Anda di halaman 1dari 23

Clinical Science Session

Dipresentasikan: Rabu, 17 Juni 2020

RETINOPATI DIABETIK

Oleh :

Ismail bin Abdullah 1840312404


Varinka Adellyn H 1840312762

Febrina Adriani Purba 1840312769

Preseptor :

dr. Julita, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus merupakan penyakit kronis progresif dengan angka

morbiditas yang tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan

bahwa Indonesia berada pada urutan keempat negara dengan jumlah penderita

DM terbanyak. Dalam urutan penyebab kebutaan secara global, retinopati diabetik

menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula.1 Di

Amerika Serikat didapatkan insidensi kebutaan akibat retinopati diabetes sekitar

5000 orang pertahun, sedangkan di Inggris retinopati diabetes merupakan

penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan. Diestimasi bahwa

jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan meningkat dari 117 juta pada

tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.1,2

Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetes hanya

ditemukan pada kurang dari 5% pasien, setelah 10 tahun, prevalensi meningkat

menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita

retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan

sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non-proliferatif (background

retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi

lebih dari 60%. Di Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien

diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total.3

Kebutaan akibat retinopati diabetik menjadi masalah kesehatan yang

diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan

produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat.

2
Masalah utama dalam penanganan retinopati diabetik adalah keterlambatan

diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami

gangguan penglihatan. Dokter umum di pelayanan kesehatan primer memegang

peranan penting dalam deteksi dini retinopati diabetik, penatalaksanaan awal,

menentukan kasus rujukan ke dokter spesialis mata, dan menerimanya kembali.1

1.2 Batasan Masalah

Clinical Science Session ini membahas tentang anatomi dan fisiologi


retina, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis retinopati
diabetik.
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah untuk menambah


wawasan tentang retinopati diabetik.
1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan


ilmu penyakit mata pada khususnya.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.
1.5 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang


merujuk dari berbagai literatur.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses
peradangan. Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati yang mengenai
prekapiler, kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan
kebocoran vaskuler.Retinopati diabetik (RD) adalah kelainan retina pada pasien
diabetes mellitus. RD merupakan suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil, meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena. Retinopati akibat diabetes mellitus lama
berupa aneurismata, melebarnya vena, perdarahan, dan eksudat lemak.1,4
Retinopati diabetik mengacu pada perubahan retina yang terjadi pada
pasien dengan diabetes mellitus. Perubahan ini mempengaruhi pembuluh darah
kecil retina dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan melalui beberapa
jalur yang berbeda. 1,4
2.2 Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di
jumpai, terutama di negara barat.Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun
mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah
penyandang diabetes. Prevalensi retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe
1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah 50%. Retinopati diabetik jarang
ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya
diabetes. Resiko berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas.1
Penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 mempunyai risiko untuk
terjadinya RD. Semakin lama menderita diabetes, semakin bertambah risiko untuk
terjadinya RD. Wisconsin Epidemiology Study of Diabetic Retinopathy
(WESDR) melaporkan 99% pasien DM tipe 1 dan 60% pasien DM tipe 2 akan
mengalami retinopati diabetes dalam 20 tahun.6 Insidensi terjadinya RD pada
pasien diabetes mellitus mencapai 40-50% dan memiliki prognosis yang kurang
baik bagi penglihatan.1

Angka kejadian RD pada semua populasi diabetes meningkat seiring

4
durasi penyakit dan usia pasien. Retinopati diabetik jarang terjadi pada anak usia
kurang dari 10 tahun, namun risiko meningkat setelah usia puberitas. Retinopati
diabetik proliferatif terjadi pada 50% pasien DM tipe 1 dalam 15 tahun.5

Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013 menemukan sekitar 6,9%


penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun menderita DM dan Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta mencatat persentase komplikasi kedua
terbanyak setelah neuropati adalah retinopati diabetes.11 Komplikasi lanjut
timbul setelah 5-15 tahun menderita diabetes, dengan angka kejadian 50 % dan
akan meningkat menjadi 90% setelah menderita diabetes selama 17-25 tahun1,4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Diyakini bahwa penyebab dari retinopati diabetik adalah lamanya terpapar


pada hiperglikemia menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Didukung oleh hasil
pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe
1 dan diabetes tipe 2 pada 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini.6
Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah
dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain: 6
− Adhesif platelet yang meningkat.
− Agregasi eritrosit yang meningkat.
− Abnormalitas lipid serum.
− Fibrinolisis yang tidak sempurna.
− Abnormalitas dari sekresi growth hormon
− Abnormalitas serum dan viskositas darah
Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi retinopati diabetika antara
lain:7
1) Jenis Kelamin
Pada penderita dibawah 30 tahun kejadian lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan dengan wanita, sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada
perbedaan yang bermakna untuk kejadian maupun progesivitas antara pria
maupun wanita

5
2) Ras
Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dikaitkan dengan
beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor genetik dan faktor
resiko retinopati lainnya.
3) Umur
Pada diabetes tipe 1, retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13
tahun, kemudian meningkat sampai umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan
setelahnya. Pada pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat dengan
bertambahnya umur.
4) Durasi Diabetes
Prevalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15 tahun sejak
diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun menjadi 75-95% dan
mencapai 100% setelah 30 tahun. Pada diabetes tipe 2 prevalensi retinopati sekita
20% sejak diagnosis ditegakkan dan meningkat menjadi 60-85% setelah 15
tahun.8
5) Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic
Retinopathy (WSDR) ditemukan bahwa pada pasien diabetes dengan retinopati
memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak
terdiagnosis retinopati.
6) Hipertensi
Tujuh belas persen pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi
dan 25% pasien menjadi memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis
retinopati diabetika. Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi
vaskularisasi retina yang akan memperparah patofisiologi terjadinya retinopati
diabetika.
7) Hiperlipidemia
Dislipidemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif dan
makula, berhubungan dengan tebentuknya hard exudate pada penderita retinopati
8) Insulin endogen
Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin
endogen. Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki kadar C-

6
peptide plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak berpengaruh
terhadap progesivitas retinopati,
9) Indeks Massa Tubuh(IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan
retinopati, mereka yang underweight (BMI<20 kg/m2 untuk pria dan wanita)
memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk terkena retinopati dibandingkan dengan
BMI normal.
10) Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat
kehamilan. Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan dengan
preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak.
11) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor
patogenesis pada diabetes tipe 2.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Hiperglikemia dalam jangka waktu lama merupakan faktor utama
terjadinya retinopati diabetika.5,8 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien
yang mendapat terapi insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang
terjadi retinopati yang progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat
terapi insulin.10 Beberapa proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan
menimbulkan terjadinya retinopati diabetika antara lain7,9:
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang
meningkatan produksi sorbitol.5,8 Sorbitol adalah senyawa gula dan alkohol yang
tidak dapat melewati membran basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk
di jaringan lensa, pembuluh darah dan optik. Penumpukan ini menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik yang menimbulkan gangguan morfologi dan
fungsional sel.8 Konsumsi NADPH selama peningkatan produksi sorbitol
menyebabkan penigkatan stress oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-
ATPase, gangguan metabolisme phopathydilinositol, peningkatan produksi
prostaglandin dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.5

7
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam
amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation end
product (AGE). Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan inflamasi
vaskular dan reactive oxygen species (ROS) yang berhubungan dengan kejadian
retinopati diabetika proliferatif.5
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF
yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru. Pada hiperglikemik terjadi
peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan regulator protein kinase C dari
glukosa.8
Kelainan dari retinopati diabetika terletak pada kapiler retina. Dinding
kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit (untuk
mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan
fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel), membrana basalis
(untuk mempertahankan permeabilitas) dan sel endotel (bersama dengan matriks
ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif
terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang digunakan
untuk diagnosis kapiler retina), perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel
kapiler retina adalah 1:1. Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika
dimulai dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit
dan meningkatnya proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan
sel perisit menjadi 10:1,7.8
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu10 :
1) Pembentukan mikroaneurisma
2) Peningkatan permeabilitas
3) Penyumbatan
4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan jaringan
fibrosis
5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus

8
2.5 Gambaran Klinis

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa:6


− Kesulitan membaca
− Penglihatan kabur
− Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
− Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
− Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa:6


− Mikroaneurisma: merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena
dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama polus posterior.
− Perdarahan: dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak
dekat mikroaneurisma dipolus posterior.
− Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.
− Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus
yaitu iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar
dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
− Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah
nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
− Pembuluh darah baru (Neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak
dipermukaan jaringan.
Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan
ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke
daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid
(preretinal maupun perdarahan badan kaca.
− Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.

9
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS)
retinopati dibagi atas dua stadium yaitu :11
1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)
Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan
sering tidak memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan
foto warna fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA). Mikroaneurisma
merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat dalam foto warna fundus
berupa bintik merah yang sering di bagian posterior. Kelainan morfologi lain
antara lain penebalan membran basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang
tampak sebagai bercak warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai
bercak halus (Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran
lipoprotein plasma. Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot
terjadi akibat kapiler yang mengalami sumbatan. RDNP selanjutnya dapat dibagi
menjadi tiga stadium
a) Retinopati nonproliferatif minimal
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b) Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan,
eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA
c) Retinopati nonproliferatif berat
Terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, IRMA ekstensif minimal pada 1
kuadran
d) Retinopati nonproliferatif sangat berat
Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif berat.

10
Gambar 2.1 Standar fotografi dari ETDRS yang digunakan sebagai standar dalam
mennetukan derajat retinopati yang menunjukan abnormalitas mikrovaskular
(dilatasi kapiler).11

Gambar 2.2 Standar fotografi ETDRS menunjukkan perdarahan retina dan


mikroaneurisma11

Gambar 2.3 Fotografi fundus berwarna dari RDNP menunjukkan perdarahan,

11
eksudat lemak kuning, dan cotton wool spot11

2. Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP)


Retinopati diabetika proliferatif ditandai dengan terbentuknya pembuluh
darah baru (Neovaskularisasi). Dinding pembuluh darah baru tersebut hanya
terdiri dari satu lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga
sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembentukan pembuluh darah
baru tersebut sangat berbahaya karena dapat tumbuh menyebar keluar retina
sampai ke vitreus sehingga menyebabkan perdarahan di vitreus yang
mengakibatkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang akan terbentuk
jaringan sikatrik dan fibrosis di retina yang akan menarik retina sampai lepas
sehingga terjadi ablasio retina.8 RPD dapat dibagi lagi menjadi
a) Retinopati proliferatif tanpa resiko tinggi
Bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup
lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau
vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai
perdarahan preretina atau vitreus
b) Retinopati proliferatif resiko tinggi
Apabila ditemukan 3 atau 4 faktor risiko berikut :
− Ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina
− Ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus
− Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup lebih
dari satu per empat daerah diskus
− Perdarahan vitreus

Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua gambaran
yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.

12
Gambar 2.4 Fotografi fundus berwarna RDP yang menunjukkan
neovaskularisasi, perdarahan neovaskularisasi, pelepasan retina dari makula11

2.6 Diagnosis
Pemeriksaan awal yang dilakukan pada pasien diabetes melitus meliputi
pemeriksaan mata yang komprehensif dengan perhatian khusus terhadap aspek
yang terkait dengan retinopati diabetik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.12
a. Anamnesis
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu (obesitas, penyakit ginjal, penyakit
hipertensi sistemik, kadar lipid serum, riwayat kehamilan, neuropati)
Riwayat penyakit mata (trauma, penyakit mata lain, pembedahan, termasuk
terapi laser retina dan pembedahan refraksi)

b. Pemeriksaan Fisik

Tajam penglihatan/visus
Slit-lamp biomicroscopy
Tekanan intraokular
Gonioskopi
Pemeriksaan pupil
Funduskopi, termasuk stereoscopy fundus photography

13
Pemeriksaan retina perifer dan vitreous, paling baik diperiksa
dengan indirect ophtalmoscopy atau Slit-lamp biomicroscopy
c. Pemeriksaan penunjang 12,13
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Fundus photography
Deteksi dini retinopati diabetik di pelayanan kesehatan primer
dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode diagnostik
terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophtalmology (AAO) adalah
fundus photography. Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah mudah
dilakukan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga
mampu dilakukan di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati
diabetik dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment of Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) seperti terlihat pada tabel.13
Tabel 2.3 Klasifikasi retinopati diabetik ETDRS13

Di pelayanan kesehatan primer, pemeriksaan fundus photography


berperan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan
adanya edema makula, retinopati diabetik nonproliferatif derajat berat dan
retinopati diabetik proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan
mata lengkap oleh dokter spesialis mata. 13
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari

14
pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit lamp biomicroscopy, gonioskop,
funduskopi dan stereoscopy fundus photography dengan pemberian
midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
Optical Coherence Tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila perlu.
13

Optical Coherence Tomography (OCT)


Pemeriksaan OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk
menentukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai
edema makula serta responnya terhadap terapi. Umumnya pengobatan
diperlukan pada penebalan retina lebih dari 300 mikron. 12, 13

Gambar 2.7 Hasil OCT normal (A); edema makula pada retinopati diabetik
(B) 13
Fluorescein angiography (FA)
Fluorescein angiography berguna untuk menentukan kelainan
mikrovaskular pada retinopati diabetik. Defek kelainan yang besar pada jalinan
kapiler-non perfusi kapiler menunjukkan luas iskemia retina dan biasanya lebih
jelas pada daerah midperifer. Kebocoran fluoresein yang disertai dengan edema
retina, mungkin membentuk gambaran petaloid edema makula kistoid atau
mungkin gambaran difus. Hal ini dapat menentukan prognosis serta luas dan
penempatan terapi laser. Mata dengan edema makula dan iskemia retina yang
bermakna mempunyai prognosis penglihatan yang lebih buruk, dengan atau
tanpa terapi laser, dibandingkan dengan mata edema dengan perfusi yang relatif
baik. 12

Gambar 2.8 Neovaskularisasi retina pada tiap kuadran12

15
Ocular ultrasonography
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina apabila
visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media
refraksi. 12

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis retinopati diabetik biasanya dapat dengan mudah ditegakkan.
Namun kadang-kadang beberapa kondisi berikut dapat menimbulkan masalah
diagnostik, diantaranya:13
a. Macular drusen, biasanya terjadi bilateral. Adanya focal yellow spot
dapat disalahartikan sebagai hard exudate. Namun, focal yellow spot tidak
tersusun dalam bentuk gumpalan atau cincin dan tidak berhubungan dengan
perubahan mikrovaskular retina.
b. Retinopati hipertensi, ditandai dengan edema retina bilateral, hard
exudate, flame shape haemorhages dan dapat terjadi bersamaan dengan
retinopati diabetik. Namun, pada retinopati hipertensi hard exudate memberi
gambaran macular star dan tidak tersusun dalam bentuk gumpalan atau cincin.
c. Oklusi cabang vena retina sebelumnya, ditandai dengan hard exudate,
edema retina, dan perubahan mikrovaskular. Kondisi ini biasanya terjadi
unilateral, terbatas pada satu kuadran dan berhubungan dengan kolateral-
kolateral.
d. Mikroaneurisma arteri retina, ditandai dengan edema retina, hard
exudate dan perdarahan. Kondisi ini biasanya terjadi unilateral dan perubahan
yang terjadi pada retina lebih terlokalisir.
e. Idiopatic juxtafoveolar retinal telangiectasis group I, ditandai dengan
hard exudate dan kelainan mikrovaskular lain yang menyerupai
mikroaneurisma. Kondisi ini terjadi unilateral dan perubahan terbatas pada
fovea.
2.8 Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan retinopatik diabetic, hal yang paling penting
adalah pengendalian gula darah. Kontrol gula darah secara intensif berhubungan
dengan penurunan risiko onset baru dari retinopati dan penurunan progesivitas
retinopati yang sudah ada. Selain gula darah, pasien juga harus mengontrol

16
tekanan darah. Ketika tekanan darah tidak terkontrol dalam waktu yang lama,
maka berhubungan dengan meningkatnya retinopati baru dan progesivitas dari
retinopati dibetikum, sehingga control tekanan darah juga memegang peranan
penting. Terapi retinopati diabetic maka terapi tergantung dari lokasi dan
keparahan retinopatinya.1
1. Non proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
Selain control gula darah dan hipertensi, sebenarnya tidak ada manajemen
khusus untuk NPDR tanpa Diabetic Macular Edema (DME). Pengobatan awal
menggunakan fotokoagulasi panretinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
NPDR berat atau lebih, terutama pada pasien yang memiliki potensi untuk tidak
patuh terhadap pengobatan dan rekomendasi control. 1
Anti VEGF seperti ranibizimbab terbukti juga dapat memperbaiki
keparahan dari NPDR. Setelah dua tahun pengobatan menggunakan anti-VEGF
40% mata akan membaik 2 atau lebih level dari ETDRS diabetic retinopathy
severity scale. Terapi Intravitreal steroid juga menunjukkan perbaikan dari tingakt
keparahan. Terapi pembedahan bukan merupakan pilihan pada NPDR. 1
2. Proliferatice diabetic retinopathy (PDR)
Tujuan dari tatalaksana PDR adalah control iskemia dan mengurangi level
ocular VEGF sehingga neovaskularisasi dapat berkurang. Dapat dilakukan dengan
cara administrasi anti-VEGF intravitreal atau dengan ablasi dari retina iskemia via
laser photokoagulasi. Komplikasi dari PDR atau pengobatanannya seperti
perdarahan viterus dan tractional retinal detachment dapat diatasi dengan
intervensi surgical. 1
Manajemen non-surgikal PDR adalah pengadministrasian anti-VEGF dan
steroid. Pemberian anti-VEGF dapat menurunkan neovascular baik pada kasus
yang baru terdiagnosis dan kronik. Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi dari pemberian anti-VEGF yaitu berupa tractional retinal detachment,
retinal tears. Karena keefektivannya untuk mengurangi intraocular
neovaskularisasi dan keamanannya, anti-VEGF merupakan terapi pilihan pertama
sebagai alternative dari panretinal fotokoagulasi (PRP). 1
Manajemen surgikan bagi pasien PDR adalah menggunakan operasi laser.
Selama 4 dekade terakhir hingga ditemukannya anti-VEGF, pengobatan utama

17
dari PDR adalah laser fotokoagulasi di panretinal untuk merangsang regresi dari
neovaskularisasi. Indikasi dari pengobatan masih bergantung dari derajat PDR.
Pada pasien dengan high-risk PDR, Pengobatan PRP direkomendasikan pada mata
yang belum mendapatkan anti-VEGF. PRP menghancurkan retina iskemia, yang
memproduksi growth factor seperti VEGF yang mempromosikan keparahan
penyakit. PRP juga meningkatkan tekanan oksigen pada mata melalui dua
mekanisme: (1) meningkatkan difusi oksigen dari koroid ke daerah skar
fotokoagulasi dan (2) menurunkan pengambilan oksigen yang diakibatkan dari
destruksi rentina. Secara garis besar, perubahan ini akan menurunkan jaringan
neurovascular yang sudah ada dan menecgah progesivitas dari neovaskularisasi.
Pengobatan dapat dilakukan dalam sekali pertemuan ataupun pertemuan multiple.
1

Setelah pengobatan inisial menggunakan PRP, pengobatan tambahan dapat


diberikan untuk mendapatkan regresi komplit dari neovaskularisasi yang sudah
ada dan presisten. Beberapa klinisi menggabungkan terapi anti-VEGF dengan
PRP dengan alas an bahwa anti-VEGF terapi akan menurunkan neovaskularisasi
secara cepat, dimana efek pengobatan PRP akan bertahan beberapa tahun tanpa
harus membutuhkan injeksi intravitreal jangka panjang. 1
Efek samping dari PRP adalah choroidal detachment dan penurunan pada
pengelihatan malam, warna, sensitifitas kontras, lapang pandang preifer dan pada
kasus yang jarang, dilatasi pupil. Selain itu, efek samping juga dapat meliputi
hilangnya akomodasi, sensitivitas kornea dan fotopsiasis. Udem makuler juga
dapat juga dapat di induksi atau diperparah dengan PRP. 1

Vitrektomi merupakan tindakan bedah mikro untuk mengeluarkan vitreus


dari bola mata. Vitrektomi dapat dilakukan untuk evakuasi perdarahan dalam
vitreus dan traksi vitreoretina teratasi dengan menempelkan kembali retina yang
lepas. Vitrektomi dini diindikasikan untuk DM tipe 1 dengan perdarahan vitreus
luas dan proliferasi aktif dan berat dan kapanpun penglihatan mata sebelahnya
buruk. 11
2.9 Komplikasi
1. Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling

18
sering.Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon
terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada
mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik
iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat
pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya
rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan
timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama
setelah dilakukan operasi. 11
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang
terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan
jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini
adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik
pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan

19
sudut masih terbuka. 11
3. Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik
proliferatif.Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada
retina hingga ke rongga vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai
struktur yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan
perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-
hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior,
middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous. 11
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi
saat perdarahan vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif,
pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi
direk secara jauh akanmenampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan
sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah
jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek
menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu
untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca. 11
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari
lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa
menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau
kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur. 11
2.10 Prognosis
Meski terapi laser dan bedah telah sangat meningkatkan prognosis pasien
dengan retinopati diabetik, penyakit ini masih menyebabkan kehilangan
penglihatan berat pada beberapa pasien.15

20
BAB III

KESIMPULAN

Retinopati diabetik (RD) adalah kelainan retina pada pasien diabetes


mellitus. RD merupakan suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil, meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena. Retinopati akibat diabetes mellitus lama
berupa aneurismata, melebarnya vena, perdarahan, dan eksudat lemak.
Angka kejadian RD pada semua populasi diabetes meningkat seiring
durasi penyakit dan usia pasien. Retinopati diabetik jarang terjadi pada anak usia
kurang dari 10 tahun, namun risiko meningkat setelah usia puberitas. Retinopati
diabetik proliferatif terjadi pada 50% pasien DM tipe 1 dalam 15 tahun.
Penyebab dari retinopati diabetik adalah lamanya terpapar pada
hiperglikemia menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Didukung oleh hasil
pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe
1 dan diabetes tipe 2 pada 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini.
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS)
retinopati dibagi atas dua stadium yaitu Retinopati Diabetika Nonproliferatif
(RDNP) dan Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP). Diagnosis retinopatik dibuat
dengan memeriksa pasien menggunakan alat oftalmoskopi atau menggunakan
angiografi fluoresein. Pemeriksaan menggunakan oftalmoskopi memperlihatkan
pada fundus okuli dapat ditemukan kelainan seperti mikroaneurisma, perdarahan,
exudates, neovaskularisasi retina dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang
irreguler dan berkelok-kelok dan edema retina yang ditandai dengan hilangnya
gambaran retina pada daerah makula.
Untuk menghindari terjadinya retinopati diabetik pasien diabetes
sebaiknya mengontrol kadar gula darahnya dengan diet dan obat anti diabetes,
namun jika sudah terjadi retinopati diabetik maka terapi pada mata tergantung dari
lokasi dan keparahan retinopatinya. Terapi retinopati diabetik dapat dilakukan
dengan menggunakan fotokoagulasi menggunakan laser maupun xenon pada
daerah retina yang iskemik,vitrektomi dan VEGF.

21
Pada retinopati diabetes proliferatif 50% pasien akan mengalami kebutaan
sesudah 5 tahun, namun regresi spontan dapat pula terjadi. Mata dengan edema
makula dan iskemia dengan atau tanpa terapi laser memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan edema makula dengan vaskularisasi yang baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit mata. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.
2. Victor A. Retinopati Diabetik Penyebab Kebutaan Utama Penderita Diabetes.
Departemen Mata FKUI/RSCM. Jakarta; 2008.
3. Pandelaki, K., 2007. Retinopati Diabetik dalam: Sudoyo, A.W., Setiayohadi, B.,
Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. FK UI. Jakarta.
4. Rodiah R. Diabetik Retinopati. Bagian Ilmu Penyakit Mata FK USU. Medan. 2007.
5. Riordan-Eva P, Cunningham ET. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology.
18th ed. New York: Mc Graw Hill; 2011.
6. Lubis DR. Diabetikum retinopati. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan; USU repository. 2008
7. Fong DS, Aiello L, Gardner TW. Retinopathy in diabetes. Diabetes care. 2004;
27(1): 84-87.
8. Suyono S, Pandelaki K. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Setiati S, Alwi I, Sudoyo
A, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AR, editor. Jakarta: InternaPublishing;
2014.
9. Manaviat MR, Rashidi M, Afkhami-Ardekani M, Reza Shoja M.
Prevalence of dry eye syndrome and diabetic retinopathy in type 2 diabetic
patients. BMC Opthamol. 2008; 8(10):1-4.
10. Chew E. Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. Philadelphia:
Lippincolt William and Willkins; 2000.
11. Fraser CE, D’Amico DJ. Diabetic retinopaty : classification and clinical
features. Netherlands: Wolters Kluwer; 2015.
12. Augsburger J, Asbury T. Retina dalam: Vaughan &Asbury Oftalmologi
Umum Ed 17. Jakarta: EGC. 2010: hal 185.
13. American Academy of Opthalmology. Retina and Vitreous. Section 12. San
Fransisco: 2016-2017,hal 29.
14. American Academy of Opthalmology. Retina and Vitreous. Section 12. San
Fransisco: 2019-2020.
15. Goetz CG, 2007. Textbook of Clinical Neurology 3rd ed. Philadelphia:
Elsevier.

23

Anda mungkin juga menyukai