Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER JULI 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KETOASIDOSIS DIABETIK

Disusun oleh:

ADELA AINIYYAH CALISTA RAHMAT

111 2021 2077

Pembimbing:

dr. Risna Rajab, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis mampu menyelesaikan referat yang berjudul “Ketoasidosis

Diabetik” dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik Bagian

Ilmu Penyakit Dalam. Sholawat serta salam kita panjatkan kepada Nabi

Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam, yang telah membawa kedamaian

dan rahmat bagi semesta alam ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Risna Rajab,

Sp.PD, FINASIM yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing

sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh

dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri

terhadap masukan dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga

referat ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Palopo, Juli 2022

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Adela Ainiyyah Calista Rahmat

Stambuk : 11120212077

Judul : Ketoasidosis Diabetik

Telah menyelesaikan Referat yang berjudul “Ketoasidosis

Diabetik” dan telah disetujui serta telah dibacakan di hadapan supervisor

pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui, Palopo, 24 Juli 2022

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

dr. Risna Rajab Sp.PD, FINASIM Adela Ainiyyah Calista Rahmat

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................3

2.1. Definisi...........................................................................................3

2.2. Epidemiologi..................................................................................3

2.3. Etiologi...........................................................................................4

2.4. Patofisologi....................................................................................8

2.5. Gejala Klinis.................................................................................10

2.6. Diagnosis.....................................................................................11

2.7. Tatalaksana.................................................................................13

2.8. Prognosis.....................................................................................21

BAB III KESIMPULAN.........................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................24

BAB I

iii
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah salah satu komplikasi akut

diabetes yang sangat berhubungan dengan kualitas edukasi yang

diberikan kepada seorang pengidap diabetes melitus (DM) tipe 2,

sernentara pada DM tipe 1, seringkali ketoasidosis merupakan pintu

awal diagnosis. Sekitar 80% dari pasien KAD telah mengetahui

bahwa mereka pengidap diabetes sehingga pencegahan sangatlah

penting dan berhubungan dengan beratnya keadaan saat datang ke

rumah sakit. Pada dekade 10 tahun terakhir tidak terlalu banyak

perubahan pada konsep teori maupun pengelolaan KAD, masih

berbasis pada pemberian cairan yang rasional, insulin intravena,

koreksi elektrolit. penanganan kornorbid, dan koreksi asam basa jika

diperlukan. Waiaupun dernikian, terdapat hal-hal baru dalam

pengelolaan seperti rekomendasi untuk penggunaen ketonorneter

bedside, tidak harus rnemberikan insulin priming, kalau tidak perlu

cukup rnemeriksa pH vena, dan meneruskan insulin long acting jika

sebelumnya sudah rnemakainya. Hanya saja belum semua

kalangan rnemakai rekornendasi baru tersebut di tempat praktek

masing-masing.1

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah gangguan metabolik

akut yang secara primer ditandai dengan peningkatan badan keton

dalam sirkulasi yang berlanjut menjadi ketoasidosis berat dengan

hiperglikemia tidak terkontrol akibat defisiensi insulin. Umumnya

KAD ditemukan pada pasien dengan insulin dependent diabetes

melitus (IDDM/ DM tipe 1) dan yang tidak patuh terapi insulin (DM

tipe 2) atau dengan infeksi berat.2 Ketoasidosis Diabetik (KAD)

adalah keadaan dekompensasi metabolic yang ditandai oleh trias

hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut dan relative. 3

2.2. Epidemiologi

Kekerapan KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 pengidap

diabetes dan rnasih menjadi problem yang merepotkan di rumah

sakit terutama rumah sakit dengan fasilitas minimal. Angka

kematian berkisar 0,5-7% tergantung dari kualitas pusat pelayanan

yang mengelola KAD tersebut. Di negara Barat yang banyak

pengidap diabetes tipe 1, kematian banyak diakibatkan oleh edema

serebri, sedangkan di negara yang sebagian besar pengidap

v
adalah diabetes tipe 2, penyakit penyerta dan pencetus KAD sering

menjadi penyebab kernatian.1

Karena mayoritas orang dengan DKA dirawat di rumah sakit,

sebagian besar data epidemiologis berasal dari pengkodean

pemulangan rumah sakit. Di antara orang dewasa, dua pertiga dari

episode DKA terjadi pada orang yang didiagnosis dengan T1DM

dan sepertiga terjadi pada mereka dengan T2DM. Pada anak-anak

(<18 tahun usia), DKA umumnya terjadi pada diagnosis awal

T1DM, dengan insiden yang bervariasi pada populasi yang berbeda

dari 13% menjadi 80%. Remaja dengan DMT2 juga hadir dengan

DKA, meskipun lebih jarang daripada anak-anak dengan DMT1.

Selain itu, frekuensi DKA saat diagnosis berkorelasi terbalik dengan

frekuensi T1DM dalam populasi, menunjukkan bahwa semakin

sering T1DM terjadi pada populasi umum, semakin besar

kemungkinannya apakah gejala awitan baru dikenali sebelumnya

itu menjadi episode DKA. DKA terjadi sebagai presentasi awal

diabetes mellitus pada anak-anak <5 tahun dan pada orang yang

tidak mudah akses ke perawatan medis karena alasan ekonomi

atau social.4

2.3. Etiologi

Penyebab paling umum yang berpotensi mengancam jiwa ini kondisi

adalah infeksi, penyakit penyerta, kepatuhan yang buruk untuk obat

yang diresepkan dan kegagalan teknologi, mis. Kerusakan pompa

vi
atau perangkat injeksi yang salah. Kebanyakan kasus terjadi pada

mereka dengan diabetes tipe 1, tetapi di beberapa daerah DKA

pada orang diabetes tipe 2 menyumbang hingga 50% kasus,

tergantung pada riwayat keluarga dan etnis.

Laporan lainnya menyarankan bahwa itu adalah fragmentasi

perawatan, dan kurangnya kontinuitas yang berkontribusi pada

episode DKA berulang dan meningkat kematian terkait DKA. Faktor

lain yang berkontribusi terhadap penerimaan berulang adalah

adanya penyakit penyerta, seperti gagal ginjal tahap akhir,

penyalahgunaan obat atau alkohol, ketidaksesuaian dengan terapi

insulin, gangguan kesehatan mental dan debit terhadap nasihat

medis]. Lebih dari 40% dari kasus dapat diterima kembali dalam

waktu 2 minggu setelah keluar. Pekerjaan sebelumnya telah

menyarankan bahwa DKA pada orang dewasa adalah fitur yang

muncul pada hingga 30% kasus baru diabetes tipe 1, tetapi ini

mungkin setinggi 80% untuk anak-anak. Data terbaru dari Inggris

menunjukkan bahwa pada orang dewasa, 30% mungkin menjadi

melebih-lebihkan, dengan diagnosis baru diabetes tipe 1 hanya

terjadi pada 3-6% kasus.5

 Diagnosis baru T1DM.

 Kesesuaian yang buruk dengan pengobatan insulin.

 Terapi insulin yang tidak adekuat di rumah sakit.

 Infeksi: umumnya dada, saluran kemih, kulit.

vii
 Kejadian koroner/vaskular akut.6

2.4. Patofisiologi

Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relatif dan

peningkatan kadar hormon kontra regulator (glukagon,

katekolamin, kortisol, hormon perturnbuhen, dan somatostatin)

akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan inflamasi

berat dengan akibat: peningkatan produksi glukosa oleh hati dan

ginjal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis] dan gangguan

utilisasi glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan

hiperosmolaritas. Defisiensi insulin den peningkatan hormon

kontraregulator terutama epinefrin juga mengaktivasi hormone

lipase sensitif pada jaringan lernak yang mengakibatkan

peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan

rnemicu ketonemia dan asidosis metabolik. Populasi benda

keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat, asetoasetat. dan

aseton. Sekitar 75-85% benda keton terutama adalah 3-beta

hidroksibutirat, sementara aseton sendiri sebenarnya tidak

terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak benda keton

untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus

membentuk glukosa. Hiperglikemia dan hiperketonemia

rnengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan

elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon

stres sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan

viii
hiperketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak diinterupsi

dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi

dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis

akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang

buruk.

Defisiensi insulin relatif terjadi akibat konsentrasi hormon kontra

regulator yang meningkat sebagai respon terhadap kondisi stres

seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal yang berat,

infark miokard akut, stroke dan lain-lain. Dengan adanya kondisi

stres metabolik tertentu, keberadaan insulin yang biasanya

cukup untuk

menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara relatif karena

dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolisme dan untuk

menekan lipolisis.1,4

ix
2.5. Gejala Klinis

Gejala awal DKA sering tidak spesifik. Pasien biasanya datang

dengan gejala yang berkembang lebih dari 24 jam, sering

dimulai dalam beberapa jam setelah peristiwa presipitasi.

Gejala umum termasuk poliuria, polidipsia, hiperventilasi, nyeri

perut, mual dan muntah. Poliuria dan polidipsia berasal dari

diuresis osmotik dan intravaskular dan penipisan volume

seluler. Tanda dehidrasi ialah mukosa mulut kering dan aksila,

penurunan turgor kulit dan capillary refill, dan takikardia. Hampir

setengah dari pasien dengan DKA datang dengan nyeri perut,

dan sakit perut umumnya dikaitkan dengan peningkatan

x
ketoasidosis. Studi menunjukkan bahwa untuk pasien dengan

kadar bikarbonat serum < 5 mEq/L, hingga 80% mengalami

nyeri perut dibandingkan dengan 13% pasien dengan serum

bikarbonat > 15 mEq/L. Di upaya untuk mengkompensasi

metabolisme anion-gap asidosis, pasien akan menghasilkan

alkalosis respiratorik dengan meningkatkan laju pernapasan

dan volume tidal mereka, disebut sebagai pernafasan

Kussmaul. Bau asam juga bisa hadir pada napas mereka

karena kelebihan aseton. Ketika hiperglikemia dan asidosis

memburuk, manifestasi neurologis dapat berkembang,

termasuk kebingungan, pingsan, dan koma. Selain itu, pasien

yang datang dengan DKA mungkin memiliki peristiwa presipitasi

yang menyebabkan DKA dan selanjutnya gejala yang

berhubungan dengan kejadian tersebut. Misalnya, pasien

mungkin memiliki gejala angina jika infark miokard adalah

etiologi atau defisit neurologis fokal jika stroke memicu DKA.

Pasien mungkin menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti

pneumonia atau infeksi saluran kemih. Namun, gejala infeksi

mungkin dikacaukan dengan tanda-tanda DKA. Misalnya,

frekuensi buang air kecil dari urin infeksi saluran mungkin

dianggap karena poliuria. Dispnea akibat sindrom koroner akut

atau pneumonia mungkin disalahartikan sebagai pernapasan

Kussmaul. Sebagai tambahan, pasien dengan DKA dan infeksi

xi
sebagai faktor pencetus mungkin tidak mengalami demam. Ini

dianggap karena vasodilatasi perifer dan kurangnya insulin

untuk memobilisasi glukosa ke dalam otot untuk membantu

termoregulasi Palpitasi (aritmia).4,7

2.6. Diagnosis

Diagnosis KAD didasarkan pada trias hiperglikemia, ketosis, dan

asidosis metabolik. Meskipun ADA, Perhimpunan Diabetes

Inggris Bersama untuk Perawatan Rawat Inap dan International

Society of Pediatric dan Diabetes Remaja setuju bahwa fitur

diagnostik utama DKA adalah peningkatan total sirkulasi

konsentrasi keton darah, kriteria diagnostik lainnya, seperti

glukosa serum dan konsentrasi bikarbonat, berbeda. Studi telah

menunjukkan bahwa antara 3% dan 8,7% orang dewasa yang

datang dengan DKA memiliki konsentrasi glukosa normal atau

xii
hanya sedikit meningkat (<13,9 mmol/l (250 mg/dl)) — suatu

kondisi yang dikenal sebagai

DKA euglikemik. DKA euglikemik telah dilaporkan selama

kelaparan berkepanjangan, dengan asupan alkohol, pada

individu yang diobati sebagian (yaitu, mereka yang menerima

dosis insulin yang tidak memadai), selama kehamilan dan pada

mereka yang menggunakan inhibitor SGLT2. Pada

mereka yang memakai inhibitor SGLT2 yang mungkin hadir

dengan DKA tetapi tanpa hiperglikemia berat, pemeriksaan

menyeluruh riwayat pengobatan adalah kunci untuk memastikan

diagnosis. Ketika individu hadir dengan DKA euglikemik, biokimia

penerimaan relatif tidak spesifik

dan mungkin dipengaruhi oleh tingkat kompensasi pernapasan,

koeksistensi gangguan asam-basa campuran atau komorbiditas

lainnya. Studi dari tahun 1980-an didokumentasikan asidosis

anion gap tinggi pada 46% orang (14-55 tahun) mengaku untuk

DKA, sementara 43% memiliki campuran asidosis anion gap dan

asidosis metabolik hiperkloremik, dan 11% berkembang menjadi

hiperkloremik asidosis metabolik; namun, data saat ini tidak

menjelaskan pola asidosis saat masuk, dan perbedaan ini

kategori tidak berpengaruh pada diagnosis atau langsung

pengobatan DKA. Fakta bahwa tidak semua orang jatuh ke

dalam kategori tunggal menunjukkan heterogenitas kelainan

xiii
biokimia yang diamati pada DKA. Hiperkloremik asidosis

metabolik paling sering diamati pada mereka yang diberikan

volume besar larutan natrium klorida 0,9% selama fase

pemulihan penerimaan. Penilaian ketonemia (yaitu, keton darah)

konsentrasi) dapat dilakukan dengan reaksi nitroprusside dalam

urin atau serum atau dengan pengukuran langsung -

hidroksibutirat dalam darah kapiler, menggunakan pengujian di

tempat perawatan atau di laboratorium rumah sakit. Meskipun

mudah dilakukan, tes nitroprusside mengukur asetoasetat dan

tidak mendeteksi -hidroksibutirat, keton utama di DKA. Karena

konsentrasi asetoasetat plasma atau urin hanya menyumbang

15-40% dari konsentrasi keton total, mengandalkan asetoasetat

menggunakan tes keton urin saja cenderung meremehkan

keparahan ketonemia. Selain itu, beberapa obat sulfhidril

(misalnya, kaptopril) atau obat-obatan seperti: sebagai valproat,

yang diambil untuk komorbiditas termasuk hipertensi atau

epilepsi, berikan tes urin nitroprusside positif palsu.

Menggunakan kedaluwarsa atau tidak benar strip tes yang

disimpan dapat memberikan hasil negatif palsu, yang juga dapat

terjadi ketika spesimen urin sangat asam, misalnya, setelah

konsumsi dalam jumlah besar vitamin C. Selain itu, Joint British

Diabetes Perhimpunan Perawatan Rawat Inap sangat tidak

menganjurkan penggunaan tes keton urin dan

xiv
merekomendasikan pengukuran langsung -hidroksibutirat dari

sampel darah ke menilai ketonemia dalam rawat jalan dan

perawatan di rumah sakit. Sebuah penjelasan lebih rinci tentang

perbedaan urin dan tes keton plasma dapat ditemukan di tempat

lain. Studi pada orang dewasa dan anak-anak dengan DKA

memiliki melaporkan korelasi yang baik antara -hidroksibutirat

dan tingkat keparahan acidemia diukur dari serum konsentrasi

bikarbonat. Konsentrasi bikarbonat 18,0 dan 15,0mmol/l sesuai

dengan 3,0 dan 4,4 mmol/l -hidroksibutirat, masing-masing,

menunjukkan bahwa, ketika tes keton plasma tidak tersedia,

'tebakan terbaik' dapat dibuat sesuai dengan bikarbonat

konsentrasi. Pengukuran -hidroksibutirat juga dapat memandu

respons terhadap pengobatan. Pedoman Inggris

merekomendasikan untuk mengintensifkan pengobatan jika

konsentrasi plasma -hidroksibutirat tidak menurun sebesar 0,5

mmol/l/jam setelah pemberian cairan dan insulin intravena

administrasi. Banyak individu dengan krisis hiperglikemik hadir

dengan fitur gabungan DKA dan HHS (Kotak 1). Pekerjaan

sebelumnya telah melaporkan bahwa, di antara 1.211 pasien

yang pertama kali masuk dengan krisis hiperglikemik kriteria

berdasarkan pedoman ADA (38%) memiliki terisolasi DKA, 421

(35%) telah mengisolasi HHS dan 325 (27%) memiliki fitur

gabungan DKA dan HHS. Setelah penyesuaian untuk usia, jenis

xv
kelamin, BMI, etnis dan Charlson Skor Indeks Komorbiditas

(yang memprediksi 1 tahun kematian pasien dengan berbagai

komorbiditas), pasien dengan kombinasi DKA-HHS memiliki

kematian di rumah sakit dibandingkan pasien dengan DKA

terisolasi (disesuaikan ATAU 2,7; 95% CI 1,4–4,9). 4

2.7. Tatalaksana

Tatalaksana KAD secara umum:

 Oksigenasi/ventilasi

 Penggantian cairan (rehidrasi)

 Perbaikan terhadap gangguan elektrolit

 Terapi insulin

 Penanganan asidosis metabolik.8

Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap

dehidrasi, hiperglikemia, gangguan elektrolit, kornorbiditas, dan

monitoring selama perawatan. Karena spektrum klinis sangat

xvi
beragam maka tidak semua kasus KAD harus dirawat di ICU,

hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan

monitor yang intensif, maka sebaiknya minimal perawatan adalah

di ruangan yang bisa dilakukan monitor intensif (high care unit),

Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal

penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi

cairan ditujukan untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular,

interstisial, dan restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah

kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan salin isotonik

(NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20 cc/kg BB/jam pertama

atau satu sampai satu setengah liter pada jam pertama. Tindak

lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan

hemodinamik, status hidrasi, elektrolit, dan produksi urin.

Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan

penggantian cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula

darah, hilangnya benda keton dan perbaikan asidosis.

1) Insulin

Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD.

Pemberian insulin intravena kontinyu lebih disukai karena

waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa

studi prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa

pemberian insulin regular dosis rendah intravena

merupakan cara yang efektif dan terpilih. Jika dosis insulin

xvii
intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka

sebenarnya tidak diperlukan insulin bolus (priming dose) di

awal. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah

diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan

kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun

ke sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan

menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah

berada di sekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus

dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.

2) Kalium

Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia

melalui mekanisme asidemia, defisiensi insulin, dan

hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien normal atau

rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium

yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian

kalium yang adekuat karena terapi insulin akan

menurunkan kalium lebih lanjut. Monitor jantung perlu

dilakukan pada keadaan tersebut agar jangan terjadi

aritmia. Untuk mencegah hipokalemia maka pemberian

kalium sudah dimulai manakala kadar kalium di sekitar

batas atas nilai normal.

3) Bikarbonat

Jika asidosis memang murni karena KAD, maka

xviii
koreksi bikarbonat tidak direkomendasikan diberikan

rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9. Hanya saja

pada keadaan dengan gangguan fungsi ginjal yang

signifikan, seringkali sulit membedakan apakah

asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya.

Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada

tempatnya adalah meningkatnya risiko hipokalemia,

menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri,

dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.

4) Fosfat

Meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum

fosfat sering ditemukan dalarn keadaan normal atau

meningkat saat awal. Kadar fosfat akan turun dengan

pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak diternukan

manfaat yang nyata pemberian fosfat pada KAD,

bahkan pemberian fosfat yang berlebihan akan

mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan

konsentrasi serum fosfat kurang dari 1 mg/dl dan

disertai dengan disfungsi kardiak, anemia, atau depresi

nafas akibat kelemahan otot, make koreksi fosfat

menjadi pertimbangan penting.

5) Transisi ke insulin subkutan

Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian

xix
insulin intravena dosis rendah, maka Langkah

selanjutnya adalah mernastikan bahwa KAD sudah

memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah

kurang dari 200 mg/dl dan dua dari keadaan berikut:

serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/l, pH

vena >7,3 dan anion gap hitung kurang atau sama

dengan 12 mEq/l. Agar tidak terjadi hiperglikemia atau

KAD berulang maka sebaiknya penghentian insulin

xx
intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan

pertama. Asupan nutrisi merupakan pertimbangan

penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih

puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat

kurang maka lebih baik insulin intravena dlteruskan.

Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu

sebelum mengalami KAD, maka pemberian insulin

dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap

mempertimbangkan kebutuhan insulin pada keadaan

terakhir. Pada pasien yang belum pernah mendapat

insulin make pemberian injeksi subkutan terbagi lebih

dianjurkan. Jika kebutuhan insulin rnasih tinggi maka

regimen basal bolus akan lebih menyerupai insulin

fisiologis dengan risiko hipoglikemia yang lebih

rendah.1,9,10,11

2.8. Prognosis

Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan

terapi standar lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat

biasanya kematian pada pasien KAD adalah karena penyakit

xxi
penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian

meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan beratnya

penyakit penyerta.1

BAB III

KESIMPULAN

DKA adalah penyakit yang mengancam jiwa pada pasien dengan

diabetes, dengan potensi morbiditas dan mortalitas yang signifikan,

xxii
terutama saat parah. Identifikasi pencetus penyebab dengan riwayat

menyeluruh dan pemeriksaan fisik adalah yang terpenting. Hidrasi

cairan dengan lebih disukai seimbang solusi harus dimulai terlebih

dahulu untuk membangun kembali volume secara intravaskular.

Inisiasi insulin harus dilakukan setelah penilaian dan suplementasi

kalium. Pemantauan glukosa dan kalium yang tepat selama terapi

akan mencegah komplikasi umum yang dapat terjadi.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

1. Tri Juli Edi Tarigan. Ketoasidosis Diabetik: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Interna Publishin. 2014;309(Suppl 1):2375–52380.

2. Andi Miarta, Zulkifli, Ardi Z. Tatalaksana Pasien Ketoasidosis

Diabetikum yang Disertai Syok Sepsis. Anastesia and Critical Care.

2019; 5(2): 90-95

3. Muh Nur A, Yunika, I Wayan M. Kegawatdaruratan Hiperglikemia

pada Pasien Diabetik Foot dan Nefropati Diabetikum; Tantangan

Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr Harjono S Ponorogo.

2020;12(1):36–43.

4. Ketan K Dhatariya, Nicole S Glaser, Ethel C, Guillermo EU. Diabetic

Ketoacidosis. Nature Review. 2020;398(10302):786–802.

5. Ketan K Dhatariya. Defining and Characterising Diabetic

Ketoacidosis in Adults. Elsevier. 2019;2:257–64.

6. Kate Evans. Diabetic Ketoacidosis: Update on Management. Royal

College of Physicians; Diabetes Medicine. 2019;1(1):19–28.

7. Brit Long, George C Willis, Skyle Lentz, Alex Koyfman, Michael

Gottlieb. Evaluation and Management of The Critically Ill Adult With

Diabetic Ketoacidosis. The Journal of Emergency Medicine;

Elsevier. 2020;Volume 7:21–32.

8. Gaitonde David Y, Cook David L, Rivera Ian M. Chronic Kidney

Disease: Detection And Evaluation. Am Fam Physician.

2017;96(12):776–83.

xxiv
9. Ketan K. Dhatariya. The management of diabetic ketoacidosis in

adults— An updated guideline from the Joint British Diabetes

Society for Inpatient Care. Diabetic Medicine.

2021;389(10075):1238–52.

10. Joint British Diabetes Societis. The Management of Diabetic

Ketoacidosis in Adults. 2021;176(1):1–22.

11. Mohsen S Eledrisi, Salem A Beshyah, Rayaz A Malik. The

Management of Diabetic Ketoacidosis in Special Population.

Elsevier. 2021;79(4):365–79.

xxv

Anda mungkin juga menyukai