Anda di halaman 1dari 24

BAB 1.

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. I
Tanggal Lahir : 01-07-1976 (43 tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sumberjambe, Jember
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
No. Rekam Medis : 259399
Tgl. Masuk RS : 18 Juni 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri Perut
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Pasien datang ke RS DS dengan keluhan nyeri pada perutnya. Nyeri
dirasakan sejak -+2minggu yang lalu dan timbul pada perut sebelah kanan,
kembung (-) kaku (-) Mual muntah (+) BAB (+) BAK (+). Nyeri
bertambah hebat bila ditekan. Pasien juga mengeluh nyeri menjalar ke
seluruh lapang perut sejak 7hari yang lalu. Nyeri dirasakan hebat apabila
ditekan, kaku (+) BAB (+) BAK (+) Mual Muntah (+). Pasien juga
mengeluhkan demam sumer-sumer sejak 2 minggu yang lalu, demam
menurun apabila meminum obat penurun demam.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami kejadian dan keluhan serupa.
Riwayat hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit yang sama dan riwayat hipertensi
dan Diabetes Mellitus di keluarga disangkal.
 Riwayat Pengobatan:
Obat penurun panas merk XXX

3.3 Pemeriksaan Fisik


KU : Lemah RR : 20 x/m
TD : 110/80 mmHg Tax : 38,10C
HR : 104 x/m Kes : CM

Status Generalis:
Kepala dan leher : Anemis (-) Ikterik (-) Sianosis (-) pembesaran kelenjar (-)
Thorax :
Cor : iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL Sinistra, batas
jantung tidak melebar, S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo : Gerak dada simetris, ketertinggalan gerak -/-, sonor +/+,
Vesikuler +/+, Rhonki -/- , Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Flat
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : timpani, pekak hepar (+) normal, hepatosplenomegali (-)
Palpasi : Soepel, defans muscular (-), nyeri tekan (+) seluruh lapang
perut, teraba massa (-)
Extremitas : Akral hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Pemeriksaan Tambahan: Obturator Sign (+) Psoas Sign (+) Rovsing Sign (sde)
Status Neurologis :
GCS : 4-5-6
N II dan III : Pupil bulat anisokor, RC +/+, Ø 3 mm/3 mm
Motorik : kesan lateralisasi (-)
Sensorik : respon to pain (+)
Otonom : BAK (+), BAB (+)

3.4 Diagnosis Kerja


Apendisitis Susp Perforasi

3.5 Pemeriksaan Penunjang


 Lab 18/6/2019
Hb 13,8
Leu 11,9 ↑
Hct 40,5
Trom 232

Na 133,9
K 4,23
Chlo 102,3

Sk 0,9
BUN 14

 Lab 19/6/2019
Hb 12,9
Leu 7,5
Hct 37,1
Trom 205

Alb 3,0
Na 155,2
K 3,96
Chlo 103,6
Cal 2,24

3.7 Planning
Inf PZ 2000cc/24jam
Inj Ceftriaxone 2x1
Inj Ranitidine 2x1
Inj Paracetamole 4x1
Inj Omeprazole 2x40mg
Pro Laparotomi Eskplorasi - Appendiktomi
Laporan Operasi (19/06/2019)
Tindakan Operasi: Laparotomi Eksplorasi - Appendiktomi
Persiapan Operasi Informed Consent + Antibitoik Profilaksis
Posisi Pasien Supine
Desinfeksi Povidone iodine
Insisi Kulit dan pembukaan Insisi midline
lapangan operasi
Pendapatan pada eksplorasi Didapatkan appendiks perforasi aktif
Didapatkan cavum keruh
Uraian/Deskripsi operasi Akumulasi pus di rongga retroperitoneal

Apa yang dikerjakan Dilakukan appendiktomi


(Nama Operasi) Evakuasi pus
Komplikasi Perdarahan +- 300cc
Penutupan Lapang operasi Jahit lapis demi lapis
Pengiriman Jaringan -
3.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Functionam : Dubia
Ad Sanationam :Dubia
3.9 Follow Up
Follow Up(19-06-2019)/06.00/H2MRS/R. Edelweis
S) Pasien mengeluhkan nyeri pada luka post operasi, demam (-), BAB (-), BAK(+
O) Kes : 4-5-6 TD : 110/60 mmHg
HR : 92 x/m RR : 20 x/m
Tax : 36,70C
Kepala/Leher : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :Cor : S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo : simetris, sonor +/+, Ves +/+, Rh -/- , Wh-/-
Abdomen : flat, BU (+) normal, timpani, soepel, nyeri tekan (+) bekas
operasi
Extremitas : Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Drain ± 150cc hemarogik
A) Appendisitis Perforasi post Laparotomi Eksplorasi H0
P) Inf PZ 2000cc/24jam
Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Metronidazole 3x500mg
Inj Antrain 3x1
Inj ranitidin 2x1
Cek DL, Alb, Elektrolit post OP

(20-06-2019)/06.00/H3MRS/R. Edelweis
S) Pasien masih mengeluhkan nyeri pada luka post operasi, demam (-), BAB (+),
BAK (+)
O) Kes : 4-5-6 TD : 100/60 mmHg
HR : 92 x/m RR : 20 x/m
Tax : 36,70C
Kepala/Leher : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :Cor : S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo : simetris, sonor +/+, Ves +/+, Rh -/- , Wh-/-

6
Abdomen : flat, BU (+) normal, timpani, soepel, nyeri tekan (+) bekas
operasi
Extremitas : Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Drain ±50cc serous hemoragik
A) Appendisitis Perforasi post Laparotomi Eksplorasi H1
P) Inf PZ 1500cc/24jam
Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Metronidazole 3x500mg
Inj Antrain 3x1
Inj ranitidin 2x1
Diet bubur halus

(21-06-2019)/06.00/H4MRS/R. Edelweis
S) Pasien mengeluhkan nyeri pada bekas operasi berkurang, demam (-) BAB (+)
BAK (+)
O) KU : lemah
TD : 110/80 mmHg HR : 92 x/m
RR : 20 x/m Tax : 36,7 0C
Kepala/Leher : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :Cor : S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo : simetris, sonor +/+, Vesikuler +/+, Rh -/- , Wheezing -/-
Abdomen : flat, bising usus (+) normal, timpani, soepel, nyeri tekan (+)
berkurang
Extremitas : Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Drain ±20cc seorus hemoragik
A) Appendisitis Perforasi post Laparotomi Eksplorasi H2
P) Inf PZ 1000 cc/24jam
Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Metronidazole 3x500mg

7
Inj Antrain 3x1
Inj ranitidin 2x1

(22-06-2019)/06.00/H5MRS/R. Edelweis
S) Pasien mengeluhkan nyeri pada bekas operasi minimal, demam (-) BAB (+)
BAK (+)
O) Kes: 4-5-6
TD : 120/80 mmHg HR : 88 x/m
RR : 20 x/m Tax : 36,7 0C
Kepala/Leher : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :Cor : S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo : simetris, sonor +/+, Vesikuler +/+, Rh -/- , Wheezing -/-
Abdomen : flat, bising usus (+) normal, timpani, soepel, nyeri tekan (+)
minimal
Extremitas : Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Drain ±20cc seorus hemoragik

A) Appendisitis Perforasi post Laparotomi Eksplorasi H3

P) Inf PZ 1000 cc/24jam


Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Metronidazole 3x500mg
Inj Antrain 3x1
Inj ranitidin 2x1

8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendix
2.1.1 Anatomi Appendix
Appendix adalah organ berbentuk tabung yang berukuran kurang lebih 3 –
15 cm dan berpangkal pada caecum. Organ ini mempunyai lumen yang sempit
pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal. Pada bayi sebaliknya,
lumen appendix berbentuk kerucut dengan bagian proksimal yang lebar dan
ujungnya menyempit, hal ini menjadi alasan mengapa kejadian appendicitis
insidensinya rendah pada usia tersebut (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendix terbentuk pada minggu ke-8 tahap perkembangan embriologi
sebagai tonjolan di bagian ujung dari sekum. Dalam perkembangannya sekum
tumbuh lebih cepat dari pada appendix, sehingga appendix tergeser lebih medial
yaitu terletak pada daerah ileosekal. Karena dasar dari appendix yang
berhubungan dengan sekum itu tetap, maka letak appendix dapat ditemukan di
daerah retrocecal, pelvical, subcecal, preileal, atau posisi pericolic kanan
(Brunicardi, 2010).

Gambar 1. Variasi letak Appendix

9
Appendix di suplai darah oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang
dari arteri ileocolica. Arteri ini berasal dari posterior ileum terminal dan masuk
melalui mesoappendix dekat dasar dari appendix. Drainage limfatik appendix
mengalir pada limfonodi di sepanjang arteri ileocolica ( Peranteau, 2013).

Gambar 2. Arteri apendikularis

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis yang berasal dari cabang


nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis,
dan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu nyeri
viseral pada appendicitis bermula pada daerah sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat,
2011). .

2.1.2 Fisiologi Appendix


Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc
per hari, di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum.
Adanya obstruksi pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada
appendiks (Sjamsuhidajat, 2011). Salah satu hal lain yang dilakukan appendix
adalah menghasilkan Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk

10
appendix, yaitu IgA. Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh, sehingga hilangnya
appendix tidak menimbulkan perubahan yang bermakna (Sjamsuhidajat, 2011). .

2.2 Appendicitis
2.2.1 Epidemiologi
Insidensi appendicitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun,
sementara di negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendicitis mulai meningkat kejadiannya pada masa anak-anak dan mencapai
insidensi tertinggi antara usia 10-30 tahun. Setelah usia 30 tahun insidensinya
mulai menurun lagi meskipun tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada
semua umur. Rasio insidensi appendicitis pada laki-laki dibanding perempuan
adalah 3 : 2. Rasio ini bisa berubah saat usia 25 tahun menuju 30 tahun, laki-laki
dan perempuan mempunyai resiko yang sama (Goldblatt, 2013).

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang
didahului dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan
stasis cairan dan distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan
terganggu akibat vena dan arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi.
Akibatnya terjadi stasis mucus dan penurunan suplai darah appendix yang
memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang kemudian
menyebabkan terjadinya peradangan appendix. Penyebab obstruksi lumen
appendix antara lain adalah : Fecalith, Parasit, Benda – benda asing, Hiperplasia
jaringan limfoid. Tumor / Carcinoid tumor.

11
Obstruksi dari hal – hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan
penimbunan mukus pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala –
gejala, di mana biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang
sering dapat ditemukan antara lain adalah :

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob


 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Klebsiella species  Fusobacterium spesies
 Pseudomonas aeruginosa  Peptostreptococcus micros
 Enterococcus  Clostridium species
 Streptococus anginosus

Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen Appendix (bisa karena
fecalith, hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayur dan biji-bijian, serta parasit di
intestinal) akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena
kapasitas Appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 ml, sementara
sekresi mucus perharinya mencapai 0,5 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen
yang diikuti dengan penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis
cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk edema juga. Distensi dari appendix
menstimulasi ujung saraf visceral aferen, sehingga biasanya gejala yang dialami
pasien adalah nyeri difus pada perut tengah atau lower epigastrium (Brunicardi,
2010). Lumen appendix yang tersumbat dapat menyebabkan terakumulasinya
mukus di dalam lumen. Selain itu terjadi edema dari appendix serta
mengakibatkan tekanan dalam lumen Appendix meningkat. Hal ini yang disebut
sebagai appendicitis akut. (Goldblatt, 2013).
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena
appendicular sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan
proliferasi bakteri pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga
mempermudah terjadinya proses infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan

12
inflamasi pada appendix, inflamasi pada appendix ini akan menyebabkan gejala
nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat inflamasinya meluas dan mengenai
peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai appendicitis akut supuratif
(Goldblatt, 2013).
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga
akan terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang
terjadi akibat penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular
karena edema dan tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan
menekan sistem arteri. Karena sistem arteri yang mendarahi appendix tidak
memiliki sistem kolateral, maka akan terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut
akan menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan dan gangren, hal ini dikenal
sebagai appendicitis gangrenous, di mana appendix yang sudah dalam keadaan
seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang dapat menyebabkan perluasan
infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis) (Goldblatt, 2013).
Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan
terjadinya perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat
kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini
dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
akut. Keadaan di mana appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan
jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini
ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama
kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana nyerinya kemudian
berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga akan nampak
appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis (Sjamsuhidajat, 2011).

13
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

2.2.3 Gambaran Klinis


Gejala awal yang khas adalah nyeri difus di daerah epigastrium atau di
sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri biasanya bersifat nyeri berat dan terus
menerus kadang disertai perut kram yang intermiten. Kemudian dalam beberapa
jam (4 – 6 jam), nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney
(Migratory pain). Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa pasien nyeri bermula
di perut kuadran kanan bawah dan nyeri menetap disana (Brunicardi, 2010).

14
Demam (38,0C), anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada beberapa pasien
dengan appendicitis akut. Presentasi muntah pada appendicitis kurang dari 50%,
namun muntah bukan merupakan tanda pasti dari appendicitis. Jika muntah terjadi
biasanya tidak persisten, hanya sekali atau dua kali. Mual dan muntah yang terjadi
setelah onset nyeri muncul (Goldblatt, 2013).
Pada literatur lain juga menyebutkan tanda dan gejala yang dipengaruhi
oleh letak appendix. Berikut tanda dan gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak appendix retrocaecal – retroperitoneal, yaitu di belakang caecum
(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila appendix terletak di rongga pelvis, yaitu bila appendix terletak di
dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila
appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya
(Sjamsuhidajat, 2011).

2.2.4 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada diagnosis untuk menentukan
pemeriksaan selanjutnya yang akan kita lakukan. Anamnesis yang penting dari
appendicitis yaitu sesuai tanda dan gejala appendicitis . Berikut tabel presentasi
tanda dan gejala yang muncul pada appendicitis :

Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut (Merhi, 2014)

Frekuensi
Gejala
(%)

15
Nyeri perut periumbilical
57,3%
Nyeri perut difus
32,8%
Nyeri perut kuadran kanan bawah
93,1%
Anorexia 79,3%
Mual 82,8 %
Muntah 81%
Diare 14,2 %
Disuria 5,2%

Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, den gan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila
dan rectal >= 1oC (Sjamsuhidajat, 2011).

Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau
abses appendikuler yang besar (Sjamsuhidajat, 2011).

Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi
pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :

Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang

16
terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.

Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan


abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis.
Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus
abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.

Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri sebelah
kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan organ dalam
terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada appendix yang meradang.

Blumberg Sign: nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.

Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.

Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama kali di


regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar berpindah ke regio
iliaka dextra.

Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada appendix yang terletak retrosekal.
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh peradangan yang
terjadi pada appendix.

Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena peradangan
appendiks menyentuh m.Obturator Internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa appendix terletak pada rongga pelvis.

Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan
pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi appendix.

17
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis appendicitis ,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus
(Sjamsuhidajat, 2011).

Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche


Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis , untuk menentukan letak
appendix, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan
terasa nyeri di arah jam 10-11, maka kemungkinan appendix yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
appendicitis pelvika (Sjamsuhidajat, 2011).

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit ≥ 10.000 pada beberapa
penelitian yang meneliti jumlah sel darh putih pada kasus appendicitis dalam
bebrapa tahun. Pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah CRP pada serum yang
meningkat saat fase akut yaitu 8-12 jam setelah onset inflamasi dan mencapai
puncaknya antara 24-48 jam. Nilai CRP pada penelitian kasus appendicitis >10
mg/ L. Selain sel darah putih dan CRP nilai laboraturium lain yang berguna pada
penilaian appendicitis adalah sel PMN, dimana terjadi peningkatan jumlah PMN
yaitu >7 x 109 cell/L dan PMN rasio > 75% (Shogilev, 2014).
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit
dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis
(Sjamsuhidajat, 2011).

Pemeriksaan Radiologi

18
Barium enema : dulu pemeriksaan ini direkomendasika pada pasien
wanita muda yang diagnosis appendicitis masih dipertanyakan namun dia
memiliki penyakit sistemik berat misalnya leukemia yang mana operasi memiliki
resiko yang tinggi. Pada pemeriksaan ini ditemukan fiiling deffect atau biasa
disebut “reverse 3 sign” (Goldblatt, 2013).

Ultrasonografi
USG memiliki akurasi dalam mendiagnosis Appendicitis sekitar 90%.
Yang dapat ditemukan pada Appendicitis melalui USG adalah: , Diameter
appendix anteroposterior lebih dari 6 mm, adanya appendicolith, dinding
appendix menebal. Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya
(Brunicardi, 2010).

19
Gambar 4. USG pada anak wanita 10 tahun dengan gejala appendicitis dan nampak gambaran pelebaran
diameter anteroposterior appendix sebesar 10 mm compression

CT – Scan
Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran
dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan
inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding,
phlegmon, free fluid, free air bubbles,dan abscess. CT-Scan mempunyai akurasi
yang tinggi yaitu >94%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi appendix dengan
abses atau flegmon (Goldblatt, 2013).

Gambar 5. CT Scan pada pasien appendicitis dengan dilatasi dan penebalan dinding appendix

Skor Alvarado
Kemungkinan Appendicitis dapat dipastikan menggunakan skor Alvarado
yang merupakan sistem penilaian yang dirancang untuk meningkatkan diagnosis

20
appendicitis terhadap manifestasi klinis yang spesifik. Berikut tabel yang berisi
penilaian gejala apendisistis menggunakan skor alvarado:

Tabel 3. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris >37,3C 1
Laboratorium Leukositosis >10000 2
Shift to the left >75% 1
Total poin 10

Pasien dengan total skor alvarado 9 atau 10 hampir pasti mengalami


appendicitis . Pemeriksaan lanjutan hanya sedikit membantu dan pasien harus
segera dibawa ke ruang operasi. Pasien dengan total skor alvarado 7 atau 8
memiliki kemungkinan tinggi usus buntu, sedangkan skor 5 atau 6 meragukan,
tetapi tidak diagnostic dengan appendicitis . CT scan sesuai untuk pasien dengan
skor Alvarado 5 sampai 6. Pada pasien dengan tatal skor 0-4 sangat kecil
kemungkinan mengalami apendiditis akut, meskipun bukan berarti tidak mungkin
mengalami appendicitis (Brunicardi, 2019).

2.2.6. Penatalaksanaan

Appendictomy
Appendectomy bisa dilakukan dengan open appendectomy maupun
laparoscopic appendectomy. Untuk open appendectomy dilakukan insisi Mc
Burney. Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang
menghubungkan spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas

21
sepertiga lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia.
Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah
itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya
yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae dan teania
coli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau
taenia coli. Basis appendix dicari pada pertemuan ketiga taenia coi (Goldblatt,
2013).

22
Gambar 7. appendectomy secara singkat

Pasca Operasi
Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan
makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-
48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca
operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien appendicitis tanpa komplikasi. Pada
kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan
hingga 5-7 hari setelah operasi. ( Peranteau, 2013)

2.2.7 Prognosis
Prognosis appendicitis dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang terjadi.
Pada appendicitis dengan perforasi angka mortalitasnya 1%. Pada pasien geriatri
angka ini naik menjadi 5%. Mortalitas terbanyak terjadi karena sepsis dari
peritonitis(Brunicardi, 2010)

23
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, et al. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Goldblatt MI, Telford GL & Wallace JR.. 2013. Appendix in Shackelford’s
Surgery of the Alimentary Tract. Philadelphia: Elsevier.

Merhi BA, Khalil M, Daoud N. 2014. Comparison of Alvarado Score Evaluation


and Clinical Judgement in Acute Appendicitis . Lebanon: Med
Arh.2014.68.10-13

Sjamsuhidajat R. & De Jong W 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Shogilev DJ, Duus N, Odom SR, Shapiro NI. 2014. Diagnosing Appendicitis :
Evidence- Based Review of Diagnostic Approach in 2014. Western
Journal of Emergency Mediine. Volume XV, NO 7

24

Anda mungkin juga menyukai