Krisis Hiperglikemi
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing :
dr. MHD. ISA ANSARI HRP. M.Ked(PD).,Sp.PD
Disusun Oleh:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tutorial klinis ini tepat waktu.
Tulisan ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Drs. H. Amri Tambunan, selain itu tulisan ini juga bertujuan supaya
pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai sirosis hati. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa referat ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada:
Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tulisan ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
BAB II 5
TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi Diabetes 5
2.2 Etiologi Diabetes 5
2.3 Epidemiologi 5
2.4 Patofisiologi 6
2.5 Komplikasi 7
2.5.1 komplikasi Kronis 7
2.5.2 Komplikasi Akut 7
2.6 Krisis Hiperglikemik 7
2.6.1 Ketoasidosis Diabetikum (KAD) 7
2.6.2 Hiperglikemik Hiperosmolar state (HHS) 7
2.7 Etiologi dan Patofisiologi 8
2.8 Diagnosa 9
2.6.1 Ketoasidosis Diabetikum (KAD) 9
2.6.2 Hiperglikemik Hiperosmolar state (HHS) 9
2.9 Tatalaksana 13
2.10 Prognosis 15
BAB III 16
KESIMPULAN 16
DAFTAR PUSTAKA 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (PERKENI, 2021).
Manifestasi DM disebabkan karena defisiensi relatif atau absolut atau resistensi jaringan terhadap insulin.
insulin merupakan hormon anabolik yang merangsang sintesis glikogen, lemak dan protein. Pada
defisiensi insulin, hormon antagonis insulin yang lebih dominan sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat
hiperglikemia terjadi berbagai proses biokimia dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi pada
diabetes melitus (guyton, 2018).¹
Sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 2022 DM bisa diklasifikasikan
secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes type 2, diabetes Gestasional, dan diabetes tipe lain. DM
tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena
kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala
DM mulai muncul. selain itu ada yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan 90% dari
kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dan mempunyai
pola familial yang kuat. DM tipe II seringkali terjadi resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (ADA, 2022).
Penyakit Diabetes mellitus muncul sebagai suatu penyakit kronis di negara-negara di seluruh dunia
dan terus meningkat tiap tahunnya. menurut IDF Diabetes Atlas edisi ke-10 memberikan informasi
terperinci tentang perkiraan dan proyeksi prevalensi diabetes, secara global, menurut wilayah, negara, dan
wilayah, untuk tahun 2021, 2030, dan 2045. Ini menarik perhatian pada dampak yang berkembang dari
diabetes di seluruh dunia dan menyoroti bukti dan tindakan efektif yang harus segera diambil oleh
pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengatasinya. Diperkirakan 537 juta orang dewasa berusia 20–
79 tahun di seluruh dunia (10,5% dari semua orang dewasa dalam kelompok usia ini). diabetes. Pada
tahun 2030, 643 juta, dan pada tahun 2045, 783 juta orang dewasa berusia 20–79 tahun diproyeksikan
akan tinggal bersama diabetes. Jadi, sementara populasi dunia diperkirakan tumbuh 20% selama periode
ini, jumlah penderita diabetes adalah diperkirakan meningkat sebesar 46% (IDF atlas, 2021).
2.3 Patogenesis
Patofisiologi Diabetes Melitus tipe II sangat kompleks, pada awalnya, terjadi kegagalan aksi
insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel B pankreas akan mensekresikan insulin
lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi glukosa dapat normal
5
tetapi suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum
terjadi diabetes. Apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus
menerus, sel B pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa
oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan postprandial yang sangat
karakteristik pada Diabetes Melitus tipe II. akhirnya sekresi insulin oleh sel B pankreas akan menurun dan
terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus berlangsung (Mabel, 2021).
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksa an secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena, pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis Tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti keluhan klasik
DM seperti poliuri, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
atau memiliki keluhan lain seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. (PERKENI, 2021)
Komite Ahli Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus merekomendasikan kriteria diagnosis
DM sebagai berikut. Kadar glukosa puasa dua ulangan yang melebihi 126 mg/dl (>7 mmol/L) konsisten
dengan diabetes bahkan tanpa adanya gejala. Kadar glukosa darah puasa normal 100 mg/dl atau lebih
dianggap glukosa puasa terganggu (GDPT). Orang dengan kadar GDP (GDP= 100-125 mg/dl (5,66,9
mmol/l) dan/atau dengan tes toleransi glukosa terganggu (TTGO) (glukosa pasca-beban 2 jam 140-199
mg/dl (78,8 mmol/L- 11,1 mmol/L) berisiko diabetes dan harus diamati secara berkala untuk mendeteksi
perkembangan hiperglikemik. Replikasi, respons glikemik dua jam >200 mg/dl (>11,1 mmol/L) setelah
uji toleransi glukosa oral standar juga mengindikasikan diabetes (ADA, 2021)
Tabel. 1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Catatan: Saat ini tidak semua Laboratorium di Indonesia memenuhi standar NGSP, sehingga harus berhati-hati
dalam membuat interpretasi hasil pemeriksaan HbA1c, Pada kondisi tertentu seperti anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit gangguan fungsi
ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi
6
2.5 Komplikasi
2.5.1. Komplikasi Kronis / penyulit menahun
2.5.1.1. Makroangiopati
Pembuluh darah otak akan menyebabkan stroke, pembuluh darah jantung akan
menyebabkan penyakit koroner, sedangkan pembuluh darah tepi yaitu penyakit arteri
perifer sering terjadi pada pasien DM. Gejala tipikal yang bisa muncul pertama kali adalah
nyeri pada saat istirahat, namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki
merupakan kelainan lain yang dapat ditemukan pada pasien DM.
2.5.1.1. Mikroangiopati
a. Retinopati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau memperlambat
progresi retinopati. terapi aspirasi tidak mencegah timbulnya retinopati.
b. Nefropati Diabetik
Skrining nefropati diperlukan minimal satu kali setahun dengan pemerikasaan albumin urin
(rasio Albumin-Kreatinin dalam urin sewaktu) dan estimasi LFG.
HHS adalah kondisi klinis yang timbul akibat komplikasi diabetes melitus. Masalah ini
paling sering terlihat pada diabetes tipe 2. Won Frerichs dan Dreschfeld pertama kali
menggambarkan gangguan tersebut sekitar tahun 1880. Mereka menggambarkan pasien dengan
diabetes mellitus dengan hiperglikemia dan glikosuria yang mendalam tanpa pernapasan
Kussmaul klasik atau aseton dalam urin yang terlihat pada ketoasidosis diabetik. Kondisi klinis
ini sebelumnya disebut nonketotic hyperglycemic coma, hyperosmolar hyperglycemic
nonketotic syndrome, dan hyperosmolar nonketotic coma (HONK) ¹
7
2.7 Etiologi dan Patofisiologi
KAD dihasilkan dari defisiensi insulin akibat diabetes melitus karena, ketidak patuhan
pasien menggunakan insulin serta penggunaan obat tanpa resep dokter dan obat keras, dan
peningkatan kebutuhan insulin karena infeksi (Tabel 1). Defisiensi insulin ini merangsang
peningkatan hormon kontraregulasi (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan).
Tanpa kemampuan menggunakan glukosa,sehingga tubuh membutuhkan sumber energi
alternatif. Aktivitas lipase meningkat, menyebabkan kerusakan jaringan adiposa yang
menghasilkan asam lemak bebas. Komponen ini diubah menjadi asetil koenzim A, beberapa di
antaranya memasuki siklus Krebs untuk produksi energi; sisanya dipecah menjadi keton (aseton,
asetoasetat, dan β-hidroksibutirat). Keton dapat digunakan untuk energi, tetapi terakumulasi
dengan cepat. Glikogen dan protein dikatabolisme menjadi glukosa. Bersama dengan faktor-
faktor ini meningkatkan hiperglikemia, yang menyebabkan diuresis osmotik yang mengakibatkan
dehidrasi, asidosis metabolik, dan menyebabkan Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS).⁶
8
2.8 Diagnosis
2.8.1 Ketoasidosis Diabetic (KAD)
Terdapat perbedaan kriteria diagnosis KAD antara pedoman Inggris dan Amerika (Tabel
1) Ada beberapa implikasi potensial dari perbedaan ini. Kriteria Inggris menunjukkan bahwa
Anda memiliki DKA atau tidak. Namun, kedua pedoman tersebut menyatakan bahwa diagnosis
hanya dapat dibuat jika ketiga kriteria ("D", "K", dan "A") ada. Landasan pengobatan adalah
pemberian cairan dan insulin dengan titik akhir penurunan ketogenesis.
9
Tabel 1: UK vs USA diagnostic criteria for KAD
UK USA
Pedoman Inggris menyatakan bahwa untuk membuat diagnosis KAD adalah memiliki
riwayat diabetes sebelumnya, terlepas dari konsentrasi glukosa, meskipun (glukosa >11 mmol/L
(200 mg/dL) yang ditentukan), adalah kriteria diagnostik yang memadai. Karena tersedianya test
3-beta-hidroksibutirat, disamping itu pengukuran keton serum dengan kadar >3 mmol/L
disarankan sebagai bagian dari kriteria diagnostik untuk ketoasidosis dibandingkan dengan
menggunakan keton dalam urin. Juga, pedoman Inggris menyatakan bahwa menggunakan
Analisis gas darah vena dari pada analisis gas darah arteri (AGDA) dengan pH <7,3 digunakan
untuk menegakkan diagnosis asidosis.
Ada beberapa keuntungan kriteria KAD berdasarkan pedoman Inggris, Sekitar 10%
pasien dengan KAD hadir dengan KAD euglikemik atau dengan kadar glukosa di bawah ambang
batas yang ditetapkan oleh pedoman Amerika . Ini adalah kondisi yang semakin menjadi masalah
dengan pengakuan bahwa hal itu dapat terjadi pada orang yang memakai penghambat
kotransporter 2 glukosa natrium dan pada kehamilan. Oleh karena itu, penekanan pada riwayat
diabetes sebelumnya dengan ambang glukosa yang lebih rendah dari kriteria Amerika
10
memungkinkan untuk mendeteksi ketoasidosis euglikemik. Penggunaan serum keton dalam urin
lebih menguntungkan. Orang dengan KAD biasanya mengalami dehidrasi, sehingga produksi
urin rendah; mungkin diperlukan beberapa jam sebelum urin diproduksi, sehingga menunda
penanganan yang tepat. Setiap perkiraan keton urin yang dikumpulkan dengan cara ini akan
menjadi rata-rata konsentrasi dalam urin yang ditahan di kandung kemih sejak pengosongan
terakhir. Akhirnya, saat KAD teratasi, β-hidroksibutirat diubah menjadi asetoasetat, yang
kemudian diekskresikan ke dalam urin, memberikan kesan (salah) bahwa kondisinya
membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan dari yang sebenarnya. Untuk alasan ini, tes
keton urin tidak direkomendasikan secara rutin dalam pedoman Inggris. Namun, karena tempat
perawatan, pengukur keton darah tidak tersedia secara universal di semua rumah sakit setiap saat,
ada ketentuan yang dibuat untuk memungkinkan penggunaan keton urin sesekali. Penggunaan pH
vena dianjurkan untuk diagnosis asidosis, karena data menunjukkan bahwa perbedaan antara pH
arteri dan vena tidak cukup besar untuk mengubah keputusan manajemen klinis. Selain itu, anion
gap tidak digunakan sebagai bagian dari diagnosis KAD di Inggris. Ini sebagian karena serum
klorida tidak dilaporkan secara rutin sebagai bagian dari analisis gas darah, atau laporan
konsentrasi elektrolit. Selain itu, penggunaan larutan natrium klorida 0,9% dapat menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremik, dan peningkatan yang terus-menerus dalam serum klorida
dapat memberi kesan kepada mereka yang tidak waspada atau tidak berpengalaman bahwa anion
gap yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya keton, bukan karena resusitasi cairan.
HHS kebanyakan terjadi pada orang dewasa dan pasien lanjut usia dan memiliki
mortalitas lebih tinggi daripada KAD dengan kematian terjadi pada 5-16% [45, 46]. Evolusi HHS
berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu, dan presentasi yang paling umum
adalah perubahan status mental. Inggris memiliki pedoman terpisah untuk diagnosis HHS,
Karena kurangnya uji coba terkontrol secara acak untuk pengobatan HHS, konsensus ADA
menggabungkan KAD dan HHS, Kedua pedoman merekomendasikan penilaian keparahan pada
presentasi. Namun, pedoman Inggris memberikan titik potong data spesifik untuk menentukan
tingkat keparahan HHS (Tabel 2). Keduanya merekomendasikan evaluasi penyebab pencetus.
UK USA
pH >7.3 >7.3
Faktor pembeda pada HHS adalah tidak adanya keton atau produksi keton yang rendah
meskipun dalam keadaan insulinopenik. Secara umum, kadar glukosa pada HHS lebih tinggi
daripada KAD. Pedoman Inggris dan ADA menyarankan kadar glukosa yang serupa untuk
mendiagnosis HHS. Pedoman Inggris menyarankan nilai batas glukosa >30 mmol/L (540
12
mg/dL), dan pernyataan konsensus ADA menyarankan batas >33,3 mmol/L (600 mg/dL). Selain
hiperglikemia, pasien HHS mengalami dehidrasi berat karena sifat kronis hiperglikemia.
Meskipun ada sebagian pasien yang mengalami KAD dan HHS, kedua kelompok menyarankan
untuk membuat diagnosis HHS ketika pH lebih besar dari 7,3 dan kadar bikarbonat lebih besar
dari 15 mmol/L (pedoman Inggris) dan >20 mmol/ L untuk pernyataan konsensus ADA bersama
dengan ketonemia minimal. Perbedaan diagnosis, meskipun minimal, terletak pada perhitungan
osmolalitas dan penilaian keparahan. Perbedaannya diuraikan dalam Tabel 2.
Pedoman AS dan Inggris menggunakan batas 320 mOsm/kg untuk diagnosis osmolalitas
serum. Nilai ini berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan status mental terjadi
dengan osmolalitas serum >320 mOsm/kg. Osmolalitas dihitung dengan rumus [2 × terukur Na
(meQ/L) + glukosa (mg/dL)/18 + nitrogen urea darah (mg/dL)]/2,8] atau [2 × terukur Na
(mmol/L) + glukosa (mmol/L) + [urea (mmol/L)]. Nitrogen urea darah bukanlah osmolit yang
efektif karena dapat melintasi membran tanpa efek osmotik. Pedoman Inggris menyarankan
beberapa cara untuk menghitung osmolalitas serum, yang tidak termasuk kadar nitrogen urea
darah.
2.9 Treatment
2.9.1 Ketoasidosis Diabetic (KAD)
Prinsip manajemen KAD dan HHS berdasarkan pedoman Inggris dan Amerika hampir
sama, Kedua perspektif setuju bahwa penanganan utama harus berupa penggantian cairan
(Rehidrasi) dan penggantian cairan awal yang dipilih adalah larutan natrium klorida 0,9%.
Tingkat kecepatan penggantian cairan berdasarkan perspektif AS menganjurkan 15–20
mL/kg/jam (1–1,5 L) pada jam pertama (terlepas dari tingkat keparahannya) dan perspektif
Inggris 1 L di masing-masing 2 jam pertama. Kedua perspektif setuju bahwa penggantian fosfat
tidak diperlukan sebagai studi terkontrol oleh Kitabchi et al. karena tidak menunjukkan
perbedaan hasil yang signifikan. Laju infus insulin sama pada kedua perspektif yaitu 0,1
unit/kg/jam. Ada perbedaan dalam bagaimana tingkat infus insulin harus disesuaikan. Pedoman
berbeda untuk jumlah dan waktu insulin dan penggunaan bikarbonat.
Terapi HHS sama halnya dengan KAD,Terapi cairan (Rehidrasi) dan penurunan glukosa
darah. Kedua pedoman merekomendasikan pemantauan osmolalitas serum secara hati-hati untuk
menghindari komplikasi koreksi berlebihan yang cepat. Kedua pedoman merekomendasikan
inisiasi cairan IV dengan kira-kira 1 L saline 0,9% dan koreksi dehidrasi yang agresif sampai
osmolalitas berhenti menurun. Kedua pedoman menyarankan untuk mempertahankan konsentrasi
glukosa 13,9–16,7 mmol/L (250–300 mg/dL di AS) dan 10–15 mmol/L (180–270 mg/dL di
Inggris). Pasien dengan HHS telah menghabiskan simpanan kalium meskipun kurang dari pada
KAD. Pernyataan konsensus Inggris dan ADA menyarankan pemberian kalium jika
konsentrasinya kurang dari 3,3 meQ/L (3,3 mmol/L) dan tidak mengganti kalium jika
konsentrasinya lebih besar dari 5,5 meQ/L (5,5 mmol/L). Perbedaan dalam pedoman adalah
dengan pilihan cairan sehubungan dengan konsentrasi natrium dan waktu inisiasi insulin.
Pedoman Inggris merekomendasikan pengobatan awal dengan 1 L saline 0,9% untuk jam
pertama dengan penyesuaian kecepatan dan cairan berikutnya tergantung pada perubahan
osmolalitas (3-8 mOsmol/kg/jam) setelah jam pertama selama 6 jam setelah presentasi. dengan
penurunan glukosa 5 mmol/L/jam (90 mg/dL/jam). Penggunaan saline 0,45% tidak dianjurkan
secara rutin. Namun, pedoman tersebut membuat pengecualian untuk penggunaan salin 0,45%
ketika osmolalitas tidak menurun meskipun pemberian cairan sudah adekuat. Insulin intravena
harus dimulai dengan insulin intravena dengan kecepatan tetap dan berdasarkan berat badan pada
0,05 U/kg/jam setelah konsentrasi glukosa berhenti menurun dengan resusitasi cairan ketika
konsentrasi glukosa berhenti menurun dengan resusitasi cairan.
Pedoman AS dan ADA merekomendasikan pengobatan awal dengan 1-1,5 L saline 0,9%.
Berbeda dengan pedoman Inggris, mereka merekomendasikan pemberian saline 0,45% ketika
kadar natrium meningkat. Rekomendasi dibuat untuk mengganti cairan sesuai dengan
osmolalitas. Secara umum, rekomendasinya adalah memulai dosis insulin intravena pada 0,1
U/kg/jam setelah osmolalitas berhenti menurun. Mereka juga menyarankan penggandaan dosis
insulin jika glukosa tidak turun 2,8–3,9 mmol/L/jam (50–70 mg/dL/jam). Setelah konsentrasi
glukosa 13,9–16,7 mmol/L (250–300 mg/dL) tercapai, pedoman ADA merekomendasikan
penurunan dosis insulin menjadi 0,02–0,05 U/kg/jam.⁵
14
2.10 Prognosis
KAD merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien DM dibawah umur 20 tahun (50%
dari total mortalitas). Mortalitas akibat KAD pada orang dewasa <1%, tetapi meningkat menjadi
>5% pada pasien lanjut usia dengan penyakit komorbid yang berat. Prognosis pada KAD lebih
buruk jika terjadi koma, hipotensi, dan terdapat banyak penyakit komorbid yang berat.⁸
15
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,KAD dan Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah
2 komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua
keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2, meskipun KAD lebih
sering dijumpai pada DM tipe 1. KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1 atau
mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan
infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya. Walaupun angka insidennya di Indonesia
tidak begitu tinggi dibandingkan negara barat, kematian akibat KAD masih sering dijumpai,
dimana kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,
pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya. Keberhasilan
penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksidehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan
elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien
terus menerus. Penatalaksanaan KAD meliputi terapi cairan yang adekuat, pemberian insulin
yang memadai, terapi kalium, bikarbonat, fosfat, magnesium, terapi terhadap keadaan
hiperkloremik serta pemberian antibiotika sesuai dengan indikasi. Faktor yang sangat penting
pula untuk diperhatikan adalah pengenalan terhadap komplikasi akibat terapi sehingga terapi
yang diberikan tidak justru memperburuk kondisi pasien.⁷
16
DAFTAR PUSTAKA
3. McDonnell CM, Pedreira CC, Vadamalayan B, Cameron FJ, Werther GA. Diabetic
ketoacidosis, hyperosmolarity and hypernatremia: are high-carbohydrate drinks worsening
initial presentation? Pediatr Diabetes. 2005 Jun;6(2):90-4.
4. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2021 Abridged for
Primary Care Providers. Clin Diabetes. 2021;39:14–43.
5. Dhatariya KK, Vellanki P.Treatment of Diabetic Ketoacidosis (DKA)/Hyperglycemic
Hyperosmolar State (HHS): Novel Advances in the Management of Hyperglycemic Crises
(UK Versus USA).Curr Diab Rep. 2017; 17(5): 33.
6. Westerberg DP. Diabetic ketoacidosis: Evaluation and treatment, Am Fam
Physician.2013;87(5):337-46
7. Gotera, Wira; Agung budiyasa, Dewa Gde. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD).
journal of internal medicine, [S.l.], nov. 2012
8. Tarigan TJE, Ketoasidosis diabetik, Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohayadi B, Syam AF, Penyunting Buku Ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke 6 Jakarta:
Interna Publishing;2014.
17