Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL KLINIK

NEUROPATI DIABETIK
Tutorial Klinik ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior
Ilmu Penyakit Dalam

Disusun Oleh:

Muhamad Tody Irawan 201741520211

Qonita Fitriyani Rustan 201741520204

Pembimbing :
dr. Wirandi Dalimunthe, M.Ked (PD). Sp.PD. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tutorial
Klinik ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF
Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Drs. H. Amri Tambunan dengan judul “Neuropati
Diabetik”.
Tutorial Klinik ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-
teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF
Ilmu Penyakit Dalam kemudian mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada
pasien. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Wirandi Dalimunthe, M.Ked
(PD). Sp.PD. FINASIM yang telah membimbing penulis dalam tutorial klinik ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tutorial klinik ini masih memiliki kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang
membaca tutorial klinik ini. Harapan penulis semoga tutorial klinik ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, 25 Oktober 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
2.4 Faktor Risiko
2.5 Patofisiologi
2.6 Gejala Klinis
2.7 Diagnosis
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.9 Tatalaksana
2.9.1 Tatalaksana Umum
2.9.2 Diitetik
2.9.3 Diuretik
2.10 Komplikasi dan Prognosis
2.10.1 Komplikasi
2.10.2 Prognosis
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Wirandi Dalimunthe, M.Ked (PD). Sp.PD. FINASIM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DM merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensinya terus
meningkat di banyak negara termasuk Indonesia. Peningkatan jumlah penderita
DM di Indonesia cukup signifikan, pada tahun 2000 jumlahnya sekitar 8,4 juta
orang dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menjadi 21,3 juta orang. Jumlah
kasus DM di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 13,7 juta orang dan meningkat
menjadi 20,1 juta orang pada tahun 2030 karena adanya pertambahan penduduk,
dan prevalensinya lebih tinggi diperkotaan (14,7%) dibandingkan dengan di
perdesaan (7,2%). Secara global insiden DM tipe 2 meningkat dari 2,8% pada
tahun 2000 diperkirakan menjadi 4,4% pada tahun 2030.
DM adalah suatu penyakit metabolik kronis dengan karakteristik adanya
hiperglikemia yang sering tidak dirasakan oleh penderita karena tidak memiliki
keluhan atau ada keluhan tapi tidak spesifik untuk DM sehingga penegakan
diagnosis DM tipe 2 sering kali terlambat dan pada saat ditegakkan diagnosa sudah
mulai muncul komplikasi. Hal ini terjadi karena kondisi hiperglikemia kronik
memicu terjadinya stres oksidatif, menurunkan enzim antioksidan yang dapat
menyebabkan disfungsi endotelial dan komplikasi diabetes melitus.
Komplikasi kronis DM dapat berupa kelainan makrovaskuler maupun
mikrovaskuler. Pada penelititian yang dilakukan terhadap 1785 penderita DM di
Indonesia didapatkan 16% dari penderita DM mengalami komplikasi
makrovaskuler, 27,6% komplikasi mikrovaskuler. Dari seluruh penderita yang
mengalami komplikasi mikrovaskuler, 63,5% mengalami neuropati, 42% retinopati
diabetes, dan 7,3% nefropati.
Neuropati diabetika merupakan nyeri neuropatik yang sering dijumpai pada
penderita diabetes akibat kerusakan sistem saraf pusat maupun perifer. Frekuensi
neuropati perifer pada penderita diabetes melitus cukup tinggi yaitu 50% populasi
usia dewasa penderita diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2.
Faktor risiko Neuropati diabetika terbagi menjadi dua yaitu yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. usia dan jenis kelamin merupakan faktor
resiko neuropati perifer diabetic yang tidak dapat di modifikasi sedang faktor risiko
yang bisa dimodifikasi yaitu hiperglikemia, merokok, hipertensi, dislipidemia,
obesitas, dan konsumsi alkohol.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defisini
2.1.1 Neuropati Diabetik

Diabetes melitus adalah sindrom yang ditandai oleh bermacam presentasi klinis
dan komplikasi. Salah satunya yakni komplikasi mikrovaskuler kronis, diabetik
neuropatik.

Diabetik neuropatik adalah entitas heterogenik, yang meliputi kondisi disfungsi


sensorimotor perifer dan saraf otonom. Walau diabetik neuropatik mungkin bersifat
asimtomatik, namun dapat pula terjadi dengan diiringi nyeri. Kondisi diabetik
neuropatik semacam itu disebut dengan nyeri diabetik neuropatik. Gejala dari nyeri
diabetik neuropatik dideskripsikan bermacam-macam, yaitu termasuk rasa terbakar
yang intermiten atau kontinyu, tertusuk, kesemutan, dan mati rasa, sensasi panas,
dingin, atau gatal. Gejala berkembang dalam distribusi distal ke proksimal, umumnya
dimulai dari kaki. Diabetik neuropatik merupakan diagnosis pengecualian, dan
diagnosis diabetik neuropatik menyiratkan penyebab lain dari neuropati telah
dikecualikan. Penyebab umum neuropati yang harus disingkirkan sebelum diagnosis
DN dibuat termasuk alkohol, defisiensi vitamin B12, kemoterapi neurotoksik,
hipotiroidisme, penyakit ginjal, malignansi, infeksi seperti HIV, chronic inflammatory
demyelinating neuropathy, neuropati turunan, dan vaskulitis

2.2 Etiologi

Lama menderita diabetes melitus menjadi risiko


terjadinya neuropati diabetika. Semakin lama pasien hidup
dengan diabetes melitus, maka semakin besar kemungkinan
terkena neuropati diabetika. Pada penelitian ini tidak
didapatkan hubungan yang bermakna antara lama menderita DM.
Walaupun tampak adanya peningkatan jumlah penderita
neuropati diabetika pada responden yang menderita DM lebih
dari 3 tahun. Hal ini mungkin karena neuropati diabetika lebih
banyak ditemukan pada orang yang telah menderita DM selama
≥5 tahun. Peningkatan lama menderita DM setiap periode 5
tahun merupakan faktor risiko neuropati diabetik. Rata-rata
pasien neuropati diabetik telah menderita DM selama 10 tahun.
Adapun etiologi dari neuropati adalah sebagai berikut:
● 1. Metabolik : Diabetes, penyakit ginjal, porfiria
● 2. Nutrisional : Defisiensi B1, B6, B12 dan asam folat
Defisiensi tiamin, asam nikotinat dan asam pentotenat mempengaruhi
metabolisme neuronal dengan menghalangi oksidasi glukosa. Defisiensi ini
dapat terjadi pada kasus malnutrisi, muntah-muntah, kebutuhan meningkat
seperti pada masa kehamilan, atau pada alkoholisme.
● 3. Toksik (bahan metal dan obat-obatan) : Arsenik, merkuri, kloramfenikol dan
metronidazol, karbamazepin, phenytoin. 1,3,4 Timah dan logam berat akan
menghambat aktivasi enzim dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga
mengakibatkan neuropati yang sulit dibedakan dengan defisiensi vitamin B. 5
● 4. Keganasan
● 5. Trauma : neuropati jebakan
● 6. Infeksi-inflamasi : Lepra, Difteri.
● 7. Autoimun : immune-mediated demyelinating disorders 3
● 8. Genetik
2.3 Epidemiologi

Epidemiologi dan perjalanan alamiah neuropati diabetik masih belum banyak


diketahui. Prevalensi neuropati diabetik terus meningkat di banyak negara termasuk
Indonesia. Peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia cukup signifikan, pada tahun
2000 jumlahnya sekitar 8,4 juta orang dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menjadi
21,3 juta orang. Jumlah kasus DM di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 13,7 juta orang
dan meningkat menjadi 20,1 juta orang pada tahun 2030 karena adanya pertambahan
penduduk, dan prevalensinya lebih tinggi diperkotaan (14,7%) dibandingkan dengan di
perdesaan (7,2%). Secara global insiden DM tipe 2 meningkat dari 2,8% pada tahun
2000 diperkirakan menjadi 4,4% pada tahun 2030.
Nyeri neuropatik berdampak besar pada kualitas hidup pasien, terutama dengan
menyebabkan gangguan yang cukup besar pada tidur, aktivitas sehari-hari, dan
kenikmatan hidup. Nyeri neuropatik kronis terjadi pada 13-26% pasien diabetes. Dalam
sebuah survei terbaru dari Augsburg, Jerman, prevalensi polineuropati yang
menyakitkan ditemukan 13,3% pada subjek diabetes, 8,7% pada individu dengan
gangguan toleransi glukosa, 4,2% pada individu dengan gangguan glukosa puasa, dan
1,2% pada individu dengan toleransi glukosa normal. Faktor independen yang secara
signifikan terkait dengan nyeri diabetik neuropatik (DPN) adalah usia, berat badan, dan
penyakit arteri perifer.
2.4 Faktor risiko

Durasi diabetes dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) (pengukuran glikasi


hemoglobin sebagai pengganti rata-rata kadar glukosa harian) adalah prediktor utama
diabetik neuropatik. Kedua prediktor ini umumnya diasosiasikan dengan faktor
metabolik lain yang terkait dengan diabetik neuropatik, terutama pada diabetes tipe 2,
seperti resistensi insulin dan hipertensi. Obesitas sering terjadi pada pasien dengan
neuropati dalam penelitian berbasis populasi di banyak negara, termasuk Amerika
Serikat, Denmark, Cina, dan Belanda. Tidak berkaitan dengan tingkat HbA1c, jumlah
komponen sindrom metabolik, seperti hipertrigliseridemia, hipertensi, obesitas, dan
kadar lipoprotein densitas tinggi rendah (HDL), secara konsisten dikaitkan dengan
neuropati diabetik pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan dalam beberapa kelompok
diabetes tipe 1. Faktor risiko independen lain untuk perkembangan diabetik neuropatik
termasuk merokok, penyalahgunaan alkohol, dan usia yang lebih tua. Beberapa gen
dapat berkaitan dengan kondisi diabetik neuropatik, tetapi sejauh ini hanya ACE
(angiotensinconverting enzyme) dan MTHFR (methylenetetrahydrofolate reductase)
yang polimorfisme telah dipelajari dalam banyak populasi termasuk kelompok besar.
Namun dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami peran genetika
dalam perkembangan diabetik neuropatik.

2.5 Patofisiologi

Walau sudah didapatkan perkembangan yang besar dalam memahami


mekanisme patofisiologi dari komplikasi diabetes namun sejauh ini masih belum ada
hipotesa yang dapat menerangkan mengapa pada satu kelompok dapat mengalami
bentuk yang menyakitkan dan pada kelompok lain tidak. Berikut merupakan beberapa
mekanisme patofisiologi yang dipercaya memerantarai kondisi nyeri pada diabetik
neuropatik.

● Hiperaktivitas Polyol Pathway


Gangguan metabolik merupakan penyebab utama diabetik neuropatik.
Hiperglikemia, bertanggung jawab atas peningkatan aktivitas jalur polyol. Hal
ini menyebabkan adanya peningkatan turnover dari kofaktor seperti NADPH
dan NAD⁺, yang berujung pada penurunan dari reduksi dan regenerasi glutation.
Deplesi glutation dapat menjadi penyebab utama dari stres oksidatif dan
akumulasi toksik.

● Stres Oksidatif dan Nitrosatif

Seperti yang sudah disebutkan bahwa stres oksidatif dapat disebabkan


hiperaktivitas polyol, adapun stres oksidatif juga dapat diinisiasi oleh
autooksidasi dari glukosa dan metabolit, meningkatkan formasi dari AGE
(advanced glycation end product), peningkatan ekspresi dari reseptor AGE dan
ligand aktivasinya, perubahan fungsi mitokondrial, aktivasi dari isoform PKC
dan overaktivitas dari jalur hexosamin. Selain itu ada juga studi yang
menyebutkan bahwa peningkatan pembentukan radikal bebas akibat
metabolisme glukosa dapat juga menjadi faktor utama diabetik neuropatik.

● Perubahan Mikrovaskular

Adanya perubahan mikrovaskular menyebabkan perfusi perifer yang


menurun. Hal ini menyebabkan iskemia syaraf, disebabkan oleh peningkatan
ketebalan dinding dan hyalinisasi basal lamina pembuluh darah.

● Channel Sprouting

Adanya gangguan aksi potensial dapat dihasilkan oleh nerve end yang
rusak, yang diinterpretasikan oleh CNS sebagai nyeri atau disestesia. Beberapa
channel ion juga dapat mengalami gangguan berupa upregulasi seperti Nav
channel, Na channel, Calcium channel, Kv channel.

● Aktivasi Mikroglia

Adanya aktivasi mikroglia sebagai efek jangka pendek dari peripheral nerve
injury bertanggung jawab atas produksi dari beberapa mediator inflamasi seperti
sitokin, kemokin dan substansi sitotoksik (NO dan radikal bebas).

● Sensitisasi Sentral
Ketika pasien mengalami nyeri diabetik neuropatik, aferen primer
tersensitisasi, menginduksi hiperaktivitas cornu dorsalis dan perubahan
neuroplastik pada neuron sensorik sentral sehingga terjadi gangguan proses
interpretasi nyeri pada CNS.

● Plastisitas Otak

Teori yang lain menyatakan bahwa ada perubahan fungsional dari area
pemroses nyeri pada CNS selain korda spinalis. Hal ini dapat berkaitan dengan
perubahan pada thalamus, korteks dan rostroventromedial medulla.
2.6 Manifestasi klinis

Gejalanya bervariasi tergantung pada area yang terkena. Tanda dan gejala umum
dari berbagai jenis neuropati diabetik meliputi: kepekaan terhadap sentuhan, kehilangan
indra peraba, kesulitan koordinasi saat berjalan, mati rasa atau nyeri di tangan atau kaki,
sensasi terbakar di kaki terutama di malam hari, kelemahan atau pengecilan otot,
kembung atau kenyang, mual, gangguan pencernaan, atau muntah, diare atau sembelit,
pusing saat berdiri, keringat berlebih atau berkurang, masalah kandung kemih seperti
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, kekeringan vagina, disfungsi ereksi,
ketidakmampuan untuk merasakan glukosa darah rendah, masalah penglihatan seperti
penglihatan ganda, peningkatan denyut jantung.
Ada empat jenis utama neuropati diabetik. Seseorang dapat memiliki satu jenis
atau lebih dari satu jenis neuropati. Gejala tergantung pada jenis dan saraf mana yang
terpengaruh. Biasanya, gejala berkembang secara bertahap. yaitu:

● Neuropati perifer. Jenis neuropati ini juga dapat disebut neuropati perifer
simetris distal. Ini adalah jenis neuropati diabetes yang paling umum. Ini
mempengaruhi kaki dan tungkai pertama, diikuti oleh tangan dan lengan.
● Neuropati otonom. Sistem saraf otonom mengontrol jantung, kandung kemih,
perut, usus, organ seks, dan mata.
● Neuropati proksimal (poliradikulopati diabetik). Jenis neuropati ini – juga
disebut amyotrofi diabetik – sering mempengaruhi saraf di paha, pinggul,
bokong atau kaki. Ini juga dapat mempengaruhi daerah perut dan dada.
● Mononeuropati (neuropati fokal). Ada dua jenis mononeuropati – kranial dan
perifer. Mononeuropati mengacu pada kerusakan saraf tertentu.

2.7 Diagnosis
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer
pada pasien diabetes setelah etiologi lain disingkirkan9. Biasanya, adanya lebih banyak
gejala atau tanda disfungsi saraf memberikan kepastian yang lebih tinggi tentang
diagnosis, meskipun kelainan pada NCV ekstremitas bawah dan amplitudo saraf
sensorik dan motorik yang dinilai dalam studi konduksi saraf (NCS) memberikan bukti
lebih lanjut. Untuk sebagian besar pasien, diagnosis neuropati diabetik hanya
didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan dan tidak diperlukan pengujian tambahan.
Pengujian konfirmasi objektif paling sering digunakan dalam pengaturan penelitian atau
sebagai bagian dari pemeriksaan diagnostik pasien dengan presentasi klinis atipikal.
Untuk diagnosis diabetik neuropatik, pemeriksaan bedsite harus mencakup penilaian
kekuatan otot, sensasi tusuk jarum, posisi sendi, sentuhan, dan suhu (11). Tes getaran
sebaiknya dilakukan dengan garpu tala berukuran 128 Hz. Untuk sensasi sentuhan,
direkomendasikan dengan filamen mono 1 g. Pemeriksaan sensorik harus dilakukan
pada tangan dan kaki secara bilateral. Pada usia tua (> 70 tahun) getaran dan refleks
pergelangan kaki dapat berkurang secara normal dan dianggap abnormal jika tidak ada
daripada berkurang pada pasien dengan diabetik neuropatik. Tes sensorik kuantitatif
dapat digunakan sebagai tes tambahan tetapi tidak direkomendasikan untuk praktik
klinis rutin. Tes fungsi otonom yang biasa digunakan untuk diabetes mellitus
didasarkan pada tekanan darah dan respons detak jantung terhadap serangkaian
manuver. Tes khusus digunakan untuk mengevaluasi fungsi gastrointestinal,
genitourinari, sudomotor, dan aliran darah kulit tepi (12). Biopsi saraf mungkin berguna
untuk menyingkirkan penyebab lain dari neuropati. Biopsi kulit telah digunakan ketika
semua tindakan lain negatif dalam diagnosis neuropati serat kecil untuk kuantifikasi
produk gen protein, yang merupakan penanda panaksonal. Diabetes sebagai penyebab
neuropati didiagnosis dengan mengesampingkan penyebab lain pada pasien yang hadir
dengan kaki yang nyeri dan memiliki gangguan tes toleransi glukosa. Baru baru ini
penggunaan mikroskopi kornea confocal dalam penilaian polineuropati diabetik telah
dilaporkan. Dalam mikroskop confocal, kornea dipindai dan gambar dari lapisan
Bowman yang mengandung pleksus saraf yang kaya diperiksa untuk dinilai kepadatan,
panjang nerve fiber, dan kepadatan cabang. Parameter ini berkurang secara signifikan
dalam diabetik neuropatik dan berkorelasi dengan tingkat keparahan neuropati. Karena
sifatnya yang noninvasif, mikroskop confocal mungkin memiliki potensi besar dalam
menilai struktur saraf in vivo tanpa perlu biopsi saraf (13).
Gejala neuropati diabetik adalah mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan
serta ketidakstabilan, mulai distal (di jari kaki) dan menyebar ke proksimal dan
kemudian ke jari-jari ekstremitas atas ketika gejala ekstremitas bawah mencapai lutut.
Pasien sering memiliki neuropati serat kecil yang dominan pada awal perjalanan
neuropati diabetik atau ketika didiagnosis dengan pradiabetes, dan memiliki gejala nyeri
distal seperti rasa terbakar, menusuk, nyeri beku yang lebih hebat saat istirahat. Cedera
serat besar biasanya terjadi kemudian dalam perjalanan penyakit, tetapi hal ini tidak
selalu terjadi. Temuan klinis neuropati diabetik adalah hilangnya sensasi pada tusukan
jarum, suhu (kebanyakan dingin), getaran dan proprioseptif dalam distribusi 'stocking
dan sarung tangan'. Modalitas sensorik ini awalnya diuji dengan penerapan stimulus
sensorik ke wilayah di mana respons normal diharapkan, seperti dahi. Setelah ini,
stimulus diterapkan pada ibu jari kaki dan kemudian bergerak secara proksimal ke atas
ekstremitas ke tingkat di mana sensasi dirasakan normal. Sensasi tusukan jarum diuji
menggunakan benda tajam, seperti peniti, yang dibuang setelah setiap pasien,
sedangkan suhu diuji menggunakan bahan dingin, seperti benda logam. Getaran diuji
dengan menggunakan garpu tala yang bergetar pada tonjolan tulang di dorsum jempol
kaki dan kemudian menentukan kapan getaran berhenti, dan proprioception diperiksa
dengan gerakan kecil dari sendi interphalangeal distal jempol kaki. Sensasi tusukan
jarum dan suhu dimediasi melalui serabut saraf kecil, sedangkan sensasi getaran dan
proprioseptif dimediasi oleh serabut saraf besar. Hilangnya refleks pergelangan kaki
terjadi pada awal neuropati diabetik; dengan demikian, pemeriksaan awal harus
termasuk tes refleks. Kemudian, kelemahan otot-otot kecil kaki dan dorsifleksor
diamati. Meskipun banyak pasien melihat kelemahan gejala, kelemahan utama pada
pemeriksaan adalah hanya diamati pada tahap selanjutnya dari neuropati diabetik lanjut.
neurologis awal disfungsi pada ekstremitas atas harus meningkatkan kecurigaan
mononeuropati atau alternatif lain diagnosa. Gejala dan tanda klinis neuropati diabetik
dapat digabungkan dalam skala, seperti: dalam Skor Neuropati Klinis Toronto,
Neuropati Klinis Toronto yang dimodifikasi Skor. atau Skor Neuropati Diabetik
Michigan, yang telah menentukan nilai batas untuk adanya neuropati. Skala lain hanya
mencakup tanda atau kombinasi tanda dan tes tambahan. Seperti disebutkan
sebelumnya, dalam pengaturan penelitian, diagnosis neuropati diabetik yang
dikonfirmasi biasanya memerlukan kelainan tes objektif, biasanya perubahan NCS ,
atau ukuran serat saraf kecil yang divalidasi jika NCS normal karena NCS tidak menilai
fungsi serat kecil. NCS dilakukan dengan teknik stimulasi permukaan dan perekaman
yang menguji serabut saraf motorik dan sensorik pada ekstremitas atas dan bawah.
Perubahan NCS di Feldman dkk. halaman 11 Nat Rev Dis Primer. Naskah penulis;
tersedia di PMC 2020 13 Juni. Penulis Naskah Penulis Naskah Penulis Naskah Penulis
Naskah pasien dengan neuropati diabetik termasuk penurunan amplitudo, penurunan
konduksi kecepatan dan tanggapan F yang berkepanjangan. Perubahan amplitudo
serabut saraf motorik biasanya mengikuti perubahan amplitudo serabut saraf sensorik,
dan perubahan ekstremitas bawah mendahului perubahan ekstremitas atas karena
neuropati diabetik adalah proses yang bergantung pada panjangnya. NCS normal pada
pasien dengan neuropati serat kecil, dan pasien ini biasanya juga memiliki pemeriksaan
klinis yang hampir normal140. Standar emas untuk diagnosis neuropati serat kecil
adalah pengukuran kepadatan serat saraf intraepidermal (IENFD) dengan skin punch
biopsi141.142, tetapi pendekatan invasif ini jarang diperlukan dalam diagnosis rutin dan
terutama digunakan untuk tujuan penelitian. Tes konfirmasi lainnya dari kerusakan
serabut saraf kecil yang paling sering digunakan untuk tujuan penelitian meliputi:
ambang batas termal sensorik kuantitatif untuk mengurangi ambang batas deteksi
pendinginan atau meningkat ambang panas143, studi pencitraan laser Doppler flare144
dan mikroskop confocal kornea untuk mengukur panjang serabut saraf di lapisan kornea
Bowman, yang berkurang pada penderita diabetes neuropati145. Namun, validitas tes
ini tidak didefinisikan dengan baik seperti untuk NCS, dan tes ini tidak memiliki peran
yang jelas dalam diagnosis klinis rutin146 Jika pasien dengan mati rasa, kesemutan,
nyeri dan/atau kelemahan datang dengan ciri-ciri atipikal, seperti presentasi neuropati
akut atau subakut, ketergantungan non-panjang, gangguan motorik,dominasi dan/atau
asimetri tanda dan/atau gejala neuropatik, berkonsultasi dan pengujian tambahan harus
diminta30. Pengujian tambahan tergantung pada klinis presentasi tetapi biasanya
mencakup pengukuran kadar vitamin B12 serum, fungsi tiroid tes, elektroforesis protein
serum dengan imunofiksasi dan penanda autoimun gangguan. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menggunakan pungsi lumbal untuk menilai kadar protein, pengujian
genetik dan MRI akar saraf dan saraf perifer sering diperlukan untuk diagnosis yang
benar dalam presentasi klinis atipikal. Jarang, biopsi saraf sural atau radial diperlukan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


● Gangguan sensorik meliputi parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba,
vibrasi dan posisi.
● Hilangnya sensasi (getar, posisi/proprioseptif, suhu, dan nyeri) pada bagian
distal ekstremitas menunjukkan neuropati perifer.
● gangguan motorik berupa kelemahan otot-otot
● refleks tendon menurun
● fungsi otonom : tes respon denyut jantung terhadap valsava manuver
● Elektromiografi
● Laboratorium : gula darah puasa

2.9 Tatalaksana
2.9.1 Tatalaksanaan Non-farmakologik 1,3
● Terapi suportif seperti menurunkan berat badan, diet dan pemilihan sepatu yang
sesuai ukuran, nyaman, dan tidak menyebabkan penekanan juga dapat
membantu.
● Fisioterapi, mobilisasi, masase otot dan gerakan sendi
2.9.2 Tatalaksanaan farmakologik
Prinsip utama penatalaksanaan nyeri neuropati diabetika adalah pengendalian
kadar gula darah. Pengendalian kadar gula darah akan menghambat progresivitas
neuropati diabetika. Penelitian pada 1441 pasien dengan diabetes tipe 1 menunjukkan
bahwa pengendalian kadar gula darah efektif untuk memperlambat progresivitas
neuropati diabetika.
Terapi lain yang umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah anti depresan
dan anti konvulsan. Anti konvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral yang menjadi dasar bangkitan
epileps. Epilepsi dan nyeri neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas
abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang
dapat menyebabkan bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama dengan
kejadian nyeri spontan yang paroksismal pada nyeri neuropatik. Peran reseptor NMDA
dalam influks Ca2+ merupakan dasar proses kindling, yang sama dengan fenomena
wind-up pada nyeri neuropatik.
Prinsip pengobatan epilepsi adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama
dengan blok S1-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. Hal
yang sama juga dilakukan untuk nyeri neuropatik (Chong and Smith, 2000). Efek
analgetika anti konvulsan tidak hanya dengan memblok Si-Na, namun juga dengan
menghambat pelepasan neurotransmiter eksitatori, memblok Si-Ca, dan peningkatan
jalur inhibisi (Rowbotham, et.al. 2000, Chong and Smith, 2000). Anti depressan
memperkuat sistem inhibisi dengan meningkatkan ambilan kembali serotonin dan
norepinefrin. Perbaikan tidur yang signifikan dicapai dengan pemberian anti depressan.
Terdapat beberapa cara pengobatan dalam penatalaksanaan nyeri neuropati
diabetika:
1. Medikamentosa
● NSAID (Ibuprofen 600 mg 4x/hari, Sulindac 200 mg 2x/hari)
● Antidepresan trisiklik (Amitriptilin 50-150 mg malam hari, Imipramin 100
mg/hari, Nortriptilin 50-150 mg malam hari, Paroxetine 40 mg/hari)
● Antikonvulsan (Gabapentin 900 mg 3x/hari, Karbamazepin 200 mg 4x/hari)
● Antiaritmia (Mexilletin 150-450 mg/hari), Fluphenazine I mg 3x/hari.
● Dapat pula diberikan codein untuk waktu singkat untuk menanggulangi
nyeri yang hebat.
2. Topikal: Capsaicin 0,075 % 4x/hari.
3. Trancutaneous Electrical Nerve Stimulation/TENS
4. Hipnosis, latihan relaksasi, biofeedback
5. Akupunktur
2.10 Komplikasi dan Prognosis

2.10.1 Komplikasi
Beberapa komplikasi neuropati diabetik yang paling serius adalah :3
● Diabetic foot : akibat dari hilang atau brkurangnya kemampuan kaki merasakan
nyeri bila terjadi trauma, disertai perubahan tertentu pada kulit dan otot kaki yang
juga mempermudah terjadinya ulkus (luka yang dalam)
● Silent miocardial infarct : pada penderita neuropati diabetik, serangan jantung
sering tidak disertai nyeri dada seperti yang lazimnya dialami pasien serangan
jantung. Gejala sering tidak khas, dapat hanya berupa sesak, lelah atau nyeri ulu
hati.
● Batu empedu : akibat menurunnya gerak kontraksi kandung empedu, sehingga
terjadi perlambatan aliran cairan empedu yang memudahkan terbentuknya batu
empedu.
● Gastritis : akibat menurunnya gerak kontraksi lambung karena gangguan otonom
saluran cerna, asam lambung menggenang lebih lama dalam lambung dan
mengiritasi lambung.

2.10.2. Prognosis

Prognosis Neuropati Hasil akhir neuropati sangat tergantung pada penyebabnya.


Neuropati perifer sangat bervariasi dari gangguan yang reversible sampai komplikasi
yang bersifat fatal. Pada kasus yang paling baik, saraf yang rusak akan ber-
regenerasi. Sel saraf tidak bisa digantikan jika mati namun mempunyai kemampuan
untuk pulih dari kerusakan. Kemampuan pemulihan tergantung kerusakan dan umur
seseorang dan keadaan kesehatan orang tersebut. Pemulihan berlangsung dalam
beberapa minggu sampai beberapa tahun karena pertumbuhan sel saraf sangat
lambat. Pemulihan sepenuhnya mungkin tidak bisa terjadi dan sulit ditentukan
prognosis hasil akhirnya. Jika disebabkan keadaan degeneratif seperti penyakit
Charcot-Marie-Tooth, kondisi akan bertambah buruk. Mungkin terdapat periode
dimana penyakit tersebut mencapai kondisi statis namun belum ada pengobatan yang
telah ditemukan untuk penyakit ini. Sehingga gejala-gejala akan terus berlangsung
dan memburuk. Beberapa neuropati berakibat fatal. Keadaan yang fatal ini telah
dikaitkan dengan kasus difteri, keracunan botulisme dan lain-lain. 24 Beberapa
penyakit dengan neuropati juga bisa berakibat fatal namun penyebab kematian tidak
selalu berkaitan dengan neuropati, seperti halnya pada kanker.
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri diabetik neuropatik sering terjadi dan dikaitkan dengan penurunan


kualitas hidup pasien diabetes yang signifikan. Meskipun memiliki beban yang tinggi,
penyakit ini tetap kurang terdiagnosis (underdiagnosed) dan kurang terawat
(undertreated). Pengobatan yang memperbaiki saraf belum ditemukan dan
diterjemahkan ke dalam uji klinis dan akhirnya disetujui menjadi terapi dalam praktik
klinis. Sementara sejumlah opsi perawatan tersedia dan berbagai pedoman dan
algoritme telah dirumuskan, hasilnya kurang memuaskan. Berbagai pengobatan
simptomatik telah diusulkan untuk menangani nyeri neuropatik tetapi hanya sedikit
yang terbukti efektif, dengan hanya tiga obat yang saat ini disetujui FDA untuk nyeri
diabetik neuropatik. Penelitian di masa depan harus menetapkan kombinasi obat yang
paling manjur, dan sebagai tambahan dalam eksploitasi mekanisme baru dan
menyelidiki obat baru untuk pengobatan nyeri pada diabetik neuropati.
DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Sihombing, “Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Penduduk


Indonesia yang Menderita Diabetes Melitus (Data Riskesdas 2013),” Bul. Penelit.
Kesehat., vol. 45, no. 1, pp. 53–64, 2017, doi: 10.22435/bpk.v45i1.5730.53-64.
[2] M. Tavakoli, Di. G. Yavuz, A. A. Tahrani, Di. Selvarajah, F. L. Bowling, and H.
Fadavi, “Diabetic Neuropathy: Current Status and Future Prospects,” J. Diabetes Res.,
vol. 2017, 2017, doi: 10.1155/2017/5825971.
[3] P. Soewondo, S. Soegondo, K. Suastika, A. Pranoto, D. W. Soeatmadji, and A.
Tjokroprawiro, “Outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients in
Indonesia,” Med. J. Indones., vol. 19, no. 4, pp. 235–44, 2010.
[4] C. W. Hicks and E. Selvin, “Epidemiology of Peripheral Neuropathy and Lower
Extremity Disease in Diabetes,” Curr. Diab. Rep., vol. 19, no. 10, pp. 1–8, 2019, doi:
10.1007/s11892-019- 1212-8.
[5] M. De Los Angeles Lazo et al., “Diabetic peripheral neuropathy in ambulatory
patients with type 2 diabetes in a general hospital in a middle income country: A cross-
sectional study,” PLoS One, vol. 9, no. 5, pp. 1–5, 2014, doi:
10.1371/journal.pone.0095403.
[6] D. Prasetyani and D. Martiningsih, “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Neuropati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2,” Jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Volume 17, Nomor 2, Halaman 1-5, 2022 | 5 J. Kesehatan, Kebidanan, dan
Keperawatan, vol. 12, no. 1, pp. 40–49, 2019.
[7] N. A. Sembiring, “Hubungan Faktor Yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat
Dimodifikasi Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe Ii Pada Wanita Lanjut Usia Di
Puskesmas Sering Kecamatan Tembung Medan Tahun 2017,” Tesis, pp. 44–48, 2018,
[Online]. Available: https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123
456789/6456/157032078.pdf?sequence=1&isAl lowed=y.
8. Perkeni. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Indonesia. 2021. ISBN : 978-602-53035-5-5.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W, K Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A.F. Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna Publishing. 2014.Jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Volume 17, Nomor 2, Halaman 1-5, 2022

Anda mungkin juga menyukai