Anda di halaman 1dari 28

Journal reading

Kejadian Ulkus Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Yang


Merokok

Preseptor :
dr. Ira Rahmadhani, Sp.PD.

Oleh :
Reza Rahadian Yusuf Daen, S.Ked
0360073)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Journal Reading
Kejadian Ulkus Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Yang
Merokok

Penyaji, Pembimbing,

Reza Rahadian Yusuf Daen, S.Ked. dr. Ira Rahmadhani, Sp.PD.

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah pada kaki diabetik misalnya ulserasi, infeksi dan gangren,


merupakan penyebab umum perawatan di rumah sakit bagi para penderita
diabetes. Perawatan rutin ulkus, pengobatan infeksi, amputasi dan perawatan di
rumah sakit membutuhkan biaya yang sangat besar tiap tahun dan menjadi beban
yang sangat besar dalam sistem pemeliharaan kesehatan. (Kruse, 2006)

Ulkus diabetes disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu neuropati, trauma,


deformitas kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan penyakit vaskuler perifer.
Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetes yang menyeluruh dan sistematik
dapat membantu memberikan arahan perawatan yang adekuat. (Frykberg, 2002)

Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement,


offloading dan kontrol infeksi. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus
mendapatkan perawatan karena ada beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi
resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan kualitas hidup, dan
mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus
diabetes sesegera mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan
kekambuhan setelah proses penyembuhan. Dari beberapa penelitian,
menunjukkan bahwa perkembangan ulkus diabetes dapat dicegah. (Frykberg,
2002)
BAB II
ULASAN JURNAL

2.1 Latar Belakang dan Tujuan


Diabetes Melitus adalah penyakit sindrom metabolik yaitu
gangguan metabolisme terutama hidrat arang akibat kekurangan hormon insulin.
Diabetes Melitus seringkali dikaitkan dengan gangguan sistem mikrovaskular dan
makrovaskular, gangguan neuropatik dan lesi dermopatik. Penyakit Diabetes
Melitus jika tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya berbagai
penyulit menahun, seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner,
penyakit pembuluh darah tungkai, penyulit pada mata, ginjal dan syaraf. Pada
keadaan normal glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi oleh
sel beta pancreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam batas aman,
baik pada keadaan puasa maupun sesudah makan. Pada keadaan Diabetes Melitus,
tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah
menjadi tidak stabil. (Sutedjo, 2010)
Angka Prevalensi Diabetes di Indonesia dalam Atlas tercantum perkiraan
penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi
Diabetes Melitus sebesar 4,6%, diperkirakan tahun 2000 berjumlah 5,6 juta jiwa.
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan kejadian Diabetes Melitus
mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu pada tahun 2008 jumlah
kasus Diabetes melitus sebanyak 4.507 kasus, pada tahun 2009 kasusnya
meningkat menjadi 4.747 dan pada tahun 2010 jumlah kasus menjadi 5.096.
Diabetes Melitus seringkali tidak menyadari adanya luka pada kaki, sehingga
meningkatkan risiko menjadi luka yang lebih dalam (ulkus kaki) dan perlu
melakukan tindakan amputasi. Diperkirakan sekitar 15% penderita Diabetes
Melitus dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi terutama
Ulkus Kaki Diabetikum. Sekitar 14-24% diantara penderita kaki diabetika
memerlukan tindakan amputasi (Sutawardana, 2012)
Pemeriksaan kaki diabetik perlu dilakukan secara menyeluruh, baik
sebelum luka muncul maupun setelah terjadi luka. Diabetis dianjurkan untuk tidak
berjalan tanpa alas kaki, memakai kaus kaki atau sepatu yang sempit, menghindari
bahan kimia dan benda tajam guna menipiskan penebalan yang terjadi pada
telapak kaki, menggunakan cincin pada jari kaki, memakai sepatu bertumit tinggi
dan sepatu yang ujungnya runcing ke depan, serta dilarang untuk merokok.
(Sutawardana, 2012)
Menurut Husaini mengatakan banyak penelitian membuktikan bahwa
pasien yang telah terbiasa merokok umumnya membutuhkan tetesan insulin yang
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena rokok telah memperlambat kerja aliran darah dalam kulit dan
menyebabkan lambat dalam menyerap insulin ke dalam darah., serta menjadikan
efektivitas kerja insulin dalam darah itu sendiri menjadi berkurang. Sehingga
risiko terjadi ulkus diabetik pada pasien diabetes melitus yang merokok berisiko
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. (Husaini, 2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kejadian Ulkus Diabetik pada
pasien Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni
II Kabupaten Pekalongan.

2.2 Metodologi
Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross-sectional yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik
waktu. Menurut Taylor & Kermode (dikutip dalam Swarjana 2012, h. 51)
penelitian deskriptif adalah desain yang menjelaskan fenomena untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Populasi adalah kumpulan dari individu, objek atau fenomena yang secara
potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian (Mazhindu & Scott, dikutip
dalam Swarjana 2012, h. 75). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
Diabetes Melitus yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan periode tahun 2011 yang berjumlah 87 yang terdiri dari 45
laki-laki dan 42 perempuan. Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang
dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam 2008, h. 91). Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam 2008, h. 94). Berdasarkan rumus jumlah sampel yang akan digunakan

45
dalam penelitian ini adalah : n =
1+ 45(0,05) 2

45
=
1,1125

= 40,45 atau 40 orang

2.3 Hasil Penelitian


Hasil analisis Pasien Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah
Kerja Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan dalam kategori Merokok
adalah 27 Pasien (67,5%) dan Pasien yang Tidak Merokok sebesar 13 Pasien
(32,5%). Hasil analisis Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus
yang Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten
Pekalongan yang mengalami Ulkus Diabetik sebesar 27 pasien (100%).

2.4 Analisis secara ringkas


Analisa data dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran kejadian ulkus diabetik di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan dengan menggunakan analisa univariat. Analisa univariat
diperlukan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan data secara sederhana
(Budiharto 2008, h. 22).

2.5 Ulkus Diabetikum


2.5.1 Epidemiologi

Menurut The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney


Disease, diperkirakan 16 juta orang Amerika Serikat diketahui menderita
diabetes, dan jutaan diantaranya beresiko untuk menderita diabetes. Dari
keseluruhan penderita diabetes, 15% menderita ulkus di kaki, dan 12-14% dari
yang menderita ulkus di kaki memerlukan amputasi. (Singh N, 2005)

Menurut laporan dari beberapa tempat di Indonesia, angka kejadian dan


komplikasi diabetes melitus cukup tersebar sehingga bisa dikatakan sebagai
salah satu masalah nasional yang harus mendapat perhatian, selain itu sampai
saat ini masalah kaki diabetik kurang mendapat perhatian sehingga masih
muncul konsep dasar yang kurang tepat bagi pengelolaan penyakit ini.
Dampaknya banyak penderita yang penyakitnya berkembang menjadi
penderita osteomielitis dan amputasi pada kakinya. Pada negara maju kaki
diabetik memang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi
dengan kemajuan cara pengelolaan dan adanya klinik kaki diabetik yang aktif
maka nasib penyandang kaki diabetik menjadi lebih baik sehingga angka
kematian dan amputasi menurun 45%-85%. (Singh N, 2005)
Sebagian lebih amputasi non trauma merupakan akibat dari komplikasi
ulkus diabetes, dan disertai dengan tingginya angka mortalitas, reamputasi dan
amputasi kaki kontralateral. Bahkan setelah hasil perawatan penyembuhan
luka bagus, angka kekambuhan diperkirakan sekitar 66%, dan resiko amputasi
meningkat sampai 12%. Komunitas Latin di Amerika (Hispanik), Afro
Amerika dan Native Amerika mempunyai angka prevalensi diabetes tertinggi
didunia, dimungkinkan berkembangnya ulkus diabetes. (Amstrong, 2008)

2.5.2 Patofisiologis

a. Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi
endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya
aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada
saraf tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose. (Frykberg, 2002)
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar
sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan terganggu
fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida
neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar
bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf.
Kadar glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced
glycosylated end product (AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang
mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan
inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan
saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen
karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush syndrome dimana dapat
menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik. (Mc
Carthy, 1990)

Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik merupakan


akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan motorik, sensorik dan
autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik
menyebabkan anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan
mengakibatkan masuknya bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya
sensibilitas kulit pada penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat
deteksi dari luka-luka kecil pada kaki. (Mathes, 2007)
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan
pembukaan arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling sering
mempengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris
medialis dan lateralis pada masing-masing lubangnya (tunnel). (Mc Carthy,
1990)

b. Penyakit Arterial
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan
menderita penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya
pada aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri
ini pada penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik,
meliputi kadar Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density
Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma,
inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan
peningkatan adhesifitas platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes
mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan
membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.
(Frykberg, 2002)

Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul


berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan
peningkatan aggregasi eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus
lentur ketika melewati kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah
dapat menyebabkan hambatan aliran dan kerusakan pada endotelial.
Glikosilasi non enzimatik protein spectrin membran sel darah merah
bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah
terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan
viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat
dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah.
(Mathes, 2007)

Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu


meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan
meningkatkan transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan meningkatkan
viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan
peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek
merugikan oleh hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan
sangatlah signifikan. (Mathes, 2007)
Gambar 2.1 Patofisiologi Ulkus Diabetikum

c. Deformitas kaki

Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan


kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait
biomekanik. Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan
ligamen pada metatarsal, cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya
dimana akan menambah panjang lengkung pada kaki. Perubahan
degeneratif ini nantinya akan merubah cara berjalan (gait), mengakibatkan
kelainan tekanan tumpuan beban, dimana menyebabkan kolaps pada kaki.
Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai merupakan hasil yang
sering didapatkan jika proses tersebut tidak dihentikan pada stadium awal.
(Frykberg, 2002)

d. Tekanan

Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem


organ termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles
dimana advanced glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan
molekul kolagen pada tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas
dan bahkan pemendekan tendon. Akibat ketidakmampuan gerakan
dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain arkus dan kaput metatarsal
mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya gangguan berjalan
(gait). (Mc Carthy, 1990)

Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang


berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes,
callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus menerus
dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya panas
dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan akibat benda tumpul atau
tajam dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah
aliran darah yang buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada
penderita diabetes. (Frykberg, 2002)

2.5.3 Klasifikasi Menurut Wagner


1. Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih
faktor risiko berupa neuropati sensorik yang merupakan komponen primer
penyebab ulkus; peripheral vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit kering
dan terdapat callous (yaitu daerah yang kulitnya menjadi hipertropik dan
anastesi); terjadi deformitas berupa claw toes yaitu suatu kelainan bentuk jari
kaki yang melibatkan metatarsal phalangeal joint, proximal interphalangeal
joint dan distal interphalangeal joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput
metatarsal, depresi caput longitudinalis dan penonjolan tulang karena
arthropati charcot. (Amstrong, 2008)
Gambar 2.2 Kaki dengan kalus

2. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan
terjadinya neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti
deformitas tulang dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai adanya
lesi kulit terbuka, yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau
purulen (ulkus dengan infeksi yang superfisial terbatas pada kulit). (Amstrong,
2008)

3. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada
grade I dan ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar
ulkus meluas ke tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau
purulen, ulkus yang lebih dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi
tidak terdapat infeksi yang minimal. (Amstrong, 2008)

4. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya
abses yang dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat
osteomyelitis. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif
yang mengakibatkan jaringan menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke
dasar tulang, oleh karena itu diperlukan hospitalisasi/ perawatan di rumah sakit
karena ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon dan tulang serta terdapat
abses dengan atau tanpa osteomielitis. (Amstrong, 2008)

5. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih,
gangren dapat pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada
ekstremitas bawah biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu
gangren menyebabkan insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan
oksigenasi tidak adekuat. Pada awalnya mungkin terdapat suatu area focal dari
nekrosis yang apabila tidak dikoreksi akan menimbulkan peningkatan
kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi atau peradangan yang
terus-menerus.

Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya
edema jaringan lokal. (Amstrong, 2008)

6. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren- gangren
diseluruh kaki atau sebagian tungkai bawah

Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut (Droupis J, 2008) :

a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada


b. Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan
dengan tindakan bedah mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi bawah
lutut).
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki
diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti (Droupis J,
2008) :

a. Insisi : abses atau selulitis yang luas


b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV
dan V
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

2.5.4 Penegakan Diagnosis


Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti, diagnosis kaki
diabetik ditegakkan melalui riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa kaki
diabetes melitus dapat ditegakkan melalui beberapa tahap pemeriksaan
sebagai berikut (Doupis J, 2008) :

a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga


Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi :

1) Lama diabetes
2) Managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet
3) Olahraga dan obat-obatan
4) Evaluasi dari jantung, ginjal dan mata
5) Alergi
6) Pola hidup
7) Medikasi terakhir
8) Kebiasaan merokok
9) Minum alkohol
Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas
kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kalus dan deformitas,
gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian
pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau. (Doupis J, 2008)

b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot
Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit,
pecah- pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya
kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi
pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas
pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan
gerak sendi; tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki. (Doupis J,
2008)
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen
ditambah dengan tunning fork 128-Hz, pinprick sensation, reflek
kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi. (Doupis J,
2008)

Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan monofilament dan tunning fork

3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut


nadi pada arteri kaki, capillary refiling time, perubahan warna,
atropi kulit dan kuku dan pengukuran ankle brachial index.
(Doupis J, 2008)
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan
nyaman, tipe sepatu dan ukurannya. (Doupis J, 2008)
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis
pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau
sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, dan lain- lain. (Doupis J, 2008)

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG (Electromyographi) dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah kaki diabetik menjadi
infeksi dan menentukan kuman penyebabnya. (Doupis J, 2008)

e. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi kaki


diabetik adalah dengan menilai Ankle Brachial Index (ABI) yaitu
pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik
yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di
tungkai. Nilai normalnya adalah O,9-1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan
bawah pasien penderita diabetes melitus memiliki penyakit kaki diabetik
dengan melihat gangguan aliran darah pada kaki. Alat pemeriksaan yang
digunakan ultrasonic doppler. Doppler dapat dikombinasikan dengan manset
pneumatic standar untuk mengukur tekanan darah ekstremitas bawah.
(Doupis J, 2008)
2.5.5. Tata Laksana

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus diabetes adalah penutupan luka.


Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar ditentukan oleh derajat
keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Dasar dari perawatan
ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol
infeksi. (Kruse, 2006)

1 Debridement

Debridement menjadi salah satu tindakan yang terpenting dalam


perawatan luka. Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang
jaringan nekrosis, callus dan jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang
sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan
pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.
(Brem H, 2004)
Metode debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp),
autolitik, enzimatik, kimia, mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik
dan kimia hanya membuang jaringan nekrosis (debridement selektif),
sedangkan metode mekanis membuang jaringan nekrosis dan jaringan hidup
(debridement non selektif). (Brem H, 2004)
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan
metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat
jaringan nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak
fungsi kaki atau membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk
memungkinkan kontrol infeksi dan penutupan luka selanjutnya. (Brem H,
2004)
Debridement enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak
jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase,
fibrinolisin-Dnase, papain- urea, streptokinase, streptodornase dan tripsin.
Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan
balutan tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan
keuntungan tambahan dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh
karena itu, penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan untuk
memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi
arteri terbatas. (Brem H, 2004)
Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik
pada dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada
aplikasi kasa basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah
dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik
menempel pada kasa dan secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka
ketika kasa dilepaskan. (Brem H, 2004)

2 Offloading

Offloading adalah pengurangan tekanan pada ulkus, menjadi salah satu


komponen penanganan ulkus diabetes. Ulserasi biasanya terjadi pada area
telapak kaki yang mendapat tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu cara
yang ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan. (Brem H,
2004)
Total Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang
paling efektif. TCC dibuat dari gips yang dibentuk secara khusus untuk
menyebarkan beban pasien keluar dari area ulkus. Metode ini memungkinkan
penderita untuk berjalan selama perawatan dan bermanfaat untuk mengontrol
adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan luka. Meskipun sukar
dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka dan itu ditunjukkan oleh
penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain membutuhkan
ketrampilan dan waktu, iritasi dari gips dapat menimbulkan luka baru,
kesulitan untuk menilai luka setiap harinya. (Brem H, 2004)
Karena beberapa kerugian TCC tersebut, lebih banyak digunakan Cam
Walker, removable cast walker, sehingga memungkinkan untuk inspeksi luka
setiap hari, penggantian balutan, dan deteksi infeksi dini. (Brem H, 2004)

3 . Penanganan Infeksi
Ulkus diabetes memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan
infeksi pada luka. Karena angka kejadian infeksi yang tinggi pada ulkus
diabetes, maka diperlukan pendekatan sistemik untuk penilaian yang
lengkap. Diagnosis infeksi terutama berdasarkan keadaan klinis seperti
eritema, edema, nyeri, lunak, hangat dan keluarnya nanah dari luka. (Droupis
J, 2008)
Penentuan derajat infeksi menjadi sangat penting. Menurut The
Infectious Diseases Society of America membagi infeksi menjadi 3 kategori,
yaitu :
a. Infeksi ringan : apabila didapatkan eritema < 2 cm
b. Infeksi sedang: apabila didapatkan eritema > 2 cm
c. Infeksi berat : apabila didapatkan gejala infeksi sistemik.

Ulkus diabetes yang terinfeksi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:


o Non-limb threatening : selulitis < 2cm dan tidak meluas
sampai tulang atau sendi.
o Limb threatening : selulitis > 2cm dan telah meacapai tulang
atau sendi, serta adanya infeksi sistemik.
Penelitian mengenai penggunaan antibiotika sebagai terapi ulkus
diabetes masih sedikit, sehingga sebagian besar didasarkan pada pengalaman
klinis. Terapi antibiotik harus didasarkan pada hasil kuftur bakteri dan
kemampuan toksistas antibiotika tersebut. (Droupis J, 2008)
Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening)
biasanya disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus. Infeksi ringan dan
sedang dapat dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral, misalnya
cephalexin, amoxilin-clavulanic, moxifloxin atau clindamycin. (Droupis J,
2008)
Sedangkan pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba,
seperti staphylokokus, streptokokus, enterobacteriaceae, pseudomonas,
enterokokus dan bakteri anaerob misalnya bacteriodes, peptokokus,
peptostreptokokus. Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan
pemberian antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta
aerobik dan anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat
meliputi imipenem-cilastatin, B-lactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam
dan piperacilin- tazobactam), dan cephalosporin spektrum luass. (Droupis J,
2008)

4 Pembedahan
a. Debridement
Debridement dilakukan untuk membuang jaringan mati dan terinfeksi
dari ulkus, callus hipertropik. Pada debridement juga ditentukan kedalaman
dan adanya tulang atau sendi yang terinfeksi. (Droupis J, 2008)
b. Pembedahan Revisional
Pembedahan revisional dilakukan pada tulang untuk memindahkan titik
beban. Tindakan tersebut meliputi reseksi metatarsal atau ostektomi
(Droupis J, 2008)
c. Pembedahan Vaskuler
Indikasi pembedahan vaskuler apabila ditemukan adanya gejala dari
kelainan pembuluh darah, yaitu nyeri hebat, luka yang tidak sembuh, adanya
gangren. (Droupis J, 2008)

5 Perawatan Luka
Penggunaan balutan yang efeklif dan tepat menjadi bagian yang
penting untuk memastikan penanganan ulkus diabetes yang optimal.
Pendapat mengenai lingkungan sekitar luka yang bersih dan lembab telah
diterima luas. Keuntungan pendekatan ini yaitu mencegah dehidrasi jaringan
dan kematian sel, akselerasi angiogenesis, dan memungkinkan interaksi
antara faktor pertumbuhan dengan sel target. Pendapat yang menyatakan
bahwa keadaan yang lembab dapat meningkatkan kejadian infeksi tidak
pernah ditemukan. (Droupis J, 2008)
Beberapa jenis balutan telah banyak digunakan pada perawatan luka
serta didesain untuk mencegah infeksi pada ulkus (antibiotika), membantu
debridement (enzim), dan mempercepat penyembuhan luka. (Droupis J,
2008)
Balutan basah-kering dengan normal salin menjadi standar baku
perawatan luka. Selain itu dapat digunakan Platelet Derived Growth Factor
(PDGF), dimana akan meningkatkan penyembuhan luka, PDGF telah
menunjukan dapat menstimulasi kemotaksis dan mitogenesis neutrofil,
fibroblast dan monosit pada proses penyembuhan luka. (Droupis J, 2008)
Penggunaan pengganti kulit/dermis dapat bertindak sebagai balutan
biologis, dimana memungkinkan penyaluran faktor pertumbuhan dan
komponen matrik esktraseluler. Recombinant Human Platelet Derived
Growth Factors (rhPDGF-BB) (beclpermin) adalah satu-satunya faktor
pertumbuhan yang disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA).
Living skin equivalen (LSE) merupakan pengganti kulit biologis yang
disetujui FDA untuk penggunaan pada ulkus diabetes. (Droupis J, 2008)

6. Terapi Tekanan Negatif dan Terapi Oksigen Hiperbarik


Penggunaan terapi tekanan negatif berguna pada perawatan diabetic
ulkus karena dapat mengurangi edema, membuang produk bakteri dan
mendekatkan tepi luka sehingga mempercepat penutupan luka. Terapi
oksigen hiperbarik juga dapat dilakukan, hal itu dibuktikan dengan
berkurangnya angka amputasi pada pasien dengan ulkus diabetes. (Droupis J,
2008)

2.5.6. Pencegahan

Pengawasan dan perawatan penyakit diabetes dapat mencegah ulkus


diabetes.
1. Regulasi kadar gula darah dapat mencegah neuropati perifer atau mencegah
keadaan yang lebih buruk.
2. Penderita diabetes harus memeriksa kakinya setiap hari, menjaga tetap
bersih dengan sabun dan air serta menjaga kelembaban kaki dengan
pelembab topikal.
3. Sepatu dan alas kaki harus dipilih secara khusus untuk mencegah adanya
gesekan atau tekanan pada kaki.
+

BAB III
TELAAH KRITIS

a. Judul Jurnal

“Kejadian Ulkus Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Yang Merokok”

b. Pengarang dan Institusi

Nuniek Nizmah Fajriyah1, Aisyah Dzil Kamalah1, Nurul Fatikhah1, Annas Jaya
Amrullah1
1
STIKES Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

c. Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui Kejadian Ulkus Diabetik pada pasien


Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan. Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif
dengan pendekatan cross-sectional yang pengumpulan datanya dilakukan pada
satu titik waktu. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling dengan jumlah 40 responden. Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen
pengumpulan data. Hasil analisis Pasien Diabetes Melitus dalam kategori
Merokok adalah 27 Pasien (67,5%) dan Pasien yang Tidak Merokok sebesar 13
Pasien (32,5%). Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus yang
Merokok yang mengalami Ulkus Diabetik sebesar 27 pasien (100%).
Penanggulangan dan pencegahan Ulkus Diabetik harus ditingkatkan dengan
memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit Diabetes
Melitus, penatalaksanaan secara umum, obat-obatan, perencanaan makan, pola
gaya hidup sehat termasuk berhenti merokok.

d. Latar Belakang

Diabetes Melitus adalah penyakit sindrom metabolik yaitu gangguan metabolisme


terutama hidrat arang akibat kekurangan hormon insulin. Diabetes Melitus
seringkali dikaitkan dengan gangguan sistem mikrovaskular dan makrovaskular,
gangguan neuropatik dan lesi dermopatik. Penyakit Diabetes Melitus jika tidak
dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyulit menahun,
seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh
darah tungkai, penyulit pada mata, ginjal dan syaraf. Pada keadaan normal
glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi oleh sel beta
pancreas, sehingga kadarnya di dalam darah selalu dalam batas aman, baik pada
keadaan puasa maupun sesudah makan. Pada keadaan Diabetes Melitus, tubuh
relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah menjadi tidak
stabil. (Sutedjo, 2010)
Angka Prevalensi Diabetes di Indonesia dalam Atlas tercantum perkiraan
penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi
Diabetes Melitus sebesar 4,6%, diperkirakan tahun 2000 berjumlah 5,6 juta jiwa.
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan kejadian Diabetes Melitus
mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, yaitu pada tahun 2008 jumlah
kasus Diabetes melitus sebanyak 4.507 kasus, pada tahun 2009 kasusnya
meningkat menjadi 4.747 dan pada tahun 2010 jumlah kasus menjadi 5.096.
Diabetes Melitus seringkali tidak menyadari adanya luka pada kaki, sehingga
meningkatkan risiko menjadi luka yang lebih dalam (ulkus kaki) dan perlu
melakukan tindakan amputasi. Diperkirakan sekitar 15% penderita Diabetes
Melitus dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi Ulkus
Diabetik terutama Ulkus Kaki Diabetikum. Sekitar 14-24% diantara penderita
kaki diabetika memerlukan tindakan amputasi (Sutawardana, 2012)
Pemeriksaan kaki diabetik perlu dilakukan secara menyeluruh, baik
sebelum luka muncul maupun setelah terjadi luka. Diabetis dianjurkan untuk tidak
berjalan tanpa alas kaki, memakai kaus kaki atau sepatu yang sempit, menghindari
bahan kimia dan benda tajam guna menipiskan penebalan yang terjadi pada
telapak kaki, menggunakan cincin pada jari kaki, memakai sepatu bertumit tinggi
dan sepatu yang ujungnya runcing ke depan, serta dilarang untuk merokok.
(Sutawardana, 2012)
Menurut Husaini mengatakan banyak penelitian membuktikan bahwa
pasien yang telah terbiasa merokok umumnya membutuhkan tetesan insulin yang
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena rokok telah memperlambat kerja aliran darah dan menyebabkan lambat
dalam menyerap insulin ke dalam darah., serta menjadikan efektivitas kerja
insulin dalam darah itu sendiri menjadi berkurang. Sehingga risiko terjadi Ulkus
Diabetik pada pasien Diabetes Melitus yang merokok berisiko lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. (Husaini, 2007)
Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti Kejadian Ulkus
Diabetik pada pasien Diabetes melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni
II Kabupaten Pekalongan.

e. Metode
Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross-sectional yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik
waktu. Menurut Taylor & Kermode (dikutip dalam Swarjana 2012, h. 51)
penelitian deskriptif adalah desain yang menjelaskan fenomena untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Populasi adalah kumpulan dari individu, objek atau fenomena yang secara
potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian (Mazhindu & Scott, dikutip
dalam Swarjana 2012, h. 75). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
Diabetes Melitus yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan periode tahun 2011 yang berjumlah 87 yang terdiri dari 45
laki-laki dan 42 perempuan. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi
terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat
mewakili populasi yang ada (Nursalam 2008, h. 91). Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam 2008, h. 94). Berdasarkan rumus jumlah sampel yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah : n = 45 : 1 + 45 (0,05) 2 = 45 : 1,1125 = 40,45 atau 40
orang.

f. Hasil
Hasil analisis Pasien Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan dalam kategori Merokok adalah
27 Pasien (67,5%) dan Pasien yang Tidak Merokok sebesar 13 Pasien (32,5%).
Hasil analisis Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus yang
Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten Pekalongan
yang mengalami Ulkus Diabetik sebesar 27 pasien (100%).
g. Diskusi
Kaki diabetes atau Ulkus Diabetik adalah suatu penyakit pada penderita
diabetes bagian kaki dengan gejala dan tanda seperti sering kesemutan, jarak
tampak menjadi lebih pendek, nyeri saat istirahat dan kerusakan jaringan
(nekrosis, ulkus). Gejala kaki Diabetes Melitus dimulai dengan adanya perubahan
kalus, perubahan ini penting dilihat untuk mengetahui apakah penebalan kalus
disertai infeksi pada jaringan di bawahnya. Jika telah terjadi neuropati penderita
tidak akan merasa nyeri. Usaha yang harus dilakukan untuk mengelola kaki
diabetes agar terhindar dari tindakan amputasi adalah dengan memperbaiki
kelainan vasculer yang ada, memperbaiki sirkulasi, pengamatan kaki yang teratur,
pengelolaan pada masalah yang timbul, sepatu khusus, kerjasama tim yang baik
dan penyuluhan pasien (Misnadiarly 2006, hh. 40-47).
Dari hasil penelitian Gambaran Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien
Diabetes Melitus yang Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II
Kabupaten Pekalongan sebanyak 27 pasien. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa Kejadian Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus yang Merokok di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten Pekalongan masih tinggi.
Hal ini dapat disebabkan kurangnya kesadaran pasien Diabetes Melitus dalam
pola gaya hidup sehat. Penanggulangan dan pencegahan Ulkus Diabetik harus
ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang
penyakit Diabetes Melitus, penatalaksanaan secara umum, obat-obatan,
perencanaan makan, pola gaya hidup sehat termasuk berhenti merokok.
Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani dan perubahan
perilaku tentang makanan. Disarankan pula bagi penderita diabetes yang merokok
untuk segera menghentikan kebiasaan buruk tersebut karena nikotin dalam rokok
dapat berpengaruh buruk terhadap penyerapan glukosa oleh sel (Tobing 2008, h.
28).
Menurut Husaini mengatakan banyak penelitian membuktikan bahwa
pasien yang telah terbiasa merokok umumnya membutuhkan tetesan insulin yang
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini disebabkan
karena rokok telah memperlambat kerja aliran darah dan menyebabkan lambat
dalam menyerap insulin ke dalam darah., serta menjadikan efektivitas kerja
insulin dalam darah itu sendiri menjadi berkurang. Sehingga risiko terjadi ulkus
diabetik pada pasien diabetes melitus yang merokok berisiko lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. (Tobing 2008, h. 28).

h. Kesimpulan
Angka kejadian ulkus diabetik pada pasien diabetes melitus yang memiliki
kebiasaan merokok di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni II Kabupaten
Pekalongan sebesar 27 pasien (100%). Secara tidak langsung menggambarkan
adanya peningkatan risiko terjadinya ulkus diabetikum pada pasien diabetes
mellitus dengan kebiasaan merokok.

i. Daftar Pustaka
Almatsier, & Sunita, 2006, Penuntun Diet, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Baradero, Mary, Dayrit, Mary & Siswadi, Yakobus, 2009, Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Endokrin, EGC, Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, 2010, Situasi Derajat Kesehatan, diakses 21 Januari
2015, http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2010/Profil2010.htm.

Endraswara, & Suwardi, 2006, Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan


Ideologi Epistemologi dan Aplikasi, Pustaka Widyatama, Yogyakarta.

Grace, Pierce & Borley, Neil, 2006, At a Glance Ilmu Bedah, Erlangga, Jakarta.
Hembing,

Wijayakusuma, 2008, Bebas Diabetes Melitus Ala Hembing, Puspa Swara,


Jakarta.

Latifah, Ely, & Ghina, Naili, 2014, Mekanisme Koping Laki-laki dan
Perempuan dalam menjalani perawatan luka ulkus diabeti tahun pertama
yang pernah dirawat di RSUD Kabupaten Pekalongan, diakses 21 Januari
2015, http://www.e-skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id/e-skripsi/index.php?
p=show_detail&id=7.

Kajian Pustaka, 2013, Tahapan Tipe dan Faktor Perilaku Merokok, diakses 22
Januari 2015, http://www.kajianpustaka.com/2013/09/tahapan-tipe-dan-
faktor-perilakumerokok.html.

Misnadiarly, 2006, Diabetes Melitus : Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal


Gejala, Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi, Pustaka Populer Obor,
Jakarta

Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.

Notoatmodjo, & Soekidjo 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Asdi


Mahasatya, Jakarta.
Pranoto, & Agung, 2012, Tantangan Diabetes Melitus Sebagai Wabah Penyakit
Dunia,diakses 20 Januari 2015, <http://www.suarasurabaya.net/referen
sikesehatan/read/26-TantanganDiabetes-Mellitus-Sebagai-WabahPenyakit-Dunia>.

Prasetyono, & Dwi, 2012, Daftar Tanda dan Gejala Ragam Penyakit, Flash
Books, Yogyakarta .

Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2008, Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
Gangguan Eksokrin & Endokrin pada pancreas, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sugiyono, 2009, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung

Sutawardana, & Jon, 2012, Cara Modern dalam Menilai Perkembangan Ulkus
Diabetikum, diakses 21 Januari 2015. <http://kesehatan.kompasiana.com/me
dis/2012/12/26/cara-modern-dalammenilai-perkembangan-ulkusdiabetikum-
513971.html>.

Sutedjo, 2010, 5 Strategi Penderita Diabetes Melitus Berusia Panjang, Kanisius,


Yogyakarta.

Suyono, & Slamet, 2009, Penatalaksanaan Diabetes Melitus terpadu, FKUI,


Jakarta.

Swarjana, I, 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, ANDI, Yogyakarta.

Tandra, & Hans, 2007, Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes
dengan Cepat dan Mudah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tobing, Ade, Mahendra, Krinastuti, Diah, & Alting, Boy, 2008, Care your self
diabetes mellitus, Penebar Swadaya, Jakarta.

Wasis, 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat, EGC, Jakarta.

Wulandari, & Indah, 2010, Pengaruh elevasi ekstremitas bwah terhadap proses
penyembuhan Ulkus Diabetik di Wilayah Banten tahun 2010, diakses 21
Januari 2015 <http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/gre
en/dataIdentifier.jsp?id=137194>.
BAB IV
PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang

progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk


mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Gagal ginjal kronik dapat berlanjut menjadi gagal ginjal terminal atau end

stage renal disease dimana ginjal sudah tidak mampu lagi untuk

mempertahankan substansi tubuh, sehingga membutuhkan penanganan

lebih lanjut berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai

terapi pengganti ginjal. Salah satu faktor resiko gagal ginjal kronik adalah

diabetes melitus yang berkomplikasi menjadi nefropati diabetik. Nefropati

diabetik atau penyakit ginjal diabetik, adalah suatu komplikasi penyakit

diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik.

Nefropati diabetik terjadi karena kadar gula darah yang tinggi pada

penderita diabetes melitus tidak terkontrol dengan baik. Kondisi ini yang

mengakibatkan kelainan pada pembuluh darah halus ginjal. Apabila berada

pada stadiu lanjut, kondisi nefropati diabetik ini akan mengakibatkan

penderita GGK memerlukan pengobatan pengganti dengan cuci darah

(hemodialsis). Hampir 20-30 persen penderita diabetes melitus akan

mengalami nefropati diabetic yang selanjutnya menjadi gagal ginjal

kronik.

Anda mungkin juga menyukai