Anda di halaman 1dari 32

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

Non Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR)

PENYUSUN :

Misdayanti Takdir, S. Ked

K1A1 13 111

PEMBIMBING :

dr. Suryani Rustam, Sp.M, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
Non Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR)
Misdayanti takdir, Suryani Rustam

A. Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme, baik secara genetis maupun
klinis, bermanifestasi dengan hilangnya tolerensi karbohidrat. Diabetes melitus ditandai
dengan hiperglikemia puasa dan postprandial. Komplikasi diabetes melitus dibagi
menjadi dua kategori mayor, yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular
jangka panjang. 1
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi kronik jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar
(makroangiopati). Lesi yang terjadi pada mikroangiopati biasanya menyerang kapiler dan
arteriol. Biasanya arteriol yang terkena adalah arteriol retina (retinopati diabetik),
glomerulus (nefropati diabetik), saraf perifer (neuropati diabetik), otot dan kulit.
Sedangkan makroangiopati ditandai dengan arterosklerosis.1
Retinopati diabetik menjadi penyebab umum kebutaan pada penderita diabetes
mellitus, Pasien yang menderita diabetes dalam jangka panjang berisiko mengalami
hilangnya penglihatan atau kebutaan, yang disebabkan oleh darah dari pembuluh darah
yang bocor ke retina komplikasi diabetes ini disebut dengan retinopati diabetic. 2 Faktor
resiko untuk terjadinya diabetic retinopati adalah durasi menderita diabetes, control gula
darah buruk/ derajat hiperglikemia, hipertensi peningkatan lemak darah (
hiperkolesterolemia) dan rokok.
Retinopati diabetic merupakan penyebab utama kebutaan pada pasien berusia 20-
64 tahun. Prevalensi Retinopati diabetic terus meningkat seiring dengan meningkatnya
prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia. Data WHO menunjukan bahwa pada tahun
2000 penderita diabetes mellitus didunia diperkirakan mencapai 171 juta orang yang pada
tahun 2030 dapat meningkat hingga 366 juta. Tahun 2002, diperkirakan 4,8 % dari 37 juta
kebutaan global disebabkan oleh Retinopati diabetic. Dari laporan di antara para penderita
diabetes mellitus di RS Cicendo Bandung, ditemukan 19,1% kasus dngan non-
proliferative diabetic retinopathy atau NPDR Dan 1,5 % dengan proliferative diabetic
retinopathy Atau PDR.3
Diabetik retinopati (DR) merupakan penyulit penyakit Diabetes mellitus yang
paling ditakuti. Karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosa yang kurang baik bagi
penglihatan. Meskipun dapat dihindari dengan mengontrol kadar gula darah yang baik
dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Efek perubahan persarafan di retina dan
kerusakan aksi insulin di retina dalam patogenesis awal retinopati dan mekanisme
kebutaan.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetic nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi
retinopati diabetic meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derejat. Di Amerika
utara, 3.6% pasien diabetes tipe 1 dan 1.6% pasiendiabetes tipe 2 mengalami kebutaan
total. Di Inggris, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian atau
total setiap tahun.Pada Negara berkembang, setidaknya 12% kasus kebutaan disebabkan
oleh diabetes. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun, dan
4,5,6
meningkat setelah pubertas. Hal ini terjadi 20 tahun setelah menderita diabetes.

B. Anatomi Dan Histologi


Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di segmen

posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan informasi

visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina berkembang dari

cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia

janin.5

Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm (diameter dari

depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm kemudian

mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun. Dari ukuran

tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior dalam bola

mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior mata, dengan

pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang secara sirkumferensial anterior 360

derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata 250 μm, paling tebal pada area makula

dengan ketebalan 400 μm, menipis pada fovea dengan ukuran 150 μm, dan lebih tipis

lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80 μm2


Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari arteri

karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus optikus). Arteri

siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah, termasuk lapisan

pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan epitel pigmen.

Gambar 1. Anatomi Retina

Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan dalamnya

berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang terdiri dari (dari

luar ke dalam):7

a. epitel pigmen

b. batang dan kerucut

c. membran limitans eksterna

d. lapisan inti luar

e. lapisan pleksiform luar

f. lapisan inti dalam

g. lapisan pleksiform dalam


h. lapisan sel ganglion

i. lapisan serat saraf

j. membran limitans interna

Gambar 2. Histologi Retina7

1. Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif terhadap
cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut yang
memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan impuls
melalui nervus optikus ke korteks visual bagian oksipital. 8
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih
banyak pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel
batang densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula
(fovea). Sel kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga
fovea bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang,
mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna hitam-
putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk
penglihatan gelap pada malam hari. 8
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion, sel
horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel
ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut
nervus optikus ke otak. Sel horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan
berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin
terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai penghubung sel
bipolar dengan sel ganglion. 8
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari sel
Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar.
Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia. 8
C. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita
diabetes melitus. Retinopati ini tidak disebabkan oleh proses radang. Retinopati akibat
diabetes melitus lama berupa aneurisma, melebarnya vena, pedarahan dan eksudat
lemak. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel
kapiler dan penurunan jumlah perisit. 5
Nonproliferative diabetic retinopaty (NPDR) merupakan perubahan dini yang tidak
menyebabkan gangguan penglihatan. Perubahan dini yang reversible dan tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan sentral ini sering juga disebut background
retinopathy atau retinopati simpleks.
Non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ditandai kelainan mikrovaskular yang
tidak melewati membrane limitan interna yang ditandai dengan adanya
mikroaneurisma, area non perfusi kapiler, kerusakan nerve fibre layer, intra retina
mikrovaskular abnormalities (IRMAs), dot-blot intraretina hemorrhages, edema retina,
hard exudates (HE), dan venous beading. Non proliferative diabetic retinopathy dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat. NPDR berat didefinisikan apabila memenuhi salah
satu aturan 4:2:1 yaitu mikroaneurisma di 4 kuadran, atau venous beading di 2 kuadran,
atau IRMAs di 1 kuadran.NPDR berat memiliki risiko progresifitas menjadi PDR sebesar
15% dalam 1 tahun. NPDR sangat berat diklasifikasikan jika terdapat 2 atau lebih kriteria
4:2:1. NPDR sangat berat memiliki progresifitas menjadi PDR sebesar 45% dalam 1
tahun. 9
D. Epidemiologi
Istilah “ Diabetes Mellitus” menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan
penyebab yang multipel, yang memiliki karakteristik hiperglikemia kronik dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kelainan
pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Efek dari DM meliputi kerusakan,
disfungsi dan kegagalan multipel organ dalam jangka panjang. 10
Retinopati diabetik sering menyebabkan kebutaan dan saat ini merupakan penyebab
hampir seperempat angka kebutaan di negara-negara barat. Sebanyak 60-75% pengidap
diabetes tipe 1 akan mengalami retinopati diabetic berat dalam 20 tahun sekalipun
dengan kontrol penyakit yang baik. Retinopati biasanya bersifat proliferatif. Pada pasien
diabetes tipe 2 yang lebih tua, retinopatinya lebih sering bersifat nonproliferatif, dengan
risiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat makulopat . 5
Penelitian population based terbaru di Singapura, Singapore Epidemiology of Eye
Diseases (SEED) study, yang mengumpulkan sampel dari 3 kelompok etnik, Cina,
Melayu dan India yang bermukim di Singapura dan berusia diantara 40-80 tahun
melaporkan dari total 10.033 sampel populasi, 2376 (23,7%) orang menderita DM, dan
805 (33,9%) orang diantaranya menderita retinopati diabetik. 10
Di Indonesia, data resmi mengenai jumlah penderita retinopati diabetik belum ada
sehingga angka kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati diabetik di Indonesia belum
diketahui. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan RD
merupakan komplikasi DM pada organ mata terbanyak kedua (24.5%) setelah katarak
(47.7%). 9
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada
usia dewasa antara 20-74 tahun. Namun, resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah
umur 10 tahun, dan meningkat setelah pubertas. Jumlah penderita retinopati diabetik di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang terdapat 43 orang (laki-laki 16 orang (37,2%)
dan perempuan 27 orang (62,8%).
Penelitian yang dilakukan di China, dari 41 referensi dan 48.995 pasien DM
tipe 2, prevalensi RD, RDP dan RDNP adalah 28%, 6% dan 27%. Prevalensi RD pada
pasien DM tipe 2 dari Singapura, India, Korea Selatan, Malaysia, Asia dan China adalah
33%, 42%, 16%, 35%, 21% dan 25%. Pasien RDNP dari India, Korea Selatan, Malaysia,
Asia dan China memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari pasien RDP (45% vs 17%,
13% vs 3%, 30% vs 5%, 23% vs 2% and 22% vs 3%). 11
E. Faktor Risiko
1. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang didiagnosa dengan
DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic setelah 50 tahun sekitar 50%
dan setelah 30 tahun mencpai 90%.
2.Kontrol glukosa darah yang buruk, telah ditunjukkan bahwa kontrol glukosa darah
yang ketat, terutama ketika dikontrol sejak dini, dapat mencegah atau menunda
perkembangan atau perkembangan DR. Namun, peningkatan kontrol yang tiba-tiba
dapat dikaitkan dengan perkembangan retinopati dalam waktu dekat. Pasien diabetes
tipe 1 tampaknya memperoleh manfaat yang lebih besar dari kontrol yang baik dari
pada tipe 2. Peningkatan HbA1c dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
proliferatif.
3. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun tipe 2 dengan
kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15 tahun.
4.Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati diabetik,
meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat yang terlalu cepat
pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari preeklamsia serta
ketidakseimbangan cairan.
5. Hipertensi, yang sangat umum pada pasien dengan diabetes tipe 2, harus dikontrol
dengan ketat (<140/80 mmHg). Kontrol ketat tampaknya sangat bermanfaat pada
penderita diabetes tipe 2 dengan makulopati. Penyakit kardiovaskular dan stroke
sebelumnya juga bersifat prediksi.
6. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya terapi
penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan dengan perbaikan
retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih baik.
7. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas, anemia dan hiperlipidemia.12
F. Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwalamanya


terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi danbiokimia
yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Hal inididukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang
mudadengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil
serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lamapenyakit
lebih sulit ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telahdihubungkan
dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :
1. Adhesif platelet yang meningkat.
2. Agregasi eritrosit yang meningkat.
3. Abnormalitas lipid serum.
4. Fibrinolisis yang tidak sempurna.
5. Abnormalitas dari sekresi growth hormon
6. Abnormalitas serum dan viskositas darah. 5, 13

G. Patofisiologi
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel

saraf.Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler

retina.Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina

kecuali suatu daerah yang disebut fovea.Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati

diabetik terletak pada kapiler retina tersebut.Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan

dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrane basalis dan sel endotel. 14

Gambar 3. Perubahan kapiler pada retinopati diabetik15


Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrane

sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel

perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain

perbandingan tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur

kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu dan mempertahankan fungsi barrier dan

transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi

sebagai barrier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi

kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan

matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif

terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluoresensi

yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina. Perubahan histopatologis

kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membran basalis,

hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan

antara sel endotel dan sel pirisit dapat mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik

melibatkan lima proses dasar yang terjadi ditingkat kapiler yaitu:

1) pembentukan mikroaneurisma,

2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

3) penyumbatan pembuluh darah,

4) proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan jaringan fibrosa diretina,

5) kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.

Penyumbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina

sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah. Kebutaan akibat

retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut:

1) edema makula atau nonperfusi kapiler,


2) pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati diabetikproliferatif dan

kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina (retinal detachment),

3) pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan

vitreus,

4) pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma. 14

Retinopati Diabetik Non Proliferatif Merupakan bentuk yang paling umum

dijumpai. Merupakan cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens

pembuluh yang terkena. Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler ,

mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah diteliti adanya perubahan endotel

vaskuler ( penebalan membran basalis dan hilangnya pericyte ) dan gangguan

hemodinamik ( pada sel darah merah dan agregasi platelet ). Disini perubahan

mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan retina ( intraretinal ), terikat ke kutub

posterior dan tidak melebihi membran internal.

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple yang

dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti

titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan

intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api

karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan

perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam

tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.

Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Edema Makula Merupakan stadium yang

paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif. Pada keadaan ini terdapat

penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang berlanjut, disertai

iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada lapisan serabut saraf ). Hal

ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui
endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot, blot

haemorrage, intraretinal Microvasculer Abnormal ( IRMA ), dan rangkaian vena yang

seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai ada kecendrungan untuk

menjadi progresif ( Retinopati Diabetik Proliferatif ), dan bila keempatnya dijumpai

maka beresiko untuk menjadi Proliferatif dalam satu tahun.

Edema makula pada retinopati diabetik non proliferatif merupakan penyebab

tersering timbulnya gangguan penglihatan. Edema ini terutama disebabkan oleh

rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga terjadi

kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya. Edema ini

dapat bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan

keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga terbentuk zona eksudat

kuning kaya lemak bentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat

dibagian temporal makula.

Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan

melalui 2 mekanisme yaitu :

• Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal yang
menyebabkan iskemik makular.
• Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema
makular. 5,13,16
H. Klasifikasi

Klasifikasi Retinopati Diabetik


Ada banyak tumpang tindih antara berbagai klasifikasi. Mereka semua mengenali dua
mekanisme dasar yang menyebabkan hilangnya penglihatan: retinopati (risiko pembuluh
baru) dan makulopati (risiko kerusakan pada fovea pusat). Perbedaan antara klasifikasi
terutama berkaitan dengan tingkat retinopati dan juga terminologi yang digunakan. Di
bawah ini dijelaskan persamaan dan perbedaan dalam berbagai klasifikasi, dengan tujuan
memungkinkan referensi silang. Terminologi alternatif yang umum digunakan
ditunjukkan dalam tanda kurung
1. Retinopathy
Retinopati diabetik diklasifikasikan menurut ada tidaknya pembuluh darah
baru yang abnormal sebagai:
 Retinopati non-proliferatif (background / preproliferatif)
 Retinopati proliferatif
Masing-masing memiliki prognosis yang berbeda untuk penglihatan.
2. Retinopati diabetik non-proliferatif (NPDR) (latar belakang / preproliferatif)
a. Dalam klasifikasi internasional (AAO), NPDR dinilai sebagai:
 Mild
 Moderate
 Severe

b. Dalam klasifikasi NSC-UK, NPDR dinilai sebagai:


 Background (Level R1)
 Pre-proliferative (Level R2)
c. Dalam Skema Grading Diabetic Retinopathy Skotlandia, NPDR dinilai
sebagai:
 Mild background (Level R1)
 Moderate background (Level R2)
 Severe background (Level R3)
Klasifikasi internasional berdasarkan American Academy of Ophthalmology (AAO)
yang menjadi acuan yang paling sering digunakan:
a. mild NPDR ditandai dengan setidaknya satu mikroaneurisma.
b. Pada NPDR moderat, ada banyak mikroaneurisma, perdarahan intraretinal,
manik-manik vena, dan / atau cotton-wool spots .
c. NPDR severe ditandai oleh cotton-wool spots, manik-manik vena di dua kuadran,
dan kelainan mikrovaskular intraretinal (IRMA) baik di empat kuadran atau lebih
berat di satu kuadran. 4,5,6,17
I. Tanda dan Gejala
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan kapiler retina. Ini melemahkan dinding
kapiler dan menghasilkan outpouchings kecil dari lumen kapal, yang dikenal sebagai
microaneurysms. Microaneurysms akhirnya pecah untuk membentuk perdarahan jauh di
dalam retina, dibatasi oleh internal limiting membrane (ILM). Karena penampilannya
yang seperti dot, mereka disebut pendarahan “dot and-blot”. Pembuluh darah yang
melemah juga menjadi bocor, menyebabkan cairan meresap ke dalam retina. Deposisi
cairan di bawah makula, atau edema makula, mengganggu fungsi normal makula dan
merupakan penyebab umum hilangnya penglihatan pada mereka yang menderita DR.
Resolusi danau cairan dapat meninggalkan endapan, mirip dengan sungai surut setelah
banjir. Sedimen ini terdiri dari produk sampingan lipid dan muncul sebagai lilin,
endapan kuning yang disebut eksudat keras. Ketika NPDR berlangsung, kapal yang
terkena akhirnya menjadi terhambat. Obstruksi ini dapat menyebabkan infark pada
lapisan serat saraf, menghasilkan bercak putih halus yang disebut bintik-bintik kapas
(CWS)18

Adapun gejala subjektif dari retinopati diabetes non proliferatif adalah Penglihatan
kabur

 Kesulitan membaca

 Penglihatan tiba-tiba kabur pada satu mata


 Melihat lingkaran-lingkaran cahaya

 Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

 Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetes non proliferative diantaranya


adalah:4,8,19,20, 21

1.
Mikroaneurisma Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama
daerah vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini sering tidak
20,18,
terlihat. Mikroaneurisma merupakan kelainan diabetes mellitus dini pada mata
,21

Gambar 4. Mikroaneurisma dan perdarahan intraretina


2. Dilatasi pembuluh darah balik Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya
yang ireguler dan berkelok-kelok. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan
terkadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.

Gambar 5 Dilatasi pembuluh darah balik


3. Perdarahan Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat
memberikan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil. Perdarahan
terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

Gambar 6 Perdarahan pada retinopati diabetik nonproliferatif


4. Hard eksudat Hard eksudat merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu ireguler dan berwarna kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat
berupa pungtata, kemudian membesar dan bergabung. Exudate ini dapat muncul
dan hilang dalam beberapa minggu.23

Gambar 6 Edema makula dan hard eksudat di fovea


5. Edema retina Edema retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di
daerah makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak
sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intra
retina. Dapat berbentuk zona-zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk bundar
disekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina.
Edema makular signifikan secara klinis (Clinically significant macular
oedema (CSME)) jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini:
o Edema retina 500 µm (1/3 diameter diskus) pada fovea sentralis
o Hard eksudat jaraknya 500 µm dari fovea sentralis, yang berhubungan
dengan retina yang menebal.
o Edema retina yang berukuran 1 disk (1500 µm) atau lebih, dengan jarak dari
fovea sentralis 1 disk.

6. Soft exudate yang sering disebut cotton woll patches merupakan iskemia retina.
Pada pemeriksaan optalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus
dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan
dihubungkan dengan iskemia retina.

7. Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak dipermukaan


jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelokkelok dalam, berkelompok, dan
ireguler. Mula-mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang kedaerah
preretinal, kebadan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun
perdarahan kaca. 22

J. Diagnosa
Pemeriksaan awal untuk pasien dengan diabetes mellitus mencakup semua fitur dari
evaluasi mata yang komprehensif, dengan perhatian khusus pada aspek-aspek yang
relevan dengan retinopati diabetes.
1. Anamnesis
 Keluhan utama ditandai berdasarkan durasi, frekuensi, intermiten, dan
kecepatan onsetnya. Lokasi, keparahan, dan keadaan di sekitar onsetnya
adalah penting, seperti halnya mengidentifikasi gejala okular dan nonokular
lainnya yang mungkin memerlukan penyelidikan spesifik. Obat mata saat ini
dan gangguan mata saat ini dan masa lalu ditentukan.
 Riwayat medis masa lalu harus mencakup penyelidikan tentang gangguan
vaskuler seperti diabetes dan hipertensi dan obat-obatan sistemik, khususnya
kortikosteroid karena efek okularnya yang merugikan. Akhirnya, alergi obat
apa pun harus dicatat.
Beberapa hal yang harus diketahui menyangkut retinopati diabetic:
 Durasi diabetes
 riwayat glikemik yang lampau (HbA1c)
 Riwayat penyakit dan pengobatan yang lain (mis. Obesitas, penyakit
ginjal, hipertensi sistemik, level lipid serum, kehamilan, neuropati)
 Riwayat penyakit mata (mis. Trauma, penyakit mata lainnya, suntikan
mata, pembedahan(termasuk perawatan laser retina dan pembedahan
refraksi)).
 Riwayat keluarga berkaitan dengan gangguan okular, seperti
strabismus,ambliopia, glaukoma, atau katarak, dan masalah retina, seperti
ablasi retina atau degenerasi makula. Penyakit medis seperti diabetes mungkin
juga relevan.
2. Pemeriksaan Fisik
 Ketajaman visual
Bertujuan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah
. pada pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan huruf terkecil yang masih
dapat dilihat pada kartu baca baku(snellen card) dengan jarak 6 meter atau
20 kaki. Tajam penglihatan menentukan seberapa jelas pasien dapat
melihat.

Tajam penglihatan seseorang dapat berkurang pada keadaan:


 Kelainan refraksi seprti myopia (rabun jauh), rabun dekat
(hipermetropia), astigmat atau silendris.
 Kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan
badan kaca keruh.
 Saraf penglihatan terganggu fungsinya seperti bintik kuning
(macula luteal), saraf optic, dan pusat penglihatan di otak.
 Slit lamp
Slitlamp adalah mikroskop binokular yang dipasang di meja dengan
sumber penerangan khusus yang dapat disesuaikan. Sinar celah linier dari
lampu pijar diproyeksikan ke bola mata, menerangi penampang optik
mata. Sudut iluminasi dapat bervariasi sesuai dengan lebar, panjang, dan
intensitas sinar cahaya. Pembesaran dapat disesuaikan juga (biasanya daya
10 × hingga 16 ×). Karena slitlamp adalah mikroskop binokular,
pandangannya adalah "stereoskopis," atau tiga dimensi.
Karena berkas celah cahaya menyediakan penampang optik mata,
lokasi abnormal anteroposterior dapat ditentukan dalam setiap struktur
okular yang jelas (misalnya kornea, lensa, badan vitreous). Pengaturan
pembesaran tertinggi cukup untuk menunjukkan keberadaan sel yang
abnormal dalam aquos, seperti sel darah merah atau putih atau butiran
pigmen. Kekeruhan aquos, yang disebut " flare ," yang dihasilkan dari
peningkatan konsentrasi protein dapat dideteksi dengan adanya
peradangan intraokular. aquos normal secara optik clear, tanpa sel atau
flare.

 Tekanan intraokular (IOP)


Antara tekanan intraokular (I.O.P.) dan gangguan metabolisme
karbohidrat adalah hubungan:
 Penderita diabetes sering menunjukkan primer open angle-
galucoma;
 Saat retinopati diabetik berkembang menuju stadium iii (pr.),
tio menurun;
 Karena penderita diabetes menunjukkan dilatasi pembuluh
darah, peningkatan viskositas darah, penyempitan arteriol dan
peningkatan i.o.p. penyakit pembuluh retina sentral dengan
perdarahan terjadi merah;
 Perdarahan kapiler, edema periapailer dan makula dapat
disebabkan oleh peningkatan tekanan onkotik dengan asidosis
darah; hiperglikemia dengan ketosis sejalan dengan penurunan
i.o.p.;
 hanya kenaikan aki ringan yang dapat dianggap berguna untuk
mencegah perdarahan dengan mengurangi aliran darah retina
yang dihasilkan kemudian dari berkurangnya aliran darah
uveal;
 Aplikasi lokal glukokortikoid dengan kontrol permanen bidang
visual dan i.o.p. harus menjadi pengobatan tambahan yang baik
untuk retinopati diabetik; sayangnya hanya sedikit kasus yang
responsif terhadap peningkatan i.o.p. oleh glukokortikoid;
 Gonioscopy tanpa midriasis
Gonioskopi adalah tindakan untuk melihat sudut bilik mata dengan
goniolens. Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat sudut bilik mata yang
merupakan tempat keluarnya cairan mata dari bola mata.
Gonioskopi tanpa midriasis, bila diindikasikan neovaskularisasi iris
atau dicurigai, atau jika TIO meningkat, gonioskopi tidak tanpa midriasis
dapat digunakan untuk mendeteksi neovaskularisasi pada sudut ruang
anterior.
 Funduscopy
Untuk menilai dan melihat kelainan dan keadaan pada fundus okuli.
Cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan reflex
fundus. Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi sinar.
Dapat dinilai kelainan pada mata seperti :
- Pada papil saraf optic : Papiledema, hilangnya pulsasi vena saraf optic,
ekskavasi papil saraf optic, atrofi saraf optic.
- Pada retina kelainan yang dapat dilihat: perdarahan subhialoid,
perdarahan intra retina, lidah api, dots, blots, edema retina, edema
macula.
- Pembuluh darah retina: perbandingan atau rasio arteri vena, perdarahan
dari arteri atau vena, adanya mikroaneurisma dari vena.
3. Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes.
Kadar HbA1c juga penting pada follow-up jangka panjang perawatan pasien
dengan diabetes dan retinopati diabetik. Mengontrol diabetes dan
mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran pada
manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal
dipertahankan, maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara
signifikan.
4. Pemeriksaan Tambahan:
 Color and red-free fundus photography
Fotografi Fundus adalah teknik yang dapat direproduksi untuk
mendeteksi retinopati diabetik dan telah digunakan dalam studi penelitian
klinis besar. Fotografi Fundus juga berguna untuk mendokumentasikan
keparahan diabetes, keberadaan NVE dan NVD, respons terhadap
pengobatan, dan kebutuhan untuk perawatan tambahan pada kunjungan
mendatang.
 Optical coherence tomography (OCT)
Tomografi koherensi optik memberikan pencitraan resolusi tinggi dari
antarmuka vitreoretinal, retina neurosensorik, dan ruang subretinal.
Tomografi koherensi optik dapat digunakan untuk mengukur ketebalan
retina, memantau edema makula, mengidentifikasi traksi vitreomakular,
dan mendeteksi bentuk lain penyakit makula pada pasien dengan edema
makula diabetik. Uji klinis besar yang menguji pengobatan anti-VEGF
telah menggunakan foto-foto OCT daripada stereoskopik atau pemeriksaan
klinis untuk mengevaluasi dan mengikuti status edema makula karena
memungkinkan penilaian objektif dan akurat dari jumlah dan lokasi
penebalan retina. Dalam praktik klinis, keputusan sering didasarkan pada
temuan OCT . Misalnya, keputusan untuk mengulangi suntikan anti-
VEGF, mengganti agen terapeutik (mis., Kortikosteroid intraokular),
memulai perawatan laser, atau bahkan mempertimbangkan operasi
vitrektomi sering didasarkan pada temuan OCT. Namun demikian,
ketebalan retina, bahkan ketika diukur dengan OCT, tidak selalu secara
konsisten berkorelasi dengan ketajaman visual.

Gambar : Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas


Ketebalan Retina

 Fluorescein angiography (FA)


FA rutin tidak diindikasikan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin
pasien dengan diabetes. Edema makula dan PDR paling baik didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis dan / atau FA. Karena penggunaan agen anti-
VEGF dan kortikosteroid intraokular telah meningkat untuk pengobatan
edema makula, penggunaan operasi laser fokal telah menurun. Oleh karena
itu, kebutuhan untuk angiografi yang melokalisasi kebocoran
mikroaneurisma atau daerah-daerah putus kapiler juga menurun.
Namun demikian, FA berguna untuk membedakan pembengkakan
makula diabetik dari penyakit makula lain atau untuk pasien dengan
kehilangan penglihatan yang tidak dapat dijelaskan. Angiografi dapat
mengidentifikasi nonperfusi kapiler makula di foveal atau bahkan di
seluruh wilayah makula sebagai penjelasan untuk kehilangan penglihatan
yang tidak responsif terhadap terapi. Angiografi fluorescein juga dapat
mendeteksi area nonperfusi kapiler retina yang tidak diobati yang dapat
menjelaskan neovaskularisasi retina atau disk persisten setelah operasi
laser sebar sebelumnya. Dengan demikian, FA tetap menjadi alat yang
berharga, dan fasilitas untuk melakukan FA harus tersedia untuk dokter
yang mendiagnosis dan merawat pasien dengan retinopati diabetik.
Fluorescein angiografi dapat membantu untuk menentukan ada atau
tidak adanya area nonperfusi dan / atau area neovaskularisasi retina yang
tidak terdeteksi secara klinis dan untuk menentukan penyebab hilangnya
ketajaman penglihatan.
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography
(FFA)) merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya
dalam diagnosis dan manajemen retinopathy DM :
 Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
 Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma
karena mereka tampak hipofluoresen.
 Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen
yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
 IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai
pembuluh darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar
retina yang tidak mendapat perfusi.
5. Ultrasonografi adalah alat diagnostik yang sangat berharga yang memungkinkan
penilaian status retina dengan adanya perdarahan vitreous atau kekeruhan media
lainnya. Selain itu, ultrasonografi B-scan dapat membantu untuk menentukan
tingkat dan keparahan traksi vitreoretinal, terutama pada makula mata diabetes.
Saat ini, ultrasonografi digunakan sekunder untuk pengujian OCT ketika ada
media yang jelas. 2,3,9,19, 22,23,24

K. MANAGEMENT
1. Umum
a. Pendidikan pasien sangat penting, termasuk mengenai perlunya mematuhi
ulasan dan jadwal perawatan untuk mengoptimalkan hasil visual
b. Kontrol diabetes harus dioptimalkan
c. Faktor risiko lain, terutama hipertensi sistemik (terutama diabetes tipe 2)
dan hiperlipidemia harus dikontrol bersama dengan ahli diabetes pasien.
d. Fenofibrate 200 mg setiap hari telah terbukti mengurangi perkembangan
retinopati diabetik pada penderita diabetes tipe 2 dan resep harus
dipertimbangkan; keputusan tidak tergantung apakah pasien sudah
menggunakan statin
e. Merokok harus dihentikan, meskipun ini belum terbukti secara pasti
mempengaruhi retinopati
f. Factor-faktor lain yang dapat dimodifikasi seperti anemia dan gagal ginjal
harus ditangani seperlunya. 12
2. Kontrol glukosa darah dan hipertensi
Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetik
Control and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien
dengan DM Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah menderita
RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif
selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76%
sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati sebesar
54%.
Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) pada penderita DM Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa
setiap penurunan HbA1c sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan resiko
komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut
memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati diabetik secara sempurna, namun dapat mengurangi
resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetikyang sudah
ada.
Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan
mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.
UKPDS menunjukkan bahwa control hipertensi juga menguntungkan mengurangi
progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan. 14, 27
3. Control of dyslipidemia
The Wisconsin Epidemiological Study of Diabetic Retinopathy (WESDR)
belum menunjukkan adanya hubungan kadar kolesterol dengan tingkat keparahan DR
tetapi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat keparahan dan
terjadinya eksudat keras pada penderita diabetes muda. Studi ETDRS menemukan
peningkatan risiko dua kali lipat dalam risiko. eksudat keras retina dengan
peningkatan kadar kolesterol. Trigliserida serum tinggi juga telah terbukti dikaitkan
dengan peningkatan risiko pengembangan dan perkembangan retinopati. Hubungan
yang signifikan antara terjadinya edema makula yang signifikan secara klinis dan
tingkat LDL serta total kolesterol-HDL rasio. Rendahnya kadar kolesterol HDL
diketahui sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular tetapi studi ADVANCE tidak
menunjukkan hubungan yang sama antara rendahnya kadar kolesterol HDL dan
retinopati walaupun ada hubungan dengan nefropati.
Statin dan fibrat telah digunakan secara klinis untuk mengurangi kadar lipid.
Statin terutama mengurangi kolesterol LDL. Memiliki keberhasilan yang baik dengan
penggunaan atorvastatin dalam pengurangan edema makula diabetik. Pengurangan
pada eksudat keras tercatat sebanyak 66,6% kasus dengan statin dibandingkan hanya
13,3% pada kelompok kontrol. Dalam sebuah studi dari enam pasien, pengurangan
eksudat keras dicapai dengan pravastatin bersama dengan pengurangan kolesterol
total dan lipoprotein densitas rendah.
Mempertimbangkan bukti manfaat fenofibrat dalam DR, disarankan untuk
eksplorasi delivery intraokular yang bersaman dengan obat anti-VEGF dalam
pengelolaan DR. Saat ini tersedia fenofibrate (oral) dikonversi ke bentuk aktif oleh
esterase. Oleh karena itu bioavailabilitas menjadi masalah jika diberikan secara
intravitasi. Garam kolin (ABT-335) telah diidentifikasi yang tidak memerlukan
aktivasi oleh esterase. Semoga masa depan akan melihat konversi kemungkinan ini
menjadi kenyataan. Kontrol dislipidemia, mungkin dengan fenofibrate, mengurangi
risiko perkembangan retinopati.
Langkah penting yang optimal untuk perawatan pasien. Selain itu, penting untuk
membantu mengedukasi pasien dengan diabetes tentang implikasi oftalmologis
mengendalikan glukosa darah (kadar HbA1c) sedekat mungkin dengan batas aman.
Hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang baik dengan
mengendalikan glukosa darah, kadar lipid serum, dan tekanan darah pada pasien
dengan diabetes tipe 2.
4. Normal or Minimal NPDR
Pasien dengan pemeriksaan retina normal atau NPDR minimal (mis., Dengan
mikroaneurisma langka) harus diperiksa ulang setiap tahun, karena dalam 1 tahun 5%
hingga 10% pasien tanpa retinopati akan berkembang menjadi retinopati diabetik.
Retinopati yang ada akan memburuk dengan persentase yang sama. Operasi laser,
fotografi fundus warna, dan FA tidak dianjurkan.
5. Mild to Moderate NPDR without Macular Edema
Pasien dengan mikroaneurisma retina dan occasional blot hemorrhages atau
eksudat keras harus diperiksa ulang dalam 6 hingga 12 bulan, karena perkembangan
penyakit sering terjadi. Riwayat pasien diabetes tipe 1 menunjukkan bahwa sekitar
16% pasien dengan retinopati ringan (eksudat keras) dan hanya mikroaneurisma akan
berlanjut ke tahap proliferatif dalam 4 tahun.
Operasi laser dan FA tidak diindikasikan untuk kelompok pasien ini. Fotografi
fundus warna dan pencitraan OCT dari makula kadang-kadang dapat membantu untuk
menetapkan dasar untuk perbandingan di masa depan dan untuk edukasi pasien.
Untuk pasien dengan NPDR ringan, insiden 4 tahun dari CSME atau edema
makula yang tidak signifikan secara klinis adalah sekitar 12%. Untuk NPDR moderat,
risiko meningkat menjadi 23% untuk pasien dengan diabetes tipe 1 atau 2. Pasien
dengan edema makula yang tidak signifikan secara klinis harus diperiksa ulang dalam
3 sampai 4 bulan, karena mereka berisiko signifikan mengembangkan CSME .
6. Mild to Moderate NPDR with CSME
Risiko kehilangan penglihatan dan kebutuhan untuk pengobatan lebih besar
ketika pusat makula terlibat. Diagnosis edema makula diabetik bisa sulit. Edema
makula paling baik dievaluasi dengan pemeriksaan dilatasi menggunakan
biomicroscopy slit-lamp, OCT, dan / atau fotografi fundus stereoskopik. Seorang
dokter spesialis mata yang merawat pasien untuk kondisi ini harus akrab dengan studi
dan teknik yang relevan seperti yang dijelaskan dalam ETDRS . Angiografi
Fluorescein sebelum laser operasi untuk CSME seringkali bermanfaat untuk
mengidentifikasi lesi yang dapat diobati. Fluorescein angiografi kurang relevan ketika
ada eksudat lipid sirkinat dan lesi bocor terdeteksi dengan jelas di dalam cincin lipid.
Fluorescein angiography juga berguna untuk mendeteksi putusnya kapiler dan
pembesaran patologis dari zona avascular foveal, suatu fitur yang mungkin berguna
ketika merencanakan perawatan.Fotografi fundus berwarna sering membantu untuk
mendokumentasikan status retina walaupun operasi laser tidak dilakukan. Tomografi
koherensi optik juga merupakan alat skrining yang bermanfaat yang mampu
mendeteksi edema halus dan juga mengikuti jalannya edema setelah perawatan.
Perawatan tradisional untuk CSME adalah operasi laser. Namun, data saat ini
dari beberapa penelitian yang dirancang dengan baik menunjukkan bahwa agen anti-
VEGF intravitreal memberikan pengobatan yang lebih efektif untuk CSME yang
terlibat di pusat dibandingkan dengan monoterapi dengan operasi laser. Peningkatan
ketajaman visual dan pengurangan ketebalan makula setelah pemberian kombinasi
intravitreal ranibizumab, dengan operasi laser yang cepat atau delayed, memiliki hasil
yang lebih baik daripada laser saja setelah 2 tahun follow-up. Percobaan klinis baru-
baru ini telah membagi edema makula diabetes yang signifikan secara klinis menjadi
centerinvolving ( ci-CSME) dan yang tidak melibatkan pusat (nci-CSME).
Pendaftaran dalam uji klinis baru-baru ini hanya mencakup subyek dengan ci-CSME.
Ketika ci-CSME hadir, terapi antiVEGF memberikan ketajaman visual yang lebih
baik dan hasil anatomi (edema makula kurang) daripada operasi laser focal / grid saja.
Operasi laser yang ditangguhkan akhirnya dapat mengurangi kebutuhan untuk injeksi
anti-VEGF berulang. Untuk nci-CSME, peran operasi laser dipandu oleh ETDRS.
ETDRS menunjukkan manfaat yang pasti dalam mendukung operasi fotokoagulasi
laser pada ci-CSME dan nci-CSME. Oleh karena itu, baik anti-VEGF dan laser tetap
menjadi opsi perawatan yang efektif untuk CSME seperti diuraikan di atas.
a. Anti-VEGF Therapy
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia.

Sebuah studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus

untuk degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah

perawatan kita melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris,

dan tidak kambuh dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan

bevacizumab tampaknya memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada

neovaskularisasi patologis.

Avastin merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan

mencegah pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga

menyebabkan regresi vaskular oleh karena peningkatan kematian sel

endotel. Untuk pengunaan okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi

ke dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis 0,1 mL.Lucentis

merupakan versi modifikasi dari avastin yang khusus dimodifikasi untuk

penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 mL.

b. Laser Photocoagulation
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi

retinopati diabetik.Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat

meyebabkan kehilangan penglihatan yang berat jika tidak diterapi.Suatu

uji klinik yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika

Serikat jelas menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar

laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien

dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema makula untuk mencegah

hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio retina.


Indikasi terapi fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema

macula dan neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior. Ada 3

metode terapi fotokoagulasi yaitu :

scatter (panretinal) photocoagulation = PRP, dilakukan pada kasus

dengan kemunduran visus yang cepat atau retinopati diabetik resiko tinggi

dan untuk menghilangkan neovaskular dan mencegah neovaskularisasi

progresif nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina atau pada

sudut bilik anterior dengan cara menyinari 1.000-2.000 sinar laser ke

daerah retina yang jauh dari macula untuk menyusutkan neovaskular.

Focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi

mikrovaskular di tengah cincin hard exudates yang terletak 500-3000 µm

dari tengah fovea. Teknik ini mengalami bertujuan untuk mengurangi

atau menghilangkan edema macula.

grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser dimana

pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema yang

difus. Terapi edema macula sering dilakukan dengan menggunakan

kombinasi focal dan grid photocoagulation. 14, 28,29

7. Severe NPDR and Non-High-Risk PDR

Ketika retinopati lebih parah, fotokoagulasi panretinal harus dipertimbangkan


dan tidak boleh ditunda ketika mata mencapai tahap proliferasi risiko tinggi. Tindak
lanjut yang hati-hati pada 3 sampai 4 bulan adalah penting: jika pasien tidak dapat
mengikuti dengan baik atau jika ada kondisi medis terkait seperti operasi katarak yang
akan datang atau kehamilan, fotokoagulasi laser panretinal dini mungkin diperlukan.
Fotokoagulasi laser dapat diindikasikan, terutama ketika akses ke perawatan
kesehatan sulit. Jika operasi laser dipilih, fotokoagulasi panretinal penuh adalah
pendekatan pengobatan yang dianjurkan. Perawatan fotokoagulasi panretinal sebagian
atau terbatas tidak dianjurkan.
Tujuan dari operasi laser adalah untuk mengurangi risiko kehilangan
penglihatan. Sebelum operasi, dokter mata harus menilai adanya edema makula,
membahas efek samping pengobatan dan risiko kehilangan penglihatan dengan
pasien, dan mendapatkan persetujuan Ketika fotokoagulasi panretinal untuk NPDR
parah atau PDR non-risiko tinggi dilakukan pada mata dengan edema makula, banyak
ahli berpikir bahwa lebih baik untuk melakukan fotokoagulasi fokal dan / atau terapi
5,6,9,17, 19,24,25,26,27
anti-VEGF sebelum fotokoagulasi panretinal.
L. Perjalanan Klinis Dan Prognosis
 Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang
memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1
tahun.
 Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat progresif.
 Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula yang
secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 4-6 bulan
karena dapat berkembang menjadi clinically significant macular edema (CSME).
 Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi. Dengan terapi
fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat berkurang 50%.
 Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari pasien
DRNP berat akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah 75% dimana
45% diantaranya tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu pasien DRNP
sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiap 3-4 bulan.
 Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi. Teknik
yang dilakukan adalah scatter photocoagulation
 Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula menggunakan
metode focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi metode
panretina dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema macula, maka untuk terapi
dengan metode ini harus dibagi menjadi 2 tahap.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:
 Faktor prognostik yang menguntungkan
 Eksudat yang sirkuler.
 Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.
 Perfusi sekitar fovea yang baik.
 Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
 Edema yang difus / kebocoran yang multiple.
 Deposisi lipid pada fovea.
 Iskemia macular.
 Edema macular kistoid.
 Visus preoperatif kurang dari 20/200.
 Hipertensi. 4,5,6 18, 27

Daftar Pustaka

1. Septadina, Indri Seta. Perubahan Anatomi Bola Mata Pada Penderita Diabetes

Mellitus. Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang,

30126. Mks, Th. 47, No. 2, April. Palembang: 2015.

2. Heryawan, Lukman. Deteksi Dini Retinopati Diabetik dengan Pengolahan Citra

Berbasis Morfologi Matematika, Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, Ugm,

Yogyakarta, 2017.

3. Sitorus.S.R, Sitompul.R, Widyawati. S, dkk, Buku Ajar Oftalmologi. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Hal 2010-2017. Jakarta. 2017.

4. Royal college of Ophthalmologists. Diabetic Retinopathy Guidelines. 2012.


5. Riorden-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s : General Ophthalmology Ed.
19th. Mc Grav-Hill Education. 2018.
6. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Blackwll Science. 2005
7. Mescher AL. Histologi dasar Junqueira, Teks dan Atlas Ed.12.. EGC: Jakarta, 2011

8. Sherwood C. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed.8.. EGC: Jakarta, 2014

9. Yusran. M, Retinopati Diabetik: Tinjauan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana, Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung, 2017


10. Nursyamsi, dkk. Prevalensi Retinopati Diabetik Yang Mengancam Penglihatan Dan

Tidak Terdiagnosa Di Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo, Fakultas Kedokteran,

Universitas Hasanuddin, Makassar, 2017.

11. Yang Qh, Zhang Xm, Li Xr. Prevalence Of Diabetic Retinopathy, Proliferative

Diabetic Retinopathy And Non-Proliferative Diabetic Retinopathy In Asian T2dm

Patients: A Systematic Review And Metaanalysis. Int J Ophthalmol, Hal. 302-

311.Vol. 12, No. 2, Feb.18, 2019.

12. Kanksi.T.J, Klnikal Oftalmologi, hal; 520-538. 2016

13. Basic and Clinical Science Course, Retina and Vitreous, Section 12, American -

Academy of Ophtalmologi, United State, , page 71-86, 1997

14. Pandelaki, karel. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Jakarta: 2009.
15. Ministry of Health Malaysia. Diabetik Retinopathy Screening. Training module for
healthcare providers. Second edition. 2017.
16. Nema HV, Text book of Opthalmology, Edition 4, Medical publishers, New Delhi,

page 249-251, 2002

17. Saxena S, Jajali S, Meredith TA, Holekamp NM, Kumar D. Management of diabetic

retinopathy. Indian journal of Ophthalmology. Vol 48(4). 2000

18. Vislisel.J. Oetting T. Diabetic Retinopath, University Of Iowa Health Care

Ophtalmology And Visual Science. 2010

19. Preferred Practice patterns Committee. Preferred Practice Pattern: Diabetic

Retinopathy. American Academy of Ophthalmology.2017

20. Dark.S, Dkk, diabetic Retinopathy Screening Update, • Department of

Ophthalmology at the University of North Carolina Medical School in Chapel Hill

Volume 27, Number 4, 2009


21. Syaiar.H, Klasifikasi Retinopati Diabetes Dengan Metode Neural Network,

Program Studi Teknik Informatika AMIK Bina Sarana Informatika, Jakarta, 2017

22. Agni AN, Widayanti TW, Hernowo AT. Buku ajar ilmu Mata UGM: Retina. UGM :

Yogyakarta. 2017

23. Natarajan S. Diagnostic Enigmas of Retinopathy : New Dimension. Indian Journal of

Ophthalmology. Vol. 62(6). 2017

24. Rejavi Z, Safi S, Javad MA, et Al. Diabetic Retinopathy Clinical practice Guidelines:

Customized for Iranian Population. Journal of Ophthalmic and Vision Research. 2016

25. Ligam G, Wong TY. System Medical Management of Diabetic Retinophaty. Middle

East African Journal of Ophthalmology. Vol 20(4). 2013

26. Unnikrishnan AG, Kalra S, Tandon N. Diabetic retinopathy care in India: An

Endocrinology Perspective. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. Vol.

20 (1-2).2016

27. Mulyati, Amin R, Santoso B. Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik yang

diterapi dengan laser fotokoagulasi dan atau injeksi intravitreal di rumah sakit Moh.

Hoesin Palembang. MKS. Vol. 47(2). 2015.

28. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter

5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; p 107-128, 2008.

29. Zhao, Yue. Singh, Rishi P. The role of anti-vascular endothelial growth factor (anti-

VEGF) in the management of proliferative diabetic retinopathy. Drugs in Context

2018; 7: 212532. DOI: 10.7573/dic.212532, ISSN: 1740-4398, 2008.

Anda mungkin juga menyukai