Dokter Pembimbing :
Dr. dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M (K)
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 24 JULI – 26 AGUSTUS 2017
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, atas berkah dan rahmat-Nya
yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Retinopati Diabetikum Proliferasi”. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu tugas yang diberikan di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran UKI Rumah Sakit UKI Periode 24 Juli sampai 26 Agustus
2017.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.dr.Gilbert Simanjuntak,
Sp.M(K) selaku pembimbing dalam penyususan referat ini dan telah menyempatkan
waktunya untuk membimbing penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih pada teman–teman serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan dan pembuatan
referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membantu untuk membangun dan bermanfaat untuk kedepannya, apabila ada kesalahan,
penulis mohon maaf. Semoga referat ini dapat menjadi tambahan ilmu khusunya di
bidang ilmu Penyakit Mata.
Penulis
I. PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia.1 World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara dengan jumlah penderita
DM terbanyak. Diperkirakan jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab
utama kebutaan pada orang dewasa usia antara 20 sampai 74 tahun. Penelitian
epidemiologi di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah
penderita retinopati DM akan meningkat 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta
pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami kebutaan. The
DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1.785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan
primer dan sekunder di Indonesia melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami
komplikasi retinopati, dan 6,4% diantaranya merupakan retinopati DM proliferatif. 2,3
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya
seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM antara lain
ketergantungan insulin pada penyandang DM tipe 2, nefropati, dan hipertensi.
Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat progestivitas retinopati DM.
Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetikum hanya ditemukan
pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50%
dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetikum.
Sedangkan pada DM tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetikum nonproliferatif. Setelah 20 tahun prevalensi retinopati diabetikum
meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat. 3,4
Sangat disayangkan banyak penderita diabetes melitus seringkali tidak
memeriksakan matanya setiap setahun sekali untuk mengetahui atau mendeteksi ada
atau tidaknya kelainan retinopati atau penyakit mata lainnya yang disebabkan oleh
diabetes. Akibatnya mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah menderita retinopati
diabetikum sampai akhirnya kehilangan pengelihatan yang signifikan. Hal ini dapat
dicegah dengan melakukan pemeriksaan mata tahunan secara rutin pada penderita
diabetes melitus. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada
penderita diabetes melitus, dimana terjadi mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina,
kapiler, dan vena. Keadaan ini merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus
yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan
pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata. Retinopati akibat diabetes melitus lama
berupa aneurisma, melebarnya vena, pedarahan dan eksudat lemak.Kelainan patologik
yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel kapiler dan penurunan
jumlah perisit.(1, 2)
B. Epidemiologi
Diabetes adalah penyakit yang umum terjadi pada negara maju dan menjadi
masalah terbesar di seluruh dunia.Hal ini disebabkan karena insidensinya yang cukup
tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes dan prognosisnya kurang baik terutama
bagi penglihatan. Meningkatnya prevalensi diabetes, mengakibatkan meningkat pula
komplikasi jangka panjang dari diabetes seperti retinopati, nefropati, dan neuropati,
yang mempunyai dampak besar terhadap pasien maupun masyarakat.(1,3)
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia
dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah
mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien
diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe
I ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah 10 tahun,
prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien
sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan,
sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.Setelah 20 tahun,
prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat.
Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2
mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat
mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.(3,4,)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, 3 persen penduduk di
seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati DM. Dalam urutan penyebab kebutaan
secara global, retinopati DM menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan
degenerasi makula. Diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diperkirakan diabetes akan menjadi ”epidemi”, disebabkan pola makan masyarakat Asia
yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga. Akibatnya, kebutaan
akibat retinopati DM juga diperkirakan meningkat secara dramatis.(5)
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah penyebab utama dari rententan kejadian yang berujung
pada komplikasi mikrovaskular pada diabetes. Banyak penelitian mendemonstrasikan
bahwa dengan pengontrolan ketat pada kadar gula darah bisa menurunkan risiko
terjadinya komplikasi tapi tidak menghilangkan kemungkinan untuk berkembangnya
diabetik retinopati. The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) Dan UKPDS
adalah dua percobaan klinis yang menunjukan pentingnya kontrol glikemik ketat [nilai
HbA1c 7% Atau kurang] dapat mengurangi risiko pengembangan DR dan
Perkembangan pada pasien T1DM dan T2DM, masing-masing. Di DCCT untuk T1DM,
perawatan intensif (median HbA1c 7,2%) mengurangi kejadian DR (2+ Langkah
ETDRS) dan kemajuan (langkah 3+ ETDRS) oleh 76% (95% CI 62-85%) dan 54%
(95% CI 39-66%), masing-masing, Dibandingkan dengan pengobatan konvensional
(Median HbA1c 9,1%). Pada T2DM, UKPDS Menunjukkan pengurangan DR sebesar
25%, termasuk kebutuhan Untuk fotokopi laser.54 Untuk setiap penurunan 1% pada
HbA1c, terjadi pengurangan 40% pengembangan DR, 25% perkembangan ke VTDR,
kebutuhan 25% untuk laser Terapi dan kebutaan 15% pada penderita diabetes.
c. Hipertensi
Secara teori hipertensi memperparah terjadinya terjadinya diabetic retinopati
melalui peregangan sel endotel yang menghasilkan peningkatan pelepasan VEGF.
Terlepas dari beberapa penelitian epidemiologi yang tidak ditemukannya bahwa
Tekanan darah menjadi faktor risiko yang konsisten untuk kejadian dan perkembangan
DR, 62-64 multiple randomized controlled trials (RCT) telah menunjukkan manfaat
dengan mengontrol tekanan darah secara ketat (BP) sebagai faktor utama yang dapat
dimodifikasi untuk kejadian dan perkembangan DR. UKPDS adalah RCT pertama yang
menunjukkan Pentingnya kontrol ketat tekanan darah dalam mengurangi retinopati.
Sebanyak 1.048 pasien hipertensi T2DM Diacak menjadi kontrol tekanan darah secara
intensif (target BP sistolik / diastolik: <150/85 mmHg) versus kelompok tekanan darah
yang dikontrol secara konvensional (target BP: <180 / <105 mmHg). Setelah 9 tahun
masa tindak lanjut, pasien dengan tekanan darah dengan kontrol secara ketat memiliki
pengurangan risiko dalam perkembangan DR sebesar 34% (99% CI 11-50) dan
kerusakan visual ketajaman sebesar 47% (99% CI 7-70). Telah ditunjukkan bahwa
setiap 10 mmHg peningkatan tekanan darah sistolik itu terkait dengan 10% peningkatan
risiko DR dini dan 15% risiko PDR atau DME. Dalam Renin-Angiotensin System Study,
Enalapril dan Losartan sebagai obat antihipertensi mampu mengurangi risiko
Perkembangan DR sebesar 65% dan 70%, masing - masing pada T1DM, terlepas dari
kerjanya sebagai penurun tekanan darah. Uji Coba EURODIAB dari Lisinopril pada
insulin-Dependent diabetes Mellitus menunjukkan bahwa Lisinopril, angiotensin
converting Enzim inhibitor, dapat mengurangi progresi DR 50% di tahun pertama dan
80% di tahun kedua, untuk Kasus normotensif dan normoalbuminurik. Namun,
penelitian ini dikacaukan oleh baseline Perbedaan tingkat glikemik pengobatan versus
kelompok kontrol. Selain itu, baik UKPDS maupun Appropriate blood pressure control
in diabetes study (ABCD) melaporkan keunggulan angiotensin converting enzim
inhibitor dibanti antihipertensi lainnya sebagai agen untuk mencegah progresi DR.
Terlepas dari hasil yang bertentangan yang dilaporkan terjadi Tekanan darah pada
kejadian dan perkembangan DR, Sangat penting bagi dokter untuk memantau dan
mengoptimalkan tekanan darah Pasien diabetes untuk mencegah komplikasi terkait DM
dalam jangka panjang.
d. Peningkatan level serum lipid
Winsconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy menemukan bahwa
peningkatan serum kolesterol berhubungan dengan meningkatnya keparahan dari
eksudat keras retina. Keparahan dari eksudat keras retina juga merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk kehilangan visual ringan. Sedangkan, risiko terkuat untuk
perkembangan subretinal fibrosis pada pasien ETDRS dengan edema makular diabetika
merupakan tanda hadirnya eksudat keras yang parah. Berbagai penelitian telah
melaporkan hasil yang tidak konsisten terhadap pengaruh kadar lipid pada
perkembangan DR dan DME. DCCT menunjukkan bahwa Tingkat keparahan DR
berkorelasi positif dengan peningkatan Trigliserida dan berbanding terbalik dengan
high-density lipoprotein (HDL) pada T1DM.75 Namun, tidak ada Hubungan antara
kolesterol total dan DR yang ditunjukkan Dalam Studi Multi-Etnis Atherosclerosis
(MESA) 28 Dan Studi Epidemiologi Perkotaan Chennai (KATA) Studi Mata.74 Dari
subset di panel lipid, Trigliserida ditunjukkan terkait dengan kehadiran DR dan low-
density lipoprotein terkait dengan DME.74 Dalam Sankara Nethralaya-Diabetic
Retinopathy Epidemiologi dan Studi Genetika Molekuler (SNDREAMS), Lipoprotein
low-density serum tinggi (OR: 2.72), kolesterol lipoprotein berdensitas tinggi non-tinggi
(OR: 1,99) dan rasio kolesterol tinggi (OR: 3,08) Terkait DME.
b. Faktor genetik
Tingkat keparahan dan kecepatan onset DR Terkait dengan beberapa faktor
genetik, 123 termasuk Kromosom 1p, 109 kromosom 3 dan 9,119 aldosis Gen reduktase
(ALR2), 124 reseptor untuk kemajuan Gen end produk glikasi (RAGE), 125
transformasi Gen faktor pertumbuhan beta 1 (TGF-beta1), 126 vaskular Gen faktor
pertumbuhan endotel (VEGF), 127. 128 endothelial Gen nitrat oksida sintase (eNOS),
128 vitamin D reseptor128 dan faktor pertumbuhan mirip insulin 1 (IGF-I) Gen.129
Namun, asosiasi ini lemah, Tidak konsisten dan tidak adanya standarisasi fenotipe DR
Di berbagai populasi. Sulit untuk Menarik kesimpulan dari penelitian ini karena Ukuran
sampel penelitian individual sering dilakukan kecil. Nilai P yang diperoleh dari usaha ini
adalah Terkadang nominal signifikan tapi tidak tahan Koreksi untuk beberapa pengujian
Juga, yang lainnya Keterbatasan pendekatan gen kandidat adalah itu Tergantung pada
hipotesis apriori yang menyiratkan bahwa a Gen tertentu memiliki penjelasan fungsional
di Patofisiologi DR, dan jika hipotesisnya adalah Salah, asosiasi genetik akan negatif
atau tidak konsisten.
d. Operasi katarak
ETDRS menunjukkan bahwa perkembangan DR dikaitkan Dengan Operasi
ekstraksi katarak intra kapsuler dan ekstra kapsuler. Dengan dilakukannya Operasi
phacoemulsification, lebih sedikit pasien yang ditemukan mengalami progresi DR pasca
operasi, Dibandingkan dengan Pasien yang dilakukan operasi ekstraksi katarak intra
kapsuler atau ekstra kapsuler. Kontrol glikemik yang buruk pada saat pra-operasi
dikaitkan dengan perkembangan DR postoperatif. Pada pasien dengan PDR, panretinal
Fotokromulasi dilakukan kurang dari 6 bulan sebelum operasi Terbukti meningkatkan
risiko pasca operasi DME. Jadi, dianjurkan agar pasien Dengan VTDR idealnya harus
distabilkan dengan panretinal Photocoagulation sebelum operasi katarak. Pada pasien
Dengan katarak yang signifikan yang menutupi pandangan fundus, Operasi katarak
harus ditawarkan dengan postoperatif Pengawasan perkembangan DR atau DME.
D. Patofisiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetika sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
risiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia yang diduga
berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik
dan pembentukan protein kinase C.
Jalur Poliol
Hiperglikemik yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta
akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di
lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati
membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.
Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan
gangguan morfologi maupun fungsional sel.
Glikasi Nonenzimatik
Glikasi non enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang
terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.
https://www.sintesahealth.co.id/info/kalangan_umum/
penyakit_dalam/diabetes/diabetes_dan_komplikasi_mata
Protein yang terglikosilasi membentuk radikal
Fluorescein angiogram menunjukkan kebocoran
bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi zat warna foveal yang disebabkan oleh edema
makula.
sel
Protein Kinase C
Protein Kinase C diketahui memiliki
pengaruh terhadap permeabilitas vaskular,
kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan
proliferasi sel vaskular.Dalam kondisi
hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel
endotel meningkat akibat peningkatan
http://emedicine.medscape.com/
sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu article/1225122-overview#a3
regulator PKC, dari glukosa.
http://emedicine.medscape.com/
article/1225122-overview#a3
E. Manifestasi Klinis
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat
difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
2. Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan mata adalah pelebaran pupil dan menggunakan sebuah alat yang
memungkinkan dokter untuk melihat retina mata (optalmoskop atau lampu celah).
Pemeriksaan dapat mengungkapkan wilayah kecil diperluas pembuluh darah
(microaneurisma), titik perdarahan, kuning atau putih lemak (lipid) deposito (hard exudates)
di retina. Pembengkakan dapat dilihat di daerah retina yang menyerap cahaya dan mengacu
pada visi warna (makula). Pada retinopati diabetik proliferatif, neovaskularisasi, perdarahan,
jaringan parut dan fisik retina dari dinding mata bisa dilihat.
G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium yang sangat
penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes. Kadar HbA1c juga penting
pada follow-up jangka panjang perawatan pasien dengan diabetes dan retinopati diabetik.
Mengontrol diabetes dan mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran
pada manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan,
maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan.
Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA)) merupakan
pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis dan manajemen
retinopathy DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma karena
mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen yang
dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
o IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai pembuluh
darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar retina yang tidak mendapat
perfusi.
Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang menggunakan cahaya
untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari retina. Uji ini digunakan untuk
menentukan ketebalan retina dan ada atau tidaknya pembengkakan di dalam retina akibat
tarikan vitreomakular. Tes ini juga digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan edema
makular diabetik atau edema makular yang signifikan secara klinis.
H. Tatalaksana
Sejauh ini belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mencegah perkembangan
retinopati diabetik.
A. Pencegahan
Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi
menderita diabetes mellitus dan pengendaliannya. Hal sederhana yang terpenting yang dapat
dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan
mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya harus
juga dikendalikan dan diperhatikan.1,2,3
B. Pengobatan
Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema makula
adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya. Terapi laser argon
fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukkan edema
bermakna dapat memperkecil resiko penurunan penglihatan dan meningkatka fungsi
penglihatan. Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak
bermakna maka biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa terapi laser.1
Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan
fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan
perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan
pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-pembuluh baru tersebut, Kemungkinan
fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari
retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam
jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian
sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vascular temporal utama.1,4
Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan oleh
perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah dengan membiarkan
terjadinya resolusi spontan dalam beberapa bulan.1
Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk retinopati diabetik proliferatif masih tetap
berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan penglihatan yang baik.1
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula
yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif,
glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan
neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan
suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada
mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris
pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan
membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut,
meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula
sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan
keadaan sudut masih terbuka.
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan
pigmen epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan
gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta
menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
Prognosis
Pemahaman yang lebih baik terhadap retinopati diabetic melalui pangaplikasian metode
investigasi yang lebih akurat, seperti angiografi fluorescein, indirek oftalmoskopi secara
rutin, slit lamp mikroskop, foto fundus berseri pengguanaan ultrasound juga dianggap
penting. Dengan metode ini juga angka kebutaan bisa dikurangi kecuali pada situasi masalah
social atau masalah lain. Pendidikan pada pasien sangat penting untuk memperoleh perbaikan
dalam prognosis pengobatan untuk pasien diabetes mellitus. Setelah 20 tahun, 75% daripada
pasien diabetic dengan PDR akan menjadi buta jika diobati dalam masa 5 tahun.9
Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi retinopati yang
lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan iskemik yang bermakna
akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata
dengan edema dan perfusi yang relative baik
III. KESIMPULAN
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita
diabetes melitus, dimana terjadi mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan
sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler, dan vena.
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama
kebutaan pada orang dewasa usia antara 20 sampai 74 tahun.
Faktor resiko berkembangnya retinopati sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yakni; keparahan retinopati, hiperglikemia, hipertensi, prningkatan level serum lipid,
penyakit jantung coroner, infeksi ginjal kronik, body mass index, faktor genetic, pubertas dan
kehamilan. Meskipun penyebab retinopati diabetika sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko
utama.
Penderita retinopati diabetika biasanya memiliki keluhan berupa sulit membaca,
penglihatan kabur atau menurun pada salah satu mata, melihat lingkaran cahaya, maupun
bintik gelap atau cahaya yang berkalap-kelip. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
berupa pemeriksaan laboratorium glukosa darah puasa dan HbA1C, dan pemeriksaan
pencitraan Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA).
Penatalaksaan untuk penyakit retinopati diabetika belum diketahui secara pasti, namun fokus
pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema makula adalah
pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA