Anda di halaman 1dari 9

DM PADA MATA

Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan


komplikasi dan menyebabkan morbiditas yang signifikan karena komplikasi mikrovaskular
tertentu seperti retinopati, nefropati dan neuropati, dan komplikasi makrovaskuler seperti,
penyakit jantung iskemik dan vasculopati perifer. Penyakit ini dapat terjadi pada anak-anak,
orang muda dan orang dewasa dan menjadi penyakit yang semakin umum. Komplikasi mata
pada penyakit DM bersifat progresif dan cepat memburuk yang menjadi penyebab morbiditas
paling signifikan di dunia namun dapat dicegah dengan deteksi dini dan perawatan tepat
waktu. Ulasan ini memberikan tinjauan umum tentang lima komplikasi mata utama yang
terkait dengan DM yakni retinopati diabetikum dan papilopati, katarak, glaukoma, dan
penyakit permukaan okular (Sayin, et al, 2015).

1. RETINOPATI DIABETIKUM
Batasan: Kelainan retina dan sisten vaskuler yang diakibatkan oleh diabetes mellitus
(Budiono et al., 2013).

Etiopatogenesis
Retionapati diabetikum memiliki beberapa faktor risiko yang kemungkinan menjadi
etiologi penyakit ini antara lain (Khurana, 2015):
1. Lamanya menderita diabetes adalah faktor penentu utama yang penting.
Setelah 10 tahun  20% DM tipe 1 dan 25% DM tipe 2 berkembang menjadi
retinopati.
Setelah 20 tahun  90% DM tipe 1 dan 60% DM tipe 2 berkembang menjadi
retinopati.
Setelah 30 tahun  95% DM tipe 1 dan 65% DM tipe 2 berkembang menjadi
retinopati.
Catatan: penting bahwa durasi penyakit setelah masa pubertas yang lebih berperan
sebagai faktor risiko. Sebagai contoh, risiko retinopati secara kasar sama pada dua
orang berusia 30 tahun, dimana satu menderita DM sejak usia 4 tahun, yang lain
menderita DM sejak usia 12 tahun, karena keduanya sama-sama menderita DM
selama 18 tahun setelah masa pubertas (yaitu usia 12 tahun).
2. Usia awal penderita diabetes juga berperan sebagai faktor risiko.
3. Jenis kelamin.
4. Kontrol metabolik yang buruk.
5. Kelainan genetik.
6. Kehamilan.
7. Hipertensi.
8. Faktor risiko lain termasuk merokok, obesitas, anemia, dan hiperlipidemia.

Patofisiologi
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan fisiologi dan
biokimia aliran darah dan berakhir dengan terjadinya kerusakan endotel kapiler (intraretinal
mikroangiopati). Mikroangiopati ini pada pemeriksaan histologi adalah hilangnya pericyte
dan menebalnya dinding pembuluh darah sehingga mengecilnya lumen pembuluh darah
kapiler bahkan dalam keadaan yang berat dapat terjadi pembuntuan pembuluh darah kapiler
retina, keadaan ini diperberat dengan terjadinya fenomena lumpur dari rheologi darah
sehingga menimbulkan terbentuknya mikroaneurisma dan daerah hipoksia di retina atau
iskemi (Budiono et al., 2013).

Gambar 1. Patofisiologi kerusakan sel karena gula darah.


Gambar 2. Pathway protein kinase C

Gejala Klinis
Pada umumnya klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi tiga (Budiono et al.,
2013):
a. Retinopati diabetik non proliferatif background diabetic retinopathy yang ditandai
dengan mikroaneurisma, perdarahan retina, eksudat lunak, eksudat keras dan daerah
yang hipoksia dan iskemi, dapat disertai edema makula atau tanpa edema makula
b. Retinopati diabetik pre proliferatif yang dapat disertai edema makkula atau tanpa
edema makula
c. Retinopati diabetik proliferatif ditandai adanya pembuluh darah baru atau
neovaskularisasi, perdarahan di subhyaloid jaringan ikat vitreoretinal dan ablasio
retina, dapat disertai edema makula atau tanpa edema makula

Pemeriksaan Klinis
Selain pemeriksaan rutin dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata diperlukan
pemeriksaan funduskopi secara baik yaitu dengan melebarkan pupil yang maksimal dan
memeriksa dengan oftalmoskop direk, indirek, dan Goldmann 3 mirror. Untuk menegakkan
dan mengetahui indikasi pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan Fundal Fluorescein
Angiography (FFA) (Budiono et al., 2013).
Pada pemeriksaan FFA kita dengan jelas dapat melihat adanya mikroaneurisma yang
berdifusi atau tidak berdifusi, daerah hipoksia atau iskemi, adanya neovaskularisasi di retina,
di papil maupun di vitreus dan melihat dengan pasti adanya edema di makula atau di retina,
serta Intra Retina Micro Angiopathy (IRMA) (Budiono et al., 2013).
Untuk mendiagnosis ada atau tidanya edema makula, dapat ditentukan melalui FFA
dimana dapat membedakan antara edema makula tipe difus atau fokall, sedangkan dengan
OCT (Optical Coherence Tomography), dapat diketahui kuantitas dari edema makula
(Budiono et al., 2013).

Penatalaksanaan
 Melakukan regulasi ketat dari metaboliknya adalah faktor yang terpenting.
Fotokoagulasi laser di daerah hipoksia dan mikroaneurisma yang berdifusi dan adanya
neovaskularisasi. Pengobatan dengan sinar laser hanya efektif bila media optik masih
jernih, oleh karena itu harus dilakukan sedini mungkin.
 Teknik fotokoagulasi: setelah pupil dilebarkan maksimal, dipasang lensa 3 cermin
dari Goldmann, sinar laser ditembakkan melalui lensa kontak kornea, lensa, vitreus
sampai retina.
 Fotokoagulasi fokal: untuk daerah retina yang hanya mengalami hipoksia atau
mikroaneurisma yang berdifusi dan edema makula.
 Fotokoagulasi pan retina: untuk retinopati diabetik yang sudah ada neovaskularisasi
baik di papil, maupun retina dan vitreus.
 Dosis laser yang digunakan adalah sebagai berikut:
 Untuk daerah di sentral dekat makula penampang dari laser 50 mikron (spotsize),
makin ke perifer makin melebar sampai 500 mikron, sedangkan waktu dan daya laser
disesuaikan dengan hasil tembakan yang terlihat saat melakukan fotokoagulasi yakni
antara 0,1-0,2 secon dengan daya 200-1000 mW. Jumlah tembakan laser tergantung
teknik yang dipakai antara 200-2000 tembakan.
 Injeksi anti-VEGF (Vascular endothelial growth factor) intravitreal dipertimbangkan
untuk kasus-kasus dengan edema makula dan retinopati diabetik tipe proliferatif yang
akan dilakukan vitrektomi untuk mengontrol perdarahan prabedah, intrabedah dan
pascabedah (Budiono et al., 2013).

Setiap penderita diabetes melitus yang sudah menderita lebih dari lima tahun
walaupun tidak ada keluhan penglihatan, tetap harus diperiksa pada pemeriksaan fundus okuli
dengan oftalmoskop. Jika didapatkan mikroaneurisma, eksudat, perdarahan retina yang
mengancam daerah makula harus dilakukan pemeriksaan FFA untuk mencari indikasi
dilakukannya fotokoagulasi laser. Jika dilakukan fotokoagulasi laser setiao 3-6 bulan,
diperiksa ulang FFA untuk mengetahui kemajuan pengobatan (Budiono et al., 2013).

Diagnosis Banding
1. Mikroaneurisma dan perdarahan akibat retinopati hipertensi, oklusi vena retina.
2. Perdarahan vitreus dan neovaskularisasi akibat kelainan vitreo-retina yang lain.

Prognosis
Prognosis visus penderita retinopati diabetik sangat tergantung pada regulasi kadar
gula yang baik, ada atau tidaknya edema makula dan ketepatan waktu pengobatan dengan
fotokoagulasi laser, lebih awal pengobatan akan lebih baik prognosisnya (Budiono et al.,
2013).

2. PAPILOPATI DIABETIKUM
Papilopati diabetik (DP) adalah manifestasi okular yang tidak biasa dari DM yang
diidentifikasi oleh pembengkakan diskus unilateral atau bilateral yang berhubungan dengan
disfungsi saraf optik minimal atau tidak sama sekali. DP yang merupakan penyakit yang
sembuh sendiri, ditemukan pada tahun 1971 pada pasien T1DM untuk pertama kalinya. Jadi,
sangat sulit untuk memprediksi kejadian DP yang tepat. Prevalensi DP pada kedua jenis DM
adalah sekitar 0,5%, terlepas dari kontrol glikemik dan keparahan Retinopati Diabetikum.
Persentase pasien dengan DP yang menunjukkan NPDRP (Non papillopathy diabetic
retinopathy) lebih tinggi daripada di PDRP (Sayin et al., 2015).
Patofisiologi tidak sepenuhnya dipahami dan beberapa teori telah dikemukakan.
Tidak ada hubungan antara DP dan DRP atau kontrol metabolik. Beberapa peneliti
menyarankan bahwa DP adalah subtipe dari neuropati optik iskemik non-arteritik anterior
(NAION), tetapi ada beberapa fitur diferensial antara NAION dan DP, untuk insans, DP
adalah edema cakram optik asimptomatik, sedangkan NAION adalah infark cakram optik
akut tanpa gejala. . Namun, mekanisme yang paling masuk akal yang bertanggung jawab
untuk DP adalah penurunan terbatas pada jaringan pembuluh darah peripapillary, dan sel-sel
endotel jaringan kapiler superfisial (Sayin et al., 2015).
Penyebab lain pembengkakan disk, dan PDRP dengan NV pada disk telah
dikesampingkan untuk memverifikasi diagnosis DP. DP, yang umumnya terjadi pada pasien
dengan diabetes yang tidak terkontrol, memiliki ciri-ciri berikut: kehilangan penglihatan
tanpa rasa sakit, edema makula, hiperfluoresensi disk pada angiografi fluorescein, dan
peningkatan visual yang signifikan setelah perawatan. Namun, beberapa penyakit dapat
meniru DP, seperti infeksi, peradangan, infiltrasi metastasis, hipertensi, dan papilledema.
Pseudopapilloedema, itu terlihat pada pasien dengan disc drusen, dapat dikacaukan dengan
DP (Sayin et al., 2015).
Untuk mencapai diagnosis diferensial, diperlukan investigasi, seperti angiografi
fluorescein, pencitraan resonansi magnetik orbital, tes darah termasuk enzim pengonversi
angiotensin serum, antibodi anti nuklir, vitamin B12, folat, laju sedimentasi eritrosit, protein
reaktif C, protein reaktif, dan treponemal fluoresen tes antibodi (Sayin et al., 2015).
Sejauh ini, pengobatan definitif belum ditemukan untuk mengubah perkembangan
aslinya, karena dalam kebanyakan kasus edema disk sembuh dalam beberapa bulan tanpa
gangguan penglihatan. Injeksi anti-VEGF intravitreal meningkatkan ketajaman visual dan
mengurangi edema disk pada pasien dengan DP. Pada saat yang sama, tidak diketahui bahwa
bagaimana agen anti-VEGF mempengaruhi pasien dengan DP. Studi lain menunjukkan
bahwa kortikosteroid periokular menstabilkan sawar darah-okuler pada cakram dan makula
dan menyebabkan resolusi cakram dan edema makula. Beberapa derajat atrofi optik jarang
terjadi setelah perawatan. Kontrol tekanan darah yang ketat mengoptimalkan hasil visual
(Sayin et al., 2015).

3. KATARAK
Meningkatnya kadar gula darah pada diabetes melitus dapat mengakibatkan edema
lensa hiperfakosorbito miopikosis akibat sorbitol (alkohol gula) tertimbun dalam lensa.
Edema ini dapat mengakibatkan myopia sementara. Hiperfakosorbito miopikosis akan
mengakibatkan penglihatan jauh kabur dan penglihatan dekat tetap sesuai (Ilyas dan Yulianti,
2015).

4. GLAUKOMA
Hubungan antara DM dan glaukoma telah banyak diselidiki dalam literatur. DM
adalah faktor etiologi utama untuk glaukoma neovaskular (NVG). Namun, hubungan DM
dengan jenis glaukoma lainnya seperti glaukoma sudut terbuka (OAG) dan glaukoma sudut
tertutup (ACG) masih kontroversial. Karena glaukoma adalah jenis neuropati optik dan DM
saja dapat menyebabkan neuropati optik, hubungan yang kompleks dapat terjadi antara DM
dan neuropati optik glaukoma. Di sisi lain, ketebalan kornea sentral (CCT) ditemukan lebih
tebal pada pasien dengan DM yang dapat menyebabkan intraokular yang lebih tinggi (Sayin
et al, 2015).
Karena mekanisme subtipe glaukoma berbeda satu sama lain; akan lebih logis untuk
menyelidiki hubungan subtipe glaukoma secara individual dengan DM. OAG adalah salah
satu penyebab paling umum dari kehilangan penglihatan di seluruh dunia. Dalam beberapa
penelitian, DM dilaporkan sebagai faktor risiko OAG, bersama dengan faktor risiko lain
seperti peningkatan TIO, usia yang lebih tua, riwayat keluarga glaukoma dan ras kulit hitam.
Ditemukan bahwa ketika durasi DM tipe 2 meningkat, risiko memiliki OAG juga meningkat.
Di sisi lain, hubungan memiliki riwayat DM dan risiko OAG tidak ditemukan dalam
beberapa penelitian. Ada kemungkinan bahwa pasien diabetes lebih mungkin untuk
melakukan pemeriksaan okular daripada populasi umum dan dengan demikian lebih mungkin
didiagnosis dengan OAG. Abnormalitas pembuluh darah kecil termasuk pembuluh saraf
optik dan kerusakan oksidatif adalah beberapa mekanisme yang memungkinkan DM dapat
meningkatkan risiko OAG. Dalam aspek pengobatan, pasien OAG dengan DM yang
menjalani trabeculectomy tidak memiliki kontrol IOP jangka panjang dan tingkat
kelangsungan hidup bedah yang sama bila dibandingkan dengan pasien tanpa DM. Perawatan
medis, laser trabeculoplasty, dan operasi (operasi penyaringan, perangkat drainase berair, dll)
adalah pilihan perawatan (Sayin et al, 2015).
Hubungan antara DM dan ACG tidak terlalu jelas. Tetapi beberapa penelitian
menunjukkan bahwa DM mungkin dianggap sebagai faktor risiko untuk ACG. Saw dan rekan
melaporkan bahwa pasien diabetes memiliki ruang anterior yang lebih dangkal daripada
individu tanpa DM, terlepas dari faktor usia, jenis kelamin, dan sosial ekonomi. Senthil et al
menemukan bahwa DM berhubungan dengan ACG, mungkin karena lensa pasien diabetes
yang lebih tebal. Weinreb et al melaporkan bahwa blok pupil pseudophakic dengan ACG
mungkin terjadi pada pasien dengan DM. Juga, pengobatan DR dengan fotonagulasi
panretinal laser argon dapat menyebabkan ACG segera setelah laser. Perawatan medis (agen
topikal, oral, dan intravena) dan laser iridotomi adalah pilihan pengobatan (Sayin et al, 2015).
NVG adalah tipe glaukoma yang berat dan tidak bisa diobati. DR adalah salah satu
faktor etiologi yang paling umum untuk NVG. NVG mungkin terjadi pada kasus tanpa
neovaskularisasi diskus retina atau optik, tetapi lebih mungkin terlihat pada PDR. Asosiasi
iris dan sudut NV dengan DM sebagian besar meningkat dengan durasi penyakit dan kontrol
gula darah. Meskipun iris dan sudut NV umum terjadi pada DM, mereka tidak selalu
berkembang menjadi NVG; tetapi NV selalu berkembang sebelum peningkatan TIO [132].
Ini disebabkan oleh membran fibrovaskular yang terjadi pada permukaan anterior iris dan
sudut iridocorneal. Membran ini kemudian menyebabkan sinekia anterior, penutupan sudut,
dan kenaikan TIO (Sayin et al, 2015).
NVG dapat berkembang pada pasien diabetes setelah operasi katarak, laser
capsulotomy posterior dan pars plana vitrektomi. NVG mengikuti operasi ini mungkin hasil
dari kombinasi peradangan bedah dan gangguan penghalang mencegah difusi faktor
angiogenesis ke segmen anterior. Diagnosis dan pengobatan yang cepat sangat penting untuk
mencegah kebutaan akibat NVG. Fotokoagulasi panretinal adalah metode pengobatan utama
untuk pencegahan NVG pada DRP. Terapi laser fotokoagulasi panretinal pada tahap awal
mungkin berkhasiat dalam menghambat dan bahkan membalikkan proliferasi pembuluh
darah baru di segmen anterior mata. Perawatan medis, cyclophotocoagulation, cryotherapy,
dan operasi (trabeculectomy dengan antimetabolites dan implantasi katup) adalah pilihan
terapi lainnya (Sayin et al, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Budiono, S., T. T. Saleh, Moestidjab, Eddyanto. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata.
Surabaya: Airlangga University Press.

Ilyas, S. dan S. R. Yulianti. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Khurana, A. K. 2015. Comprehensive Opthalmology. New Delhi: Jaypee Brother Medical


Publisher.

Sayin, N., N. Kara, G. Pekel. 2015. Ocular complication of diabetes mellitus. World Journal
of Diabetes. 6(1): 92-108.

Senthil S, Garudadri C, Khanna RC, Sannapaneni K. Angle closure in the Andhra Pradesh
Eye Disease Study. Ophthalmology 2014; 117: 1729-1735

Weinreb RN, Wasserstrom JP, Forman JS, Ritch R. Pseudophakic pupillary block with angle-
closure glaucoma in diabetic patients. Am J Ophthalmol 2014; 102: 325-328

Anda mungkin juga menyukai