PENYUSUN :
K1A1 13 111
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2020
Non Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR)
Misdayanti takdir, Suryani Rustam
A. Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme, baik secara genetis maupun
klinis, bermanifestasi dengan hilangnya tolerensi karbohidrat. Diabetes melitus ditandai
dengan hiperglikemia puasa dan postprandial. Komplikasi diabetes melitus dibagi
menjadi dua kategori mayor, yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular
jangka panjang. 1
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi kronik jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar
(makroangiopati). Lesi yang terjadi pada mikroangiopati biasanya menyerang kapiler dan
arteriol. Biasanya arteriol yang terkena adalah arteriol retina (retinopati diabetik),
glomerulus (nefropati diabetik), saraf perifer (neuropati diabetik), otot dan kulit.
Sedangkan makroangiopati ditandai dengan arterosklerosis.1
Retinopati diabetik menjadi penyebab umum kebutaan pada penderita diabetes
mellitus, Pasien yang menderita diabetes dalam jangka panjang berisiko mengalami
hilangnya penglihatan atau kebutaan, yang disebabkan oleh darah dari pembuluh darah
yang bocor ke retina komplikasi diabetes ini disebut dengan retinopati diabetic. 2 Faktor
resiko untuk terjadinya diabetic retinopati adalah durasi menderita diabetes, control gula
darah buruk/ derajat hiperglikemia, hipertensi peningkatan lemak darah (
hiperkolesterolemia) dan rokok.
Retinopati diabetic merupakan penyebab utama kebutaan pada pasien berusia 20-
64 tahun. Prevalensi Retinopati diabetic terus meningkat seiring dengan meningkatnya
prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia. Data WHO menunjukan bahwa pada tahun
2000 penderita diabetes mellitus didunia diperkirakan mencapai 171 juta orang yang pada
tahun 2030 dapat meningkat hingga 366 juta. Tahun 2002, diperkirakan 4,8 % dari 37 juta
kebutaan global disebabkan oleh Retinopati diabetic. Dari laporan di antara para penderita
diabetes mellitus di RS Cicendo Bandung, ditemukan 19,1% kasus dngan non-
proliferative diabetic retinopathy atau NPDR Dan 1,5 % dengan proliferative diabetic
retinopathy Atau PDR.3
Diabetik retinopati (DR) merupakan penyulit penyakit Diabetes mellitus yang
paling ditakuti. Karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosa yang kurang baik bagi
penglihatan. Meskipun dapat dihindari dengan mengontrol kadar gula darah yang baik
dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Efek perubahan persarafan di retina dan
kerusakan aksi insulin di retina dalam patogenesis awal retinopati dan mekanisme
kebutaan.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetic nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi
retinopati diabetic meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derejat. Di Amerika
utara, 3.6% pasien diabetes tipe 1 dan 1.6% pasiendiabetes tipe 2 mengalami kebutaan
total. Di Inggris, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian atau
total setiap tahun.Pada Negara berkembang, setidaknya 12% kasus kebutaan disebabkan
oleh diabetes. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun, dan
4,5,6
meningkat setelah pubertas. Hal ini terjadi 20 tahun setelah menderita diabetes.
visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina berkembang dari
cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia
janin.5
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm (diameter dari
depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm kemudian
mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun. Dari ukuran
tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior dalam bola
mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior mata, dengan
pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang secara sirkumferensial anterior 360
derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata 250 μm, paling tebal pada area makula
dengan ketebalan 400 μm, menipis pada fovea dengan ukuran 150 μm, dan lebih tipis
karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus optikus). Arteri
siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah, termasuk lapisan
pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan epitel pigmen.
berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang terdiri dari (dari
luar ke dalam):7
a. epitel pigmen
1. Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif terhadap
cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut yang
memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan impuls
melalui nervus optikus ke korteks visual bagian oksipital. 8
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih
banyak pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel
batang densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula
(fovea). Sel kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga
fovea bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang,
mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna hitam-
putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk
penglihatan gelap pada malam hari. 8
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion, sel
horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel
ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut
nervus optikus ke otak. Sel horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan
berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin
terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai penghubung sel
bipolar dengan sel ganglion. 8
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari sel
Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar.
Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia. 8
C. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita
diabetes melitus. Retinopati ini tidak disebabkan oleh proses radang. Retinopati akibat
diabetes melitus lama berupa aneurisma, melebarnya vena, pedarahan dan eksudat
lemak. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel
kapiler dan penurunan jumlah perisit. 5
Nonproliferative diabetic retinopaty (NPDR) merupakan perubahan dini yang tidak
menyebabkan gangguan penglihatan. Perubahan dini yang reversible dan tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan sentral ini sering juga disebut background
retinopathy atau retinopati simpleks.
Non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ditandai kelainan mikrovaskular yang
tidak melewati membrane limitan interna yang ditandai dengan adanya
mikroaneurisma, area non perfusi kapiler, kerusakan nerve fibre layer, intra retina
mikrovaskular abnormalities (IRMAs), dot-blot intraretina hemorrhages, edema retina,
hard exudates (HE), dan venous beading. Non proliferative diabetic retinopathy dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat. NPDR berat didefinisikan apabila memenuhi salah
satu aturan 4:2:1 yaitu mikroaneurisma di 4 kuadran, atau venous beading di 2 kuadran,
atau IRMAs di 1 kuadran.NPDR berat memiliki risiko progresifitas menjadi PDR sebesar
15% dalam 1 tahun. NPDR sangat berat diklasifikasikan jika terdapat 2 atau lebih kriteria
4:2:1. NPDR sangat berat memiliki progresifitas menjadi PDR sebesar 45% dalam 1
tahun. 9
D. Epidemiologi
Istilah “ Diabetes Mellitus” menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan
penyebab yang multipel, yang memiliki karakteristik hiperglikemia kronik dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kelainan
pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Efek dari DM meliputi kerusakan,
disfungsi dan kegagalan multipel organ dalam jangka panjang. 10
Retinopati diabetik sering menyebabkan kebutaan dan saat ini merupakan penyebab
hampir seperempat angka kebutaan di negara-negara barat. Sebanyak 60-75% pengidap
diabetes tipe 1 akan mengalami retinopati diabetic berat dalam 20 tahun sekalipun
dengan kontrol penyakit yang baik. Retinopati biasanya bersifat proliferatif. Pada pasien
diabetes tipe 2 yang lebih tua, retinopatinya lebih sering bersifat nonproliferatif, dengan
risiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat makulopat . 5
Penelitian population based terbaru di Singapura, Singapore Epidemiology of Eye
Diseases (SEED) study, yang mengumpulkan sampel dari 3 kelompok etnik, Cina,
Melayu dan India yang bermukim di Singapura dan berusia diantara 40-80 tahun
melaporkan dari total 10.033 sampel populasi, 2376 (23,7%) orang menderita DM, dan
805 (33,9%) orang diantaranya menderita retinopati diabetik. 10
Di Indonesia, data resmi mengenai jumlah penderita retinopati diabetik belum ada
sehingga angka kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati diabetik di Indonesia belum
diketahui. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan RD
merupakan komplikasi DM pada organ mata terbanyak kedua (24.5%) setelah katarak
(47.7%). 9
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada
usia dewasa antara 20-74 tahun. Namun, resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah
umur 10 tahun, dan meningkat setelah pubertas. Jumlah penderita retinopati diabetik di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang terdapat 43 orang (laki-laki 16 orang (37,2%)
dan perempuan 27 orang (62,8%).
Penelitian yang dilakukan di China, dari 41 referensi dan 48.995 pasien DM
tipe 2, prevalensi RD, RDP dan RDNP adalah 28%, 6% dan 27%. Prevalensi RD pada
pasien DM tipe 2 dari Singapura, India, Korea Selatan, Malaysia, Asia dan China adalah
33%, 42%, 16%, 35%, 21% dan 25%. Pasien RDNP dari India, Korea Selatan, Malaysia,
Asia dan China memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari pasien RDP (45% vs 17%,
13% vs 3%, 30% vs 5%, 23% vs 2% and 22% vs 3%). 11
E. Faktor Risiko
1. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang didiagnosa dengan
DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic setelah 50 tahun sekitar 50%
dan setelah 30 tahun mencpai 90%.
2.Kontrol glukosa darah yang buruk, telah ditunjukkan bahwa kontrol glukosa darah
yang ketat, terutama ketika dikontrol sejak dini, dapat mencegah atau menunda
perkembangan atau perkembangan DR. Namun, peningkatan kontrol yang tiba-tiba
dapat dikaitkan dengan perkembangan retinopati dalam waktu dekat. Pasien diabetes
tipe 1 tampaknya memperoleh manfaat yang lebih besar dari kontrol yang baik dari
pada tipe 2. Peningkatan HbA1c dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
proliferatif.
3. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun tipe 2 dengan
kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15 tahun.
4.Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati diabetik,
meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat yang terlalu cepat
pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari preeklamsia serta
ketidakseimbangan cairan.
5. Hipertensi, yang sangat umum pada pasien dengan diabetes tipe 2, harus dikontrol
dengan ketat (<140/80 mmHg). Kontrol ketat tampaknya sangat bermanfaat pada
penderita diabetes tipe 2 dengan makulopati. Penyakit kardiovaskular dan stroke
sebelumnya juga bersifat prediksi.
6. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya terapi
penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan dengan perbaikan
retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih baik.
7. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas, anemia dan hiperlipidemia.12
F. Etiologi
G. Patofisiologi
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel
saraf.Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler
kecuali suatu daerah yang disebut fovea.Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati
diabetik terletak pada kapiler retina tersebut.Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan
dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrane basalis dan sel endotel. 14
sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel
perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain
kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan
matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif
terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluoresensi
kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membran basalis,
hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan
antara sel endotel dan sel pirisit dapat mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik
1) pembentukan mikroaneurisma,
sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah. Kebutaan akibat
vitreus,
mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah diteliti adanya perubahan endotel
hemodinamik ( pada sel darah merah dan agregasi platelet ). Disini perubahan
mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan retina ( intraretinal ), terikat ke kutub
intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api
karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan
perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam
paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif. Pada keadaan ini terdapat
iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada lapisan serabut saraf ). Hal
ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui
endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot, blot
seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai ada kecendrungan untuk
rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga terjadi
kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya. Edema ini
dapat bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan
keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga terbentuk zona eksudat
kuning kaya lemak bentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat
• Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal yang
menyebabkan iskemik makular.
• Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema
makular. 5,13,16
H. Klasifikasi
Adapun gejala subjektif dari retinopati diabetes non proliferatif adalah Penglihatan
kabur
Kesulitan membaca
1.
Mikroaneurisma Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama
daerah vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini sering tidak
20,18,
terlihat. Mikroaneurisma merupakan kelainan diabetes mellitus dini pada mata
,21
6. Soft exudate yang sering disebut cotton woll patches merupakan iskemia retina.
Pada pemeriksaan optalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus
dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan
dihubungkan dengan iskemia retina.
J. Diagnosa
Pemeriksaan awal untuk pasien dengan diabetes mellitus mencakup semua fitur dari
evaluasi mata yang komprehensif, dengan perhatian khusus pada aspek-aspek yang
relevan dengan retinopati diabetes.
1. Anamnesis
Keluhan utama ditandai berdasarkan durasi, frekuensi, intermiten, dan
kecepatan onsetnya. Lokasi, keparahan, dan keadaan di sekitar onsetnya
adalah penting, seperti halnya mengidentifikasi gejala okular dan nonokular
lainnya yang mungkin memerlukan penyelidikan spesifik. Obat mata saat ini
dan gangguan mata saat ini dan masa lalu ditentukan.
Riwayat medis masa lalu harus mencakup penyelidikan tentang gangguan
vaskuler seperti diabetes dan hipertensi dan obat-obatan sistemik, khususnya
kortikosteroid karena efek okularnya yang merugikan. Akhirnya, alergi obat
apa pun harus dicatat.
Beberapa hal yang harus diketahui menyangkut retinopati diabetic:
Durasi diabetes
riwayat glikemik yang lampau (HbA1c)
Riwayat penyakit dan pengobatan yang lain (mis. Obesitas, penyakit
ginjal, hipertensi sistemik, level lipid serum, kehamilan, neuropati)
Riwayat penyakit mata (mis. Trauma, penyakit mata lainnya, suntikan
mata, pembedahan(termasuk perawatan laser retina dan pembedahan
refraksi)).
Riwayat keluarga berkaitan dengan gangguan okular, seperti
strabismus,ambliopia, glaukoma, atau katarak, dan masalah retina, seperti
ablasi retina atau degenerasi makula. Penyakit medis seperti diabetes mungkin
juga relevan.
2. Pemeriksaan Fisik
Ketajaman visual
Bertujuan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah
. pada pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan huruf terkecil yang masih
dapat dilihat pada kartu baca baku(snellen card) dengan jarak 6 meter atau
20 kaki. Tajam penglihatan menentukan seberapa jelas pasien dapat
melihat.
K. MANAGEMENT
1. Umum
a. Pendidikan pasien sangat penting, termasuk mengenai perlunya mematuhi
ulasan dan jadwal perawatan untuk mengoptimalkan hasil visual
b. Kontrol diabetes harus dioptimalkan
c. Faktor risiko lain, terutama hipertensi sistemik (terutama diabetes tipe 2)
dan hiperlipidemia harus dikontrol bersama dengan ahli diabetes pasien.
d. Fenofibrate 200 mg setiap hari telah terbukti mengurangi perkembangan
retinopati diabetik pada penderita diabetes tipe 2 dan resep harus
dipertimbangkan; keputusan tidak tergantung apakah pasien sudah
menggunakan statin
e. Merokok harus dihentikan, meskipun ini belum terbukti secara pasti
mempengaruhi retinopati
f. Factor-faktor lain yang dapat dimodifikasi seperti anemia dan gagal ginjal
harus ditangani seperlunya. 12
2. Kontrol glukosa darah dan hipertensi
Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetik
Control and Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien
dengan DM Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah menderita
RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif
selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi retinopati sebesar 76%
sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati sebesar
54%.
Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) pada penderita DM Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa
setiap penurunan HbA1c sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan resiko
komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut
memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati diabetik secara sempurna, namun dapat mengurangi
resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetikyang sudah
ada.
Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan
mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.
UKPDS menunjukkan bahwa control hipertensi juga menguntungkan mengurangi
progresi dari retinopati dan kehilangan penglihatan. 14, 27
3. Control of dyslipidemia
The Wisconsin Epidemiological Study of Diabetic Retinopathy (WESDR)
belum menunjukkan adanya hubungan kadar kolesterol dengan tingkat keparahan DR
tetapi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat keparahan dan
terjadinya eksudat keras pada penderita diabetes muda. Studi ETDRS menemukan
peningkatan risiko dua kali lipat dalam risiko. eksudat keras retina dengan
peningkatan kadar kolesterol. Trigliserida serum tinggi juga telah terbukti dikaitkan
dengan peningkatan risiko pengembangan dan perkembangan retinopati. Hubungan
yang signifikan antara terjadinya edema makula yang signifikan secara klinis dan
tingkat LDL serta total kolesterol-HDL rasio. Rendahnya kadar kolesterol HDL
diketahui sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular tetapi studi ADVANCE tidak
menunjukkan hubungan yang sama antara rendahnya kadar kolesterol HDL dan
retinopati walaupun ada hubungan dengan nefropati.
Statin dan fibrat telah digunakan secara klinis untuk mengurangi kadar lipid.
Statin terutama mengurangi kolesterol LDL. Memiliki keberhasilan yang baik dengan
penggunaan atorvastatin dalam pengurangan edema makula diabetik. Pengurangan
pada eksudat keras tercatat sebanyak 66,6% kasus dengan statin dibandingkan hanya
13,3% pada kelompok kontrol. Dalam sebuah studi dari enam pasien, pengurangan
eksudat keras dicapai dengan pravastatin bersama dengan pengurangan kolesterol
total dan lipoprotein densitas rendah.
Mempertimbangkan bukti manfaat fenofibrat dalam DR, disarankan untuk
eksplorasi delivery intraokular yang bersaman dengan obat anti-VEGF dalam
pengelolaan DR. Saat ini tersedia fenofibrate (oral) dikonversi ke bentuk aktif oleh
esterase. Oleh karena itu bioavailabilitas menjadi masalah jika diberikan secara
intravitasi. Garam kolin (ABT-335) telah diidentifikasi yang tidak memerlukan
aktivasi oleh esterase. Semoga masa depan akan melihat konversi kemungkinan ini
menjadi kenyataan. Kontrol dislipidemia, mungkin dengan fenofibrate, mengurangi
risiko perkembangan retinopati.
Langkah penting yang optimal untuk perawatan pasien. Selain itu, penting untuk
membantu mengedukasi pasien dengan diabetes tentang implikasi oftalmologis
mengendalikan glukosa darah (kadar HbA1c) sedekat mungkin dengan batas aman.
Hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang baik dengan
mengendalikan glukosa darah, kadar lipid serum, dan tekanan darah pada pasien
dengan diabetes tipe 2.
4. Normal or Minimal NPDR
Pasien dengan pemeriksaan retina normal atau NPDR minimal (mis., Dengan
mikroaneurisma langka) harus diperiksa ulang setiap tahun, karena dalam 1 tahun 5%
hingga 10% pasien tanpa retinopati akan berkembang menjadi retinopati diabetik.
Retinopati yang ada akan memburuk dengan persentase yang sama. Operasi laser,
fotografi fundus warna, dan FA tidak dianjurkan.
5. Mild to Moderate NPDR without Macular Edema
Pasien dengan mikroaneurisma retina dan occasional blot hemorrhages atau
eksudat keras harus diperiksa ulang dalam 6 hingga 12 bulan, karena perkembangan
penyakit sering terjadi. Riwayat pasien diabetes tipe 1 menunjukkan bahwa sekitar
16% pasien dengan retinopati ringan (eksudat keras) dan hanya mikroaneurisma akan
berlanjut ke tahap proliferatif dalam 4 tahun.
Operasi laser dan FA tidak diindikasikan untuk kelompok pasien ini. Fotografi
fundus warna dan pencitraan OCT dari makula kadang-kadang dapat membantu untuk
menetapkan dasar untuk perbandingan di masa depan dan untuk edukasi pasien.
Untuk pasien dengan NPDR ringan, insiden 4 tahun dari CSME atau edema
makula yang tidak signifikan secara klinis adalah sekitar 12%. Untuk NPDR moderat,
risiko meningkat menjadi 23% untuk pasien dengan diabetes tipe 1 atau 2. Pasien
dengan edema makula yang tidak signifikan secara klinis harus diperiksa ulang dalam
3 sampai 4 bulan, karena mereka berisiko signifikan mengembangkan CSME .
6. Mild to Moderate NPDR with CSME
Risiko kehilangan penglihatan dan kebutuhan untuk pengobatan lebih besar
ketika pusat makula terlibat. Diagnosis edema makula diabetik bisa sulit. Edema
makula paling baik dievaluasi dengan pemeriksaan dilatasi menggunakan
biomicroscopy slit-lamp, OCT, dan / atau fotografi fundus stereoskopik. Seorang
dokter spesialis mata yang merawat pasien untuk kondisi ini harus akrab dengan studi
dan teknik yang relevan seperti yang dijelaskan dalam ETDRS . Angiografi
Fluorescein sebelum laser operasi untuk CSME seringkali bermanfaat untuk
mengidentifikasi lesi yang dapat diobati. Fluorescein angiografi kurang relevan ketika
ada eksudat lipid sirkinat dan lesi bocor terdeteksi dengan jelas di dalam cincin lipid.
Fluorescein angiography juga berguna untuk mendeteksi putusnya kapiler dan
pembesaran patologis dari zona avascular foveal, suatu fitur yang mungkin berguna
ketika merencanakan perawatan.Fotografi fundus berwarna sering membantu untuk
mendokumentasikan status retina walaupun operasi laser tidak dilakukan. Tomografi
koherensi optik juga merupakan alat skrining yang bermanfaat yang mampu
mendeteksi edema halus dan juga mengikuti jalannya edema setelah perawatan.
Perawatan tradisional untuk CSME adalah operasi laser. Namun, data saat ini
dari beberapa penelitian yang dirancang dengan baik menunjukkan bahwa agen anti-
VEGF intravitreal memberikan pengobatan yang lebih efektif untuk CSME yang
terlibat di pusat dibandingkan dengan monoterapi dengan operasi laser. Peningkatan
ketajaman visual dan pengurangan ketebalan makula setelah pemberian kombinasi
intravitreal ranibizumab, dengan operasi laser yang cepat atau delayed, memiliki hasil
yang lebih baik daripada laser saja setelah 2 tahun follow-up. Percobaan klinis baru-
baru ini telah membagi edema makula diabetes yang signifikan secara klinis menjadi
centerinvolving ( ci-CSME) dan yang tidak melibatkan pusat (nci-CSME).
Pendaftaran dalam uji klinis baru-baru ini hanya mencakup subyek dengan ci-CSME.
Ketika ci-CSME hadir, terapi antiVEGF memberikan ketajaman visual yang lebih
baik dan hasil anatomi (edema makula kurang) daripada operasi laser focal / grid saja.
Operasi laser yang ditangguhkan akhirnya dapat mengurangi kebutuhan untuk injeksi
anti-VEGF berulang. Untuk nci-CSME, peran operasi laser dipandu oleh ETDRS.
ETDRS menunjukkan manfaat yang pasti dalam mendukung operasi fotokoagulasi
laser pada ci-CSME dan nci-CSME. Oleh karena itu, baik anti-VEGF dan laser tetap
menjadi opsi perawatan yang efektif untuk CSME seperti diuraikan di atas.
a. Anti-VEGF Therapy
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia.
untuk degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah
dan tidak kambuh dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan
neovaskularisasi patologis.
endotel. Untuk pengunaan okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi
b. Laser Photocoagulation
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi
laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien
dengan kemunduran visus yang cepat atau retinopati diabetik resiko tinggi
progresif nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina atau pada
Daftar Pustaka
1. Septadina, Indri Seta. Perubahan Anatomi Bola Mata Pada Penderita Diabetes
Yogyakarta, 2017.
8. Sherwood C. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed.8.. EGC: Jakarta, 2014
11. Yang Qh, Zhang Xm, Li Xr. Prevalence Of Diabetic Retinopathy, Proliferative
13. Basic and Clinical Science Course, Retina and Vitreous, Section 12, American -
14. Pandelaki, karel. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Jakarta: 2009.
15. Ministry of Health Malaysia. Diabetik Retinopathy Screening. Training module for
healthcare providers. Second edition. 2017.
16. Nema HV, Text book of Opthalmology, Edition 4, Medical publishers, New Delhi,
17. Saxena S, Jajali S, Meredith TA, Holekamp NM, Kumar D. Management of diabetic
Program Studi Teknik Informatika AMIK Bina Sarana Informatika, Jakarta, 2017
22. Agni AN, Widayanti TW, Hernowo AT. Buku ajar ilmu Mata UGM: Retina. UGM :
Yogyakarta. 2017
24. Rejavi Z, Safi S, Javad MA, et Al. Diabetic Retinopathy Clinical practice Guidelines:
Customized for Iranian Population. Journal of Ophthalmic and Vision Research. 2016
25. Ligam G, Wong TY. System Medical Management of Diabetic Retinophaty. Middle
20 (1-2).2016
27. Mulyati, Amin R, Santoso B. Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik yang
diterapi dengan laser fotokoagulasi dan atau injeksi intravitreal di rumah sakit Moh.
28. Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter
29. Zhao, Yue. Singh, Rishi P. The role of anti-vascular endothelial growth factor (anti-