Preseptor :
dr. Ira Rahmadhani, Sp.PD.
Oleh :
Reza Rahadian Yusuf Daen, S.Ked
0360073)
Penyaji, Pembimbing,
2.2 Metodologi
Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross-sectional yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik
waktu. Menurut Taylor & Kermode (dikutip dalam Swarjana 2012, h. 51)
penelitian deskriptif adalah desain yang menjelaskan fenomena untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Populasi adalah kumpulan dari individu, objek atau fenomena yang secara
potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian (Mazhindu & Scott, dikutip
dalam Swarjana 2012, h. 75). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
Diabetes Melitus yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan periode tahun 2011 yang berjumlah 87 yang terdiri dari 45
laki-laki dan 42 perempuan. Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang
dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam 2008, h. 91). Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam 2008, h. 94). Berdasarkan rumus jumlah sampel yang akan digunakan
45
dalam penelitian ini adalah : n =
1+ 45(0,05) 2
45
=
1,1125
2.5.2 Patofisiologis
a. Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi
endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya
aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada
saraf tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose. (Frykberg, 2002)
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar
sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan terganggu
fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida
neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar
bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf.
Kadar glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced
glycosylated end product (AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang
mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan
inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan
saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen
karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush syndrome dimana dapat
menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik. (Mc
Carthy, 1990)
b. Penyakit Arterial
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan
menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya
pada aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri
ini pada penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik,
meliputi kadar Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density
Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma,
inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan
peningkatan adhesifitas platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes
mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan
membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.
(Frykberg, 2002)
c. Deformitas kaki
d. Tekanan
2. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan
terjadinya neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti
deformitas tulang dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai adanya
lesi kulit terbuka, yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau
purulen (ulkus dengan infeksi yang superfisial terbatas pada kulit). (Amstrong,
2008)
3. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada
grade I dan ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar
ulkus meluas ke tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau
purulen, ulkus yang lebih dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi
tidak terdapat infeksi yang minimal. (Amstrong, 2008)
4. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya
abses yang dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat
osteomyelitis. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif
yang mengakibatkan jaringan menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke
dasar tulang, oleh karena itu diperlukan hospitalisasi/ perawatan di rumah sakit
karena ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon dan tulang serta terdapat
abses dengan atau tanpa osteomielitis. (Amstrong, 2008)
5. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih,
gangren dapat pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada
ekstremitas bawah biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu
gangren menyebabkan insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan
oksigenasi tidak adekuat. Pada awalnya mungkin terdapat suatu area focal dari
nekrosis yang apabila tidak dikoreksi akan menimbulkan peningkatan
kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi atau peradangan yang
terus-menerus.
Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya
edema jaringan lokal. (Amstrong, 2008)
6. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren- gangren
diseluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas
kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas,
gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian
pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau. (Doupis J, 2008)
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecah- pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya
kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi
pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas
pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki. (Doupis J,
2008)
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek
kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi. (Doupis J,
2008)
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman penyebabnya. (Doupis J, 2008)
1 Debridement
2 Offloading
3 . Penanganan Infeksi
Ulkus diabetes memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan
infeksi pada luka. Karena angka kejadian infeksi yang tinggi pada ulkus
diabetes, maka diperlukan pendekatan sistemik untuk penilaian yang
lengkap. Diagnosis infeksi terutama berdasarkan keadaan klinis seperti
eritema, edema, nyeri, lunak, hangat dan keluarnya nanah dari luka. (Droupis
J, 2008)
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The
Infectious Diseases Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori,
yaitu :
a. Infeksi ringan : apabila didapatkan eritema < 2 cm
b. Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema > 2 cm
c. Infeksi berat : apabila didapatkan gejala infeksi sistemik.
4 Pembedahan
a. Debridement
Debridement dilakukan untuk membuang jaringan mati dan terinfeksi
dari ulkus, callus hipertropik. Pada debridement juga ditentukan kedalaman
dan adanya tulang atau sendi yang terinfeksi. (Droupis J, 2008)
b. Pembedahan Revisional
Pembedahan revisional dilakukan pada tulang untuk memindahkan titik
beban. Tindakan tersebut meliputi reseksi metatarsal atau ostektomi
(Droupis J, 2008)
c. Pembedahan Vaskuler
Indikasi pembedahan vaskuler apabila ditemukan adanya gejala dari
kelainan pembuluh darah, yaitu nyeri hebat, luka yang tidak sembuh, adanya
gangren. (Droupis J, 2008)
5 Perawatan Luka
Penggunaan balutan yang efeklif dan tepat menjadi bagian yang
penting untuk memastikan penanganan ulkus diabetes yang optimal.
Pendapat mengenai lingkungan sekitar luka yang bersih dan lembab telah
diterima luas. Keuntungan pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi jaringan
dan kematian sel, akselerasi angiogenesis, dan memungkinkan interaksi
antara faktor pertumbuhan dengan sel target. Pendapat yang menyatakan
bahwa keadaan yang lembab dapat meningkatkan kejadian infeksi tidak
pernah ditemukan. (Droupis J, 2008)
Beberapa jenis balutan telah banyak digunakan pada perawatan luka
serta didesain untuk mencegah infeksi pada ulkus (antibiotika), membantu
debridement (enzim), dan mempercepat penyembuhan luka. (Droupis J,
2008)
Balutan basah-kering dengan normal salin menjadi standar baku
perawatan luka. Selain itu dapat digunakan Platelet Derived Growth Factor
(PDGF), dimana akan meningkatkan penyembuhan luka, PDGF telah
menunjukan dapat menstimulasi kemotaksis dan mitogenesis neutrofil,
fibroblast dan monosit pada proses penyembuhan luka. (Droupis J, 2008)
Penggunaan pengganti kulit/dermis dapat bertindak sebagai balutan
biologis, dimana memungkinkan penyaluran faktor pertumbuhan dan
komponen matrik esktraseluler. Recombinant Human Platelet Derived
Growth Factors (rhPDGF-BB) (beclpermin) adalah satu-satunya faktor
pertumbuhan yang disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA).
Living skin equivalen (LSE) merupakan pengganti kulit biologis yang
disetujui FDA untuk penggunaan pada ulkus diabetes. (Droupis J, 2008)
2.5.6. Pencegahan
BAB III
TELAAH KRITIS
a. Judul Jurnal
Nuniek Nizmah Fajriyah1, Aisyah Dzil Kamalah1, Nurul Fatikhah1, Annas Jaya
Amrullah1
1
STIKES Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
c. Abstrak
d. Latar Belakang
e. Metode
Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross-sectional yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik
waktu. Menurut Taylor & Kermode (dikutip dalam Swarjana 2012, h. 51)
penelitian deskriptif adalah desain yang menjelaskan fenomena untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Populasi adalah kumpulan dari individu, objek atau fenomena yang secara
potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian (Mazhindu & Scott, dikutip
dalam Swarjana 2012, h. 75). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
Diabetes Melitus yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan periode tahun 2011 yang berjumlah 87 yang terdiri dari 45
laki-laki dan 42 perempuan. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi
terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam 2008, h. 91). Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam 2008, h. 94). Berdasarkan rumus jumlah sampel yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah : n = 45 : 1 + 45 (0,05) 2 = 45 : 1,1125 = 40,45 atau 40
orang.
f. Hasil
Hasil analisis Pasien Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan dalam kategori Merokok adalah
27 Pasien (67,5%) dan Pasien yang Tidak Merokok sebesar 13 Pasien (32,5%).
Hasil analisis Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus yang
Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten Pekalongan
yang mengalami Ulkus Diabetik sebesar 27 pasien (100%).
g. Diskusi
Kaki diabetes atau Ulkus Diabetik adalah suatu penyakit pada penderita
diabetes bagian kaki dengan gejala dan tanda seperti sering kesemutan, jarak
tampak menjadi lebih pendek, nyeri saat istirahat dan kerusakan jaringan
(nekrosis, ulkus). Gejala kaki Diabetes Melitus dimulai dengan adanya perubahan
kalus, perubahan ini penting dilihat untuk mengetahui apakah penebalan kalus
disertai infeksi pada jaringan di bawahnya. Jika telah terjadi neuropati penderita
tidak akan merasa nyeri. Usaha yang harus dilakukan untuk mengelola kaki
diabetes agar terhindar dari tindakan amputasi adalah dengan memperbaiki
kelainan vasculer yang ada, memperbaiki sirkulasi, pengamatan kaki yang teratur,
pengelolaan pada masalah yang timbul, sepatu khusus, kerjasama tim yang baik
dan penyuluhan pasien (Misnadiarly 2006, hh. 40-47).
Dari hasil penelitian Gambaran Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien
Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan sebanyak 27 pasien. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus yang Merokok di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten Pekalongan masih tinggi.
Hal ini dapat disebabkan kurangnya kesadaran pasien Diabetes Melitus dalam
pola gaya hidup sehat. Penanggulangan dan pencegahan Ulkus Diabetik harus
ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang
penyakit Diabetes Melitus, penatalaksanaan secara umum, obat-obatan,
perencanaan makan, pola gaya hidup sehat termasuk berhenti merokok.
Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani dan perubahan
perilaku tentang makanan. Disarankan pula bagi penderita diabetes yang merokok
untuk segera menghentikan kebiasaan buruk tersebut karena nikotin dalam rokok
dapat berpengaruh buruk terhadap penyerapan glukosa oleh sel (Tobing 2008, h.
28).
Menurut Husaini mengatakan banyak penelitian membuktikan bahwa
pasien yang telah terbiasa merokok umumnya membutuhkan tetesan insulin yang
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena rokok telah memperlambat kerja aliran darah dan menyebabkan lambat
dalam menyerap insulin ke dalam darah., serta menjadikan efektivitas kerja
insulin dalam darah itu sendiri menjadi berkurang. Sehingga risiko terjadi ulkus
diabetik pada pasien diabetes melitus yang merokok berisiko lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. (Tobing 2008, h. 28).
h. Kesimpulan
Angka kejadian ulkus diabetik pada pasien diabetes melitus yang memiliki
kebiasaan merokok di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten
Pekalongan sebesar 27 pasien (100%). Secara tidak langsung menggambarkan
adanya peningkatan risiko terjadinya ulkus diabetikum pada pasien diabetes
mellitus dengan kebiasaan merokok.
i. Daftar Pustaka
Almatsier, & Sunita, 2006, Penuntun Diet, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Baradero, Mary, Dayrit, Mary & Siswadi, Yakobus, 2009, Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Endokrin, EGC, Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2010, Situasi Derajat Kesehatan, diakses 21 Januari
2015, http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2010/Profil2010.htm.
Grace, Pierce & Borley, Neil, 2006, At a Glance Ilmu Bedah, Erlangga, Jakarta.
Hembing,
Latifah, Ely, & Ghina, Naili, 2014, Mekanisme Koping Laki-laki dan
Perempuan dalam menjalani perawatan luka ulkus diabeti tahun pertama
yang pernah dirawat di RSUD Kabupaten Pekalongan, diakses 21 Januari
2015, http://www.e-skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id/e-skripsi/index.php?
p=show_detail&id=7.
Kajian Pustaka, 2013, Tahapan Tipe dan Faktor Perilaku Merokok, diakses 22
Januari 2015, http://www.kajianpustaka.com/2013/09/tahapan-tipe-dan-
faktor-perilakumerokok.html.
Prasetyono, & Dwi, 2012, Daftar Tanda dan Gejala Ragam Penyakit, Flash
Books, Yogyakarta .
Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2008, Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Gangguan Eksokrin & Endokrin pada pancreas, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sutawardana, & Jon, 2012, Cara Modern dalam Menilai Perkembangan Ulkus
Diabetikum, diakses 21 Januari 2015. <http://kesehatan.kompasiana.com/me
dis/2012/12/26/cara-modern-dalammenilai-perkembangan-ulkusdiabetikum-
513971.html>.
Tandra, & Hans, 2007, Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes
dengan Cepat dan Mudah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tobing, Ade, Mahendra, Krinastuti, Diah, & Alting, Boy, 2008, Care your self
diabetes mellitus, Penebar Swadaya, Jakarta.
Wasis, 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat, EGC, Jakarta.
Wulandari, & Indah, 2010, Pengaruh elevasi ekstremitas bwah terhadap proses
penyembuhan Ulkus Diabetik di Wilayah Banten tahun 2010, diakses 21
Januari 2015 <http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/gre
en/dataIdentifier.jsp?id=137194>.
BAB IV
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Gagal ginjal kronik dapat berlanjut menjadi gagal ginjal terminal atau end
stage renal disease dimana ginjal sudah tidak mampu lagi untuk
terapi pengganti ginjal. Salah satu faktor resiko gagal ginjal kronik adalah
Nefropati diabetik terjadi karena kadar gula darah yang tinggi pada
penderita diabetes melitus tidak terkontrol dengan baik. Kondisi ini yang
kronik.