Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN

Trauma adalah penyebab kematian terbanyak keenam (10% dari semua


penyebab kematian) diseluruh dunia dan menyababkan kecacatan pada jutaan manusia
(Summerton dkk, 2015). Salah satu penyebab kematian pada trauma ilah trauma pada
regio abdomen. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal, vesika
urinaria 2%, uretra, penis dan trauma genitalia eksterna (Purnomo, 2012) sedangkan
trauma ureter akibat kekerasan dari luar sangat jarang terjadi, meliputi kurang dari 4%
kasus trauma tembus dan kurang dari 1% trauma tumpul dan umumnya disertai gejala
trauma urogenital lainnya (Yuanda & Tarmono, 2009).
Secara anatomis, sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga
ekstraperitoneal dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena itu,
apabila terjadi trauma pada saluran urogenitalia dapat dicurigai kemungkinan adanya
kerusakan organ lain disekitar organ urogenitalia (Purnomo, 2012). Trauma tumpul
merupakan penyabab utama cedera saluran kemih selain trauma tajam, trauma tembak
dan cedera iatrogenik. Trauma tumpul dapat dibagi menjadi trauma tumpul langsung dan
tidak langsung. Trauma tumpul langsung bisa disebabkan karena kecelakaan lalu lintas,
olahraga, kecelakaan kerja atau perkelahian, sedangkan trauma tumpul tidak langsung
dapat disebabkan oleh deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga
peritoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robeka tunika
intima arteri renali (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Cedera iatorgenik juga sering
menyebabkan trauma, cedera ini bisa disbakan oleh tindakan bedah, pemeriksaan
penunjang & pemasangan kateter (Summerton dkk, 2015).
Apabila tidak segera ditangani trauma pada saluran perkemihan dapat
menyebabkan motralitas dan morbiditas sehingga perlu diagnosis dan penanganan yang
tepat untuk menurunkan angka mortilitas dan morbiditas pada pasien dengan trauma
saluran perkemihan.

1
2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Urogenital


Saluran urogenital terdiri dari 2 sistem organ, organ reproduksi dan uriaria. Pada
manusia normal, organ urogenitalia terdiri dari ginjal beserta sistem pelvikalises, ureter,
vesika urinaria dan uretra, sedangkan genitalia terdiri dari testis, epididimis, vas deferens,
vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan penis pada pria (Purnomo, 2012).
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas di ventral m.psoas dan m. quadratus lumborum (Paulsen &
Waschkle, 2012). Ginjal memiliki cekungan yang disebut hilus renalis, cekungan ini
berisi apeks pelvis renalis, sistem limfatik, arteri dan vena renalis, saraf (Purnomo, 2012).
Arteri renalis yang berpasangan berasal dari cabang aorta abdominal dan berjalan dorsal
vena menuju hilum renalis, sedangkan pada vena berasal dari vena cava inferior pada
kedua sisinya, dimana pada sisi kiri menerima suplai dari 3 sumber (Suprarenalis sinistra,
ovarica sinistra, phrenica inferior sinistra) sedangkan pada sisi kanan langsung dari vena
cafa inferior. Untuk persayarafan diatur oleh saraf simpatis postganglionik yang berasal
dari ganglion corticorenal dan membentuk pleksus renalis di sekitar arteri renalis (Paulsen
& Waschkle, 2012).
Permukaan ginjal ditutupi oleh capsula fibrosa dan diatasnya terdapat glandula
suprarenalis, lalu ditutupi oleh fasia adiposa dan seluruh jaringan tersebut akan ditutupi
oleh fasia renalis. Lamina renalis tetap terbuka pada medial dan inferior guna tempat
masuknya ureter dan pembuluh darah, dan terdapat lamina fasia renalis pada anterior atau
nama lainya fasia gerota (Paulsen & Waschkle, 2012). Fasia gerota memiliki fungsi
sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal, serta
mencegah ekstravasasi urine pada saat trauma ginjal (Purnomo, 2012). Diluar sebelah
cranial terdapat kelenjar glandula adrenal. Secara struktural, ginjal terbagi atas 2 bagian,
yaitu korteks renalis dan medula renalis (Paulsen & Waschkle, 2012). Didalam korteks
terdaat Nefron, dimana nefron terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan
distal, loop of henle, tubulu kontortus dan ductus koligentes yang memiliki fungsi untuk
mengolah sisa metabolisme.Sedangkan pada medula terdapat duktuli yang berfungsi
mengalirkan ultrafisasi berupa urine (Purnomo, 2012).

3
Gambar 1. Anatomi Ginjal (Paulsen & Waschkle, 2012)

Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang memiliki fungsi untuk
mengalirkan urien dari pelvis ginjala ke buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya 25-
30cm dengan diameter 3-4cm. Dinding ureter terdiri dari mukosa yang dilapisi sel
transisional, otot polos sirkuler dan otor polos longitudinalis. Kedua otot ini memiliki
fungi untuk menggerakan peristaltik pada ureter (Purnomo, 2012). Ureter dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu pars abdominalis (dalam ruang retroperitoneal), pars pelvika (
dalam pelvis minor) dab pars intramuralis (menyilang dinding vesika urinaria (Paulsen &
Waschkle, 2012).

Gambar 2. Anatomi Uretra (Paulsen & Waschkle, 2012).

4
Vesika urinaria atau buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri dari 3 lapis
otot detrusor yang saling beranyam, yaitu otot longitudinal dibagian dalam, otot sirkuler
dibagian tengah, otot longitudinal dibagian luar (Purnomo, 2012). Pada dasar buli-buli
kedua muara ureter dan meatur uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut
trigonum buli-buli. Vesika urinaria memiliki fungsi menampung urine dari ureter dan
kemudian mengeluarkan melalui uretra dalam mekanisme miksi dengan kapasitas sekitar
500-1500 ml urin (meskipun keinginan berkemih dimulaim saat volume 250-500ml)
(Paulsen & Waschkle, 2012).

Gambar 3. Anatomi Vesika Urinaria (Paulsen & Waschkle, 2012).

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine dari buli ke luar melalui
proses miksi. Secara anatomis, utera dibagi menjadi 2, yaitu pars posterior dan pars
anterior. Pars anterior pada pria dibungkus oleh korpus spongiosum penis dan terdiri atas

5
pars bulbosa, pars pendularis,fossa navikularis dan meatus uretra eksternus, selain itu
pada pria uretra berfungi juga sebagai penyalur cairan sperma. Uretra dapat dibagi
menjadi pars intramuralis (dalam dinding vesika urinaria (1cm)), pars prostatika
(dilingkupi kelenjar prostat (3cm)) , pars membranasea (menembus dasar panggul(1-
2cm)) dan pars spongiosa (tertanam di dalam corpus spongiosum penis (15cm) (Paulsen
& Waschkle, 2012) . Pada wanita uretra lebih pendek sekitar 4cm yang berada dibawah
simpisis pubis dan bermuara divagina (Purnomo, 2012). Sehingga lebih sering terjadi
truama uretra pada pria akibat saluran uretra yang panjang (Udiyana & Hartono, 2016).

Gambar 4. Anatomi Uretra Pria (Paulsen & Waschkle, 2012).

2.2. Gambaran Klinis Trauma Saluran Kemih


Kecurigaan trauma diawali dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Trauma tidak
langsung dan trauama langsung atau deselerasi cepat di area pinggang (flank),
suprapubik, daerah genita adalah indikator kecurigaan trauma saluran kemih. Pasien
memiliki riwayat trauma langsung pada pinggang kirinya saat terjatuh. Keluhan nyeri

6
serta jejas minimal di area pinggang yang diperkuat dengan total gross hematuria
(hematuria makroskopis di seluruh fase miksi) dan tanda lain seperti abrasi area
pinggang, fraktur tulang iga, dan distensi dapat meningkatkan kecurigaan pada trauma
organ ginjal (Udiyana & Hartono, 2016) serta kecurigaan adanya cedera ureter pada
trauma dari luar adalah adanya hematuria setelah trauma (Sriyono & Tarmono, 2016)
& Sebanyak 60-90% cedera buli disebabkan trauma tumpul abdomen yang berkaitan
dengan fraktur pelvis (Sesa dkk, 2019), sedangkan pada trauma tidak langsung (jatuh dari
ketinggian) dapat menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga
retroperitoneum, keadaan ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan
tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis (Sjamsuhidajat & De Jong,
2010). Hematuria baik mikroskopik maupun gross makroskopik sering ditemukan pada
kondisi trauma saluran perkemihan. Pada trauma buli, hematuria terjadi akibat rupturnya
vaskular dinding buli yang menyebabkan urin bercampur darah. Sebanyak 5-15% pasien
dengan ruptur buli menunjukkan hematuria hanya pada pemeriksaan mikroskopik (Sesa
dkk, 2019)
Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda utama cedera saluran
kemih (Purnomo, 2012). Hematuria merupakan salah satu faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk tindakan selanjutnya. Pada trauma tumpul tanpa adanya tanda-
tanda syok tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan terkecuali apabila terdapat trauma
penyerta (intraabdominal atau trauma deselerasi cepat) yang memungkinkan terjadainya
cedera vaskuler. Pada trauma tajam semua hematuria (gross atau miksroskopik)
memerlukaan pencitraan. Derajat hematuria tidak berbanding langsung dengan tingkat
kerusakan ginjal (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Hematuria makroskopik adalah urin
yang berubah warna karena bercampur darah (sekitar 1ml darah) bukan karena efek yang
lain (rimfapisin, propofol, chloropromazine, phenolphthein), sedangkan hematuria
mikroskopik merupakan adanya sel darah merah dalam urine dengan jumlah 1-10 per
lapang pandang (Jimbo, 2010)

2.3 Trauma Ginjal


Secara patofisiologi, trauma ginjal disbebakan oleh trauma akselerasi dan
deselerasi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Secara patologis, trauma ginjal dapat dibagi
atas kontusio, laserasi, dan cedera pedikel. Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80%
trauma tumpul ginjal yang ditandai dengan perdarahan di parenkim ginal tanpa adanya
kerusakan kapsul, kematian jaringan maupun kerusakan kaliks (Sjamsuhidajat & De

7
Jong, 2010). Menurut derajat berat ringannya trauma pada ginjal dapat dibedakan
menjadicedera minor (derajat I dan II), mayor (derajat III dan IV) sampai cedera pedikel
atau pembuluh darah (Purnomo, 2012). Laserasi pada ginjal terjadi karena adanya
robekan parekim, mulai dari kapsul ginjal yang dapat berlanjut sampai pelviokaliks.
Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri maupun vena utama atau cabang
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

2.3.1 Gambaran Klinis


Riwayat trauma daerah kostovetebra dan disertai nyeri harus diwaspadai
kecurigaan adanya trauma pada ginjal (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010) atau bisa terjadi
secara tidak langsung, yaitu terjadi cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal yang tiba-
tiba di dalam rongga retroperitoneum sehingga menyebabkan regangan pedikel yang
menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis (Purnomo, 2012) . Nyeri abdomen
umumnya ditemukan pada daerah pinggang atau perut bagian atas dengan intesitas nyeri
yang bervariasi. Pada palpasi didapat nyeri tekan dan ketegangan otot pinggang, apabila
ditemukan adanya massa yang cepat meluas disertai tanda kehilangan darah yang banyak
menandakan adanya cedera pada vaskuler (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Perlu
diperhatikan juga daerah cedera disekitar daerah disekitar pinggang. Fraktur costoe XII
sering menyertai adana cedera ginjal dan apabila terdapat fraktur, diperhatikan juga
keaadaan paru apakah terdapat hematothorax atau pneumothorax dan kemungkinan ruptur
limpa (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Penentuan derajat cedera ginjal berdasarkan
klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma/AAST ditegakan melalui
hasil CT Scan atau eksplorasi dapat dibagi menjadi 5 derajad (Udiyana & Hartono, 2016),
yaitu:

Gambar 5. Derajat cedera ginjal menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST) (Udiyana
& Hartono, 2016)

8
Gambar 6. Ilustrasi klasifi kasi trauma ginjal derajat I hingga V dari American Association for the
Surgery of Trauma (AAST) (Udiyana & Hartono, 2016)

2.3.2 Diagnosis
Patut dicuragai adanya cedra apabila terjadi trauma di daerah pinggang,
punggung, dada sebelah bawah disertai nyeri atau adanya jejas darah serta trauma tembus
regio perut dan pinggang (Purnomo, 2012), lalu didukung dengan adanya hematuria,
fraktur costae 12 atau prosesus spinosus vertebrae, serta dari anamnesis (jatuh dari
ketinggian atau kecelakaan lalu lintas (Purnomo, 2012). Tujuan pencitraan awal adalah
untuk menilai cedera ginjal, melihat ginjal kontralateral dan kelainan ginjal yang sudah
ada, dan mengidentifikasi cedera pada organ lain (Erlich & Kitrey, 2018). Keputusan
untuk mendapatkan gambar awal didasarkan pada aspek klinis dan mekanisme cedera.
Menurut pedoman European Association of Urology (EAU) dan American Urological
Association (AUA), CT scan merupakan gold standart untuk mendiagnosis pasien
dengan cedera ginjal dan harus dilakukan pada semua pasien trauma tumpul yang stabil
secara hemodinamik dengan gross hematuria atau pasien dengan hematuria mikroskopik
dan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dan harus dilakukan ketika mekanisme
cedera atau temuan pemeriksaan fisik menunjukkan cedera ginjal (mis. Deselerasi cepat,
fraktur tulang rusuk, ekimosis panggul yang substansial, dan setiap luka tembus pada
perut, panggul, atau dada bagian bawah (Erlich & Kitrey, 2018) serta CT scan digunakan
untuk menentukan derajat beratnya kerusakan ginjal (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).
Apabila pada pelayanan tidak terdapat CT scan, pemeriksaan IVP merupakan
pilihan pertama karena ketersediaan yang luas (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).IVP
direkomendasikan apbila tidak ada CT Scan pada center tersebt dan pasien dengan
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan tindakan operatif segera(Udiyana &
Hartono, 2016) . Adanya trauma pada ginjal akan digambarkan berupa eksresi kontras

9
yang berkurang (bandingan dengan kontralateral), garis psoas atau kontur ginjal yang
menghilang karena tertutup oleh ekstravasasi urin atau hematoma darah (Sjamsuhidajat &
De Jong, 2010). Gambaran IVP yang normal akan menunjukan trauma ginjal yang ringan.
Adanya bagian ginjal yang sulit atau tidak terlhat bisa sebagai penanda adanya laserasi
dalam atau oklusi pembuluh darah. Apabila pada pemeriksaan IVP tidak ditemukan
adanya eksresi kontras, hal ini dapat disebabkan karena adanya avulsi pembuluh darah,
robekan intima yang disertai dengan trombosis. (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). USG
dapat juga digunakan untuk menemukan adanya kontusio pada parenkim ginjal atau
hematoma subskapsuler dan dapat pula digunakan untuk meilhat adaatau tidak robekan
pada kapsul ginjal (Purnomo, 2012).

Gambar 7. (A, B, C). CT scan dengan kontras intravena: ditemukan laserasi sekitar 2,2 cm dengan
ekstensi menuju pelvis renalis pada bagian medial korteks ginjal kiri disertai hematoma
perikapsular (tanda panah) (Udiyana & Hartono, 2016)

2.3.3 Tatalaksana
Tatalaksana awal pasien trauma ginjal mengikuti standar tatalaksana pasien
trauma umum berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS). Non-operatif
management (NOM) meliputi observasi dengan perawatan suportif, tirah baring dengan
pengawasan tanda-tanda vital dan pemantauan uji laboratorium dan reimaging ketika ada
kerusakan dengan penggunaan invasif minimal prosedur (angioembolisasi atau stenting
ureter) jika dibuthkan (Erlich & Kitrey, 2018). Tatalaksana NOM atau konservatif telah
menjadi standar pada pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil, khususnya pada
trauma derajat I – II klasifikasi AAST (Purnomo, 2012) . Pada pasien dengan trauma
ginjal derajat IV dan V lebih sering memerlukan eksplorasi bedah, tetapi beberapa
sumber menyebutkan bahwa tatalaksana konservatif dapat menjadi pilihan dengan syarat

10
situasi hemodinamik tetap stabi l (Udiyana & Hartono, 2016) . Pasien trauma ginjal berat
(derajat III hingga V) yang ditatalaksana non-operatif harus diobservasi ketat serta
dilakukan pemeriksaan hematokrit serial atau berkala. Apabila pada saat dilakan
observasi didapatkan tanda-tanda perdarahan atau ekstravasasi urine yang dapat
menyebabkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operatif segera (Purnomo, 2012).
Meskipun sebagian trauma ginjal derajat II hingga IV dapat pulih tanpa komplikasi,
perdarahan ginjal tertunda dapat terjadi hingga 25% yang dapat dideteksi dengan
pencitraan serial (Udiyana & Hartono, 2016).
Meskipun mayoritas trauma ginjal derajat I hingga III dapat diterapi secara non-
operatif dengan luaran yang baik, trauma ginjal derajat IV dengan laserasi parenkim
multipel atau trauma ginjal derajat V hampir selalu memerlukan tindkaan eksplorasi
operatif (Udiyana & Hartono, 2016). Trauma tumpul ginjal derajat IV - V tanpa cedera
organ abdomen lain (terisolasi) pada sebagian besar kasus dapat juga diterapi secara
nonoperatif dengan menggunakan angioembolisasi dan menunjukan hasil yang baik. Dari
149 kasus trauma tumpul pada ginjal, sekitar 82% berhasil sedangkan sisanya gagal
karena hemodinak yang tidak stabil. Dari 82% pasien yang berhasil, 18% diantaranya
mendapat angioembolisasi dan 17% menggunakan stent ureter (Erlich & Kitrey, 2018).
Stabilitas hemodinamik adalah kriteria primer tatalaksana konservatif trauma ginjal.
Tanda vital perlu diobservasi dan dicatat secara rutin. Pada kondisi ekstravasasi urin,
pemeriksaan pencitraan serial dapat dipertimbangkan untuk dilakukan ulang. Jika
ekstravasasi urin menetap dapat dipertimbangkan pemasangan ureteral stent untuk
drainase dan mencegah urinoma perirenal serta dipertimbangkan untuk penggunaan
antibiotik spektrum luas untuk mencegah komplikasi, seperti abses perinefrik dan pasien
perlu diedukasi terhadap kemungkinan terjadinya penyulit seperti hipertensi pasca-trauma
dan perdarahan ginjal tertunda (delayed bleeding) (Udiyana & Hartono, 2016).
Trauma ginjal dapat menyebabkan komplikasi, baik awal termasuk perdarahan,
infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula urin, hipertensi, ekstravasasi urin dan urinoma
maupun lambat yang tertunda meliputi perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus,
pielonefritis kronis, hipertensi, fistula arteriovenosa, hidronefrosis, dan aneurisma semu
(Erlich & Kitrey, 2018). Sebagian besar komplikasi dapat diobati secara non operatif,
perkutan dan endourologis. Trauma ginjal merupakan penyebab hipertensi yang jarang
dan diperkirakan kurang dari 5% .Ekstravasasi urin yang persisten dari ginjal yang dapat
bertahan setelah trauma tumpul dapat di lakukan pemasangan stent atau drainase
perkutan sesuai kebutuhan (Erlich & Kitrey, 2018). Pada 6 kasus cedera ginjal derajat V

11
dengan hemodinamik stabil, 4 dari 6 (66%) ginjal menunjukkan fungsi memuaskan
setelah tatalaksana konservatif ditinjau dari kondisi dan hasil laboratorium fungsi ginjal
yang baik dan tidak ditemukan penurunan hematokrit atau hemoglobin selama masa
observasi (Udiyana & Hartono, 2016).

Gambar 8. Evaluasi trauma tumpul ginjal pada pasien dewasa (Udiyana & Hartono, 2016)

2.4 Trauma Ureter


Trauma ureter jarang ditemukan karena merupakan struktur fleksibel yang mudah
bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung oleh otot dan
tulang (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Dari seluruh cedera traktur urogenital, cedera
ureter hanya 1% (Purnomo, 2012). Trauma ureter dapat disebabkan oleh trauma tajam
maupun tumpul atau iatrogenik, terutama pada pembedahan rectum, uterus dan tindakan
endoskopi, serta umumnya tidak berdiri sendiri, sering disertai cedera organ lain (kolon,
duodenum). Biasanya tidak ada tanda atau gejala klasik untuk cedera ureter, tetapi harus
dicurigai dalam semua kasus penetrasi cedera perut dan dalam kasus trauma deselerasi
tumpul (Pereira dkk, 2010). Dalam mendiagnosis cedera ureter akibat trauma, faktor yang
paling penting adalah indeks kecurigaan yang tinggi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

2.4.1 Gambaran Klinis


Pada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Pada pasien post trauma
atau post tindakan operatif (operasi ginekologi, batu ureter, dll) apabila muncul
hematuria , baik gross maupun hematuria mikroskopik (lebih dari 5 eritrosit per lapangan
pandang besar) dapat kita curigai terjadinya trauma pada ureter (Yuanda & Tarmono,
2009). Apabila pada pasien iatrogenik terdapat lapangan operasi banyak kebocoran

12
cairan dapat dilakukan pemeriksaan zat warna yang dieksresikan lewat urine, nantinya
urine akan berubah warna dan menandakan kebocoran berasal dari urine (Purnomo, 2012)
dan dapat juga dilakukan pemeriksaan intravenous pyelografi, retrograde pyelografi
(gold standard pemeriksaan trauma ureter) dan CT scan dengan kontras menunjukkan
adanya ekstravasasi pada daerah ureter yang mengalami trauma. Pemeriksaan kadar
kreatinin atau kadar ureum cairan kebocoran menunjukkan kadar yang sama dengan
kadar urine. Pada cedera yang lama bisa jadi ditemukan hidro-ureteronefrosis sampai
pada daerah sumbatan (Sriyono & Tarmono, 2016). Pada cedera ureter yang bilateral
dapat ditemukan anuria (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Klasifikasi trauma ureter
berdasarkan AAST ( The american association for the surgery of trauma) adalah sebagai
berikut:

Gambar 9. AAST Classification for Ureteral Injuries (Pereira dkk, 2010)

2.4.2 Diagnosis
Pielografi retrograde diyakini sebagai metode diagnosis yang paling akurat tetapi
tidak layak pada pasien hemodinamik yang tidak stabil. Untuk pasien stabil yang dapat
menjalani CT scan, gambar fase ekskresi tertunda memiliki manfaat tidak hanya
menunjukkan ekstravasasi media kontras dari cedera ureter, yang mungkin halus, tetapi
juga dapat menggambarkan lesi yang menyertainya, terutama yang melibatkan ginjal
(Pereira, 2010). CT scan dan IVP one shoot umumnya dapat dilakukan apabila ditemukan
kebocoran urine saat dilakukan tindakan operatif pada penyakit primernya (Yuanda &
Tarmono, 2009). Apabila ditemukan adanya ekstravasasi kontras yang berasal dari
ureter maka dapat diagnosis sebagai ruptur ureter (Summerton dkk, 2015)

13
Gambar 10. CT scan dan IVP one-shoot tersebut tampak adanya ekstravasasi kontras setinggi
corpus vertebra lumbalis III kanan, mengesankan suatu ruptur ureter (Yuanda & Tarmono, 2009).

2.4.3 Tatalaksana
Tujuan utama perbaikan ureter adalah menjaga fungsi ginjal. Oleh karena itu,
faktor terpenting dalam penatalaksanaan cedera ini adalah mempertahankan drainase urin
dari ginjal dan mencegah pembentukan urinoma dan abses (Pereira, 2010). Tatalaksana
yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada saat trauma ureter
terdiagnosis, dilhat dari keadaan umum dan letak serta derajat lesi ureter. Pada trauma
ureter grade I dan II dapat dilakukan pemasangan stent pada ureter maupun nefrostomi
untuk diversi urine yang keluar (Sriyono & Tarmono, 2016) . Pemasangan stent berguna
untuk mempertahankan aliran urine melewati kanalisasi dan mengurangi resiko
penyempitan lumen ureter (Summerton dkk, 2015) sehingga mengurangi terjadinya
striktur. Pemasangan stent dapat dilakukan dengan bantuan fluoroskopi maupun
ureteropyelografi dan stent dipertahankan selama 3 minggu. Sedangkan kateter uretra
dipertahankan 2 hari untuk mencegah terjadinya refluks dan memberikan kesempatan
penyembuhan (Sriyono & Tarmono, 2016) .

14
Gambar 11. Alogoritma cedera uretra (Pereira dkk, 2010)
Pada trauma ureter dengan grade III, IV, V ureter yang komplet sebaiknya
dilakukan dengan melakukan debridement jaringan ureter yang rusak, spatulasi,
pemasangan stent ureter, menjahit ureter dengan benang 4.0 yang diserap secara
watertight, memasang non-suction drain dan menutup tempat jahitan dengan peritoneum
maupun omentum (Sriyono & Tarmono, 2016). Beberapa tindakan yang bisa dilakukan
tergantung lokasi trauma adalah: trauma pada 1/3 atas dapat dilakukan ureter saling
disambungkan (end to end anastomosis atau uretero-ureterostomi) dan menyambung
ureter dengan kalik ginjal (Ureterpyelostomi),1/3 tengah dapat dilakukan uretero-
ureterostomi, menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang lain (Transuretero-
ureterotomi), neoimplantasi ureter pada buli-buli baik dengan Anterior wall bladder flap
(Boar) dan 1/3 bawah dilakukan Ureteroneosistostomi direct implatation maupun
Ureteroneosistostomi psoas hitc (Pereira dkk, 2010).

15
Gambar 12. Uretro-ureterstomy, Transuretral-uresterstomy, Psoas Hitch & Boari Flap (Pereira dkk, 2010).

2.5 Trauma Buli-Buli


Trauma buli-buli merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan
penatalaksanaan segera, bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan peritoitis hingga
sepsis. Trauma buli dapat dibagi menjadi 2, yaitu non-iatrogenik trauma (Benturan da
penetrasi) dan non iatrogenik (external,internal, dan benda asing) (Summerton dkk,
2015).Trauma buli-buli jarang terjadi karena secara anatomi terlindung oleh tulang pelvis
sehingga jarang mengelamai cedera, tetapi apabila terjadi fraktur pada tulang pelvis dapat
menyebabkan kontusia hingga ruptur buli-buli (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Ruptur

16
buli terbagi menjadi kontusio buli, ruptur intraperitoneal, dan ruptur ekstraperitoneal.
Angka kejadian kurang lebih sebanyak 60% pada ruptur ekstraperitoneal, ruptur
intraperitoneal 30%, dan 10% merupakan gabungan keduanya. Kontusio buli merupakan
memar pada dinding buli disertai hematoma perivesika tanpa adanya ektravasasi urine ke
rongga intraperitoneal atau ekstraperitoneal (Sesa dkk, 2019).

2.5.1 Gambaran Klinis


Penegakkan diagnosis ruptur buli berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang sesuai. Gambaran klinik khas pada ruptur traktus urinaria
adalah hematuria, bisa disertai dengan abdomen yang distended karena urinary asites dan
peningkatan faal ginjal karena ruptur intraperitoneal yang menyababkan reabsorbsi urea
dan kreatinin (Summerton dkk, 2015). Pasien masuk dengan keluhan gross hematuria
yang merupakan tanda klinis tersering pada kontusio buli (95% kasus). Hematuria terjadi
akibat rupturnya vaskular dinding buli yang menyebabkan bercampurnya urin dengan
darah. Sebanyak 5-15% pasien dengan ruptur buli menunjukkan hematuria hanya pada
pemeriksaan mikroskopik (Sesa dkk, 2019). Gejala lain yang didapatkan pada pasien
dengan ruptur buli adalah memar area suprapubik, nyeri tekan abdomen, terdapat darah
di meatus urethra, gangguan miksi, serta bisa didapatkan hematoma perivesika, abses
hingga jatuh dalam keadaan syok (Purnomo, 2019)

2.5.2 Diagnosis
Diagnosis dapat ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria.
Pada foto pelvis atau foto polos abdomen akan terlihat fraktur pelvis (Sjamsuhidajat &
De Jong, 2010). Pemeriksaan CT Scan abdomen , Cystografi maupun kovensional
merupakan pencitraan utama yang dianjurkan untuk menegakkan diagnosis ruptur buli
terutama pada kasus non iatrogenik karena memiliki sensitivitas sebesar 90-95% dan
spesifisitas hingga 100% (Sesa dkk, 2019). CT Scan abdomen memiliki kelebihan dalam
menentukan dengan tepat lokasi ruptur buli dan dapat mendiagnosis cedera organ lain
dalam abdomen.

17
Gambar 13. CT Scan abdomen (Sesa dkk, 2019)

Gambar 14. Cyshtografy (Sesa dkk, 2019)

Indikasi untuk dilakukan pemeriksaan cystogram ialah ditemukannya gross


hematuria dengan fraktur pelvis. Sedangkan indikasi relatif yaitu gross hematuria tanpa
fraktur pelvis atau hematuria mikroskopik disertai fraktur pelvis (Sesa dkk, 2019).
Pemeriksaan sistografi dengan cara memasukan kontras ke dalam buli melalu cateter lalu
difoto saat buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior, lalu posisi oblik dan setelah

18
itu wash out film yaitu foto seteleh kontras dikeluarkan dari buli. Apanbila didapatkan
laserasi buli, akan terdapat gambaran ekstravasai kontras ke dalam rongga perivesikal
(laserasi ekstraperitoneal) atau sela-sela usus (laserasi intraperitoneal) (Purnomo, 2012).
Menurut The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) dapat dibagi
sebagai berikut:

Gambar 15. AAST Organ Injury Severity Scalefor Bladder Trauma (Sesa dkk, 2019)

2.5.3 Tatalaksana
Penatalaksanaan awal pasien trauma bulimengikuti standar umum berdasarkan
Advance Trauma Life Support (ATLS). Pada kontusio buli, cukup dilakukan pemasangan
kateter yang bertujuan untuk mengistirahatkan buli (Purnomo, 2012). Menurut European
Association of Urology (EAU), menyatakan penanganan kasus trauma buli
ektraperitoneal yang sudah dilakukan TURB tanpa komplikasi hanya membutuhkan
terapi konservatif berupa drainase kateter urethra dan observasi perkembangan pasien
serta pemberian antibiotik profilaksis (Summerton dkk, 2015), sedangkan pada truama
pada intraperitoneal harus dilakukan terapi pembedahan guna mencegah ekstravasasi
urine sehingga dapat meminimalisir komplikasi peritonitis dan sepsis (Summerton dkk,
2015) . Guideline AUA merekomendasikan drainase urethra dipertahankan selama 2-3
minggu. Selanjutnya, pasien harus tetap di follow up dengan melakukan pemeriksaan
sistografi kembali untuk menilai perbaikan kondisi pada buli. Resistografi dilakukan pada
hari 10-14 post trauma (Purnomo, 2012). Apabila ruptur tidak mengalami perubahan
dalam 4 minggu perawatan maka di anjurkan tindakan operatif. Sedangkan, trauma buli
dengan komplikasi disertai fraktur pelvis, laserasi rektum, atau ruptur leher buli
membutuhkan penanganan tindakan operatif segera (Sesa dkk, 2019). Koplikasi yang bisa

19
terjadi adalah sepsis akibat ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum. Apabila hal ini
terjadi dilakukan laparatomi dengan pemasangan kateter sistotomi yang dilewatkan di
luar sayatan laparatomi (Purnomo, 2012).

2.6 Trauma Uretra


Trauma uretra dapat dibagi menjadi 2, trauma iatrogenic (pemasangan kateter,
endoskopi, turp/turb, dll) dan non iatrogeic (trauma tumpul, hubungan seksual dan
penetrasi) (Summerton dkk, 2015). Secara anatomi, ruptur uretra dibagi menjadi ruptur
proksimal dan distal. Pada ruptur uretra posterior cendurung selalu disertai fraktur pelvis
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dan uretra pars prostattika tertarik ke cranial bersama
fragmen fraktur. Pada kasus trauma uretra posterior, uretra pars membranasea atau pars
prostatika merupakan bagian prostat yang ruptur. Fraktur pelvis menembus lantai pelvis
dan sfingter volunter, dan robekan ligamen puboprostatik akan merobek uretra
membranosa dari apeks prostat, kemudian akan terbentuk hematoma di retropubis dan
perivesika. Pada kasus straddle injury terjadi trauma tumpul daerah perineum, bagian
uretra yang ruptur adalah uretra pars bulbosa karena terjadi tekanan objek dari luar
menyebabkan kompresi uretra bulbosa dengan simfisis pubis sehingga terjadi kontusio
atau laserasi dinding uretra (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010).

2.6.1 Gambaran Klinis


Pada ruptur uretra akan ditemukan hematuria disertai rasa nyeri saat ingin miksi.
(Summerton dkk, 2015). Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis.
Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom, dan nyeri
tekan (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Pada ruptur bagian anterior akan ditemukan
hematome pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar yang keluar dari meatus
uretra eksternus merupakan tanda adanya cedera uretra yang harus dibedakan dengan
hematuria, lalu dapat juga ditemukan floating prostat pada saat melakkan colok dubur
(Purnomo, 2012). Apabila terjadi rupture total, penderita akan mengeluhkan tidak bisa
buang air kecil setelah trauma, nyeri dibagian suprapubik dan bawah,serta ditemukan
adanya buli yang penuh (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Cedera uretra pada wanita
dapat ditandai dengan munculnya darah dari introitus vagina, laserasi vagina,
uretrorhagia, pembengkakkan labial, retensi urine dan patut dicuragai adanya fraktur
pelvis . Apabila gagal mendiangnosis terjadinya rupture pada uretra akan menyebabkan

20
sekuele jangka panjang yang signifikan, salah satunya striktur (Summerton dkk, 2015).
Pada kondisi perdarahan dari meatus uretra eksternum, pemasangan cateter merupakan
kontraindikasi karenadapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah (Purnomo,
2012)

2.6.2 Diagnosis
Pemeriksaan radiologis yang sering digunakan ialah uretrografi retrograd
(direkomendasikan) karena dapat menunjukkan derajat ruptur uretra, parsial atau
komplit, serta lokasinya, baik anterior maupun posterior, sehingga dapat menentukan
pilihan tatalaksana akut drainase kandung kemih (Kusumajaya, 2018). Pemeriksaan RUR
merupakan pemeriksaan awal, dilakukan saat kondisi pasien stabil dengan cara
memasukan kontras 20-30 mL materi kontras sambil menahan meatus tetap tertutup,
kemudian balon kateter dikembangkan pada fosa navikularis (Summerton, 2015).Apabila
terjadi ruptur inkomplit, akan ditandai dengan ekstravasasi uretra saat buli terisi penuh,
sedangkan ruptur komplit ditandai ekstravasasi masif tanpa pengisian buli. Ekstravasasi
kontras dapat terlihat pada korpus jika fasia Bucks masih intak, dan akan terlihat hingga
ke skrotum, perineum, dan abdomen anterior jika fasia Bucks telah robek (Kusumajaya,
2018). Sistoskopi juga dapat digunakan karena fungsi sebagai sarana diagnostik
(Mmebedakan ruptur komlet/inkomplet) ataupun terapeutik pada cedera uretra akut.
Sistoskopi menjadi pilihan pertama pada kasus fraktur penis dan trauma uretra pada
pasien perempuan (Summerton, 2015).

Gambar 16. Klasifikasi trauma uretra menurut Goldman (Kusumajaya, 2018).

21
Gambar 17. (a) Ruptur uretra posterior dan (b) Ruptur uretra anterior (Kusumajaya, 2018).

2.6.3 Tatalaksana
Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien
dari keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan dan balut tekan pada
lokasi perdarahan. Pada kasus trauma tumpul bagian anterior, penatalaksanaan awal yang
dilakukan dengan sistostomi suprapubik dan dipertahankan selama 2-3 minggu
(Summerton, 2015).Setelah itu dilakukan primary endoscopic realigment dengan cara
memangsang kateter ureter sebagai splint melalui uretroskopi, cara ini diharapkan mampu
mendekatkan kedua ujung yang terpisah (Purnomo, 2012) Uretroplasti segera tidak
diindikasikan karena pada kasus trauma tumpul uretra anterior sering disertai kontusio
spongiosal yang menyulitkan debridemen dan penilaian anatomi jaringan sekitar.
Tindakan uretroplasti dapat dilakukan setelah 3-6 bulan (Kusumajaya, 2018). Trauma
tajam uretra anterior ditatalaksana dengan tindakan operasi secepatnya berupa eksplorasi
dan rekonstruksi serta dilakukan anastomosis apabila didapatkan defek 2-3cm pada
uretera bulbar atau 1,5cm pada uretra pendulosa (Kusumajaya, 2018)..

22
Pada trauma bagian posterior, tidak dilakukan tindakan eksplorasi dan
rekonstruksi dengan anastomosis karena umumnya diikuti dengan trauma mayor organ
lain. Tindakan yang berlebihan dapat menimbulkan perdarahan pada kavum pelvis dan
prosta dan dapat meningkatkan terjadnya gangguan neurovaskuler, disfunfsi ereksi dan
inkontenensia (Purnomo, 2012). Pada cedera uretra posterior, penting membedakan
antara ruptur komplit dan inkomplit untuk menentukan penatalaksanaan berikutnya. Pada
ruptur inkomplit, pemasangan kateter suprapubik atau uretra merupakan pilihan, karena
cedera dapat sembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut yang signifikan. Pada
ruptur komplit penatalaksanaan berupa realignment, eksplorasi, rekonstruksi, dan
pemasangan kateter suprapubik. Jangka waktu sekitar 3-6 bulan dianggap cukup untuk
menunda operasi sambil menunggu terbentuknya jaringan parut yang stabil dan
penyembuhan luka (Kusumajaya, 2018).

23
DAFTAR PUSTAKA

Erlich, Tomer & Kitrey,. N,. D,. 2018. Renal trauma: the current best practice. The
Journal Theraupetic Advances in Urology V.10 on PMC612083.

Jimbo, Masahito. 2010. Evaluation and Management Hematuria. Pubmed

Kusumajaya, C. 2018. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. Jurnal CKD-


264 Vol 45.

Paulsen,. F & Waschke, J. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. EGC:
Jakarta

Pereira, B., Ogilvie, M., Rodriguez, J., Ryan, M., Pena, D,. Marttos, A., Pizzano,
L,. Mckenny, M. 2010. A Review of ureteral injuries after external
trauma. Scandinavian Journal on PMC2830948.

Purnomo, Basuki,. 2012. Dasar-dsar Urologi edisi ketiga. Sagung Seto: Jakarta.

Sesa, W,. C,. Suarsana, Wayan & Aristo. 2019. Terapi Konservatif pada Kontusio Buli.
Jurnal Medical Profession (MedPro) Vol I.

Sjamsuhidijat, R & Jong, De. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.

Sriyono & Tarmono. 2016. Uretral Trauma Profile in Soetomo Hospital.


Departeman Urologi, RS Dr Soetomo.

Summerton, D.J ,Djakovic,.N ,Kitrey, N,D,. Kuehhas, F,. E,. , Lumen,. N,


Serafetinidis, E., Sharma,. D., M. 2015. Guidlines on Urological Trauma.
European Association of Urology.

24
Udiyana, Indradiputra & Hartono, Tri. 2016. Tatalaksana Konservatif Pasien
Dewasa dengan Trauma Tumpul Ginjal Derajat IV Terisolasi. Jurnal
CDK-237 Vol 43.

Yuanda, Rameshdo & Tarmono. 2009. Ureteral Injury From Eksternal Trauma:
Missed Diagnosis Despire Extensive Initial Radiologic Investigation.
Departeman Urologi, RS Dr Soetomo

25

Anda mungkin juga menyukai