Anda di halaman 1dari 37

TUTORIAL KLINIK

Dengue Hemorrhagic Fever


Tutorial Klinik ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan
Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. MHD. ISA ANSARI HRP. M.Ked(PD).,Sp.PD

Disusun Oleh:

A. Deby Dettialangi Tenri 201741520207

Joes Meyerisen 201741520108

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DRS. H. AMRI TAMBUNAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


MEDAN
2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tutorial klinis ini tepat waktu.

Tulisan ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Drs. H. Amri Tambunan, selain itu tulisan ini juga bertujuan supaya
pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai sirosis hati. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa Tutorial klinik ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan
baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:

1. dr. MHD. ISA ANSARI HRP. M.Ked(PD).,Sp.PD selaku pembimbing selama di


stase Ilmu Penyakit Dalam RSUD Deli Serdang
2. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini.

Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tulisan ini.

Lubuk Pakam, 16 Desember 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Etiologi 6
2.3 Epidemiologi 6
2.4 Patofisiologi dan patogenesis 7
2.5 Manifestasi Klinis 9
2.6 Perjalanan Klinis infeksi 11
2.7 Klasifikasi infeksi Dengue 16
2.8 Diagnosis 17
2.8.1 Demam Dengue (DF) 17
2.8.2 Demam Berdarah Dengue (DBD) 18
2.8.3 Dengue syok Sindrom (DSS) 18
2.9 Diagnosis Banding 19
2.10 Pemeriksaan penunjang 20
2.10.1 Pemeriksaan Laboratorium 20
2.10.2 Pemeriksaan Radiologi 21
2.11 Tatalaksana 22
2.12 Manajemen Fase Pemulihan 29
2.13 Tanda-tanda Pemulihan 30
2.14 Prognosis 30
BAB III 32
KESIMPULAN 32
DAFTAR PUSTAKA 33

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi dengue merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh virus


dengue pada manusia. Penyakit tersebut dibagi menjadi Demam Dengue (DD), Demam
Berdarah Dengue (DBD), dan Expanded Dengue Syndrome (EDS). Virus dengue
termasuk golongan arthropod-borne viruses, genus flavivirus, famili flaviviridae. Virus
ini memiliki 4 serotipe (DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4) yang telah
teridentifikasi bersirkulasi di sebagian belahan dunia terutama pada daerah tropis dan
subtropis, termasuk Indonesia. Saat ini sekitar 2,5 milyar atau lebih kurang 40%
penduduk dunia tinggal di wilayah yang memiliki risiko penularan infeksi dengue. Badan
Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta kejadian infeksi
dengue setiap tahunnya.
Di Indonesia, istilah DBD lebih dikenal oleh sebagian besar masyarakat umum
untuk mendeskripsikan penyakit yang disebabkan infeksi virus dengue. Infeksi dengue
adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue yang ditandai
demam 2–7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan trombosit
(trombositopenia), adanya hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma
(peningkatan hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia).Infeksi dengue dapat
disertai gejala-gejala tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau
nyeri belakang bola mata.
Jumlah kasus Dengue Hemorrhagic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d
Mei 2004 mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak
724 orang (CFR 1,1 %) . DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus
DHF berdasarkan umur di Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi
pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun.DHF masih sulit diberantas karena
belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat suportif.
Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi secara dini fase
kritis dan penanganan yang cepat dan tepat.
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD
berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh dengan

5
sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik). Sebagian
lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran plasma dan
mengakibatkan kematian. Angka morbiditas DBD masih berfluktuasi dan dipengaruhi
oleh curah hujan, perilaku masyarakat, perubahan iklim (climate change) global, dan
mobilitas penduduk yang tinggi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virus yang
tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti betina. Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan Demam Berdarah Dengue
(DBD).

2.2 Etiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
terutama Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. Semua serotipe virus dengue
dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut. Selain Aedes aegypti wabah demam
berdarah juga dikaitkan dengan nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan
Aedes scutellaris. Masing-masing spesies nyamuk memiliki ekologi, perilaku, dan
distribusi geografis tertentu. Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat hidup pada udara
dingin, sehingga nyamuk itu relatif tidak ditemukan pada ketinggian di atas 1000 meter.
(PNPK, 2020)
Dalam beberapa dekade terakhir Aedes albopictus telah menyebar dari Asia ke
Afrika, Amerika, dan Eropa. Penyebaran tersebut dikaitkan dengan perdagangan
internasional yang menggunakan bab-ban atau benda-benda yang dapat menampung air
hujan sehingga dapat menjadi wadah bagi telur-telur nyamuk. Telur-telur nyamuk
tersebut juga dapat tetap hidup selama berbulan-bulan tanpa air (PNPK, 2020)

2.3 Epidemiologi

Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di Indonesia yang pertama dilaporkan pada
tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 58 kasus dan 24 kematian (Case Fatality
Rate/CFR 41,3%). Dalam kurun waktu 50 tahun, angka kematian DBD telah berhasil
diturunkan menjadi di bawah 1%. Sepuluh tahun terakhir (2008–2017), incidence rate
(IR) DBD berada pada kisaran 26,1 per 100.000 penduduk hingga 78,8 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2018 jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 65.602 dengan
CFR 0,71%, artinya terdapat 467 kasus kematian per tahun atau 1,3 kematian per hari.

7
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologinya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan 4 klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD
yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran
plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus.
Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktivasi sel T-sitotoksik yang
akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan
DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory)
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat

8
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.6 Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan
berikatan dengan Fc reseptor. dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang
erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi
secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh
karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan

9
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Disisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin kallikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.
2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik dan


simtomatik. Manifestasi infeksi dengue yang simtomatik dapat berupa demam yang
tidak jelas (sindrom infeksi virus), demam dengue, infeksi dengue hingga sindrom syok
dengue. Infeksi dengan salah satu serotipe virus dengue dapat memberikan kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama tetapi hanya dapat memberikan
perlindungan silang jangka pendek yaitu 2-3 bulan terhadap infeksi serotipe yang lain.
Gejala dan tanda klinis infeksi dengue dapat berupa flu-like syndrome, demam
mendadak tinggi, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbital, terdapat ruam, mimisan, gusi
berdarah, limfadenopati, trombositopenia, leukopenia, peningkatan hematokrit,
hipoalbuminemia, diatesis hemoragik, hingga syok dan kematian. Berdasarkan kriteria
WHO tahun 2011 infeksi dengue dibagi menjadi seperti gambar berikut ini.

10
a. Demam yang tidak berdiferensiasi (demam tidak jelas) Demam pada kategori ini
sebagian besar terlihat pada infeksi dengue primer namun walaupun demikian keadaan
ini masih mungkin terjadi pada infeksi sekunder fase awal. Secara klinis, demam pada
keadaan ini sulit dibedakan dengan demam yang disebabkan oleh infeksi virus lainnya
dan seringkali tidak terdiagnosis. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau
dapat juga muncul selama fase defervescence. Gejala gangguan pernafasan atas dan
gastrointestinal juga sering terjadi.
b. Demam Dengue
Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua,
remaja, dan orang dewasa. Demam yang terjadi biasanya berupa demam akut, terkadang
dapat juga berupa demam bifasik, disertai gejala sakit kepala berat, mialgia, artralgia,
ruam, leukopenia dan trombositopenia. Ruam kulit umumnya asimtomatik dan hanya
pada 16-27% kasus disertai dengan pruritus. Perdarahan jarang terlihat pada DD, namun
epistaksis dan perdarahan gingiva, hipermenorea, petekie atau purpura, dan perdarahan
saluran gastrointestinal dapat juga terjadi.
Di daerah endemik dengue, wabah DD jarang terjadi di kalangan masyarakat
setempat. Wabah infeksi DEN-1 di Taiwan menunjukkan bahwa perdarahan
gastrointestinal yang berat dapat terjadi pada orang-orang yang sebelumnya sudah ada
penyakit ulkus peptikum. Perdarahan yang berat dapat menyebabkan kematian. Angka
mortalitas kasus DD kurang dari 1%. Penting untuk membedakan kasus DD dengan
perdarahan dengan kasus DBD. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi yang timbul akibat
adanya peningkatan permeabilitas vaskular, sedangkan pada DD tidak.

c. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Di daerah hiperendemik infeksi dengue, DBD lebih sering terjadi pada anak di
bawah 15 tahun. Hal tersebut sering dihubungkan dengan infeksi dengue berulang.
DBD paling sering ditemukan pada infeksi dengue sekunder. Angka kejadian DBD pada
orang dewasa belakangan ini meningkat.
DBD ditandai dengan demam mendadak tinggi disertai
dengan tanda dan gejala yang mirip dengan DD fase akut.
Manifestasi perdarahan juga dapat terjadi. Manifestasi
perdarahan tersebut dapat berupa uji bending atau tourniquet

11
test positif (terdapat ≥10 petekie/inci persegi), petekie, mudah
memar, dan atau pada kasus berat terjadi perdarahan
gastrointestinal. Manifestasi perdarahan pada DBD disebabkan
oleh beberapa faktor seperti vaskulopati, defisiensi dan
disfungsi trombosit, dan defek pada jalur pembekuan darah.
Trombositopenia dan meningkatnya hematokrit
(hemokonsentrasi), merupakan temuan yang sering didapat pada
DBD dan umumnya terjadi sewaktu demam mulai turun (fase
defervesens). Penurunan produksi trombosit dan peningkatan
destruksi trombosit dapat menyebabkan trombositopenia pada
DBD. Jumlah dan fungsi trombosit yang menurun dapat
memperburuk manifestasi perdarahan.
Timbulnya syok hipovolemik (sindroma syok dengue) akibat kebocoran plasma
pada umumnya terjadi pada fase kritis. Adanya tanda peringatan (warning signs) dini
seperti muntah terus-menerus dan tidak dapat minum, nyeri perut hebat, letargi dan atau
gelisah, perdarahan, pusing atau lemas, akral pucat, dingin dan basah, dan oliguria
penting untuk diketahui karena keadaan tersebut dapat mendahului terjadinya syok.
Hemostasis tidak normal dan kebocoran plasma merupakan pemegang peran utama
patofisiologi DBD.
d. Expanded Dengue Syndrome
Manifestasi yang tidak lazim penderita dengue dengan keterlibatan organ berat
seperti hati, ginjal, otak atau jantung semakin banyak dilaporkan baik pada kasus DBD
dan juga pada penderita infeksi dengue yang tidak mengalami kebocoran plasma
(demam dengue/DD). Sebagian besar penderita DBD yang memiliki manifestasi yang
tidak biasa itu timbul akibat terjadinya syok yang berkepanjangan (prolonged shock)
dengan kegagalan organ (organ failure) atau penderita dengan komorbiditas atau
koinfeksi.
Ensefalopati juga dapat terjadi pada infeksi dengue. Pada ensefalopati sering
dijumpai gejala kejang, penurunan kesadaran, dan paresis. Ensefalopati dengue dapat
disebabkan oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan) pembuluh darah. Sayangnya otopsi
sangat jarang dilakukan sehingga penyebab yang sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu,
terdapat laporan bahwa virus dengue dapat melewati sawar darah-otak dan
menyebabkan ensefalitis.

12
2.6 Perjalanan klinis infeksi

Manifestasi klinis infeksi dengue dapat berupa asimtomatik atau simtomatik.


Infeksi dengue simtomatik adalah penyakit sistemik dan dinamis dengan profil klinis dan
hematologi yang berubah dari hari ke hari. Perubahan-perubahan ini berakselerasi dalam
beberapa jam atau bahkan beberapa menit selama fase kritis (terutama pada tahap kritis
dengan kebocoran plasma). Memahami sifat penyakit dengue yang sistemik dan dinamis
serta perubahan patofisiologi setiap fasenya penting dipahami dengan baik dalam
pengelolaan infeksi dengue.
Perjalanan penyakit DD/DBD sangat erat kaitannya dengan menghitung hari
demam. Pada umumnya setelah masa inkubasi penderita akan mengalami 3 fase penyakit.
Fase pertama adalah fase demam; walaupun dapat berlangsung selama 2-7 hari tetapi
pada umumnya terjadi selama 3 hari. Fase demam (demam hari 1-3) kemudian diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari (demam hari 4-6), dan fase pemulihan (fasereabsorbsi/fase
konvalesen). Menghitung hari demam pada infeksi dengue sangat penting dilakukan
karena dengan mengetahui hari demam tersebut kita dapat memperkirakan penderita
sedang berada dalam fase tertentu. Dengan melakukan hal ini kita dapat mengansipasi
tindakan apa yang harus kita lakukan dan dengan demikian angka kematian akan
menurun. Perjalanan penyakit infeksi dengue menurut WHO tahun 2009 dapat
digambarkan seperti pada gambar

13
1) Fase Demam
Demam mendadak tinggi merupakan gejala yang khas pada fase ini. Demam
mendadak tinggi ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai facial flushing,
eritema kulit, sakit di seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala, anoreksia, mual
dan muntah. Sakit tenggorokan, injeksi faring, dan injeksi konjungtiva terkadang
ditemukan juga pada penderita. Fase viremia dengan suhu tertinggi umumnya terjadi tiga
sampai empat hari pertama setelah onset demam namun kemudian turun dengan cepat
hingga tidak terdeteksi dalam beberapa hari berikutnya. Tingkat viremia dan demam
biasanya mengikuti satu sama lain, dan antibodi IgM meningkat seiring turunnya demam.
Pada awal perjalanan penyakitnya manifestasi penderita DBD dapat terlihat
seperti DD. Manifestasi perdarahan yang terjadi pada fase awal DBD paling sering terdiri
dari manifestasi perdarahan ringan seperti yang terjadi pada DD. Manifestasi perdarahan
yang tidak terlalu sering timbul seperti epistaksis, perdarahan gusi, atau perdarahan
gastrointestinal sering terjadi saat penderita masih dalam fase demam (perdarahan
gastrointestinal dapat dimulai pada tahap itu).
2) Fase Kritis
Awal fase kritis umumnya ditandai dengan penurunan suhu

14
tubuh hingga 37,5-38 0C atau kurang dan tetap di bawah level ini
(penurunan suhu yang drastis ini disebut juga sebagai masa
defervesens), dan umumnya terjadi pada hari 3-7 perjalanan
penyakit. Walaupun fase ini disebut fase kritis, itu bukan
berarti bahwa keadaan penderita pasti kritis. Disebut fase kritis
karena pada fase inilah biasanya terjadi kebocoran plasma
(biasanya berlangsung selama 24- 48 jam). Saat demam turun
atau mereda, penderita memasuki periode dengan risiko
tertinggi terjadinya manifestasi berat akibat kebocoran plasma.
Pada periode ini penting sekali memantau timbulnya perdarahan
dan kebocoran plasma ke rongga pleura dan abdomen,
menerapkan terapi yang tepat, dan menstabilkan volume cairan
dalam tubuh. Jika tidak ditangani dengan baik, keadaan tersebut
dapat menyebabkan deplesi volume intravaskular dan
dekompensasi kordis. Tanda-tanda kebocoran plasma meliputi
terjadinya hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit mendadak
≥20% dari awal), adanya asites, efusi pleura, albumin serum atau
protein yang rendah (sesuai dengan usia dan jenis kelamin).
Pada penderita dengan kebocoran plasma parameter hemodinamik yang
berhubungan dengan syok terkompensasi seperti peningkatan denyut jantung sesuai
dengan usia (terutama bila tidak ada demam), denyut nadi cepat dan lemah, akral dingin,
tekanan nadi yang sempit (sistolik dikurangi diastolik <20 mmHg), masa pengisian
kapiler (capillary refill time/CRT) >3 detik, dan penurunan diuresis (oliguria) harus
dipantau dengan ketat. Penderita yang menunjukkan tanda-tanda kekurangan volume
intravaskular yang terus meningkat, impending shock, atau manifestasi perdarahan yang
berat harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU) untuk pemantauan berkala dan
penggantian volume intravaskular. Jika penderita menunjukkan tanda-tanda syok ringan,
maka penderita tersebut dikategorikan sebagai DSS. Syok berkepanjangan merupakan
faktor utama yang erat hubungannya dengan komplikasi yang dapat menyebabkan
kematian termasuk perdarahan gastrointestinal.
3) Fase Konvalesens (Reabsorbsi)

Fase ketiga ini dimulai saat fase kritis berakhir yang ditandai dengan

15
berhentinya kebocoran plasma dan dimulainya reabsorpsi cairan. Selama fase ini, cairan
yang bocor dari ruang intravaskuler (cairan plasma dan cairan intravena) selama fase
kritis diserap kembali. Indikator yang menunjukkan bahwa penderita memasuki fase
konvalesens adalah penderita merasa sudah membaik, nafsu makan meningkat, tanda vital
mulai stabil, bradikardia, kadar hematokrit yang kembali normal, peningkatan output
urin, dan munculnya ruam konvalesen dengue (Convalescence Rash of Dengue). Ruam
konvalesen dengue muncul sekitar 2-3 hari setelah defervesens. Ruam ini ditandai dengan
bercak petekie konfluen yang tidak memucat dengan tekanan dan beberapa bercak kulit
normal berbentuk seperti pulau bulat kecil atau biasa disebut “pulau putih di lautan
merah”. Ruam ini secara bertahap memudar dalam satu minggu. Pada periode ini penting
untuk mengenali tanda-tanda bahwa volume intravaskular telah stabil (kebocoran plasma
telah berhenti) dan reabsorpsi telah dimulai. Jika tanda-tanda tersebut sudah timbul maka
untuk menghindari kelebihan cairan, kecepatan dan volume cairan intravena harus
dirubah dan bila perlu dihentikan sama sekali. Komplikasi yang timbul selama fase
konvalesens (reabsorpsi) sering dikaitkan dengan pengelolaan cairan intravena. Kelebihan
cairan dapat disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik atau penggunaan cairan
isotonik yang berlebihan selama fase penyembuhan (fase konvalesens).
Terjadinya kebocoran plasma yang signifikan dapat menyebabkan syok
hipovolemik. Pada kasus tersebut, terutama sebelum dilakukan terapi cairan, efusi pleura
dan asites terkadang tidak terdeteksi secara klinis. Kebocoran plasma umumnya terdeteksi
saat penyakit sudah berkembang atau setelah dilakukan terapi cairan. Dibandingkan
pemeriksaan fisik, kebocoran plasma berupa asites dan atau efusi pleura dapat dideteksi
lebih dini dengan pemeriksaan rontgen toraks dan ultrasonografi (USG). Pemeriksaan
rontgen right lateral decubitus dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya efusi pleura.
Edema dinding kandung empedu yang diperiksa dengan menggunakan USG sering
menjadi temuan awal kebocoran plasma sebelum asites dan atau efusi pleura ditemukan.
Penurunan albumin >0,5 gm / dl dari nilai awal atau <3,5 gm% adalah bukti tidak
langsung dari kebocoran plasma.
Pada kasus DBD ringan, semua tanda dan gejala mereda setelah demam mereda.
Meredanya demam dapat disertai dengan keringat dingin dan perubahan pada nadi dan
tekanan darah. Perubahan ini mencerminkan gangguan sirkulasi ringan sebagai akibat
kebocoran plasma ringan. Kondisi penderita umumnya membaik secara spontan atau
setelah dilakukan terapi cairan dan elektrolit.

16
Pada kasus sedang hingga berat, kondisi penderita dapat
memburuk beberapa hari setelah awal onset demam. Adanya tanda
peringatan seperti muntah terus-menerus, sakit perut, asupan
oral buruk, lesu atau gelisah, hipotensi postural dan oliguria
dapat digunakan sebagai perangkat kewaspadaan terhadap
terjadinya syok. Menjelang akhir fase demam, saat atau segera
setelah suhu turun dan biasanya terjadi antara 3–7 hari setelah
onset demam, dapat timbul tanda-tanda kegagalan sirkulasi
seperti kulit dingin, sianosis area oral, dan nadi lemah dan
cepat. Beberapa penderita mungkin tampak lemas dan dapat
menjadi gelisah dan kemudian dapat masuk ke tahap kritis. Nyeri
perut akut adalah keluhan yang sering terjadi sebelum
timbulnya syok. Syok ditandai dengan nadi cepat dan
lemah .dengan penyempitan tekanan nadi ≤20 mmHg dengan
tekanan diastolik yang meningkat, misalnya 100/90 mmHg, atau
hipotensi.
Tanda-tanda penurunan perfusi jaringan dapat berupa masa pengisian kapiler
yang melambat (>3 detik), kulit dingin dan berkeringat, serta gelisah. Selanjutnya bila
tidak ditangani dengan baik penderita dapat masuk ke dalam tahap syok yang sangat
dalam dengan tekanan darah dan / atau nadi yang tidak terdeteksi (DBD derajat IV). Syok
dapat reversibel dan berlangsung dengan durasi pendek jika penanganan dengan terapi
cairan dilakukan dengan tepat dan adekuat. Penderita syok adalah penderita dengan
mortalitas yang tinggi jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat.
Penderita syok tanpa perawatan dapat meninggal dalam waktu 12 hingga 24 jam.
Penderita dengan syok berkepanjangan atau tidak terkoreksi dapat menimbulkan
perjalanan penyakit yang lebih rumit berupa asidosis metabolik, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multi organ, dan perdarahan hebat berbagai organ. Gagal hati dan
ginjal sering terjadi pada kasus syok yang berkepanjangan. Ensefalopati dapat terjadi
karena hubungannya dengan kegagalan multi organ, gangguan metabolik dan elektrolit.
Perdarahan intrakranial jarang terjadi dan bila pun terjadi umumnya timbul di fase akhir
penyakit. Penderita dengan syok yang berkepanjangan atau tidak dikoreksi dan dengan
kegagalan multi organ membutuhkan perawatan khusus dan membutuhkan waktu
pemulihan yang lebih lama.

17
Angka kematian pada kelompok ini tinggi walaupun dengan
perawatan khusus. Hemodinamik yang stabil disertai diuresis
yang banyak (buang air kecil setiap 4-6 jam/kali atau
≥0,5/kgBB/jam) dan kembalinya nafsu makan merupakan tanda-
tanda pemulihan dan merupakan indikasi untuk menghentikan
terapi cairan. Temuan umum pada fase pemulihan dapat berupa
sinus bradikardi atau aritmia dan ruam petekie konfluen seperti
umumnya yang ditemukan pada kasus demam dengue. Fase
pemulihan pada penderita dengan atau tanpa syok umumnya
berjalan pendek. Bahkan dalam kasus-kasus dengan syok berat,
setelah syok teratasi dengan penanganan yang tepat, penderita
yang melewati dan selamat dari syok akan pulih dalam waktu 2-3
hari.

2.7 Klasifikasi infeksi dengue

Pada tahun 2011 WHO membuat klasifikasi infeksi dengue menjadi demam tidak
terdiferensiasi, DD, dan DBD. DBD sendiri dibagi lagi menjadi derajat I-IV. Untuk
menentukan penatalaksanaan penderita infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi
derajat penyakit.

18
Tabel 1. Klasifikasi infeksi dengue dan derajat keparahan DBD menurut WHO

2.8 Diagnosis

Pada masa inkubasi infeksi dengue dapat timbul gejala prodromal yang tidak
khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Kriteria di bawah ini
telah ditetapkan sebagai kriteria diagnosis sementara DD/DBD/SSD. Kriteria ini tidak
dimaksudkan untuk mengganti definisi kasus (case definition) yang ada. Penggunaan
kriteria ini dapat membantu praktisi/klinisi untuk menegakkan diagnosis dini, idealnya
sebelum timbulnya onset syok, sekaligus untuk menghindari overdiagnosis.
2.8.1 Demam Dengue (DD)
Keadaan berikut ini dapat dipakai sebagai kriteria untuk menduga terjadinya infeksi
dengue pada seseorang.
1) Tersangka (probable) dengue:
Demam akut/mendadak selama 2-7 hari disertai 2 atau lebih manifestasi klinis berikut ini:
a) Sakit kepala;

19
b) Nyeri retro-orbital;
c) Myalgia;
d) Arthralgia;
e) Ruam kulit;
f) Manifestasi perdarahan;
g) Leukopenia (leukosit ≤5000 sel/mm3); dan
h) Trombositopenia (trombosit ≤150,000 sel/mm3).
dan setidaknya satu dari keadaan di bawah ini:
a) Pemeriksaan serologi dengue positif; dan
b) atau ditemukan penderita DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu
yang sama.
2) Diagnosis terkonfirmasi
Kasus probable dengan setidaknya satu dari beberapa di bawah ini:
a) Isolasi virus dengue dari serum, cairan serebrospinal, atau sample autopsy;
b) Peningkatan serum IgG (dengan uji hemaglutinasi inhibisi) dengan kelipatan empat
atau lebih atau peningkatan antibodi IgM yang spesifik virus dengue;
c) Deteksi virus dengue atau antigen pada jaringan, serum atau cairan serebrospinal
dengan pemeriksaan immunohistochemistry, immunofluorescence, enzyme-linked
immunosorbent assay, atau immunochromatographic rapid test; dan
d) asam nukleat virus demam berdarah dengan reaksi rantai transkripsi-polimerase
terbalik (RT-PCR).
2.8.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini
terpenuhi:
1) Demam mendadak tinggi dengan selama 2-7 hari;
2) Manifestasi perdarahan dapat berupa salah satu dari gejala berikut: tes torniket positif,
petekie, ekimosis atau purpura, atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, tempat
injeksi, atau perdarahan dari tempat lain;
3) Trombosit ≤100.000 sel/mm3; dan
4) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
a. Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥20%

20
dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin;
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya; dan/atau
c. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/hipoalbuminemia.
Perbedaan utama antara DD dan DBD adalah terjadinya kebocoran plasma pada DBD
sedangkan pada DD tidak.
2.8.3 Sindroma Syok Dengue (SSD)
Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis Sindroma Syok Dengue ditegakkan bila
kriteria infeksi dengue seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya disertai dengan tanda-
tanda syok seperti:
1) Takikardi, akral dingin, masa pengisian kapiler melambat, nadi lemah, lesu atau
gelisah, yang kemungkinan dapat menjadi tanda-tanda penurunan perfusi otak;
2) Tekanan nadi ≤20 mmHg dengan peningkatan tekanan diastolik,
contoh: 100/80 mmHg; dan
3) Hipotensi menurut umur, yang diartikan dengan tekanan sistolik <80 mmHg untuk
anak dibawah 5 tahun atau 80 sampai 90 mmHg untuk anak yang sudah lebih besar dan
orang dewasa.
Temuan laboratorium klinis pada penderita DBD
1) Jumlah sel darah putih umumnya normal dengan jumlah
neutrofil yang dominan pada fase awal demam. Setelah itu,
ada penurunan jumlah total sel darah putih dan neutrofil, dan
mencapai titik nadir menjelang akhir fase demam. Perubahan
jumlah sel darah putih (≤5000 sel / mm3) dan rasio neutrofil
terhadap limfosit (neutrofil < limfosit) berguna untuk
memprediksi periode kritis dari kebocoran plasma. Temuan
ini mendahului temuan trombositopenia atau peningkatan
hematokrit. Limfositosis relatif dengan limfosit atipikal
yang meningkat biasanya terjadi pada akhir fase demam dan
saat menuju masa konvalesens. Perubahan ini juga terlihat
pada Demam Dengue.

21
2) Jumlah trombosit umumnya normal pada fase awal demam. Penurunan ringan dapat
ditemukan setelah fase awal. Penurunan secara tiba-tiba jumlah trombosit hingga di
bawah 100.000 sel/mm3 terjadi pada akhir fase demam (penurunan suhu atau fase
defervesens) dan atau sebelum timbulnya syok. Derajat trombositopenia berkorelasi
dengan tingkat keparahan DBD. Perubahan itu terjadi dalam waktu singkat dan
umumnya kembali normal pada masa konvalesens.
3) Hematokrit didapatkan dalam batas normal pada awal fase
demam. Adanya sedikit peningkatan dikarenakan adanya
demam tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit
secara tiba-tiba terjadi secara bersamaan atau segera
setelah penurunan jumlah trombosit. Hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit sebesar 20% dari kadar hematokrit
awal, misalnya dari jumlah hematokrit 35% hingga ≥42%,
adalah bukti objektif adanya kebocoran plasma.
4) Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan yang sering ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3 biasanya
ditemukan diantara demam hari ke-3 dan ke-10. Kenaikan hematokrit terjadi pada
semua kasus DBD, terutama pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih adalah bukti objektif terjadinya kebocoran plasma. Perlu
diingat bahwa tingkat hematokrit dapat dipengaruhi oleh terapi cairan yang diberikan
saat fase awal dan perdarahan.
5) Temuan umum lainnya adalah hipoproteinemia/albuminemia
(sebagai akibat dari kebocoran plasma), hiponatremia, dan
kadar aspartat aminotransferase serum yang sedikit
meningkat (≤200 U/L) dengan rasio AST : ALT >2

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang dipertimbangkan pada penderita yang mengalami gejala demam
dan ruam kulit yang mirip dengan DD. Tabel dibawah ini menyajikan berbagai kondisi
klinis yang mirip dengan infeksi dengue pada fase awal dan kritis.

Flu-like syndrome Influenza, Campak, cikungunya, penyakit


HIV serokonversi

22
Penyakit dengan ruang Campak, demam scarlet, rubella, infeksi
meningokokus, chikungunya, reaksi obat

Penyakit diare Rotavirus, infeksi enterik

Manifestasi Neurologis Meningo/ensefalopati, Kejang demam

HIV-Human Immunodeficiency Virus


Tabel 2. Beberapa kondisi klinis yang mirip dengan infeksi dengue pada fase demam

Infeksi Gastroenteritis, leptospirosis, malaria, demam


typhoid, hepatitis virus, HIV akut

Penyakit Maligna Leukemia akut dan penyakit malignant


lainnya

Kondisi lain-lain Apendisitis akut, akut abdomen, kolesistitis


akut, perforasi viskus, ketoasidosis
diabetikum, asidosis laktat, leukopenia dan
trombositopenia, gangguan trombosit, gagal
ginjal, distress pernafasan (kussmaul), lupus
eritematosus sistemik
Tabel 3. Kondisi klinis yang mirip dengan infeksi dengue fase kritis

2.10 Pemeriksaaan Penunjang


2.10.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang
signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis
DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.
Darah Lengkap:
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga
didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.
Isolasi Virus:
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu:
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.

23
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasi/ intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus:
Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence
antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan
conjugate. Untuk identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara
indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal
Uji Serologi :
1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test) 6,7 Diantara
uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan digunakan
sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam uji HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini
baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum
akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif
infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplemen Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain
cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya
bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi (Neutralisasi Tes = NT test )
Uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT )
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih
cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai.

24
Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh
IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis
yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitivitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac
elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji
HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI,
hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM /
IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran.
Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase
konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih)
2.10.2 Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain:
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

25
2.11 Tatalaksana

2.11.1 Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis

Indikasi cairan IV:

a. Pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau pasien mual dan muntah.

b. Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah diberikan.

c. Adanya ancaman pasien menjadi syok

Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:

a. Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi usia < 6 bulan
lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
b. Larutan koloid Hiperonkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti dekstran 40 atau
larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif, dan tidak ada respon
dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang optimal (seperti yang
direkomendasikan). Larutan koloid isoonkotik seperti plasma dan haemaccel
kemungkinan tidak efektif.
c. Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk sekedar
mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
d. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam bagi
mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi terapi cairan intravena
bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal ini karena pasien yang
tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran plasma sementara pasien yang sudah
syok, kebocoran plasma berlangsung dalam durasi yang lebih panjang hingga terapi
intravena dimulai.
e. Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung volume
cairan adalah berat badan ideal (tabel 1).

26
Tabel 1. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

Berat Pemelihara M + Berat Pemelihara M + 5%


Badan an (ml) 5% Badan an (ml) defisit
Ideal defisit Ideal (ml)
(Kg ) (ml) (Kg)

5 500 750 35 1800 3550

10 1000 1500 40 1900 3800

15 1250 2000 45 2000 4250

20 1500 2500 50 2100 4600

25 1600 2850 55 2200 4950

30 1700 3000 60 2300 5300

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan kondisi klinis. Kecepatan infus
berbeda antara pasien dewasa dan anak-anak. Tabel 2 menunjukkan perbandingan kecepatan
pemberian infus pada anak-anak dan dewasa dengan memperhatikan kebutuhan cairan
pemeliharaan.

Tabel 2. Kecepatan pemberian cairan intravena pada dewasa dan anak-anak

Kondisi Kecepatan pada anak Kecepatan pada dewasa


(ml/kg/jam) (ml/jam)

Setengah dari kebutuhan 1,5 40-50


pemeliharaan (M/2)

27
Pemeliharaan (M) 3 80-100

M + 5% defisit 5 100-120

M + 7% defisit 7 120-150

M + 10% defisit 10 300-500

Transfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan trombositopenia (tidak


boleh ada transfusi trombosit profilaksis). Namun pemberian transfusi trombosit dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hipertensi dengan trombositopenia yang sangat
berat.

2.11.2 Penanganan Pasien dengan Warning Sign

Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign tersebut bukan
suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dan sebagainya. Munculnya
trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran plasma seperti kenaikan hematokrit
dan efusi pleura dapat membedakan antara DBD/SSD dari penyebab yang lain. Pemeriksaan
kadar gula darah dan tes laboratorium dapat dilakukan untuk menemukan menyebabkan. Untuk
masalah-masalah lainnya, pemberian cairan intravena, terapi suportif dan simtomatik harus
diberikan sementara pasien tetap berada dibawah pengawasan di rumah sakit. Pasien dapat
dipulangkan ke rumah dalam waktu 8 sampai 24 jam jika menunjukkan respon pemulihan yang
cepat dan tidak dalam fase kritis (platelet > 100 000 sel / mm3).

2.11.3 Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok)

Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk sehari)
+ 5% defisit (oral dan cairan IV bersama-sama), yang diberikan dalam 48 jam. Misalnya, pada
anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan
adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500 ml (Gambar 8).
Pada pasien non-syok, jumlah cairan ini akan diberikan dalam 48 jam pertama. Kecepatan infus
cairan 2.500 ml ini dapat diberikan sesuai Gambar 8 di bawah. [harap dicatat bahwa tingkat

28
kebocoran plasma TIDAK selalu sama. Kecepatan pemberian cairan IV harus disesuaikan
dengan tingkat kehilangan plasma , dan disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda-tanda vital,
produksi urin dan nilai hematokrit .

2.11.4 Manajemen syok : DBD derajat III

SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai
dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi tekanan nadi yang
menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik, misalnya
100/90 mmHg ) . Ketika hipotensi muncul, selain kebocoran plasma, kita harus menduga
bahwa mungkin telah terjadi perdarahan yang masif, dimana yang paling sering adalah
perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak tampak/tersembunyi. Perlu dicatat bahwa
resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain misalnya syok septik . Sebagian besar
kasus SSD akan memberikan respon terhadap pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau
300-500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu secara bolus. Selanjutnya,
pemberian cairan harus mengikuti grafik seperti pada gambar 9. Namun, sebelum memutuskan
untuk mengurangi jumlah cairan IV yang diberikan, kondisi klinis, tanda-tanda vital , produksi
urin dan nilai hematokrit harus diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan perbaikan
klinis.Pemeriksaan laboratorium ( ABCS ) harus dilakukan pada kasus syok dan non-syok. Bila
terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume sudah memadai (Tabel 3)

Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan kondisi syok atau
dengan komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski
telah diberi terapi cairan yang adekuat

Singkatan Pemeriksaan Kepentingan


Laboratorium

A: Asidosis Analisa gas darah Menandakan syok yang sedang berlangsung.


(kapiler dan vena) Keterlibatan organ juga harus dievaluasi ;
fungsi hati, BUN dan kreatinin

29
B: Bleeding Hematokrit Jika terjadi penurunan nilai HCT dibandingkan
dengan nilai sebelumnya atau jika tidak
berubah, lakukan crossmatch untuk transfusi
darah secepatnya

C: Calsium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi pada kebanyakan DBD


namun tanpa gejala. Pemberian suplementasi
kalsium pada kondisi yang lebih
berat/kompleks dapat diindikasikan. Dosis yang
dianjurkan 1 ml/kg maksimal 10cc kalsium
glukonas, dilarutkan dengan perbandingan 1:2,
diberikan secara IV perlahan (dapat diulang
tiap 6 jam jika diperlukan)

D: Blood sugar Kadar gula darah Kebanyakan kasus DBD disertai penurunan
(fingerstick) selera makan dan muntah. Hipoglikemia dapat
terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi
hati, namun pada kondisi lain dapat terjadi
hiperglikemia

Penting diketahui bahwa kecepatan cairan IV dapat dikurangi jika telah terjadi
perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam dan dapat
dihentikan setelah 36-48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi masif
karenapeningkatan permeabilitas kapiler.⁶

2.11.5 Manajemen Syok : DBD derajat IV

Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat
mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera mungkin
untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan pun harus segera
ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan secepat mungkin, idealnya
dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan darah berhasil diperbaiki, cairan
intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana penanganan pada derajat III. Jika syok tidak

30
tertangani setelah pemberian 10 ml/kg pertama, ulangi bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil
laboratorium harus dikejar dan dikoreksi segera mungkin. Transfusi darah merupakan langkah
berikutnya harus segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan
monitoring ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral
atau intraarterial.

Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting untuk keberhasilan
penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosis bisa menjadi buruk.
Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah, jika pemberian cairan
dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral tinggi (CVP), kardiomegali,
atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas jantung yang buruk. Jika tekanan darah berhasil
dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai
adanya gangguan fungsi organ, maka pasien harus mendapat penanganan suportif yang sesuai.
Contoh penanganan suportif terhadap fungsi organ adalah dialisis peritoneal, continuous renal
replacement therapy (CRRT) serta ventilasi mekanik. Jika akses intravena tidak bisa didapat
dengan segera, maka dapat dicobakan larutan elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain
adalah jalur intraosseus. Akses intraosseous merupakan suatu bagian dari upaya untuk
menyelamatkan nyawa dan harus bisa dicapai dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali
mengalami kegagalan dalam mencapai akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.⁶

2.11.6 Manajemen perdarahan masif ·

a. Jika sumber perdarahan dapat diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk menghentikan
pendarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat dikontrol dengan nasal
packing. Transfusi darah harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda sampai nilai
HCT mengalami penurunan. Jika jumlah darah yang hilang dapat diukur, maka jumlah
tersebut harus digantikan. Namun, jika pengukuran tidak mungkin dilakukan, berikan
10 ml/kg whole blood atau 5 ml/kg packed red cell dan evaluasi respon terapi. Pasien
mungkin memerlukan pengulangan satu kali atau lebih. ·
b. Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton bisa
digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan efikasinya. ·
c. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit
konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.
d. Penggunaannya dapat memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan. ·

31
Rekombinan faktor VII diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien yang belum
mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan umumnya tidak
tersedia.

2.11.7 Manajemen pasien berisiko tinggi

a. Pasien obesitas memiliki cadangan pernapasan yang lebih kecil, sehingga perlu
mendapat perhatian agar pemberian infus cairan intravena tidak berlebih. Menghitung
pemberian cairan resusitasi harus berdasarkan berat badan ideal. Pemberian koloid
harus lebih dipertimbangkan pada tahap awal terapi cairan. Setelah steril, furosemid
dapat diberikan untuk menginduksi diuresis.
b. Bayi juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap kerusakan
hati dan ketidakseimbangan elektrolit. durasi kebocoran plasma lebih singkat pada bayi,
oleh karena itu biasanya cepat memberikan respon dengan resusitasi cairan. Oleh karena
itu, bayi harus lebih sering dievaluasi untuk upaya pemberian cairan melalui oral dan
juga pemantauan produksi urin.
c. Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien
demam berdarah dengan diabetes mellitus. Dalam hal ini kristaloid yang digunakan
hendaknya yang tidak mengandung glukosa.
d. Wanita hamil dengan demam berdarah harus dirawat segera untuk memantau perjalanan
penyakit lebih intens. Perawatan bersama dengan dokter kebidanan, serta spesialisasi
anak juga sangat penting. Pada keadaan yang berat, keluarga pasien harus diberikan
inform concern. Jumlah dan kecepatan pemberian cairan IV untuk wanita hamil sama
dengan wanita tidak hamil yakni menggunakan berat badan pra-hamil untuk
menghitung kebutuhan cairan.
e. Respon kardiovaskular terhadap terapi pada DBD dapat menjadi kabur pada pasien
penderita hipertensi yang mungkin sedang mengkonsumsi obat antihipertensi yang.
Baseline tekanan darah pasien perlu diketahui untuk dijadikan acuan penilaian. Tekanan
darah yang dianggap normal oleh dokter mungkin saja sebenarnya rendah bagi pasien
ini.
f. Terapi antikoagulan sebaiknya dihentikan sementara waktu selama fase kritis.
g. Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien ini beresiko mengalami
hemolisis dan kemungkinan akan membutuhkan transfusi darah. Perhatian khusus harus

32
diberikan terhadap terapi hiperhidrasi dan alkalinisasi, dimana prosedur ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan dan hipokalsemia.
h. Penyakit jantung bawaan dan iskemik: Terapi cairan harus lebih berhati-hati sebab
pasien kemungkinan memiliki kapasitas jantung yang lebih rendah.
i. Untuk pasien yang sebelumnya mendapat terapi steroid, pengobatan steroid terus
dianjurkan tapi jalur pemberian sebaiknya dapat diubah.⁶

2.12.Manajemen fase pemulihan

a. Pemulihan dapat dikenali oleh perbaikan dalam parameter klinis, nafsu makan dan
keadaan umum.
b. Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan kestabilan tanda-tanda vital
harus diperhatikan.
c. Penurunan HCT kembali ke baseline atau lebih rendah serta diuresis yang berangsur
normal.
d. Cairan intravena harus dihentikan.
e. Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hypervolemia dapat terjadi dan terapi
diuretik dapat dipertimbang untuk mencegah edema paru.
f. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya stres dan upaya diuresis harus diimbangi
dengan asupan buah-buahan atau suplemen yang kaya akan kalium.
g. Bradikardia cukup sering ditemukan dan pemantauan intensif perlu dilakukan untuk
kemungkinan komplikasi yang jarang seperti blok irama jantung atau kontraksi
prematur ventrikel (VPC).
h. Pulihnya ruam kulit ditemukan pada 20% -30% dari pasien.⁶

2.13.Tanda-tanda pemulihan

a. Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil


b. Suhu normal.
c. Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
d. Nafsu makan membaik.
e. Tidak ada muntah, tidak ada sakit perut
f. produksi urin baik.
g. Hematokrit yang stabil pada nilai baseline.

33
h. Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa gatal, terutama
pada ekstremitas. Kriteria untuk pemulangan pasien
i. Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi anti demam.
j. Nafsu makan membaik.
k. Perbaikan klinis Terlihat.
l. Jumlah produksi urine memuaskan.
m. Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock
n. Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
o. Jumlah trombosit lebih dari 50.000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu hingga trombosit menjadi
normal. Pada kebanyakan kasus yang kompleks, trombosit meningkat normal dalam
waktu 3-5 hari.

2.14 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,
umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan
IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok
yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa
menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa umumnya
lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi seperti DIC
dan ensefalopati prognosisnya buruk.

34
BAB III

KESIMPULAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/


DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan (syok)1 Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan
peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1) vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lain; 2) pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) lingkungan: curah hujan, suhu, salinitas dan
kepadatan penduduk.¹

Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis DBD ditegakkan bila


semua hal dibawah ini terpenuhi: 1. Demam mendadak tinggi dengan
selama 2-7 hari; 2. Manifestasi perdarahan dapat berupa salah
satu dari gejala berikut: tes torniquet positif, petekie, ekimosis
atau purpura, atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan,
tempat injeksi, atau perdarahan dari tempat lain; 3. Trombosit
≤100.000 sel/mm3; dan 4. Terdapat minimal satu tanda-tanda
plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:a.Peningkatan
hematokrit/ hemokonsentrasi ≥20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin; b. Penurunan hematokrit >20%

35
setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumya; dan/atau c.Tanda kebocoran plasma seperti
efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/hipoalbuminemia.

Pada dasarnya pemeriksaan penunjang laboratorium bertujuan untuk mendeteksi


dan mengidentifikasi virus dengue atau komponennya (protein, RNA), atau Imunoglobulin
M (IgM) atau imunoglobulin G (IgG). Metode untuk mendeteksi virus dengue atau
komponennya mencakup biakan virus, ELISA, imunokromatografi untuk mendeteksi
antigen NS1, polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi RNA virus baik yang
konvensional maupun real time dan untuk mendeteksi IgM dan IgG dapat digunakan
ELISA atau imunokromatografi.⁶

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI 2020, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:


TataLaksana Infeksi Dengue pada dewasa, Pemerintah RI, Jakarta, diakses 30 November
2020,

2. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.

3. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention


and control. New Edition 2009

4. Simmons CP, Farrar JJ, Nguyen v V, Wills B. Dengue. N Engl J Med.


2012;366(15):1423-32.

5. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Infeksi dengue. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV. Jakarta. PIP; 2006:1731-5.

6. World Health Organization SEARO. Comprehensive Guidelines for Prevention and


Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded. 2011.

7. Thomas EA, John M, Bhatia A. Muco-Cutaneous manifestations of dengue viral


infection in Punjab. Int J Dermatol. 2007;46:715–19.

37

Anda mungkin juga menyukai