RETINOPATI DIABETIK
Oleh :
Preseptor :
PENDAHULUAN
bahwa Indonesia berada pada urutan keempat negara dengan jumlah penderita
jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan meningkat dari 117 juta pada
menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita
lebih dari 60%. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien
2
Masalah utama dalam penanganan retinopati diabetik adalah keterlambatan
diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses
peradangan. Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati yang mengenai
prekapiler, kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan
kebocoran vaskuler.Retinopati diabetik (RD) adalah kelainan retina pada pasien
diabetes mellitus. RD merupakan suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil, meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena. Retinopati akibat diabetes mellitus lama
berupa aneurismata, melebarnya vena, perdarahan, dan eksudat lemak.1,4
Retinopati diabetik mengacu pada perubahan retina yang terjadi pada
pasien dengan diabetes mellitus. Perubahan ini mempengaruhi pembuluh darah
kecil retina dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan melalui beberapa
jalur yang berbeda. 1,4
2.2 Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di
jumpai, terutama di negara barat.Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun
mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah
penyandang diabetes. Prevalensi retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe
1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah 50%. Retinopati diabetik jarang
ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya
diabetes. Resiko berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.1
Penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 mempunyai risiko untuk
terjadinya RD. Semakin lama menderita diabetes, semakin bertambah risiko untuk
terjadinya RD. Wisconsin Epidemiology Study of Diabetic Retinopathy
(WESDR) melaporkan 99% pasien DM tipe 1 dan 60% pasien DM tipe 2 akan
mengalami retinopati diabetes dalam 20 tahun.6 Insidensi terjadinya RD pada
pasien diabetes mellitus mencapai 40-50% dan memiliki prognosis yang kurang
baik bagi penglihatan.1
4
durasi penyakit dan usia pasien. Retinopati diabetik jarang terjadi pada anak usia
kurang dari 10 tahun, namun risiko meningkat setelah usia puberitas. Retinopati
diabetik proliferatif terjadi pada 50% pasien DM tipe 1 dalam 15 tahun.5
5
2) Ras
Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dikaitkan dengan
beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor genetik dan faktor
resiko retinopati lainnya.
3) Umur
Pada diabetes tipe 1, retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13
tahun, kemudian meningkat sampai umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan
setelahnya. Pada pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat dengan
bertambahnya umur.
4) Durasi Diabetes
Prevalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15 tahun sejak
diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun menjadi 75-95% dan
mencapai 100% setelah 30 tahun. Pada diabetes tipe 2 prevalensi retinopati sekita
20% sejak diagnosis ditegakkan dan meningkat menjadi 60-85% setelah 15
tahun.8
5) Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic
Retinopathy (WSDR) ditemukan bahwa pada pasien diabetes dengan retinopati
memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak
terdiagnosis retinopati.
6) Hipertensi
Tujuh belas persen pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi
dan 25% pasien menjadi memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis
retinopati diabetika. Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi
vaskularisasi retina yang akan memperparah patofisiologi terjadinya retinopati
diabetika.
7) Hiperlipidemia
Dislipidemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif dan
makula, berhubungan dengan tebentuknya hard exudate pada penderita retinopati
8) Insulin endogen
Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin
endogen. Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki kadar C-
6
peptide plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak berpengaruh
terhadap progesivitas retinopati,
9) Indeks Massa Tubuh(IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan
retinopati, mereka yang underweight (BMI<20 kg/m2 untuk pria dan wanita)
memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk terkena retinopati dibandingkan dengan
BMI normal.
10) Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat
kehamilan. Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan dengan
preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak.
11) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor
patogenesis pada diabetes tipe 2.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Hiperglikemia dalam jangka waktu lama merupakan faktor utama
terjadinya retinopati diabetika.5,8 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien
yang mendapat terapi insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang
terjadi retinopati yang progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat
terapi insulin.10 Beberapa proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan
menimbulkan terjadinya retinopati diabetika antara lain7,9:
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang
meningkatan produksi sorbitol.5,8 Sorbitol adalah senyawa gula dan alkohol yang
tidak dapat melewati membran basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk
di jaringan lensa, pembuluh darah dan optik. Penumpukan ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan morfologi dan
fungsional sel.8 Konsumsi NADPH selama peningkatan produksi sorbitol
menyebabkan penigkatan stress oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-
ATPase, gangguan metabolisme phopathydilinositol, peningkatan produksi
prostaglandin dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.5
7
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam
amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation end
product (AGE). Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan inflamasi
vaskular dan reactive oxygen species (ROS) yang berhubungan dengan kejadian
retinopati diabetika proliferatif.5
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF
yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru. Pada hiperglikemik terjadi
peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase C dari
glukosa.8
Kelainan dari retinopati diabetika terletak pada kapiler retina. Dinding
kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit (untuk
mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan
fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel), membrana basalis
(untuk mempertahankan permeabilitas) dan sel endotel (bersama dengan matriks
ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif
terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang digunakan
untuk diagnosis kapiler retina), perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel
kapiler retina adalah 1:1. Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika
dimulai dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit
dan meningkatnya proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan
sel perisit menjadi 10:1,7.8
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu10 :
1) Pembentukan mikroaneurisma
2) Peningkatan permeabilitas
3) Penyumbatan
4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan jaringan
fibrosis
5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus
8
2.5 Gambaran Klinis
9
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS)
retinopati dibagi atas dua stadium yaitu :11
1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)
Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan
sering tidak memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan
foto warna fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA). Mikroaneurisma
merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat dalam foto warna fundus
berupa bintik merah yang sering di bagian posterior. Kelainan morfologi lain
antara lain penebalan membran basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang
tampak sebagai bercak warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai
bercak halus (Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran
lipoprotein plasma. Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot
terjadi akibat kapiler yang mengalami sumbatan. RDNP selanjutnya dapat dibagi
menjadi tiga stadium
a) Retinopati nonproliferatif minimal
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b) Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan,
eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA
c) Retinopati nonproliferatif berat
Terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, IRMA ekstensif minimal pada 1
kuadran
d) Retinopati nonproliferatif sangat berat
Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif berat.
10
Gambar 2.1 Standar fotografi dari ETDRS yang digunakan sebagai standar dalam
mennetukan derajat retinopati yang menunjukan abnormalitas mikrovaskular
(dilatasi kapiler).11
11
eksudat lemak kuning, dan cotton wool spot11
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran
yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.
12
Gambar 2.4 Fotografi fundus berwarna RDP yang menunjukkan
neovaskularisasi, perdarahan neovaskularisasi, pelepasan retina dari makula11
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan awal yang dilakukan pada pasien diabetes melitus meliputi
pemeriksaan mata yang komprehensif dengan perhatian khusus terhadap aspek
yang terkait dengan retinopati diabetik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.12
a. Anamnesis
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu (obesitas, penyakit ginjal, penyakit
hipertensi sistemik, kadar lipid serum, riwayat kehamilan, neuropati)
Riwayat penyakit mata (trauma, penyakit mata lain, pembedahan, termasuk
terapi laser retina dan pembedahan refraksi)
b. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan/visus
Slit-lamp biomicroscopy
Tekanan intraokular
Gonioskopi
Pemeriksaan pupil
Funduskopi, termasuk stereoscopy fundus photography
13
Pemeriksaan retina perifer dan vitreous, paling baik diperiksa
dengan indirect ophtalmoscopy atau Slit-lamp biomicroscopy
c. Pemeriksaan penunjang 12,13
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Fundus photography
Deteksi dini retinopati diabetik di pelayanan kesehatan primer
dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode diagnostik
terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophtalmology (AAO) adalah
fundus photography. Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah mudah
dilakukan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga
mampu dilakukan di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati
diabetik dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment of Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) seperti terlihat pada tabel.13
Tabel 2.3 Klasifikasi retinopati diabetik ETDRS13
14
pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit lamp biomicroscopy, gonioskop,
funduskopi dan stereoscopy fundus photography dengan pemberian
midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
Optical Coherence Tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila perlu.
13
Gambar 2.7 Hasil OCT normal (A); edema makula pada retinopati diabetik
(B) 13
Fluorescein angiography (FA)
Fluorescein angiography berguna untuk menentukan kelainan
mikrovaskular pada retinopati diabetik. Defek kelainan yang besar pada jalinan
kapiler-non perfusi kapiler menunjukkan luas iskemia retina dan biasanya lebih
jelas pada daerah midperifer. Kebocoran fluoresein yang disertai dengan edema
retina, mungkin membentuk gambaran petaloid edema makula kistoid atau
mungkin gambaran difus. Hal ini dapat menentukan prognosis serta luas dan
penempatan terapi laser. Mata dengan edema makula dan iskemia retina yang
bermakna mempunyai prognosis penglihatan yang lebih buruk, dengan atau
tanpa terapi laser, dibandingkan dengan mata edema dengan perfusi yang relatif
baik. 12
15
Ocular ultrasonography
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina apabila
visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media
refraksi. 12
16
tekanan darah. Ketika tekanan darah tidak terkontrol dalam waktu yang lama,
maka berhubungan dengan meningkatnya retinopati baru dan progesivitas dari
retinopati dibetikum, sehingga control tekanan darah juga memegang peranan
penting. Terapi retinopati diabetic maka terapi tergantung dari lokasi dan
keparahan retinopatinya.1
1. Non proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
Selain control gula darah dan hipertensi, sebenarnya tidak ada manajemen
khusus untuk NPDR tanpa Diabetic Macular Edema (DME). Pengobatan awal
menggunakan fotokoagulasi panretinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
NPDR berat atau lebih, terutama pada pasien yang memiliki potensi untuk tidak
patuh terhadap pengobatan dan rekomendasi control. 1
Anti VEGF seperti ranibizimbab terbukti juga dapat memperbaiki
keparahan dari NPDR. Setelah dua tahun pengobatan menggunakan anti-VEGF
40% mata akan membaik 2 atau lebih level dari ETDRS diabetic retinopathy
severity scale. Terapi Intravitreal steroid juga menunjukkan perbaikan dari tingakt
keparahan. Terapi pembedahan bukan merupakan pilihan pada NPDR. 1
2. Proliferatice diabetic retinopathy (PDR)
Tujuan dari tatalaksana PDR adalah control iskemia dan mengurangi level
ocular VEGF sehingga neovaskularisasi dapat berkurang. Dapat dilakukan dengan
cara administrasi anti-VEGF intravitreal atau dengan ablasi dari retina iskemia via
laser photokoagulasi. Komplikasi dari PDR atau pengobatanannya seperti
perdarahan viterus dan tractional retinal detachment dapat diatasi dengan
intervensi surgical. 1
Manajemen non-surgikal PDR adalah pengadministrasian anti-VEGF dan
steroid. Pemberian anti-VEGF dapat menurunkan neovascular baik pada kasus
yang baru terdiagnosis dan kronik. Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi dari pemberian anti-VEGF yaitu berupa tractional retinal detachment,
retinal tears. Karena keefektivannya untuk mengurangi intraocular
neovaskularisasi dan keamanannya, anti-VEGF merupakan terapi pilihan pertama
sebagai alternative dari panretinal fotokoagulasi (PRP). 1
Manajemen surgikan bagi pasien PDR adalah menggunakan operasi laser.
Selama 4 dekade terakhir hingga ditemukannya anti-VEGF, pengobatan utama
17
dari PDR adalah laser fotokoagulasi di panretinal untuk merangsang regresi dari
neovaskularisasi. Indikasi dari pengobatan masih bergantung dari derajat PDR.
Pada pasien dengan high-risk PDR, Pengobatan PRP direkomendasikan pada mata
yang belum mendapatkan anti-VEGF. PRP menghancurkan retina iskemia, yang
memproduksi growth factor seperti VEGF yang mempromosikan keparahan
penyakit. PRP juga meningkatkan tekanan oksigen pada mata melalui dua
mekanisme: (1) meningkatkan difusi oksigen dari koroid ke daerah skar
fotokoagulasi dan (2) menurunkan pengambilan oksigen yang diakibatkan dari
destruksi rentina. Secara garis besar, perubahan ini akan menurunkan jaringan
neurovascular yang sudah ada dan menecgah progesivitas dari neovaskularisasi.
Pengobatan dapat dilakukan dalam sekali pertemuan ataupun pertemuan multiple.
1
18
sering.Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon
terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada
mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik
iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat
pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya
rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan
timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama
setelah dilakukan operasi. 11
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang
terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan
jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini
adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik
pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan
19
sudut masih terbuka. 11
3. Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik
proliferatif.Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada
retina hingga ke rongga vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai
struktur yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan
perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-
hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior,
middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous. 11
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi
saat perdarahan vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif,
pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi
direk secara jauh akanmenampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan
sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah
jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek
menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu
untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca. 11
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari
lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa
menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau
kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur. 11
2.10 Prognosis
Meski terapi laser dan bedah telah sangat meningkatkan prognosis pasien
dengan retinopati diabetik, penyakit ini masih menyebabkan kehilangan
penglihatan berat pada beberapa pasien.15
20
BAB III
KESIMPULAN
21
Pada retinopati diabetes proliferatif 50% pasien akan mengalami kebutaan
sesudah 5 tahun, namun regresi spontan dapat pula terjadi. Mata dengan edema
makula dan iskemia dengan atau tanpa terapi laser memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan edema makula dengan vaskularisasi yang baik.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit mata. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.
2. Victor A. Retinopati Diabetik Penyebab Kebutaan Utama Penderita Diabetes.
Departemen Mata FKUI/RSCM. Jakarta; 2008.
3. Pandelaki, K., 2007. Retinopati Diabetik dalam: Sudoyo, A.W., Setiayohadi, B.,
Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FK UI. Jakarta.
4. Rodiah R. Diabetik Retinopati. Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU. Medan. 2007.
5. Riordan-Eva P, Cunningham ET. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology.
18th ed. New York: Mc Graw Hill; 2011.
6. Lubis DR. Diabetikum retinopati. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan; USU repository. 2008
7. Fong DS, Aiello L, Gardner TW. Retinopathy in diabetes. Diabetes care. 2004;
27(1): 84-87.
8. Suyono S, Pandelaki K. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Setiati S, Alwi I, Sudoyo
A, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AR, editor. Jakarta: InternaPublishing;
2014.
9. Manaviat MR, Rashidi M, Afkhami-Ardekani M, Reza Shoja M.
Prevalence of dry eye syndrome and diabetic retinopathy in type 2 diabetic
patients. BMC Opthamol. 2008; 8(10):1-4.
10. Chew E. Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. Philadelphia:
Lippincolt William and Willkins; 2000.
11. Fraser CE, D’Amico DJ. Diabetic retinopaty : classification and clinical
features. Netherlands: Wolters Kluwer; 2015.
12. Augsburger J, Asbury T. Retina dalam: Vaughan &Asbury Oftalmologi
Umum Ed 17. Jakarta: EGC. 2010: hal 185.
13. American Academy of Opthalmology. Retina and Vitreous. Section 12. San
Fransisco: 2016-2017,hal 29.
14. American Academy of Opthalmology. Retina and Vitreous. Section 12. San
Fransisco: 2019-2020.
15. Goetz CG, 2007. Textbook of Clinical Neurology 3rd ed. Philadelphia:
Elsevier.
23