Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting bukan hanya masalah malnutrisi yang ada di Indonesia, tetapi

masalah diseluruh dunia. Menurut data kesehatan global World Health

Organization (WHO) tahun 2016, diseluruh dunia sekitar 162 juta anak balita

mengalami stunting. 3 dari 4 anak yang mengalami stunting di dunia berada di

Sub-Sahara Afrika (40%) dan Asia (39%). Angka kejadian stunting di Asia pada

tahun 2016 yaitu sebesar 23.9% dengan rentang (20.9% - 26.8%).

Menurut WHO (2010), stunting atau terlalu pendek adalah status gizi yang

didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri

penilaian status gizi anak dan hasil pengukurannya berada pada ambang batas

(Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat

pendek / severely stunted). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang

terjadi akibat kondisi kekurangan gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis.

Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya

risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak sub optimal

sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan

mental.

Berdasarkan situs Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, ditegaskan

bahwa salah satu ancaman serius terhadap pembangunan kesehatan khususnya

pada kualitas generasi mendatang adalah stunting. Indonesia merupakan Negara

ke-5 setelah Tiongkok China, India, Nigeria dan Pakistan dengan jumlah anak

terpendek. Hasil data monev Kemenkes tahun 2016, prevalensi stunting

1
2

Indonesia berada pada 27,5%, dengan status sebelumnya 37,2% atau sebanyak

8,8 juta anak Indonesia mengalami stunting (Kemenkes RI, 2017).

Selain data kejadian stunting pada tahun 2016, hasil Riset Kesehatan

Dasar (2013) mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2%, meningkat

dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%), yang artinya tidak menunjukkan

penurunan ataupun perbaikan yang signifikan. Pada tahun 2013 pesentase

tertinggi adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat

(48,0%), dan Nusa Tenggara Barat (45,3%). Sedangkan untuk presentase

terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta 27,2%) dan

DKI Jakarta (27,5%). Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada

Negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%)

dan Thailand (16%).

Penelitian mengenai stunting di negara China yang dilakukan oleh Jiang.

Y, Su. X, Wang. C, Zhang. L, Zhang. X, Wang. L and Cui. Y (2014), bahwa 301

orang dari 1115 anak dibawah lima tahun atau sekitar 27% mengalami stunting,

dan mengalami stunting parah sebanyak 147/1115 anak balita (13,2%). Beberapa

faktor yang mempengaruhi secara signifikan kejadian stunting di China antara

lain, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan orang tua, jenis kelamin

anak, berat lahir rendah, dan pemberian ASI eksklusif.

Menurut laporan terakhir sebuah penelitain di Nigeria, stunting

memberikan kontribusi (14,5%) untuk kematian dan (12,6%) untuk kecacatan.

Didapatkan angka stunting Nigeria sebesar 17,4% pada anak sekolah dan

remaja. Anak-anak yang mengalami stunting mengalami keterlambatan dalam

mendaftarkan diri kesekolah, hal ini menyebabkan pendidikan anak stunting

terhambat dibandingkan dengan anak-anak lain yang memiliki tinggi


3

normal.Selain itu berdampak pula pada terhambatnya pertumbuhan kognitif dan

kurangnya prestasi yang diraih.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada balita, yaitu

asupan nutrisi dan penyakit infeksi sebagai faktor langsung. Asupan energi dan

protein menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting.

Pemberian ASI eksklusif, jenis dan frekuensi pemberian MP-ASI, status

imunisasi, pekerjaan dan tingkat pendidikan orang tua serta status ekonomi

keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi kejadian stunting

pada balita.

Banyak dampak negatif yang ditimbulkan jika seorang anak dalam periode

pertumbuhan dan perkembangan, khususnya usia 0-24 bulan mengalami

permasalahan gizi yang berakibat pada stunting. Dalam jangka pendek yaitu

terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan

gangguan metabolisme tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat yang

ditimbulkan adalah mengurangi kemampuan kognitif dan prestasi belajar,

menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit, meningkatkan

angka kematian bayi dan anak, mudah terserang penyakit, memiliki postur tubuh

tidak maksimal saat dewasa, resiko tinggi munculnya berbagai macam penyakit

serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktivitas ekonomi. Oleh karena itu, stunting menjadi prediktor buruknya

sumber daya manusia yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan

potensi bangsa (MCA-Indonesia).

Dalam program Sustainable Development Goals (SDG’s) yang ke-2 yaitu,

mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta

mendorong pertanian yang berkelanjutan. Dalam program ini terdapat dua target
4

yang salah satunya berkaitan dengan perhatian pada gizi balita yaitu, pada tahun

2030 diharapkan dapat mengakhiri segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai

target internasional 2025 untuk penurunan stunting dan wasting pada balita

(Bappenas, 2017).

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan urain latar belakang penelitian diatas yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu “Faktor-Faktor apa saja yang berhubungan

dengan Kejadian Stunting pada anak prasekolah”

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak

prasekolah di Puskesmas Pasar Merah,Kota Medan

2. Tujuan Khusus

a) Diketahuinya hubungan riwayat penyakit infeksi dengan kejadian

stunting pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota

Medan.

b) Diketahuinya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

stunting pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota

Medan.

c) Diketahuinya hubungan status imunisasi dengan kejadian stunting

pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota Medan.

d) Diketahuinya hubungan berat badan lahir dengan kejadian stunting

pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota Medan.


5

e) Diketahuinya hubungan panjang badan lahir dengan kejadian stunting

pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota Medan.

f) Diketahuinya hubungan status ekonomi keluarga dengan kejadian

stunting pada anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota

Medan.

g) Diketahuinya hubungan gizi balita dengan kejadian stunting pada

anak prasekolah di Puskesmas Pasar Merah Kota Medan.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a) Manfaan bagi penelitian selanjutnya

- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasih dan

dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai

faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian stunting

pada anak prasekolah di Puskesmas Merah, Kota Medan.

- Sebagai bahan tambahan referensi bagi peneliti lain yang ingin

melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi masyarakat

- Sebagai bahan masukan dan sebagai informasi tambahan

mengenai Pola Asuh dan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan

kejadian Stunting. sehingga lebih bisa memperhatikan dan


6

merawat kondisi fisik dari kehamilannya sampai dengan kondisi

anaknya
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting pada Balita

1. Stunting

Menurut Kepmenkes Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang

Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan

sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan

Menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) yang

merupakan padanan istilag stunted (pendek) dan severely stunted (sangat

pendek).

Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah

diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar

stunting atau terlalu pendek berdasarkan umur adalah tinggi badan yang

berada di bawah minus dua standar deviasi (<-2SD dari tabel status gizi

WHO child growth standard). Balita Pendek (stunting) adalah status gizi

yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar

antropometri penilaian status gizi anak dan hasil pengukurannya berada pada

ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan

<-3 SD (sangat pendek/severely stunted).

Menurut Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan (2017), stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita

akibat dari kekurangan gizi kronis; kekurangan gizi sejak bayi dalam

kandungan dan pada awal masa anak lahir. Adapun intervensi yang sangat

strategis dalam penanganan stunting ialah pada 1.000 Hari Pertama

Kehidupan (masa dalam kandungan dan sampai 2 tahun).


8

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian

makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai

janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

Kekurangan gizi pada usia dini dapat meningkatkan angka kematian pada

bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur

tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga

berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi

Indonesia khusunya (MCA Indonesia, 2016).

Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis dan sering

terjadi antar generasi ditambah dengan penyakit yang sering dialami. Hal

tersebut adalah ciri khas endemik kemiskinan. Stunting terkait dengan lebih

rendahnya perkembangan kognitif dan produktivitas. Stunting adalah

masalah kesehatan masyarakat utama di hampir semua Provinsi di Indonesia,

dan peringatan telah diberikan oleh Presiden RI, yang tertantang untuk

mengurangi stunting di Indonesia (USAID, 2010).

Stunting merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal

sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan (stunting)

yang diderita oleh anak pada awal kehidupan, dapat menyebabkan

kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang

berkelanjutan dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada

anak-anak dibawah usia 5 tahun (UNSCN, 2008).

2. Balita

Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau

lebih popular dengan usia anak dibawah lima tahun (Muaris, 2006). Menurut
9

Sutomo (2010), balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita)

dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung

penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi,

buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah

bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi

penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode

selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang

berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut

golden age atau masa keemasan.

3. Masalah Stunting pada Balita Kaitannya dengan Status Gizi

Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh

derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari

pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri dan

dikategorikan berdasarkan Standar Baku Pertumbuhan WHO Tahun 2005

dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Masalah gizi anak secara garis

besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan

keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi

keluaran atau sebaliknya, disamping kesalahan dalam memilih bahan

makanan untuk disantap (Arisman, 2009).

Ketika anak menginjak usia batita, pemenuhan gizi seimbang adalah

hal yang mutlak karena usia ini anak akan tumbuh dan berkembang dengan

sangat pesat. Orang tua harus memperhatikan dalam memberikan asupan

makanan yang mengandung gizi dan nutrisi lengkap. Memberi makanan


10

yang sarat akan gizi dan nutrisi sesuai kebutuhan anak dan memperhatikan

menu gizi seimbang perlu diperhatikan, agar anak terhindar dari malnutrisi

atau bahkan mengalami obesitas (Sutomo, 2010).

Dalam komunitas yang sulit untuk mendapatkan akses dan kontak

dengan pelayanan kesehatan, anak-anak lebih rentan terhadap kekurangan

gizi sebagai akibat dari pengobatan penyakit yang tidak memadai, tingkat

imunisasi rendah, dan perawatan kehamilan yang buruk. Sanitasi lingkungan

yang buruk, termasuk keberadaan air bersih, juga menempatkan anak pada

risiko penyakit infeksi yang meingkatkan kerentanan terhadap kekurangan

gizi. Pola asuh bayi dan anak, bersama dengan ketahanan pangan rumah

tangga, pelayanan kesehatan yang memadai dan lingkungan yang sehat

adalah prasyarat yang diperlukan untuk gizi yang cukup (Paramitha, 2012).

4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stunting pada Balita

a. Asupan Energi

Kebutuhan energi pada masa bayi lebih besar, dengan Resting

Metabolic Rate (RMR) dua kali lipat dibandingkan dengan masa dewasa.

Energi tersebut digunakan untuk aktivitas, pertumbuhan dan

perkembangan. Kebutuhan energi pada anak bergantung pada banyak

faktor, antara lain ukuran dan komposisi tubuh, tingkat metabolisme,

aktivitas fisik, ukuran lahir, usia, jenis kelamin, faktor genetik, asupan

energi, kondisi medis, suhu tubuh, dan grafik pertumbuhan. Tujuan

pemenuhan kebutuhan gizi pada anak, antara lain untuk :

1) Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor

2) Melakukan aktifitas fisik


11

3) Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk

pemeliharaan dan/atau pemulihan serta peningkatan kesehatan.

Pada usia balita (2-5 tahun), penggunaan energi dalam tubuh

adalah sebesar 50% untuk metabolisme basal, 5-10% untuk Systemic

Dinamic Activity (SDA), 12% untuk pertumbuhan, 25% untuk aktifitas

fisik dan 10% terbuang melalui feses. Anjuran pembagian pemenuhan

energi sehari diperoleh dari 50-60% karbohidrat, 25-35% lemak, dan 10-

15% protein (Susetyowati, 2016).

Konsumsi energi yang tidak seimbang akan menyebabkan

keseimbangan positif atau negatif. Kelebihan energi dari energi yang

dikeluarkan akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan

berlebih atau kegemukan. Keadaan tersebut tidak hanya karena kelebihan

asupan karbohidrat, dan lemak, tetapi juga disebabkan kurang bergerak

atau kurang aktifitas fisik. Sebaliknya, bila asupan energi kurang dari

yang dikeluarkan, terjadi keseimbangan negatif. Akibatnya, berat badan

lebih rendah dari normal atau ideal. Keadaan kurang berat pada bayi dan

anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan kerusakan jaringan.

Keadaan tersebut dikenal dengan marasmus dan bila disertai kekurangan

protein disebut dengan kwashiorkor (Gizi UI, 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paramitha (2012), adanya

kecenderungan balita yang asupan energinya rendah menjadi stunting

lebih tinggi, yaitu sebesar 27,8% dibandingkan dengan balita yang

asupan energinya cukup, yaitu sebanyak 17,6%.

b. Asupan Protein
12

Menurut IDewa (2016), protein merupakan sumber asam amino

esensial untuk pertumbuhan dan pembentukan serum, hemoglobin,

enzim, hormon, serta antibodi; menganti sel-sel tubuh yang rusak;

memelihara keseimbangan asam-basa cairan tubuh, serta sumber energi.

Baik bayi maupun balita membutuhkan protein berkualitas tinggi

yang dapat dipenuhi dari ASI, susu formula, dan MP-ASI. Kandungan

protein dalam bahan makanan untuk masa ini berfungsi sebagai :

1) Zat pembangun, pengatur, dan memperbaiki jaringan. Termasuk

jaringan mata, kulit, otot, jantung, paru, otak dan organ lain

2) Membuat enzim, hormone, antibodi, dan komponen penting lain

3) Membantu proses regulasi tubuh (Zimmerman, 2012).

Di Indonesia masalah defisiensi protein dan malnutrisi masih

banyak terjadi pada anak-anak. Asupan makanan yang tidak adekuat

akan kandungan energi, protein dan zat gizi mikro dapat menjadi

penyebab terjadinya kekurangan gizi pada anak. Berdasarkan analisis

data dari berbagai Negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa

makanan sumber protein hewani merupakan komponen makanan anak

yang penting sebagai sumber protein dan zat gizi mikro. Rendahnya

konsumsi makanan sumber protein hewani merupakan faktor risiko

terjadinya stunting atau kurang gizi pada anak (I Dewa, 2016).

Selain pada masalah kurang gizi, defisiensi protein juga dapat

terjadi pada kondisi-kondisi tertentu atau kondisi hipermetabolik seperti

luka, infeksi, trauma, luka bakar, atau pembedahan. Kondisi kronis

dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan kehilangan nitrogen

tubuh. Pada kondisi-kondisi ini suplemen atau dukungan gizi dapat


13

membantu, tetapi akar timbulnya hipermetabolik harus ditemukan dan

diperbaiki. Perlu juga mendapat perhatian adanya hubungan yang erat

antara asupan energi dan protein. Jika asupan energi kurang, protein akan

digunakan sebagai sumber energi sehingga asupan energi harus adekuat

(I Dewa, 2016).

Studi Axelsson pada tauhun 2006 menyebutkan bahwa asupan

protein tinggi berkontribusi meningkatkan sekresi insulin dan insulin-like

growth factor (IGF-1) dan IGF-binding protein (IGFBP)-1 pada

pemberian makanan formula bayi dengan kandungan protein yang

berbeda (13, 15, dn 18 g protein/L) serta pemberian ASI pada kelompok

control. Sebuah tinjauan sistematik dari Hornell (2013), menyebutkan

adanya hubungan antara asupan protein tinggi pada bayi dan balita

dengan peningkatan pertumbuhan dan indeks masa tubuh (IMT) yang

lebih tinggi pada usia balita (I Dewa, 2016).

Hasil penelitian Ermawati (2016), didapatkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kejadian

stunting, dengan presentase asupan protein kurang (54,1%) dan asupan

protein cukup (45,9%). Penelitian lain oleh Aridiyah (2015),

menunjukkan bahwa setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan

protein, akan menambah z-score TB/U balita sebesar 0,024 satuan.

c. Penyakit Infeksi

Infeksi adalah salah satu faktor selain asupan energi dan protein

yang memengaruhi status gizi seorang anak. Penyakit infeksi juga

mempunyai efek substansial terhadap pertumbuhan linier. Masih

tingginya angka kematian anak dan stunting di Indonesia dipengaruhi


14

juga oleh tingginya prevalensi penyakit infeksi. Malnutrisi ini disebabkan

karena perbedaan antara jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan

jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi sebagai

konsekuensi dari terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami

infeksi, yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi

nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus.

Pada kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat

bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan

infeksi dapat menyebabkan malnutrisi. Anak dengan gizi kurang,

memiliki daya tahan tubuh yang rendah terhadap penyakit, mudah sakit

dan keadaan sakitnya dapat menyebabkan semakin kurang gizi, sehingga

mengurangi kemampuan tubuhnya untuk melawan penyakit dan

sebagainya. Hal ini disebut juga sebgai infection malnutrition. Beberapa

penyakit infeksi yang memiliki hubungan dengan kejadian stunting pada

balita yaitu, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), TB paru, diare

persisten, campak dan malaria (Maxwell, 2011).

1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi

baik pada saluran nafas atas dan bawah. ISPA disebabkan oleh

bakteri virus yang masuk karena kurangnya asupan gizi, rendahnya

sistem imun dan polusi udara. Infeksi saluran nafas bagian atas

meliputi bagian rongga hidung, sinus (rongga berisi udara yang

terdapat disekitar pipi, hidung dan mulut) dan laring (pangkal

tenggorokan). Infeksi ini dapat berakibat pada penyakit pilek, radang

sinus atau sinusitis, radang amandel atau tonsillitis, radang pita suara

atau laringitis, dan influenza. Infeksi saluran nafas bagian bawah


15

meliputi trakea (batang tenggorok), bronkus, bronkiolus, dan paru-

paru. Infeksi ini dapat berakibat pada penyakit seperti radang tabung

bronkus atau bronchitis, bronkiolitis, influenza, tuberkulosis dan

pneumonia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap

tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah.

2) Diare adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan kejadian

stunting pada balita. Diperkirakan ada 25% kejadian stunting

berkaitan dengan lima atau lebih periode kejadian diare pada umur

dua tahun (Checkly, 2008). Hal yang harus diperhatikan, kaitannya

stunting dengan kejadian daire yaitu pentingnya membedakan antara

diare akut dan diare persisten (kejadian diare dengan lama waktu

lebih dari 14 hari). Studi dari berbagai negara menunjukkan bahwa

satu setengah kematian terkait dengan diare adalah karena diare

persisten. Walaupun dari setiap daerah penelitian angka kejadiannya

bervariasi karena perbedaan daerah, musim, dan lingkungan

(Maxwell, 2011).

Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai

darah dan berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi

seang atau berat, diare persisten diklasifikasikan sebagai “berat”.

Diare persisten merupakan bagian dari diare kronik yang disebabkan

oleh berbagai penyebab. Bakteri penyebab diare pada bayi dan akan-

anak adalah Enteropathogenic Eschericia coli (EPEC). Menurut

Levine dan Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab

kematian ratusan ribu anak di Negara berkembang setiap tahunnya.


16

Hal ini juga yang di ungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia

53% bayi dan anak yang mengalami diare terinfeksi EPEC.

3) TB atau Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan

oleh bakteri micro tuberculosis yang dapat menular melalui percikan

dahak. Tuberculosis bukan penyakit keturunan atau kutukan dan

dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur, diawasi oleh

Pengawasan Minum Obat (PMO). Tuberculosis adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuma TB. Sebagian besar

kuman TB menyerang paru tetapi bisa juga organ tubuh lainnya

(Kemenkes, 2017). Pada penderita TB terjadi penurunan nafsu

makan, malabsorbsi mikronutrien dan metabolism yang berlebihan

sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan lemak (wasting)

sebagai manifestasi malnutrisi energi protein (Wina, 2016).

4) Penyakit malaria memiliki keterkaitan dengan kejadian stunting.

Penyakit malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk

Anopheles betina (sejenis protozoa parasite)dalam tipe Plasmodium.

Hubungan malaria dengan status gizi yaitu dapat menyebabkan

hemolisis, yang pada akhirnya menyebabkan anemia. Anemia

Defisiensi Besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien yang

sering terjadi pada anak diseluruh dunia terutama di Negara

berkembang seperti Indonesia. Zat besi ini sangat diperlukan dalam

proses perkembangan sistem saraf yaitu dalam proses mielinisasi,

neurotransmitter, dendritogenesis dan metabolism saraf. Seorang

balita yang mengalami anemia akan mempengaruhi fungsi kognitif,

tingkah laku dan pertumbuhan (Maxwell, 2011).


17

5) Campak atau measles merupakan salah satu penyakit menular yang

dapat menginfeksi setiap anak yang tidak terlindungi. Penyakit ini

disebabkan oleh virus campak. Campak memiliki kaitan dengan

kekurangan protein dan vitamin A. kondisi dengan malnutrisi dan

defisiensi vitamin A membuat anak lebih rentan terhadap infeksi dan

infeksi juga berkontribusi dalam kekurangan gizi/ malnutrisi serta

terganggunya masalah pertumbuhan (Maxwell, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ermawati (2016), bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit infeksi

terhadap kejadian stunting pada balita, dengan prevalensi kejadian

sebesar 68,4%. Keadaan ini dikarenakan infeksi dapat menghambat

pertumbuhan linier melalui penurunan asupan makan dan penyerapan zat

gizi, hilangnya zat gizi, peningkatan kebutuhan metabolik dan

menghambat transfer zat gizi ke jaringan.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), yang

menyatakan bahwa penyakit infeksi (diare dan ISPA) merupakan faktor

risiko terhadap kejadian stunting balita. Diare dan ISPA merupakan salah

satu penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dan memberikan

dampak negatif terhadap status gizi anak dalam hal mengurangi nafsu

makan dan penyerapan zat gizi dalam usus, terjadi peningkatan

katabolisme sehingga cadangan zat gizi yang tersdia tidak cukup untuk

pembentukan jaringan tubuh dan pertumbuhan.

Selanjutnya, penelitian Tjetjep (2011), tingginya presentase

kejadian ISPA dan diare pada balita menggambarkan bahwa penyakit ini

masih mendominasi buruknya kesehatan anak balita yang dipengaruhi


18

oleh lingkungan dan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan

perkembangan balita.

Penelitian di Guatemala diketahui anak yang jarang mengalami

diare memiliki pertumbuhan tinggi badan lebih 6,3% dan berat badan

lebih 11% dibandingkan anak yang memiliki prevalensi diare lebih

tinggi. Diare juga memiliki efek yang sama pada pertumbuhan anak di

Gambia, dimana ada hubungan antara tinggi dan berat badan anak yang

lebih rendah pada anak dengan prevalensi diare tinggi (Preedy, 2012).

Anak yang menderita diare mengalami penurunan nafsu makan

sehingga asupan zat gizi cenderung menurun. Tingginya kejadian diare

disertai gangguan penyerapan dan tingkat kehilangan zat gizi secara

berulang-ulang pada anak menyebabkan terganggunya proses

pertumbuhan. Balita stunting dengan prevalensi diare yang tinggi

memiliki tingkat daya imun lebih rendah, sehingga jika terpapar dengan

polusi udara atau mengkonsumsi makanan/minuman yang memicu dapat

menimbulkan penyakit ISPA, seperti batuk dan pilek (Stewart, 2013).

d. Pemberian ASI Eksklusif

Air Susu Ibu atau ASI adalah species specific dan merupakan

makanan yang terbaik bagi bayi. Di samping ASI yang merupakan

sumber yang dapat mencukupi secara penuh atas kebutuhan energi dan

protein dalam masa bayi 6 bulan, secara tidak langsung pemberian ASI

eksklusif tersebut akan memacu kematangan usus bayi untuk bisa

menerima nutrisi yang diperlukan kemudian. Adanya faktor-faktor

bioaktif di dalam ASI yang merupakan hal yang sangat penting untuk
19

kelanjutan kehidupan, yaitu hormon dan cytokines sebagai faktor

pertumbuhan.

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa memberi minuman

maupun makanan tambahan lain sampai usia 6 bulan. Makanan

tambahan dimaksud adalah memberi makanan padat atau setengah pada

di samping ASI. ASI eksklusif hanya berlaku bagi bayi yang lahir full

term dan normal. Penelitian mengatakan bahwa berhentinya pemberian

ASI sebelum 6 bulan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi

(Ranuh, 2013). Oleh karena itu, kaitannya dengan ASI eksklusif WHO

merekomendasikan ASI sebagai satu-satunya makanan untuk 6 bulan

pertama setelah kelahiran.

ASI eksklusif adalah memberikan makanan hanya ASI saja bagi

bayi sejak lahir sampai dengan 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi

yang diperbolehkan mengkonsumsi obat-obatan, vitamin dan mineral

tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertama pemberian ASI eksklusif,

bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu, formula, jeruk,

madu, air, teh, dan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu,

bubur nasi, biskuit, nasi tim). Sedangkan predominan adalah memberikan

ASI kepada bayi, tetap pernah memberikan sedikit air atau minuman

berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal

sebelum ASI keluar (Kemenkes, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fariani (2013), ada

hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Sehingga dapat dikatakan
20

yang signifikan secara statistika antara pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian stunting pada balita.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yusdarif (2017),

menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara ASI

eksklusif dan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Penelitian

ini menyatakan bahwa balita yang diberikan ASI eksklusif memiliki

peluang 1,56 kali lebih besar tidak mengalami stunting daripada balita

yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

e. Waktu Pertama Pemberian MP-ASI

Makanan Pendamping-ASI (MP-ASI) merupakan makanan bayi

yang menyertai pemberian ASI, diberikan setelah bayi berusia 6 bulan

karena ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. MP-ASI

mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi selama periode

penyapihan (complementary feeding), yaitu pada saat makanan atau

minuman lain diberikan bersama pemberian ASI. Beberapa tujuan

pemberian MP-ASI, antara lain :

1) Memenuhi kebutuhan gizi bayi

2) Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam

makanan dengan berbagai rasa dan tekstur sehingga mampu

menerima makanan keluarga

3) Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan

(keterampilan otomotor).

Terdapat 2 jenis MP-ASI, yaitu buatan rumah tangga atau pabrik

dan makanan yang biasa dimakan keluarga, tetapi dimodifikasi sehingga

mudah dimakan bayi dan memenuhi kebutuhan gizinya. Tekstur


21

makanan mulai dari halus/saring encer (makanan lumat) dan bertahap

menjadi lebih kasar (makanan lembek). Berikut merupakan hal yang

harus diperhatikan dalam pemberian MP-ASI.

1) Memilih bahan makanan utama dengan sumber tinggi zat besi

2) Memilih beras sebagai salah satu sumber karbohidrat karena bersifat

hipoalergenik

3) Telur dapat diberikan saat usia 1 tahun

4) Makanan selingan dapat diberikan 2x sehari seperti bubur kacang

hijau, biskuit, dan buah-buahan untuk melengkapi kebutuhan vitamin

dan mineral.

Sebuah Penelitian yang dilakukan oleh Istiftiani (2011),

menunjukkan bahwa umur pertama pemberian MP-ASI berhubungan

signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada baduta.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dwi Puji Khasanah (2016),

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara waktu pertama

pemberian MP-ASI yang terlalu dini terhadap kejadian stunting pada

balita.

f. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak

diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.

Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal

terhadap penyakit lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan

atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut

tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Kemenkes, 2015).
22

Imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan

baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian

antibodi (imunisasi pasif). Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun

membentuk antibodi atau respon imun seluler yang dapat melawan agen

penginfeksi. Lain halnya dengan imunitas pasif, menyediakan proteksi

sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen

maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin. Kegiatan imunisasi

merupakan upaya yang paling cost effective dalam menurunkan angka

kesakitan (mordibitas) dan kematian (mortalitas) akibat Penyakit yang

Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang diharapkan akan

berdampak pada penurunan angka kematian bayi dan balita.

Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi antara

lain : TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B dan lain

sebagainya (Kemenkes, 2015). Adapun cakupan kelengkapan pemberian

imunisasi berdasarkan hasil data Riskesdas (2013), cakupan imunisasi

lengkap 59,2%, imunisasi tidak lengkap 32,1% dan tidak pernah

imunisasi 8,7%.

Masih adanya masyarakat yang tidak memberikan imunisasi pada

anak-anak mereka, hal ini diketahui bahwa masih adanya faham yang

berbeda dimasyarakat mengenai imunisasi. Alasan yang disampaikan

orangtua mengenai hal tersebut, antara lain karena anaknya takut panas,

sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak

tahu tempat imunisasi, serta sibuk atau repot.

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Lima Imunisasi Dasar


Jenis Imunisasi Umur Bayi
Hepatitis B (HB) 0 ≤ 7 hari
BCG, Polio 1 1 bulan
23

DPT/HB 1, Polio 2 2 bulan


DPT/HB 2, Polio 3 3 bulan
DPT/HB 3, Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan
(Sumber : Buku Ajar Imunisasi Kemenkes, 2015)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh paramitha (2012),

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi

dengan kejadian stunting pada balita.

Selain itu, sebuah penelitian di Brazil oleh Luciano (2013),

menunjukkan anak yang tidak divaksinasiBCG memiliki risiko 32,0%

lebih besar mengalami gizi buruk kronis yang berakibat pada kejadian

stuntingbalita, dibanding anak yang sudah menerima vaksinasi ini.

g. Berat Badan Lahir Balita

Berat badan lahir pada khususnya sangat terkait dengan kejadian

kematian janin, neonatal, dan post neonatal; mordibitas bayi dan anak;

serta pertumbuhannya di masa mendatang. Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500

gram tanpa memandang masa kehamilan (Atikah, 2010).

WHO mendefinisikan semua bayi yang baru lahir dengan berat

lahir kurang dari 2.500 gram di sebut Low Birth Weight Infants. BBLR

dapat disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin.

Bayi dengan berat lahir < 2.500 gram bisa dikarenakan dia lahir secara

prematur ataupun karena terjadi retardasi pertumbuhan (Paramitha 2012).

BBLR mencerminkan kurang gizi sangat dini dalam kehidupan

seorang anak dan memerlukan perhatian yang lebih banyak lagi di hari-

hari mendatang. Prevalensi BBLR di Indonesia berkisar antara 7-14%,

bahkan mencapai 16% di beberapa daerah. Masih tingginya angka


24

kejadian BBLR merupakan cerminan masih banyaknya ibu hamil yang

menderita kekurangan gizi selama kehamilan. Para wanita 15-49 tahun

masih menderita kurang gizi yang kronis (Ranuh, 2013).

Pada tahun 2003 sebanyak 27,5% dari anak balita menderita

kurang gizi sedang dan berat yang ternyata turun sedikit sebesar 10%

dari pada situasi pada tahun 1989 dan hampir separuhnya adalah stunted.

Anak yang menderita malnutrisi dengan BBLR dan stunted ketika pada

masa remaja dan dewasa akan mengalami masalah pertumbuhan yang

kurang baik dan berlangsung lama sebagai suatu cyclus malnutrisi

(Ranuh, 2013).

Beberapa masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada

bayi-bayi dengan BBLR diantaranya :

1. Gangguan perkembangan dan pertumbuhan

Pada bayi BBLR, pertumbuhan dan perkembangan lebih

lambat berkaitan dengan maturitas otak.

2. Gangguan bicara dan komunikasi

penelitian longitudinal menunjukkan perbedaan kecepatan

bicara yang menarik antara BBLR dan berat lahir normal (BLN).

Pada bayi BBLR kemampuan bicaranya akan terlambat

dibandingkan BLN sampai usia 6,5 tahun.

3. Gangguan neurologi dan kognisi

Luaran jangka panjang BBLSR erat berhubungan dengan

kognisi abnormal atau IQ rendah, bayi dengan Berat Badan Lahir

Sangat Rendah (BBLSR) yang berhasil melewati masa kritis


25

neonatal tetapi berisiko tinggi untuk lambat berkembang dikemudian

hari.

4. Gangguan belajar/masalah pendidikan

Sulit menilai untuk Negara berkembang karena faktor

kemiskinan juga berperan pada kinerja sekolah. Suatu penelitian

longitudinal di Negara maju menunjukkan bahwa lebih banyak anak

BBLR dimasukkan ke sekolah khusus.

5. Gangguan atensi dan hiperaktif

Dulu dikenal dengan Minimal Brain Disorders, sekarang lebih

banyak disebut sebagai ADD dan ADHD. Merupakan gangguan

neurologi.

Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2014), menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada

anak usia 6-24 bulan yaitu 5,6 kali lebih berisiko untuk mengalami

kejadian stunting pada anak dengan riwayat BBLR dibandingkan dengan

anak yang lahir dengan berat badan normal.

Penelitian Zilda (2012), menunjukkan adanya hubungan antara

berat badan lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang

memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1,31 kali mengalami

stunting dibandingkan dengan balita berat lahir normal. Berat lahir

merupakan predikator kuat terhadap penentuan ukuran tubuh dikemudian

hari. Hal ini karena pada umumnya bayi yang mengalami Intra Uterine

Growth Retardation (IUGR) tidak dapat mengejar pertumbuhan ke

bentuk normal selama masa kanak-kanak


26

Penelitian lain oleh Atikah Rahayu (2015), menunjukkan bahwa

BBLR merupakan faktor risiko yang paling dominan berhubungan

dengan kejadian stunting anak baduta di wilayah Puskesmas Sungai

Karias, Hulu Sungai Utara. Kondisi ini dapat terjadi karena pada bayi

yang lahir dengan BBLR, sejak dalam kandungan sudah mengalami

masalah pertumbuhan intrauterin sehingga berakibat lajut sampai

terjadinya proses kelahiran dan setelah dilahirkan akan mengalami

keterlambatan dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya.

Keadaan ini akan berdampak pada kegagalan menyusul tingkat

pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada usia selanjutnya.

Kemudian, penelitain yang dilakukan oleh Loida dkk. (2017),

menyatakan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan

kejadian stunting pada usia 0-59 bulan di Wilayah pusat Mozambique.

h. Panjang Badan lahir Balita

Panjang badan bayi saat lahir mengambarkan pertumbuhan linear

bayi selama dalam masa kandungan. Panjang badan lahir pendek

dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam

kandungan. Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa

kehamilan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga

dapat menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi

yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan

lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes RI, 2010).

Panjang badan lahir adalah riwayat panjang badan lahir anak

berdasarkan telaah rekap data di buku KIA dan wawancara. Dalam

penelitian ini, panjang badan lahir dibagi menjadi dua kategori, pendek
27

dan tidak pendek. Pendek jika balita lahir dengan panjang badan <48 cm,

dan kategori tidak pendek jika balita lahir dengan panjang badan ≥48 cm.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yusdarif (2017)

menunjukkan bahwa, ada hubungan yang bermakna antara panjang

badan lahir terhadap kejadian stunting pada balita. Dalam penelitiannya

dijelaskan bahwa panjang badan lahir merupakan faktor risiko stunting

balita usia 24-59 bulan. Nilai rasio prevalensinya 1,76 (PR>1),

menunjukkan bahwa responden dengan panjang badan lahir pendek

memiliki peluang 1,76 kali lebih besar mengalami stunting daripada

responden dengan panjang badan lahir tidak pendek.

Selain itu penelitian lain oleh Luh Sri Suciari (2015), bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir dan berat

badan lahir dengan kejadian stunting dengan nilai p masing-masing

0,001 (OR: 6,08), dan 0,006 (OR: 1,14).

Penelitian lain oleh Khoirun (2015), menunjukkan bahwa ada

hubungan antara panjang badan lahir rendah (<48 cm) terhadap kejadian

stunting pada balita. Risiko untuk terjadi gangguan tumbuh (growth

faltering) lebih besar pada bayi yang telah mengalami falter sebelumnya

yaitu keadaan pada masa kehamilan dan prematuritas. Artinya, panjang

badan yang jauh di bawah rata-rata lahir disebabkan karena sudah

mengalami retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan. Retardasi

pertumbuhan saat masih dalam kandungan menunjukkan kurangnya

status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil sehingga menyebabkan

anak lahir dengan panjang badan yang kurang (Khoirun, 2015).

i. Status Ekonomi Keluarga


28

Strata ekonomi masyarakat kita dapat dilihat dari pendapatan.

Status ekonomi didefinisikan sebagai pendapatan perkapita perbulan

dalam keluarga dibagi jumlah anggota keluarga berdasarkan Badan Pusat

Statistik tahun 2011. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah

Istimewa Yogyakarta Nomor 255/KEP/2015 tentang Upah Minimum

Kabupaten/Kota Tahun 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta,

memutuskan bahwa Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Daerah

Istimewa Yogyakarta tahun 2016 adalah sebagai berikut: Kota

Yogyakarta Rp 1.452.400, Kabupaten Sleman Rp. 1.338.000, Kabupaten

Bantul Rp 1.297.700, Kabupaten Kulon Progo Rp 1.268.870, dan

Kabupaten Gunungkidul Rp 1.235.70. Dikatakan status ekonomi <UMK,

jika pendapatan < Rp. 1.452.400 dan status ekonomi ≥ UMK jika

pendapatan ≥ Rp 1.452.400.

Masyarakat dengan strata ekonomi miskin tidak dapat memenuhi

kebutuhan dasarnya, sehingga perumahan dan sanitasinya sangat jelek.

Penyakit seperti kurang gizi, TBC, dan penyakit infeksi lain sering kali

terjadi pada masyarakat miskin dibandingkan dengan masyarakat yang

memiliki ekonomi yang baik. Selain itu, masalah gizi kurang erat

kaitannya dengan kemiskinan, sehingga pemikiran yang menyeluruh dan

tuntas mengenai penanggulangan masalah gizi kurang harus merupakan

bagian dari program pengentasan kemiskinan (I Dewa, 2016).

Menurut penelitian Paramitha (2012), bahwa kecenderungan

kejadian stunting pada balita lebih banyak ditemukan pada keluarga

dengan status ekonomi rendah yaitu sebesar 34,6% dibandingkan dengan

keluarga dengan status ekonomi tinggi yang hanya sebesar 7,7%. Pada
29

penelitian di Ethiopia, terdapat kecenderungan yang sama bahwa

kejadian stunting leibih tinggi terjadi pada status ekonomi rumah tangga

yang dibawah rata-rata (47,3%) dibandingkan dengan status ekonomi

rumah tangga yang tinggi (34,5%).

Selain itu, hasil penelitian yang sama pada penelitian yang

dilakukan oleh Zilda Oktarina (2013), balita yang berasal dari keluarga

dengan status ekonomi rendah, lebih banyak mengalami stunting

dibandingkan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi.

Penelitian lain oleh Aridiyah (2015) menunjukkan terdapat hubungan

yang signifikan antara pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting

pada anak balita baik yang berada di daerah pedesaan maupun di

perkotaan.

5. Pengukuran Stunting pada Balita

a. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos (tubuh) dan metros

(ukuran). Secara umum antropometri diartikan sebagai ukuran tubuh

manusia. Dalam bidang gizi, antropometri berhubungan dengan berbagai

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat

umur dan tingkat gizi.

Menurut NHANES (National Health and Nutrition Examination

Survey) III, antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia

dalam hal dimensi tulang otot, dan jaringan adipose atau lemak. Karena

tubuh dapat mengasumsikan berbagi postur, antropometri selalu

berkaitan dengan posisi anatomi tubuh.


30

Menurut Sandjaja (2009), dalam Kamus Gizi menyatakan bahwa

antropometri adalah ilmu yang mempelajari berbagai ukuran tubuh

manusia. Dalam bidang ilmu gizi, antropometri digunakan untuk menilai

status gizi. Ukuran yang sering digunakan adalah berat badan, tinggi

badan, lingkar lengan atas, tinggi duduk, lingkar perut, lingkar pinggul,

dan lapisan lemak bawah kulit.

1) Keunggulan antropometri

Pengukuran status gizi mempunyai beberapa keunggulan berikut:

a) Prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan pada jumlah

sampel yang besar.

b) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan

oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat agar dapat

melakukan pengukuran antropometri.

c) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan

dibuat di daerah setempat.

d) Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.

e) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa

lampau.

f) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi kurang dan gizi

buruk karena sudah terdapat ambang batas yang jelas.

g) Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi

pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi

berikutnya.

h) Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan

kelompok yang rawan terhadap gizi.


31

2) Kelemahan antropometri

Selain keunggulan metode penentuan status gizi secara antropometri,

terdapat pula beberapa kelemahan berikut :

a) Tidak sensitif, yang mengandung arti metode ini tidak dapat

mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Selain itu, metode

ini juga tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu

seperti zink dan zat besi.

b) Faktor diluar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan

energi) dapat menurunkan spesifisitas dan sensitivitas

pengukuran antropometri.

c) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat

memengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran

antropometri gizi.

d) Kesalahan ini terjadi karena : Pengukuran; Perubahan hasil

pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan; Analisis dan

asumsi yang keliru.

e) Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan: latihan

petugas yang tidak cukup, kesalahan alat atau alat yang tidak

ditera dan kesulitan pengukuran.

b. Ukuran Antropometri

Ukuran antropometri yang sering dipakai antara lain :

a. Umur

Untuk menentukan status gizi seseorang, faktor umur sangat

penting. Penentuan umur yang salah bisa menyebabkan interpretasi

status gizi yang tidak tepat. Hasil pengukuran berat badan dan
32

panjang badan tidak akan berarti jika penentuan umur salah. Batasan

umur yang digunakan adalah tahun umur penuh (completed year) dan

untuk anak umur 0-24 bulan digunakan bulan penuh (completed

month). Contoh: Bulan usia penuh, Umur : 4 bulan 5 hari dihitung 4

bulan, dan 3 bulan 27 hari dihitung 3 bulan (Hasdianah, 2014).

b. Berat Badan

Berat badan merupakan pengukuran yang terpenting pada bayi

baru lahir. Dan hal ini digunakan untuk menentukan apakah bayi

termasuk normal atau tidak. Berat badan merupakan hasil

peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara

tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain. Berat badan dipakai

sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui

keadaan gizi dan tumbuh kembang anak. Penentuan berat badan

dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan sebaiknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut : Mudah digunakan dan

dibawa dari satu tempat ke tempat lain, Mudah diperoleh dan relatif

murah harganya, Ketelitian penimbangan maksimum 0,1 kg,

Skalanya mudah dibaca dan Aman untuk menimbang balita

(Hasdianah, 2014).

c. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang cukup

penting. Keistimewaannya bahwa ukuran tinggi badan akan

meningkat terus pada waktu pertumbuhan sampai mencapai tinggi

yang optimal. Disamping itu tinggi badan dapat dihitung dengan

dibandingkan berat badan dan dapat mengesampingkan umur


33

(Hasdianah, 2014). Tinggi badan diukur dengan subjek berdiri tegak

pada lantai yang rata, tidak menggunakan alas kaki, kepala sejajar

dataran Frankfurt (mata melihat lurus ke depan), kaki menyatu, lutut

lurus, tumit, bokong dan bahu menyentuh dinding yang lurus, tangan

menggantung di sisi badan, subjek diintruksikan untuk menarik nafas

kemudian bar pengukur diturunkan hingga menyentuh puncak kepala

(vertex), dan angka yang paling mendekati skala millimeter dicatat

(Gibson, 2005 dalam Paramitha, 2012).

c. Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status

gizi. Indeks antropometri terdiri dari berat badan menurut umur (BB/U),

tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi

badan (BB/TB).

Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berasarkan
Indeks Antropometri
Indeks Kategori Ambang Batas
Status Gizi (Z-score)
Berat Badan menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD
(BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Sangat Pendek < - 3 SD
Umur (PB/U) atau Tinggi Pendek -3 SD sampai dengan -2 SD
Badan menurut Umur Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
(TB/U) Tinggi >2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Berat Badan menurut Sangat Kurus < - 3 SD
Panjang Badan (BB/PB) Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
atau Berat Badan menurut Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Indeks Masa Tubuh Sangat Kurus < - 3 SD
menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh Sangat Kurus < - 3 SD
menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
34

Anak Umur 5-18 Tahun Normal -2 SD sampai dengan 2 SD


Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
(Sumber : Kemenkes, 2010)

Untuk mengetahui balita stunting atau tidak, indeks yang

digunakan adalah indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Tinggi

badan menurut umur adalah ukuran dari pertumbuhan linier yang

dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa

lampau. Kurangnya tinggi badan menurut umur didefinisikan sebagai

“kependekan” dan mencerminkan baik variasi normal atau proses

patologis yang mempengaruhi kegagalan untuk mencapai potensi

pertumbuhan linier. Hasil dari proses yang terakhir ini disebut “stunting”

atau mendapatkan insufisiensi dari tinggi badan menurut umur

(Paramitha, 2011).

d. Cara Pemaparan Indikator Antropometri terhadap Stunting

Pada prinsipnya, ada tiga cara pemaparan indikator ini, yaitu (1)

persentase, (2) persentil, dan (3) z-skor, atau simpang baku terhadap nilai

median acuan. Z-skor atau simpangan baku/ standar deviasi (SD),

diterapkan pertama kali oleh WHO pada tahun 1979. Di Indonesia

penggunaan z-skor disepakati pada semiloka antropometri di Cicolo

tahun 1991. Baku WHO/NCHS (National Center for Health Statistics)

baru diterapkan pada tahun 2000, berdasarkan kesepakatan Pakar Gizi

pada Pertemuan di Bogor (19-20 Januari) dan Semarang (24-26 Mei).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian

Status Gizi Anak bahwa untuk menilai status gizi anak diperlukan

standar antropometri yang mengacu pada Standar WHO tahun 2005.


35

Secara umum, rumus perhitungan Z-skor adalah :

(Nilai Individu Subyek)−(Nilai Median Baku Rujukan)


Z-skor = Nilai Simpang Baku Rujukan

nilai simpang baku rujukan disini maksudnya adalah selisih kasus

dengan standar +1 SD atau -1 SD. Jadi apabila TB/U pada kasus lebih

besar daripada median, maka nilai simpang baku rujukannya diperoleh

dengan mengurangi +1 SD dengan median. Tetapi jika TB/U kasus lebih

kecil daripada median, maka nilai simpang baku rujukannya menjadi

median dikurangi dengan -1 SD.

B. Keranga Konsep

Penyakit Infeksi
Pemberian ASI Eksklusif
Status Imunisasi Stunting pada anak
Berat Badan Lahir prasekolah
Panjang Badan lahir
Status Ekonomi Keluarga
Status Gizi Balita

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


No
Operasional Ukur Ukur Ukur
1 Stunting Panjang badan Microtoise Tinggi 1. Stunting Nomina
atau tinggi badan badan (< -2 SD l
balita menurut balita HAZ)
umur diukur 2. Severe
(PB/U)/(TB/U) dengan stunting
kurang dari -2 SD posisi (< -3 SD
sehingga lebih berdiri HAZ)
pendek daripada (WHO,
tinggi seharusnya. 2005)
Kategori Stunting
(pendek) <-2 SD
dan severely
stunting (sangat
pendek) <-3 SD.
2 Penyakit Status balita Kuesioner Wawancar 1. Sakit Nomina
Infeksi terhadap penyakit a 2. Tidak l
infeksi. Balita sakit
36

pernah mengalami (Paramitha,


penyakit infeksi 2012)
dan atau
kejadiannya
berulang. Penyakit
infeksi yang
dialami oleh balita
stunting meliputi;
ISPA, diare
persisten (diare
dengan durasi > 14
hari), campak, TB
paru, malaria).
3 Pemeberia ASI eksklusif Kuesioner Wawancar 1. Tidak Nomina
n ASI adalah a ASI l
Eksklusif memberikan hanya eksklusif
ASI saja untuk 2. ASI
bayi sejak lahir eksklusif
sampai 6 bulan (Ranuh,
tanpa makanan 2013)
tambahan apapun.
4 Status Kelengkapan Kuesioner Wawancar 1. Tidak Nomina
imunisasi imunisasi dasar 9 dan buku a lengkap l
bulan yang KIA/ 2. Lengkap
didapatkan oleh KMS (Kemenkes,
balita, meliputi 2015)
imunisasi Hb-0,
polio, BCG, DPT,
campak.
5 Berat lahir Berat badan balita Kuesioner Wawancar 1. BBLR Nomina
balita pada saat dan buku a (BBL < l
dilahirkan. KIA/ 2500
Dikatakan BBLR KMS gram)
jika berat lahir < 2. Normal
2.500 gram tanpa (BBL ≥
memandang masa 2500
kehamilan. Dan gram)
dikatakan berat (Proverawat
lahir normal jika ≥ i, 2010)
2500 gram.
6 Panjang Panjang badan Kuesioner Wawancar 1. Pendek Nomina
Badan lahir adalah dan buku a 2. Tidak l
Lahir riwayat panjang KIA/ Pendek
badan lahir anak KMS (Yusdarif,
berdasarkan telaah 2017)
rekap data di buku
KIA/ KMS dan
wawancara.
Kategori pendek
jika balita lahir
37

dengan panjang
badan < 48 cm,
dan kategori tidak
pendek jika balita
lahir dengan
panjang badan ≥
48 cm.
7 Status Pendapatan yang Kuesioner Wawancar 1. Dibawah Nomina
ekonomi didapatkan a UMK l
keluarga keluarga balita 2. Diatas
dalam waktu satu UMK
bulan. Hasil ukur (Perda DIY,
pendapatan 2015)
dibawah UMR
Kota Yogyakarta
jika < Rp.
1.452.400. Diatas
8 Status UMR jika ≥ Rp. Kuesioner 1. Baik
gizi 1.452.400. dan buku Wawancar 2. Kurang Nomina
Sebagian besar KIA/ a Baik l
balita memiliki KMS (Amerta
tingkat konsumsi nurt,
energi, 2018)
lemak,protein,karb
ohidrat,seng dan
zat besi yang
cukup. terdapat
hubungan asupan
energy, protein,
lemak,
karbohidrat, dan
seng pada balita
dengan status gizi
(TB/U), sehingga
dibutuhkan asupan
gizi yang adekuat
selama masa
balita.
38

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting

pada balita

2. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada balita .

3. Ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian stunting pada balita

4. Ada hubungan antara berat lahir balita dengan kejadian stunting pada balita

5. Ada hubungan antara panjang badan lahir dengan kejadian stunting pada

balita

6. Ada hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting

pada balita
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif

observasional menggunakan pendekatan cross sectional (potong lintang). Cross

sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara

faktor-faktor risiko dan efek (dapat berupa penyakit atau status kesehatan

tertentu) dengan model pendekatan (point time approach). Variabel-variabel

yang termasuk faktor-faktor risiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi

sekaligus pada saat yang sama. Pengertian saat yang sama bukan berarti pada

suatu saat observasi dilakukan pada semua subyek untuk variabel, tetapi tiap

subyek hanya diobservasi satu kali, dan faktor risiko serta efek diukur menurut

keadaan atau status waktu observasi (Sulistyaningsih, 2011).

B. Variabel Penelitian

uatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Variabel bebas (Independen)

Variabel bebas (Independent) adalah merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel terikat (dependent) (Sugiyono, 2013). Variabel bebas pada

39
penelitian ini yaitu : penyakit infeksi, pemberian ASI ekskluisf, status imunisasi,

berat lahir balita, panjang badan lahir balita dan status ekonomi keluarga.

2. Variabel terikat (Dependen)

Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013). Variabel terikat pada

penelitian ini adalah stunting pada balita.

3. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah :

a. Asupan energi dan protein

Variabel ini tidak dikendalikan karena setiap anak mengkonsumsi makanan

yang berbeda-beda (jenis dan frekuensinya).

b. Pemberian MP-ASI

Variabel ini tidak dikendalikan karena dikhawatirkan terjadi kesalahan

dalam mengingat kapan waktu pemberian MP-ASI yang akan berbeda-beda

sehingga mengurangi keakuratan hasil penelitian.

40
C. Definisi Operasional Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2012), definisi operasional digunakan untuk membatasi

ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati/diteliti. Definisi

operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan

instrumen/alat ukur.

Tabel 3.1 Definisi Operasional

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013)..

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Sugiyono, 2013).

a. Kriteria inklusi

1) Anak pra sekolah stunting dan normal usia 3-5 thn yang datang saat berobat

di puskesmas dan tinggal menetap di wilayah penelitian

41
2) Ibu balita yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

b. Kriteria eksklusi

1) Balita yang mengalami gangguan mental dan cacat fisik.

c. Teknik pengambilan sampel

Setelah peneliti melakukan studi pendahuluan di Puskesmas. Untuk

menentukan jumlah sampel yang representatif, peneliti menggunakan rumus

slovin untuk menentukan jumlah sampel yang akan diteliti dari keseluruhan

jumlah populasi :

Keterangan :
N : Jumlah populasi
n : Jumlah sampel
e : Tingkat signifikansi

Setelah menggunakan rumus slovin, dengan tingkat kesalahan 10%,

kemudian sampel akan diambil dengan menggunakan teknik simple random

sampling dan purposive sampling. Simple random sampling adalah pengambilan

sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang

ada didalam populasi itu dan purposive sampling merupakan teknik penentuan

sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi). Peneliti melakukan pengambilan data penelitian dengan mengikuti

kegiatan Puskesmas.

E. Etika Penelitian

1. Kelayakan Etik (Ethical clearance)

42
Ethical clearance adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Komisi Etik

Penelitian untuk riset yang melibatkan makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu

proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu.

2. Persetujuan (Informed consent)

Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan menjadi responden sebelum

dilakukannya penelitian. Tujuan informed consent adalah agar responden mengerti

maksud dan tujuan penelitian. Jika responden bersedia diteliti, maka harus bersedia

menandatangani persetujuan tersebut. Dan jika responden menolak untuk diteliti

maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

3. Tanpa Nama (Anonimity)

Anonimity merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak

memberikan nama responden pada lembar alat ukur, jadi hanya menuliskan kode

pada lembar pengumpulan data.

4. Kerahasiaan (Confidentiality)

Confidentiality yaitu menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset.

F. Alat dan Metode Pengumpulan Data

1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Microtoise

Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan balita dengan kapasitas

200 cm dan tingkat ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya, data tinggi balita diolah

dengan melihat tabel status gizi berdasarkan standar baku WHO-2005 (Z-skor

tinggi badan menurut umur).

43
b. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan

ditanyakan kepada ibu balita. Pertanyaan dalam kuesioner meliputi data status

penyakit infeksi (ISPA, diare persisten, campak, TB paru dan malaria),

pemberian ASI ekskluisf, status imunisasi, karakteristik balita (usia, jenis

kelamin, berat lahir balita, panjang badan lahir), karakteristik orang tua balita

(pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan status ekonomi keluarga).

Kuesioner Penelitian ini di adopsi dari Penelitian Paramitha Anisa (2012), dengan

judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita

Usia 25-60

2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data

primer didapatkan dari hasil wawancara menggunakan kuesioner pada responden

(ibu balita) yang menjadi sampel dalam penelitian. Data primer yang diperlukan

dalam penelitian ini adalah :

a. Data tinggi badan balita berdasarkan status gizi Tinggi Badan menurut Umur

(TB/U), dengan melakukan pengukuran tinggi badan (untuk anak usia 24-60

bulan) diukur dengan cara berdiri menggunakan microtoise.

b. Data tentang data status penyakit infeksi, pemberian ASI ekskluisf, status

imunisasi, berat lahir balita, panjang badan lahir, status ekonomi keluarga,

karakteristik balita dan orang tua, didapatkan melalui pengisian angket kuesioner.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara pada kegiatan Posyandu dan

mendatangi rumah responden, setelah adanya persetujuan dari responden dengan

menandatangani informed consent.

3. Uji Validitas dan Reabilitas

44
Setelah dilakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, kuesioner dalam

penelitian ini tidak memerlukan uji validitas dan reliabilitas. Karena data primer yang

diinginkan oleh peneliti dari responden penelitian hanya berupa data demografi dan

karakteristik responden.

G. Metode Pengolahan dan Analisis Data

1. Metode Pengolahan Data

Menurut Sulistyaningsih (2010), setelah data terkumpul dalam penelitian ini

maka dilakukan pengolahan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kebenaran data yang diperoleh dan

dikumpulkan. Pada tahap ini peneliti memeriksa kelengakapan data, lalu

menyusun urutannya. Selanjutnya dilihat apakah terdapat kesalahan ataupun

kekurangan dalam pengisian serta melihat kebenaran jawaban dari pertanyaan

setiap variabel.

b. Coding

Coding adalah pemberian atau pembuatan kode pada tiap variabel yang

diteliti. Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memberikan kode pada

data dalam bentuk angka atau huruf-huruf yang tersedia kemudian

mengklasifikasikan data sesuai kebutuhan penelitian. Kategori coding dalam

penelitian ini dapat dilihat pada halaman berikut :

1) Stunting

Kode 1 untuk : Stunting

Kode 2 untuk : Normal

2) Penyakit Infeksi

Kode 1 untuk : Sakit

45
Kode 2 untuk : Tidak Sakit

3) Pemberian ASI Eksklusif

Kode 1 untuk : Tidak ASI Eksklusif

Kode 2 untuk : ASI Eksklusif

4) Status Imunisasi

Kode 1 untuk : Tidak Lengkap

Kode 2 untuk : Lengkap

5) Usia Balita

Kode 1 untuk : Balita usia 24-36 bulan

Kode 2 untuk : Balita usia 37-60 bulan

6) Jenis Kelamin

Kode 1 untuk : Laki-laki

Kode 2 untuk : Perempuan

7) Berat Lahir Balita

Kode 1 untuk : BBLR (< 2500 gram)

Kode 2 untuk : Normal (≥ 2500 gram)

8) Panjang Badan Lahir

Kode 1 untuk : Pendek (<48 cm)

Kode 2 untuk : Tidak Pendek (≥48 cm)

9) Pendidikan Ayah

Kode 1 untuk : Rendah

Kode 2 untuk : Tinggi

10) Pendidikan Ibu

Kode 1 untuk : Rendah

46
Kode 2 untuk : Tinggi

11) Pekerjaan Ayah

Kode 1 untuk : Tidak bekerja

Kode 2 untuk : Bekerja

12) Pekerjaan Ibu

Kode 1 untuk : Tidak bekerja

Kode 2 untuk : Bekerja

13) Status Ekonomi Keluarga

Kode 1 untuk : Dibawah UMK

Kode 2 untuk : Diatas UMK

c. Entry

Data entry adalah memasukkan data dari kuesioner yang telah di coding

kedalam program pengolahan data yang ada didalam komputer, sesuai dengan

variabel yang telah disusun dan dianalisis. Dalam melakukan entry data

penelitian, peneliti melakukannya sendiri, dengan cermat memperhatikan setiap

data yang dimasukan untuk menghindari dan mengurangi risiko kesalahan entry

data.

d. Cleaning

Cleaning adalah proses pembersihan data sebelum diolah secara statistik.

Pada tahap ini peneliti memeriksa kembali data yang telah dimasukkan, apakah

ada bagian yang belum terisi, data yang belum diberi kode atau kesalahan dalam

pemberian kode.

e. Tabulating

47
Tabulating yaitu setelah data tersebut masuk ke dalam program SPSS dalam

komputer, kemudian direkam dan disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca

dengan jelas kemudian dilakukan analisis data secara univariat dan bivariat.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis Univariat adalah analisis statistik yang memperhitungkan faktor atau

variabel tunggal (Topan, 2015). Analisis ini digunakan untuk melihat gambaran

distribusi frekuensi tiap variabel yang diteliti, baik variabel terikat (kejadian

stunting) maupun variabel bebas (faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting: penyakit infeksi, pemberian ASI ekskluisf, status imunisasi, berat lahir

balita, panjang badan lahir dan status ekonomi keluarga. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan program pengolahan data dalam komputer untuk mengolah

hasil dari analisis univariat.

b. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar variabel bebas dan

variabel terikat. Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat

hubungan stunting dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada balita usia 24-

60 bulan di Kelurahan Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta. Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis Uji Chi Square. Uji Chi Square (Kai

Kuadrat) adalah uji analisis yang digunakan untuk melihat hubungan atau

pengaruh antar variabel yang terdapat pada Baris dan Kolom dengan mencari

nilai Asym. Sig (2-tailed). Dalam mengolah hasil analisis bivariat, peneliti pun

menggunakan program SPSS dalam komputer. Adapun syarat Uji Chi Square

yaitu :

1) Jumlah sampel besar

48
2) Skala Data Variabel Kategorik

3) Bentuk tabel 2x2

4) Jumlah cell dengan expected count kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20%.

Selain itu uji Chi-Square akan dilakukan untuk mengetahui kemaknaan

hubungan secara statistik, jika p value <0,05 maka terdapat hubungan yang

bermakna secara statistik. Jika pada tabel memiliki expected count kurang

dari 5 dan lebih dari 20% maka yang digunakan adalah uji Fisher Excact.

49

Anda mungkin juga menyukai