization, 2016. Genetics of susceptibility to severe dengue
virus infections: an update and implications for prophylaxis, prognosis and
therapeutics. Dalam: J. Dire, penyunt. Dengue Bulletin . Maharashta: Desk
Editor's, pp. 1-19.
3. World Health Organization , 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and
Expanded Edition penyunt. India : Searo Technical Publication Series No. 60.
4. World Health Organization, 2009. Dengue Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New edition penyunt. France : s.n.
5. Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K. & Pohan , H. T., 2007. Demam Berdarah
Dengue. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. V penyunt. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam .
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia , 2019. Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2018, Jakarta : s.n.
7. Wibawa, T., 2012. Laboratory Diagnosis of Dengue Virus Infection. TMJ,
02(2), pp. 131-141.
8. Hadinegoro & Rezeki, S., 2014. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. III penyunt. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia .
9. Mahasurya, G. A. D., Lestari , A. A. W. & Yasa , W. P. S., 2017 . Gambaran
pemeriksaan serologi IgM dan IgG antidengue pasien terinfeksi virus dengue di
Rumah sakit surya husada Denpasar Bali. E-Jurnal Medika, 6 (1), pp. 1-5.

22

18

Anda mungkin juga menyukai