Anda di halaman 1dari 25

REFERAT ILMU PENYAKIT MATA

“RETINOPATI DIABETIKUM PROLIFERASI”

Disusun oleh : Lia Lestari Indah 1061050196


Christy Anggeline Jawiraka 1161050212
Yohana Fransiska Tamnge 1161050213
Mentari Setiawati 1161050250
Egon Ilman Saputra 1161050261
Tarka Yulasutu 1261050001
Nadilla Garyudanefi 1261050009
Resita Indah Sukraputri 1261050031
Vircha Anakotta 1261050038
Wina Sophia Ngatung 1261050062

Dokter Pembimbing :
Dr. dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M (K)

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 24 JULI – 26 AGUSTUS 2017
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, atas berkah dan rahmat-Nya
yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Retinopati Diabetikum Proliferasi”. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu tugas yang diberikan di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran UKI Rumah Sakit UKI Periode 24 Juli sampai 26 Agustus
2017.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.dr.Gilbert Simanjuntak,
Sp.M(K) selaku pembimbing dalam penyususan referat ini dan telah menyempatkan
waktunya untuk membimbing penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih pada teman–teman serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan dan pembuatan
referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membantu untuk membangun dan bermanfaat untuk kedepannya, apabila ada kesalahan,
penulis mohon maaf. Semoga referat ini dapat menjadi tambahan ilmu khusunya di
bidang ilmu Penyakit Mata.

Jakarta, Juli 2017

Penulis
I. PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia.1 World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara dengan jumlah penderita
DM terbanyak. Diperkirakan jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab
utama kebutaan pada orang dewasa usia antara 20 sampai 74 tahun. Penelitian
epidemiologi di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah
penderita retinopati DM akan meningkat 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta
pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan. The
DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1.785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan
primer dan sekunder di Indonesia melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami
komplikasi retinopati, dan 6,4% diantaranya merupakan retinopati DM proliferatif. 2,3
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya
seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM antara lain
ketergantungan insulin pada penyandang DM tipe 2, nefropati, dan hipertensi.
Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat progestivitas retinopati DM.
Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetikum hanya ditemukan
pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50%
dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetikum.
Sedangkan pada DM tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetikum nonproliferatif. Setelah 20 tahun prevalensi retinopati diabetikum
meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat. 3,4
Sangat disayangkan banyak penderita diabetes melitus seringkali tidak
memeriksakan matanya setiap setahun sekali untuk mengetahui atau mendeteksi ada
atau tidaknya kelainan retinopati atau penyakit mata lainnya yang disebabkan oleh
diabetes. Akibatnya mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah menderita retinopati
diabetikum sampai akhirnya kehilangan pengelihatan yang signifikan. Hal ini dapat
dicegah dengan melakukan pemeriksaan mata tahunan secara rutin pada penderita
diabetes melitus. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada
penderita diabetes melitus, dimana terjadi mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina,
kapiler, dan vena. Keadaan ini merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus
yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan
pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata. Retinopati akibat diabetes melitus lama
berupa aneurisma, melebarnya vena, pedarahan dan eksudat lemak.Kelainan patologik
yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel kapiler dan penurunan
jumlah perisit.(1, 2)

B. Epidemiologi
Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan menjadi
masalah terbesar di seluruh dunia.Hal ini disebabkan karena insidensinya yang cukup
tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes dan prognosisnya kurang baik terutama
bagi penglihatan. Meningkatnya prevalensi diabetes, mengakibatkan meningkat pula
komplikasi jangka panjang dari diabetes seperti retinopati, nefropati, dan neuropati,
yang mempunyai dampak besar terhadap pasien maupun masyarakat.(1,3)
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia
dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah
mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien
diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe
I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah 10 tahun,
prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien
sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan,
sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.Setelah 20 tahun,
prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat.
Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2
mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat
mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.(3,4,)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, 3 persen penduduk di
seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati DM. Dalam urutan penyebab kebutaan
secara global, retinopati DM menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan
degenerasi makula. Diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diperkirakan diabetes akan menjadi ”epidemi”, disebabkan pola makan masyarakat Asia
yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga. Akibatnya, kebutaan
akibat retinopati DM juga diperkirakan meningkat secara dramatis.(5)

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Ada beberapa faktor risiko untuk berkembangnya retinopati, yaitu:
a. Keparahan retinopati
Ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa mata dengan NPDR yang
sudah parah atau PDR ringan, atau dua-duanya memiliki peningkatan risiko untuk
berkembang menjadi PDR setelah satu tahun berikutnya. Pentingnya untuk mengetahui
derajat retinopatinya juga dievaluasi oleh Winsconsin Epidemiological Study of Diabetic
Retinopathy. Pada 708 pasien dengan ketergantungan insulin yang berusia kurang dari
30 tahun saat di diagnosis dengan diabetes, odds rasio mereka untuk berkembang
mendapatkan PDR berjumlah 2.1 pada setiap peningkatan pada garis keparahan
retinopati dalam skala 11 tingkat. Pada pasien dengan NPDR ringan bilateral, lebih
risiko untuk berkembang menjadi PDR pada tahun ke 4 daripada pasien yang hanya
memiliki mikroaneurisma pada satu mata.

b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah penyebab utama dari rententan kejadian yang berujung
pada komplikasi mikrovaskular pada diabetes. Banyak penelitian mendemonstrasikan
bahwa dengan pengontrolan ketat pada kadar gula darah bisa menurunkan risiko
terjadinya komplikasi tapi tidak menghilangkan kemungkinan untuk berkembangnya
diabetik retinopati. The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) Dan UKPDS
adalah dua percobaan klinis yang menunjukan pentingnya kontrol glikemik ketat [nilai
HbA1c 7% Atau kurang] dapat mengurangi risiko pengembangan DR dan
Perkembangan pada pasien T1DM dan T2DM, masing-masing. Di DCCT untuk T1DM,
perawatan intensif (median HbA1c 7,2%) mengurangi kejadian DR (2+ Langkah
ETDRS) dan kemajuan (langkah 3+ ETDRS) oleh 76% (95% CI 62-85%) dan 54%
(95% CI 39-66%), masing-masing, Dibandingkan dengan pengobatan konvensional
(Median HbA1c 9,1%). Pada T2DM, UKPDS Menunjukkan pengurangan DR sebesar
25%, termasuk kebutuhan Untuk fotokopi laser.54 Untuk setiap penurunan 1% pada
HbA1c, terjadi pengurangan 40% pengembangan DR, 25% perkembangan ke VTDR,
kebutuhan 25% untuk laser Terapi dan kebutaan 15% pada penderita diabetes.

c. Hipertensi
Secara teori hipertensi memperparah terjadinya terjadinya diabetic retinopati
melalui peregangan sel endotel yang menghasilkan peningkatan pelepasan VEGF.
Terlepas dari beberapa penelitian epidemiologi yang tidak ditemukannya bahwa
Tekanan darah menjadi faktor risiko yang konsisten untuk kejadian dan perkembangan
DR, 62-64 multiple randomized controlled trials (RCT) telah menunjukkan manfaat
dengan mengontrol tekanan darah secara ketat (BP) sebagai faktor utama yang dapat
dimodifikasi untuk kejadian dan perkembangan DR. UKPDS adalah RCT pertama yang
menunjukkan Pentingnya kontrol ketat tekanan darah dalam mengurangi retinopati.
Sebanyak 1.048 pasien hipertensi T2DM Diacak menjadi kontrol tekanan darah secara
intensif (target BP sistolik / diastolik: <150/85 mmHg) versus kelompok tekanan darah
yang dikontrol secara konvensional (target BP: <180 / <105 mmHg). Setelah 9 tahun
masa tindak lanjut, pasien dengan tekanan darah dengan kontrol secara ketat memiliki
pengurangan risiko dalam perkembangan DR sebesar 34% (99% CI 11-50) dan
kerusakan visual ketajaman sebesar 47% (99% CI 7-70). Telah ditunjukkan bahwa
setiap 10 mmHg peningkatan tekanan darah sistolik itu terkait dengan 10% peningkatan
risiko DR dini dan 15% risiko PDR atau DME. Dalam Renin-Angiotensin System Study,
Enalapril dan Losartan sebagai obat antihipertensi mampu mengurangi risiko
Perkembangan DR sebesar 65% dan 70%, masing - masing pada T1DM, terlepas dari
kerjanya sebagai penurun tekanan darah. Uji Coba EURODIAB dari Lisinopril pada
insulin-Dependent diabetes Mellitus menunjukkan bahwa Lisinopril, angiotensin
converting Enzim inhibitor, dapat mengurangi progresi DR 50% di tahun pertama dan
80% di tahun kedua, untuk Kasus normotensif dan normoalbuminurik. Namun,
penelitian ini dikacaukan oleh baseline Perbedaan tingkat glikemik pengobatan versus
kelompok kontrol. Selain itu, baik UKPDS maupun Appropriate blood pressure control
in diabetes study (ABCD) melaporkan keunggulan angiotensin converting enzim
inhibitor dibanti antihipertensi lainnya sebagai agen untuk mencegah progresi DR.
Terlepas dari hasil yang bertentangan yang dilaporkan terjadi Tekanan darah pada
kejadian dan perkembangan DR, Sangat penting bagi dokter untuk memantau dan
mengoptimalkan tekanan darah Pasien diabetes untuk mencegah komplikasi terkait DM
dalam jangka panjang.
d. Peningkatan level serum lipid
Winsconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy menemukan bahwa
peningkatan serum kolesterol berhubungan dengan meningkatnya keparahan dari
eksudat keras retina. Keparahan dari eksudat keras retina juga merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk kehilangan visual ringan. Sedangkan, risiko terkuat untuk
perkembangan subretinal fibrosis pada pasien ETDRS dengan edema makular diabetika
merupakan tanda hadirnya eksudat keras yang parah. Berbagai penelitian telah
melaporkan hasil yang tidak konsisten terhadap pengaruh kadar lipid pada
perkembangan DR dan DME. DCCT menunjukkan bahwa Tingkat keparahan DR
berkorelasi positif dengan peningkatan Trigliserida dan berbanding terbalik dengan
high-density lipoprotein (HDL) pada T1DM.75 Namun, tidak ada Hubungan antara
kolesterol total dan DR yang ditunjukkan Dalam Studi Multi-Etnis Atherosclerosis
(MESA) 28 Dan Studi Epidemiologi Perkotaan Chennai (KATA) Studi Mata.74 Dari
subset di panel lipid, Trigliserida ditunjukkan terkait dengan kehadiran DR dan low-
density lipoprotein terkait dengan DME.74 Dalam Sankara Nethralaya-Diabetic
Retinopathy Epidemiologi dan Studi Genetika Molekuler (SNDREAMS), Lipoprotein
low-density serum tinggi (OR: 2.72), kolesterol lipoprotein berdensitas tinggi non-tinggi
(OR: 1,99) dan rasio kolesterol tinggi (OR: 3,08) Terkait DME.

e. Penyakit jantung koroner


Sekitar dua dekade yang lalu, Framingham Heart and Eye Study (FHES)
mengemukakan bahwa terjadinya retinopati dapat mencerminkan gejala umum proses
mikroangiopati yang mempengaruhi organ lain seperti pada jantung pada orang yang
menderita diabetes.
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah ketika arteri koroner Anda (arteri yang memasok
otot jantung dengan darah yang kaya oksigen) menjadi menyempit oleh build-up
bertahap bahan lemak dalam dinding mereka. (British Heart Foundation)

f. Infeksi ginjal kronik


CKD terdapat pada 58,64% dari subyek dengan DR berat, sedangkan DR
berat terdeteksi hanya dalam 15,28% dari individu dengan CKD apapun dan CKD
dengan fenotip albuminuria terdapat lebih dari dengan CKD yang fenotip non
albuminuria. HDL-kolesterol berkorelasi secara independen dengan terdapatnya setiap
CKD pada individu dengan DR berat. (American Diabetes Association). Penyakit ginjal
kronis didefinisikan sesuai dengan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal dan tingkat
fungsi ginjal-terlepas dari jenis penyakit ginjal (diagnosis). (National Kidney
Foundation)
Kemungkinan untuk perkembangan retinopati diabetik adalah terkait dengan durasi
terkena diabetes mellitus. Diabetes mellitus tipe 2 memiliki onset berbahaya dan
berkembang diam-diam tanpa diketahui selama bertahun-tahun. Faktor risiko untuk
pengembangan retinopati diabetika selain diabetes mellitus adalah hipertensi,
dislipidemia, merokok, nefropati, dan kehamilan.
Demikian pula, nilai-nilai untuk hemoglobin terglikasi, tekanan darah, dan serum
kolesterol total dihitung hanya 9 sampai 10% menjadi risiko retinopati oleh Winsconsin
Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy.

a. Body mass index


Meski pengaruh BMI terhadap DR telah ditunjukkan Hasil yang bertentangan,
laporan terbaru menunjukkan Korelasi positif peningkatan BMI dan waist to hip ratio
(WHR) dengan peningkatan risiko DR. di WESDR, hubungan antara obesitas (BMI> 31
Untuk pria dan> 32 untuk wanita) versus tingkat keparahan DR dan Kemajuan (langkah
2+ ETDRS) tidak secara statistik Signifikan (P> 0,05) . Dalam studi yang sama,
kelompok Pasien kurus (<20 kg / m2 ) Dikaitkan dengan Kejadian DR meningkat (P =
0,04), menunjukkan hal itu Pasien dengan kesehatan sistemik yang buruk secara
keseluruhan mungkin mengalami Seiring penurunan berat badan. Namun BMI rata - rata
pada setiap kuartil tidak tersedia dalam penelitian itu. Studi Insidensi Diabetes di Swedia
Melaporkan hubungan yang signifikan antara baseline BMI tinggi dan NPDR berat dan
PDR (P = 0,001), Setelah 10 tahun masa tindak lanjut. EURODIAB complications study
menunjukkan peningkatan WHR dikaitkan dengan tingkat keparahan dan perkembangan
DR Di T1DM (rasio hazard: 1,3; 95% CI 1,0-1,6%, P <0,05) .83 Meski buktinya masih
samar Antara BMI dan DR, namun tetap kritis Bagi penderita diabetes untuk menjaga
BMI optimal Dan WHR untuk mencegah pengembangan dan pengembangan DR dan
komplikasi terkait diabetes lainnya.

b. Faktor genetik
Tingkat keparahan dan kecepatan onset DR Terkait dengan beberapa faktor
genetik, 123 termasuk Kromosom 1p, 109 kromosom 3 dan 9,119 aldosis Gen reduktase
(ALR2), 124 reseptor untuk kemajuan Gen end produk glikasi (RAGE), 125
transformasi Gen faktor pertumbuhan beta 1 (TGF-beta1), 126 vaskular Gen faktor
pertumbuhan endotel (VEGF), 127. 128 endothelial Gen nitrat oksida sintase (eNOS),
128 vitamin D reseptor128 dan faktor pertumbuhan mirip insulin 1 (IGF-I) Gen.129
Namun, asosiasi ini lemah, Tidak konsisten dan tidak adanya standarisasi fenotipe DR
Di berbagai populasi. Sulit untuk Menarik kesimpulan dari penelitian ini karena Ukuran
sampel penelitian individual sering dilakukan kecil. Nilai P yang diperoleh dari usaha ini
adalah Terkadang nominal signifikan tapi tidak tahan Koreksi untuk beberapa pengujian
Juga, yang lainnya Keterbatasan pendekatan gen kandidat adalah itu Tergantung pada
hipotesis apriori yang menyiratkan bahwa a Gen tertentu memiliki penjelasan fungsional
di Patofisiologi DR, dan jika hipotesisnya adalah Salah, asosiasi genetik akan negatif
atau tidak konsisten.

c. Pubertas dan kehamilan


DR dapat memburuk dengan cepat selama pubertas dan kehamilan, Terutama
di T1DM. Pada WESDR, disana Adalah 30% kelebihan risiko pengembangan DR,
bandingkan Periode sebelum dan sesudah menarche. Waktu rata-rata untuk
pengembangan DR secara signifikan lebih pendek Untuk subjek dengan T1DM yang
didiagnosis setelah pubertas dari pada mereka yang didiagnosis sebelum pubertas. (9,4
tahun vs 11,8 tahun, P = 0,0004) . Dalam WESDR, kehamilan Meningkatkan risiko
pengembangan DR sebanyak 2,3 kali (disesuaikan ATAU: 2.3; P <0,005) . Studi serupa
lainnya Telah menunjukkan peningkatan progresi DR termasuk pengembangan Dari
VTDR selama kehamilan.84,85 Tingkat keparahan Dari DR pada awal kehamilan telah
ditunjukkan Untuk mempengaruhi risiko perkembangan. Untuk pasien dengan Tidak ada
DR pada awal, progresi DR pada kehamilan Terbukti rendah. Dari jumlah tersebut
dengan NPDR, 47% Berkembang menjadi spektrum yang lebih parah dengan 50%
Membutuhkan perawatan laser. Selama masa postpartum Periode, 29% mengalami
regresi DR. Oleh karena itu, nonmydriatic Fotografi harus dilakukan untuk T1DM
setelah pubertas, onset dini T2DM selama masa kanak-kanak Dan selama masa
kehamilan. Untuk itu Wanita hamil dengan PDR, mereka bisa mendapatkan keuntungan
Dari perawatan kopocoagulasi pan-retinal awal Dan close review selama kehamilan dan
pascapersalinan periode.

d. Operasi katarak
ETDRS menunjukkan bahwa perkembangan DR dikaitkan Dengan Operasi
ekstraksi katarak intra kapsuler dan ekstra kapsuler. Dengan dilakukannya Operasi
phacoemulsification, lebih sedikit pasien yang ditemukan mengalami progresi DR pasca
operasi, Dibandingkan dengan Pasien yang dilakukan operasi ekstraksi katarak intra
kapsuler atau ekstra kapsuler. Kontrol glikemik yang buruk pada saat pra-operasi
dikaitkan dengan perkembangan DR postoperatif. Pada pasien dengan PDR, panretinal
Fotokromulasi dilakukan kurang dari 6 bulan sebelum operasi Terbukti meningkatkan
risiko pasca operasi DME. Jadi, dianjurkan agar pasien Dengan VTDR idealnya harus
distabilkan dengan panretinal Photocoagulation sebelum operasi katarak. Pada pasien
Dengan katarak yang signifikan yang menutupi pandangan fundus, Operasi katarak
harus ditawarkan dengan postoperatif Pengawasan perkembangan DR atau DME.

D. Patofisiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetika sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
risiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia yang diduga
berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik
dan pembentukan protein kinase C.
 Jalur Poliol
Hiperglikemik yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta
akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di
lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati
membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.
Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan
gangguan morfologi maupun fungsional sel.
  Glikasi Nonenzimatik
Glikasi non enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang
terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.

https://www.sintesahealth.co.id/info/kalangan_umum/
penyakit_dalam/diabetes/diabetes_dan_komplikasi_mata
Protein yang terglikosilasi membentuk radikal
Fluorescein angiogram menunjukkan kebocoran
bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi zat warna foveal yang disebabkan oleh edema
makula.
sel
 Protein Kinase C
Protein Kinase C diketahui memiliki
pengaruh terhadap permeabilitas vaskular,
kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan
proliferasi sel vaskular.Dalam kondisi
hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel
endotel meningkat akibat peningkatan
http://emedicine.medscape.com/
sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu article/1225122-overview#a3
regulator PKC, dari glukosa.

PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK


Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf.
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler
retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina
kecuali suatu daerah yang disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati
diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga
lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit
dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak
diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel
endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan
tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler,
mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai
barrier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel
endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel
dari membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis
protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras flouresensi yang digunakan untuk
diagnosis penyakit kapiler retina.
Perubahan histopatologis kapiler retina pada
Area neovaskularisasi yang bocor fluorescein
retinopati diabetik dimulai dari penebalan pada angiografi.
membrane basalis, hilangnya perisit dan
proliferasi endotel, dimana pada keadaan lanjut,
perbandingan antara sel endotel dan sel perisit
mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik
melibatkan lima proses dasar yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu (1) pembentukan
mikroaneurisma, (2) peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, (3) penyumbatan pembuluh http://emedicine.medscape.com/
article/1225122-overview#a3
darah, (4) proliferasi pembuluh darah baru
(neovascular) dan jaringan fibrosa di retina, (5)
kontraksi dari jaringan fibrous kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan hilangnya
perfusi menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua
komponen darah. Kebutaan akibat reinopati diabetik dapat terjdi melalui beberapa
mekanisme berikut: (1) edema makula atau nonperfusi kapiler, (2) pembentukan
pembuluh darah baru pada retinopati proliferatif dan kontraksi jaringan fibrois
menyebabkan ablasio retina (retinal detachment), (3) pembuluh darah baru yang
terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus, (4) pembenukan pembuluh
darah baru dapat menimbulkan glaukoma.
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetik proliferatif dan merupakan
Fundus photograph retinopati diabetik penyebab utama dari kebutaan permanen.
menunjukkan banyak mikroaneurisma
Selain itu, kontraksi dari jaringan
fibrovaskuler yang menyebabkan ablasio
retina (terlepasnya lapisan retina) juga
merupakan salah satu penyebab kebutaan
pada retinopati diabetik proliferatif.

http://emedicine.medscape.com/
article/1225122-overview#a3

Tabel 1. Hipotesis Mengenai Mekanisme Retinopati Diabetik


Mekanisme Cara Kerja Terapi
Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, Aldose reduktase
menyebabkan kerusakan sel. inhibitor
Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit Aspirin
pada endotel kapiler, hipoksia,
kebocoran, edema makula.
Protein Kinase C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan Inhibitor terhadap
oleh DAG pada hiperglikemia. PKC -Isoform
Nitrit Oxide Meningkatkan produksi radikal Amioguanidin
Synthase bebas, meningkatkan VEGF.
Menghambat Menyebabkan hambatan terhadap Belum ada
ekspresi gen jalur metabolisme sel.
Apoptosis sel Penurunan aliran darah ke retina, Belum ada
perisit dan sel meningkatkan hipoksia.
endotel kapiler
retina
VEGF Meningkat pada hipoksia retina, Fotokoagulasi
menimbulkan kebocoran , edema panretinal
makula, neovaskular.
PEDF Menghambat neovaskularisasi, Induksi produksi
menurun pada hiperglikemia. PEDF oleh gen
PEDF
GH dan IGF-I Merangsang neovaskularisasi. Hipofisektomi,GH-
receptor blocker,
ocreotide
PKC= protein kinase C; VEGF= vascular endothel growth factor; DAG=
diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product;
PEDF= pigment-epithelium-derived factor; GF= growth factor; IGF-I= insulin-like
growth factor I.

PATOFISIOLOGI RETINOPATI PROLIFERATIF


Komplikasi mata yang paling parah pada diabetes mellitus adalah retinopati
diabetik proliferatif. Iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan
pembuluh-pembuluh halus baru yang menyebaban kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar. Retinopati diabetik proliferatif awal ditandai dengan kehadiran
pembuluh-pembuluh darah baru pada diskus optikus (NVD) atau di bagian retina
manapun (NVE).Ciri yang berisiko tinggi ditandai oleh pembuluh darah baru pada
diskus optikus yang meluas lebih dari sepertiga diameter diskus, sebaran pembuluh
darah baru pada diskus optikus yang disertai perdarahan vitreus, atau pembuluh darah
baru di bagian retina manapun yang besarnya lebih dari setengah diameter diskus dan
disertai perdarahan vitreus.
Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi ke permukaan posterior vitreus dan
akan menimbulkan saat vitreus mulai Proliferasi fibrovaskular dalam rongga vitreus
berkontraksi menjauhi retina. Apabila
pembuluh tersebut berdarah, prdarahan vitreus
yang masif dapat menyebabkan penurunan
penglihatan mendadak. Sekali terjadi
pelepasan total vitreus posterior, mata berisiko
mengalami neovaskularisasi dan perdarahan
viterus. Pada mata retinopati diabetika
proliferatif dan adhesi vitreoretinal persisten, http://emedicine.medscape.com/
article/1225122-overview#a3
jaringan neovaskular yang menimbul dapat
mengalami perubahan fibrosa dan membentuk
pita-pita fibrovaskular rapat, yang menyebabkan traksi vitreoretina. Hal ini dapat
Proliferasi fibrovaskuler yang luas di dalam dan mnyebabkan ablatio retina akibat traksi
sekitar cakram optik
progresif atau, apabila terjadi robekan retina,
ablatio retinae regmatogenosa. Ablatio retina
dapat ditandai atau ditutupi oleh perdarahan
vitreus. Apabila kontraksi vitreus di mata
tersebut telah sempurna, retinopati
proliferatif cenderung masuk ke dalam
stadium “involusional” atau burned-out.
Penyakit mata diabetik lanjut juga dapat
http://emedicine.medscape.com/
article/1225122-overview#a3 disertai komplikasi neovaskularisasi iris
(rubeosis irisis) dan glaukoma neovaskular.
Retinopati proliferatif berkembang pada 50 % pasien diabetes tipe I dalam 15 tahun
sejak onset penyakit sistemiknya. Retinopati proliferatif lebih jarang ditemukan pada
diabetes tipe II ; namun, karena jumlah pasien diabetes tipe II lebih banyak, pasien
retinopati proliferatif lebih banyak yang mengidap diabetes tpe II dibandingkan tipe I.

E. Manifestasi Klinis

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :8,9

 Kesulitan membaca

 Penglihatan kabur

 Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

 Melihat lingkaran-lingkaran cahaya

 Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :7

 Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah

vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah

terutama polus posterior.

 Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya

terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.

 Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.

 Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya

khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar

dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

 Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia

retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat

difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan

dihubungkan dengan iskemia retina.

 Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak


dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam,

berkelompok, dan ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian

berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada

daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid

( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.

 Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula

sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan


F. DIAGNOSIS

Diagnosis retinopati diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan


pemeriksaan ophalmologi.

1. Pada anamnesis harus ditanyakan mengenai lamanya menderita diabetes mellitus,


riwayat penyakit sistemik lain seperti ginjal, kelainan profil lipid dan lainnya.

2. Pemeriksaan fisik:

 Dilakukan pemeriksaan refraksi, Pemeriksaan mata standar dengan bagan mata


(Snellen) dapat mengungkapkan hilangnya penglihatan. Dalam kasus lanjut, mungkin
tekanan bola mata tinggi.

 Pemeriksaan mata adalah pelebaran pupil dan menggunakan sebuah alat yang
memungkinkan dokter untuk melihat retina mata (optalmoskop atau lampu celah).
Pemeriksaan dapat mengungkapkan wilayah kecil diperluas pembuluh darah
(microaneurisma), titik perdarahan, kuning atau putih lemak (lipid) deposito (hard exudates)
di retina. Pembengkakan dapat dilihat di daerah retina yang menyerap cahaya dan mengacu
pada visi warna (makula). Pada retinopati diabetik proliferatif, neovaskularisasi, perdarahan,
jaringan parut dan fisik retina dari dinding mata bisa dilihat.

G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium yang sangat
penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes. Kadar HbA1c juga penting
pada follow-up jangka panjang perawatan pasien dengan diabetes dan retinopati diabetik.
Mengontrol diabetes dan mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran
pada manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan,
maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan.

Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA)) merupakan
pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis dan manajemen
retinopathy DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma karena
mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen yang
dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
o IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai pembuluh
darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar retina yang tidak mendapat
perfusi.

Gambar I. Gambaran FFA pada Retinopathy

Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang menggunakan cahaya
untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari retina. Uji ini digunakan untuk
menentukan ketebalan retina dan ada atau tidaknya pembengkakan di dalam retina akibat
tarikan vitreomakular. Tes ini juga digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan edema
makular diabetik atau edema makular yang signifikan secara klinis.

Gambar II. Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas Ketebalan


Retina

H. Tatalaksana
Sejauh ini belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mencegah perkembangan
retinopati diabetik.

A. Pencegahan
Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi
menderita diabetes mellitus dan pengendaliannya. Hal sederhana yang terpenting yang dapat
dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan
mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya harus
juga dikendalikan dan diperhatikan.1,2,3

B. Pengobatan
Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema makula
adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya. Terapi laser argon
fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukkan edema
bermakna dapat memperkecil resiko penurunan penglihatan dan meningkatka fungsi
penglihatan. Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak
bermakna maka biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa terapi laser.1
Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan
fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan
perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan
pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-pembuluh baru tersebut, Kemungkinan
fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari
retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam
jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian
sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vascular temporal utama.1,4
Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan oleh
perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah dengan membiarkan
terjadinya resolusi spontan dalam beberapa bulan.1
Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk retinopati diabetik proliferatif masih tetap
berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan penglihatan yang baik.1

I. Komplikasi dan Prognosis


1.         Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering. Neovaskularisasi
pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia
retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering
adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary
body dan sclera spurmencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan aquous
dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.Suatu saat
membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior
perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat
sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis
iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya rubeosis
iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma
neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan operasi.

2.         Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula
yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif,
glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan
neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan
suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada
mata maupun di luar mata yang paling sering adalah  retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris
pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan
membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut,
meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula
sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan
keadaan sudut masih terbuka.

3.         Perdarahan vitreus rekuren


Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.Perdarahan
vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga
vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh
sehingga mudah mengakibatkan perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran
perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya
adalah anterior, middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat perdarahan
vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien biassanya mengeluh
kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi direk secara jauh akanmenampakkan
bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous yang masih
sedikit dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk
dan indirek menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu
untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.

4.         Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan
pigmen epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan
gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta
menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
Prognosis
Pemahaman yang lebih baik terhadap retinopati diabetic melalui pangaplikasian metode
investigasi yang lebih akurat, seperti angiografi fluorescein, indirek oftalmoskopi secara
rutin, slit lamp mikroskop, foto fundus berseri pengguanaan ultrasound juga dianggap
penting. Dengan metode ini juga angka kebutaan bisa dikurangi kecuali pada situasi masalah
social atau masalah lain. Pendidikan pada pasien sangat penting untuk memperoleh perbaikan
dalam prognosis pengobatan untuk pasien diabetes mellitus. Setelah 20 tahun, 75% daripada
pasien diabetic dengan PDR akan menjadi buta jika diobati dalam masa 5 tahun.9
Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi retinopati yang
lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan iskemik yang bermakna
akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata
dengan edema dan perfusi yang relative baik
III. KESIMPULAN

Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita
diabetes melitus, dimana terjadi mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan
sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler, dan vena.
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama
kebutaan pada orang dewasa usia antara 20 sampai 74 tahun.
Faktor resiko berkembangnya retinopati sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yakni; keparahan retinopati, hiperglikemia, hipertensi, prningkatan level serum lipid,
penyakit jantung coroner, infeksi ginjal kronik, body mass index, faktor genetic, pubertas dan
kehamilan. Meskipun penyebab retinopati diabetika sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko
utama.
Penderita retinopati diabetika biasanya memiliki keluhan berupa sulit membaca,
penglihatan kabur atau menurun pada salah satu mata, melihat lingkaran cahaya, maupun
bintik gelap atau cahaya yang berkalap-kelip. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
berupa pemeriksaan laboratorium glukosa darah puasa dan HbA1C, dan pemeriksaan
pencitraan Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA).
Penatalaksaan untuk penyakit retinopati diabetika belum diketahui secara pasti, namun fokus
pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema makula adalah
pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pandelaki K, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Retinopati Diabetik.


Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007, p.1889-93.
2. Noble J, Chaudhary V. Diabetic Retinopathy. CMAJ.2010; 182(15):1646.
3. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW. The DiabCare
Asia 2008 study Out Comes on Control and Complication of type 2 diabetic patient in
Indonesia. Med J Indones.2010;19(4): 235-43
4. Vaughan D. Oftalmologiumum: Retina dan Tumor Intraocular. Edisi 14. Jakarta:
Widya medika; 2000. p.13-4,211-17.
5. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata Edisi keempat “Retinopati Diabetes Melitus”.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, 2008: 222- 225
6. Rema M, dan R. Pradeepa. Diabetic retinopathy: An Indian perspective. Madras
Diabetes Research Foundation &Dr Mohan’s Diabetes Specialities Centre, Chennai,
India. Indian J Med Res 125; March 2007. p 297-310.
7. World Health Organization. Global Data On Visual Impairments 2010. Diakses dari:
http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf.
8. Nittala MG, Keane PA, Zhang K, Sadda SR. Risk factors for proliferative diabetic
retinopathy in a latino American population. Retina. 2014 August ; 34(8): 1594–1599.
doi:10.1097/IAE.0000000000000117
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4110161/pdf/nihms558201.pdf
9. Ting DSW, Cheung GCM, Wong TY. Diabetic retinopathy: global prevalence, major
risk factors, screening, practices, and public health challenge: a review. Clinical and
experimental ophthalmology 20116; 44: 260-277 doi : 10.1111/ceo.12696 [internet].
2016 [cited: 28th of july 2017]. [available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.1111/ceo.12696/asset/ceo12696.pdf?
v=1&t=j5nmutno&s=1c6ad4f0523077e3dc1c855b7de4d398ed905ae2]
10. Vislisel J, Oetting T. Diabetic Retinopathy: From One Medical Student to Another.
2010 September. Diunduh dari http://eyerounds.org .
11. KLEIN, Ronald, et al. The Wisconsin epidemiologic study of diabetic retinopathy:
XVII: The 14-year incidence and progression of diabetic retinopathy and associated
risk factors in type 1 diabetes11Proprietary interest: none. Ophthalmology, 1998,
105.10: 1801-1815.Vislisel J, Oetting T. Diabetic Retinopathy: From One Medical
Student to Another. 2010 September. Diunduh dari http://eyerounds.org .
12. Freeman WR, Practical Atlas of Retinal Disease and Therapy, Edition 2, Lippincott-
Raven, Hongkong, 1998, page 199-213.
13. Langston D, Manual of Ocular Diagnosis and therapy, Edition 4, Deborah Pavan-
Langston, United State, 1996, page 162-165.
14. Elkington AR, Khaw PT, Petunjuk Penting Kelainan Mata, Buku Kedokteran EGC
Jakarta, 1995, hal. 162-165.

Anda mungkin juga menyukai