PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 DIABETES MELITUS
Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronik dimana terjadi peninggian kadar gula
dalam darah. Menurut World Health Organisation (WHO) mendefinisikan diabetes melitus
(DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara
absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. Terjadinya hiperglikemia yang
berkepanjangan akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Epidemiologi
Prevalensi penderita DM mencapai angka 2,8% atau sebanyak 171 juta penderita di
seluruh dunia pada tahun 2000. Angka prevalensi ini diperkirakan meningkat menjadi 4,4%
atau 366 juta penderita pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia setelah
India, Cina dan Amerika Serikat sebagai negara dengan penderita DM sebesar 8,4 juta pada
tahun 2000, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 21,3 juta penderita pada tahun 2030.
Penderita DM dapat mengalami berbagai macam komplikasi akibat kelainan vaskular.
Komplikasi yang terjadi dibagi menjadi makrovaskular dan mikrovaskular. Kelainan
makrovaskular dapat mengakibatkan terjadinya penyakit kardiovaskular, penyakit
serebrovaskular dan kelainan pembuluh darah perifer. Komplikasi mikrovaskular meliputi
diabetik neuropati, diabetik nefropati dan retinopati diabetik (RD)
Klasifikasi Diabetes
Terdapat tiga macam tipe diabetes yaitu:
Tipe 1 dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering terdiagnosa pada anak,
remaja dan dewasa muda. Pada tipe ini, tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau
hanya sedikit. Injeksi insulin setiap hari dibutuhkan pada tipe ini.
2
Tipe 2, adalah yang paling banyak dari kasus diabetes. Paling sering terjadi pada usia
dewasa, meskipun bisa juga terjadi pada remaja atau dewasa muda disebabkan
obesitas.
Diabetes gestasional, adalah terjadinya peninggian kadar gula darah selama
kehamilan pada wanita yang bukan diabetes.
Patogenesis
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh pankreas untuk mengontrol gula
darah. Penderita diabetes mempunyai kadar gula darah yang tinggi karena tubuhnya tidak
mampu memindahkan gula ke dalam lemak, hati, dan sel-sel otot sebagai cadangan energi,
hal ini bisa disebabkan oleh pankreas yang tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang
cukup, atau sel-sel tubuh tidak berespon terhadap insulin secara normal, atau keduanya
Kriteria Pasien DM
Ketika pasien datang pertama kalinya kepada dokter untuk berkonsultasi maka perlu
dipahami bahwa sebenarnya pasien tersebut telah menderita diabetes sejak beberapa tahun
sebelumnya. Fungsi sel beta pasien menurun sebesar hampir 50% pada saat konsultasi
pertama. Kondisi yang dikenal sebagai pra-diabetes (pre-diabetic) merupakan titik awal yang
penting dalam menangani pasien sebelum masuk pada keadaan diabetes. Pada akhir tahun ke
–lima belas fungsi sel beta seorang pasien DM sudah mendekati nol atau dengan kata lain
penderita akan tergantung pada insulin.
Kriteria Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) untuk menentukan
seseorang merupakan penderita DM adalah berdasarkan gejalanya yaitu poliuria, polidipsi,
polifagia, lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada
pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl atau pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosa DM.
Kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosa klinis DM. Diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar
3
glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Menurut American diabetic association (ADA) standar kriteria diabetes adalah: kadar
A1c > 6,5%, gula darah puasa > 126 mg/dl (7 mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya
ambilan kalori sedikitnya selama 8 jam; 2 jam glukosa plasma > 200 mg/dl (11,1 mmol/L);
pasien dengan keluhan klasik hiperglikemi dengan gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
Gula darah normal adalah ‹ 110 mg/dl. Jika gula darah berkisar antara 111-126 mg/dl,
maka pasien sudah berada dalam kelompok pra-diabetes. Secara klinis mungkin pasien belum
menunjukkan gejala-gejala diabetes namun kita sudah memasukkan mereka sebagai orang
dengan risiko tinggi untuk menjadi penderita diabetes sesungguhnya.
Komplikasi
Jenis komplikasi pada diabetes adalah komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut
meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan hiperosmolar-non ketotik. Komplikasi kronik dibagi
menjadi makroangiopati, mikrovaskular dan neuropati. Komplikasi makrovaskular di otak
sebagai stroke, di jantung sebagai penyakit jantung vaskular, di jaringan perifer sebagai
penyakit arteri perifer. Komplikasi mikrovaskular di mata sebagai retinopati dan juga
glaukoma serta katarak. Di ginjal sebagai nefropati dan jaringan saraf sebagai neuropati.
Retinopati Diabetic
Retinopati diabetik adalah salah satu penyebab utama kebutaan di negara-negata
Barat, terutama di antara individu usia produktif. Hiperglikemia kronik, hipertensi,
hiperkolesterolemia,dan merokok merupakan faktor risiko timbul dan berkembangnya
retinopati. Orang muda dengan diabetes tipe I (dependen-insulin) baru mengalami
retinopati paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit sistemik ini. Pasien diabetes tipe II
(tidak dependeninsulin) dapat sudah mengalami retinopati pada saat diagnosis ditegakkan,
dan mungkin retinopati merupakan manifestasi diabetes yang tampak saat itu.
Klasifikasi
4
- Reti nopati Non proliferatif
- Makulopati
Makulopati diabetik bermanifestasi sebagai penebalan atau edema retina
setempat atau difus, yang terutama disebabkan oleh kerusakan sawar darah-retina
pada tingkat endotel kapiler retina, yang menyebabkan terjadinya kebocoran cairan
dan konstituen plasma ke retina sekitarnya. Makulopati lebih sering dijumpai pada
pasien diabetes tipe II dan memerlukan penanganan segera setelah kelainannya
bermakna .secara klinis (Gambar 10-7), yang
ditandai oleh penebalan retina sembarang pada jarak 500 mikron dari fovea, eksudat
keras pada jarak 500 mikron dari fovea yang berkaitan dengan penebalan retina, atau
penebalan retina yang ukurannya melebihi satu diameter diskus dan terletak pada
jarak satu.diameter diskus dari fovea. Makulopati juga bisa terjadi karena iskemia,
yang ditandai oleh edema makula, perdarahan dalam, dan sedikit eksudasi. Angiografi
fluoresein menunjukkan hilangnyakapiler-kapiler retina disertai pembesaran zona
avaskular fovea.
5
- Reti nopati proliferatif
Komplikasi mata yang paling parah pada diabetes melitus adalah retinopati
diabetik proliferatif. Iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan
pembuluh-pembuluh halus baru yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
(dan fluoresens) dalam jumlah besar (Gambar 'J.0-9 dan 10-10). Retinopati diabetik
proliferatif
awal ditandai oleh kehadiran pembuluh-pembuluh baru pada diskus optikus (NVD)
atau di bagian retin manapun (NVE). Ciri yang berisiko tinggi ditandai oleh pembuluh
darah baru pada diskus optikus yang meluas lebih dari sepertiga diameter diskus,
sembarang pembuluh
darah baru pada diskus optikus yang disertai perdarahan vitreus, atau pembuluh darah
baru di bagian retina manapun yang besarnya lebih dari setengah diameter diskus
dan disertai perdarahan vitreus.Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi
ke permukaan posterior vit?eus dan akan menimbul saat vitreus mulai berkontraksi
menjauhi retina. Apabila pembuluh tersebut berdarah, perdarahan vitreus yang masif
dapat menyebabkan penurunan penglihatan mendadak Sekali terjadi pelepasan total
vitreus
posterior, mata berisiko mengalami neovaskularisasi dan perdarahan vitreus. Pada
mata retinopati diabetik proliferatif dan adhesi vitreoretinal persisten, jaringan
neovaskular yang menimbul dapat mengalami perubahan fibrosa dan membentuk pita-
pita fibrovaskular rapat/ yang menyebabkan traksi vitreoretina. Hal ini dapat
menyebabkan ablatio retinae akibat traksi piogresif atau, apabila terjadi robekan
retina, ablatio .retinae regmatogenosa. Ablatio retinae dapat ditandai atau ditutupi oleh
perdarahan vitreus. Apabila kontraksi vitreus di mata tersebut telah sempurna,
retinopati proliferatif cenderung masuk ke dalam stadium
"involusional" atau burned-out. Penyakit mata diabetik lanjut juga dapat disertai
komplikasi neovaskularisasi iris (rubeosis iridis) dan glaukoma neovaskular.
Retinopati proliferatif berkembang pada 50% pasien diabetes tipe I dalam 15 tahun
sejak onset penyakit sistemiknya.Retinopati proliferatif lebih jarang ditemukan pada
diabetes tipe II; namury karena jumlah pasien diabetes tipe II lebih banyak, pasien
retinopati proliferatif
lebih banyak yang mengidap diabetes tipe II dibandingkan tipe I.
6
2.2 Optical coherence tomography (OCT)
Optical coherence tomography (OCT) adalah sebuah teknologi yang sedang
berkembang pesat dimana dapat menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi, potongan
cross-sectional dari jaringan tubuh. Pemeriksaan OCT dapat dilakukan pada berbagai
jaringan, termasuk jaringan yang tidak tembus pandang dan memantulkan cahaya secara tidak
beraturan, termasuk didalamnya adalah penggunaan pada mata dimana dapat menghasilkan
gambaran kondisi retina.
Pada bidang oftalmologi aplikasi pemeriksaan OCT telah mengubah prosedur
diagnosis dan pemeriksaan berbagai kelainan mata menjadi jauh lebih mudah dan nyaman
Optical Coherence Tomography (OCT) dapat memberikan gambaran dan informasi yang
detil mengenai struktur mata, papil, rnfl, makula, pembuluh darah secara langsung dan
analisis OCT memungkinkan untuk mendeteksi perubahan anatomi pada struktur mikro bola
mata sebelum terjadinya kerusakan fungsional pada mata.
OCT pertama kali dikembangkan oleh David Huang dan para kolega di laboratorium
James Fujimoto di MIT pada tahun 1991. Kemudian, Swanson dan kawan-kawan yang juga
di MIT, mengembangkan suatu teknik scanner retina yang cukup cepat untuk penggunaan
klinis. OCT pertama kali dikenalkan secara komersial sebagai scanner retina pada
pertengahan 1990an. Teknologi OCT lanjut yang dikembangkan di beberapa laboratorium
telah menghasilkan perbaikan resolusi dan kecepatan.
OCT yang dikembangkan di laboratorium MIT kemudian dilisensi oleh Humphrey
Instruments, Inc. dan dikembangkan menjadi scanner retina klinis (OCT1 atau System 1000).
Sistem yang lebih kompak dan ergonomik kemudian dipasarkan dengan nama OCT2 atau
System 2000. Kedua Sistem ini memiliki resolusi aksial 12 hingga 16 mikron di jaringan.
Kecepatan akuisisi data adalah 100 A-scan/detik. Resolusi transversal adalah 20 mikron,
pencitraan citra terbatas pada 100 A-scan dan pada pencitraan tampak berbutir-butir.1,2,6,11
Teknologi Humphrey Instruments kemudian dibeli oleh Carl Zeiss Meditec, Inc. Zeiss baru-
baru ini memperkenalkan OCT3 (Sistem Stratus), Sistem Stratus memiliki resolusi aksial
yang lebih tinggi sebesar 9 hingga 10 mikron pada jaringan. Interval sampling aksial
berkurang separuh menjadi 2 mikron, kecepatan akuisisi data sebesar 400 A-scan/detik
sehingga menghasilkan perbaikan kualitas gambar yang dramatis.
OCT generasi terakhir yaitu OCT resolusi ultra tinggi menyediakan pencitraan yang sangat
mendetail. OCT ultra tinggi ini menggunakan teknologi Fourier-domain (FD) yang juga
dikenal sebagai Spectral Domain (SD) dapat mencapai kecepatan nyaris 100 kali lipat
dibanding TD (time domain)-OCT konvensional.
7
Gambar Stratus OCT3
8
Pencitraan ultrasonik dan RADAR (radio detection and ranging) juga merupakan metode
pencitraan berbasis reflektometri. Karena OCT menggunakan cahaya, beberapa keuntungan
dapat diperoleh. Panjang gelombang cahaya (~0.001 mm) adalah lebih pendek dibanding
ultrasonik (~0.1 mm) dan gelombang radio (>10 mm). Maka, resolusi spasial OCT jauh lebih
tinggi. Dan tidak seperti pencitraan ultrasonik, OCT tidak memerlukan kontak probe-jaringan
atau cairan imersi karena cahaya melewati pertemuan udara-jaringan secara mudah.10,12
Beamsplitter
9
Healthy Macula
NFL ILM GCL IPL INL OPL ONL
Log Reflection
NFL: Nerve Fiber Layer OPL: Outer Plexiform Layer IS/OS: Junction of inner and outer
ILM: Inner Limiting Membrane ONL: Outer Nuclear Layer photoreceptor segments
GCL: Ganglion Cell Layer ELM: External limiting membrane OS: Photoreceptor Outer Segment
IPL: Inner Plexiform Layer IS: Photoreceptor Inner Segment RPE: Retinal Pigment Epithelium
INL: Inner Nuclear Layer
10
Hard exudates, nerve fiber layer microinfarcts (soft exudates) dan perdarahan
intraretinal merupakan gambaran yang karakteristik. Ketiganya akan tamapk berupa
shadowing posterior yang menimbulkan hiper refleksi pada OCT.
Penebalan retina tanpa perubahan kistoid dan mengenai area retina yang bermakna
memberikan gambaran udem spongy. Area spongy tersebut dipikirkan sebagai
perubahan sel-sel Mueller. Penebalah dengan gambaran kistoid dipikirkan sebagai
nekrosis sel-sel Mueller dari udem yang kronik. Perubahan ini berkaitan dengan
lepasnya foveolar.
Pola pada OCT (Kang et al) meliputi: tipe 1 berupa penebalan retina dengan
reflektifitas homogen; tipe 2 berupa penebalan retina dengan pengurangan reflektifitas
optikal pada lapisan luar retina; tipe 3A lepasnya foveola (foveolar detachment) tanpa
traksi fovea; tipe 3B lepas foveola dengan adanya traksi foveola.
Gambaran OCT yang spesifik : hilangnya kontur foveola; hilangnya perubahan
lapisan yang hiper reflektifitas; mild sampai moderate reflektifitas; tanda dari hard
exudats, soft exudats dan perdarahan retina dapat juga terjadi
Manfaat OCT juga dalam mendeteksi membran epiretina, traksi vitreomakular,
hialoid posterior dan detachment foveola. Kelainan ini tidak dapat terlihat pada
fluoresein angiografi. Identifikasi kelainan ini penting untuk mendeteksi CSME
dengan traksi vitreomakular yang menjadi acuan untuk intervensi bedah segera.
OCT juga dapat mengukur perubahan ketebalan setelah intervensi laser, steroid
intravitreal atau subtenon, dan pembedahan.
11
Gambaran OCT dengan DMSe
Penanganan Diabetika.2013. Seminat Vitreoretinaan
Sumber : Pedoman Penanganan Retinopati Diabetika.2013. Seminat Vitreoretina
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14