Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

1.1. Latar belakang


Diantara semua organ tubuh, mata merupakan organ yang paling mudah
diperiksa secara langsung. Mata merupakan salah satu indera pada manusia yang
berfungsi dalam penglihatan. Lebih dari setengah reseptor sensorik yang ada
dalam tubuh manusia terletak di mata. Reseptor sensorik pada mata terdapat pada
retina. Retina merupakan suatu struktur yang sangat kompleks dan sangat
terorganisasi, dengan kemampuan untuk memulai pengolahan informasi
penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan melalui nervus optikus ke
korteks visual.1
Beberapa gangguan dapat terjadi pada retina, salah satunya adalah
retinopati. Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh
radang.2 Makalah ini akan dibahas beberapa macam retinopati yang sering terjadi,
antara lain retinopati diabetik, retinopati hipertensi dan retinopati prematuritas.

1.2. Batasan masalah


Makalah ini membahas tentang bagaimana cara mendiagnosis secara cepat
dan tepat serta membahas penanganan pasien-pasien retinopati diabetik, retinopati
hipertensi, dan retinopati prematuritas.

1.3. Tujuan penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai retinopati diabetik, retinopati hipertensi, dan retinopati prematuritas.

1.4 Metode penulisan


Makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Retina


Bola mata (Gambar 1) berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24
milimeter. Bola mata bagian depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih
tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata
dibungkus oleh 3 lapis jaringan yaitu sklera, uvea, dan retina. Sklera merupakan
jaringan ikat yang kenyal yang memberi bentuk pada mata, merupakan bagian
terluar yang membentuk bola mata. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular.
Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil
yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam bola
mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang terletak di
badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Otot melingkari
badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan mengendornya
Zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.4

Ga
mbar 2.1 Anatomi Retina

2
Retina dibentuk dari lapisan neuroektoderma sewaktu proses embriologi.
Ia berasal dari divertikulum otak bagian depan (proencphalon). Pertama-tama
vesikel optik terbentuk kemudian berinvaginasi membentuk struktur mangkuk
berdinding ganda, yang disebut optic cup. Dalam perkembangannya, dinding luar
akan membentuk epitel pigmen sementara dinding dalam akan membentuk
sembilan lapisan retina lainnya. Retina akan terus melekat dengan proencefalon
sepanjang kehidupan melalui suatu struktur yang disebut traktus
retinohipotalamikus.4
Retina merupakan lapisan bola mata yang paling dalam. Secara kasar,
retina terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan fotoreseptor (pars optica retinae) dan
lapisan non-fotoreseptor atau lapisan epitel pigmen (retinal pigment epithelium/
RPE). Lapisan RPE merupakan suatu lapisan sel berbentuk heksagonal,
berhubungan langsung dengan epitel pigman pada pars plana dan ora serrata.
Lapisan fotoreseptor merupakan satu lapis sel transparan dengan ketebalan antara
0,4 mm berhampiran nervus optikus sehingga 0,15 mm berhampiran ora serrata.
Di tengah-tengah makula terdapat fovea yang berada 3 mm di bagian temporal
dari margin temporal nervus optikus. Secara histologis, retina terdiri atas 10
lapisan (Gambar 2), yaitu:5,6

1. Membrana limitans interna


2. Lapisan serat saraf optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan fleksiform dalam
5. Lapisan nuklear dalam
6. Lapisan fleksiform luar
7. Lapisan nuklear luar
8. Membrana limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor (rods dan cones)
10. Retinal Pigment Epithelium

3
Gambar 2.2 Lapisan retina

Lapisan dalam retina mendapatkan suplai darah dari arteri retina sentralis.
Arteri ini berasal dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan
nervus optikus dan bercabang pada permukaan dalam retina. Arteri sentralis
merupakan arteri dengan diameter kurang lebih 0,1 mm. Ia merupakan suatu arteri
terminalis tanpa anastomose dan membagi menjadi empat cabang utama.
Sementara itu, lapisan luar retina tidak mempunyai vaskularisasi. Bagian ini
mendapatkan nutrisinya melalui proses difusi dari lapisan koroid. Arteri retina
biasanya berwarna merah cerah, tanpa disertai pulsasi sedangkan vena retina
berwarna merah gelap dengan pulsasi spontan pada diskus optikus.5,6
Alur cahaya melalui lapisan retina akan melewati beberapa tahap. Apabila
radiasi elektromagnetik dalam spektrum cahaya (380-760 nm) menghantam retina,
ia akan diserap oleh fotopigmen yang berada dilapisan luar. Sinyal listrik
terbentuk dari serangkaian reaksi fotokimiawi. Sinyal ini kemudian akan
mencapai fotoreseptor sebagai aksi potensial dimana ia akan diteruskan ke neuron
kedua, ketiga keempat sehingga akhirnya mencapai korteks visual.5,6

2.2 RETONPATI DIABETIK


Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus,4 meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.5

2.2.1 Epidemiologi

4
Insiden retinopati diabetik cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% dari
penderita diabetes, dan prognosisnya kurang baik terutama bagi fungsi
penglihatan. Di Amerika Serikat didapatkan insidensi kebutaan akibat retinopati
diabetes sekitar 5000 orang pertahun, sedangkan di Inggris retinopati diabetes
merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan.2
Resiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan
lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati
diabetes hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien, setelah 10 tahun,
prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%
pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis
diabetes ditegakkan sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non-
proliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati
diabetik meningkat menjadi lebih dari 60%. Di Amerika Utara, 3,6% pasien
diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total.1
2.2.2 Etiologi
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa
lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi
dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. 6
Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang
muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini.
Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan
lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.5
Retinopati diabetik terjadi karena diabetes melitus yang tak terkontrol dan
diderita lama. Pada makula terjadi hipoksia yang menyebabkan timbulnya
angiopati dan degenerasi retina. Angiopati dapat menyebabkan mikroaneurisma
dan eksudat lunak.4
Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah
dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:6
•Adhesif platelet yang meningkat.
•Agregasi eritrosit yang meningkat.
•Abnormalitas lipid serum.
•Fibrinolisis yang tidak sempurna.

5
•Abnormalitas dari sekresi growth hormon
•Abnormalitas serum dan viskositas darah.

2.2.3 Faktor Risiko


Faktor resiko retinopati diabetik antara lain:1
1. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang didiagnosa
dengan DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic setelah 50
tahun sekitar 50% dan setelah 30 tahun mencpai 90%.
2. Kontrol glukosa darah yang buruk, berhubungan dengan perkembangan dan
perburukan retinopati diabetik.
3. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun tipe 2
dengan kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15 tahun.
4. Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati
diabetik, meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat
yang terlalu cepat pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari
preeklamsia serta ketidakseimbangan cairan.
5. Hipertensi yang tidak terkontrol, biasanya dikaitkan dengan bertambah
beratnya retinopati diabetik dan perkembangan retinopati diabetik proliferatif
pada DM tipe I dan II
6. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya terapi
penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan dengan
perbaikan retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih baik.
7. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas,anemiadan hiperlipidemia.

2.2.4 Klasifikasi
Secara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi: 4
1. Retinopati diabetik non proliferatif
Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita
diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata
melemah. Pada retinopati nonproliferatif ringan ditandai dengan timbul sedikitnya
satu tonjolan kecil pada pembuluh darah (mikroaneurisma) yang dapat pecah
sehingga pecah ke dalam retina. Pada Retinopati nonproliferatif sedang terdapat

6
mikroaneurisma luas, perdarahan intraretina, gambaran manik-manik pada vena
dan bercak-bercak cotton wool berwarna abu-abu atau putih akibat menurunnya
aliran darah ke retina menyebabkan. Pada Retinopati nonproliferatif berat ditandai
oleh bercak-bercak cotton wool, gambaran manic-manik pada vena dan kelainan
mikrovaskular intraretina (IRMA). Stadium ini terdiagnosis dengan ditemukannya
perdarahan intraretina di empat kuadran, gambaran manic-manik vena di dua
kuadran, atau kelainan mikrovaskular intraretina berat di satu kuadran.4

Gambar 2.3 Retinopati


diabetik non proliferatif

2. Makulopati
Makulopati
diabetik bermanifestasi sebagai penebalan atau edema retina stempat atau difus,
yang terutama disebabkan oleh kerusakan sawar darah-retina pada tingkat Endotel
kapiler retina, yang menyebabkan terjadinya kebocoran cairan dan konstituen
plasma ke retina sekitarnya. Makulopati lebih sering dijumpai pada pasien DM
tipe II dan memerlukan penanganan segera setelah kelainannya bermakna secara
klinis, yang ditandai dengan penebalan retina pada jarak 500 mikron dari fovea.
Makulopati juga bias terjadi karena iskemia, yang ditandai oleh edema macula,
perdarahan dalam dan sedikit eksudasi.4

7
Gambar 2.4 Makulopati
3. Retinopati diabetik proliferatif.
Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati proliferatif
yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetik. Bentuk utama

8
dari retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari pembuluh darah
yang rapuh pada permukaan retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah
pecah, terjadi perdarahan pada pertengahan bola mata sehingga menghalangi
penglihatan. Juga akan terbentuk jaringan parut yang dapat menarik retina
sehingga retina terlepas dari tempatnya. Jika tidak diobati, retinopati proliferatif
dapat merusak retina secara permanen serta bahagian-bahagian lain dari mata
sehingga mengakibatkan kehilangan penglihatan yang berat atau kebutaan.4

Gambar 2.5 Retinopati diabetik proliferatif

Klasifikasi retinopati diabetes menurut bagian mata fakultas kedokteran UI: 2


- Derajat I. terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada
fundus okuli
- Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan
atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
- Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak terdapat
neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli
2.2.5 Patogenesis
Ada tiga proses biokimiawi yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik
yaitu jalur poliol (akumulasi sorbitol), glikasi nonenzimatik dan pembentukan
protein kinase C dan pembentukan reactive oxygen speciasi (ROS).9

9
Gambar 2.5 Skema patogenesis retinopati diabetik

Mekanisme terjadinya Retinopati Diabetik masih belum jelas, namun


beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab
utama kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina
akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan
pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga
berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:9

1. Akumulasi Sorbitol

Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari


aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase
yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding
pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa

10
gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan
tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat
akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat
peningkatan tekanan osmotik sel.9
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga
menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi
syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi
saraf.9
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase
(sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi
atau memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada
manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati.1

2. Pembentukan protein kinase C (PKC)


Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel
vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang
merupakan suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh
terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi
diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.9
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya
ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai
dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan
terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan
peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk
jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular,
ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga
lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara
bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina.9

3. Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

11
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non
enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE.
Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1
sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut
tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina.9
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.
Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih
tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit
saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak,
dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel. 9

4. Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)


ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang
menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS
meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE.
Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang
menambah kerusakan sel.1
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat
hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular
retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan
menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan
menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan
penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan
kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat
ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada
pemeriksaan funduskopi.1
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi
karena angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih
tepatnya disebut Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan
kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang
berfungsi sebagai jaringan penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya,
terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding

12
tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai mikroaneurisma pada
pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding vaskular
lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada retina yang
juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya
dikeluhkan penderita dengan floaters atau benda yang melayang-layang pada
penglihatan.2

Gambar 2.6 Gambaran retina penderita DM


Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu :9
1. Pembentukan mikroaneurisma
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
3. Penyumbatan pembuluh darah
4. Proliferasi pembuluh darah baru dan jaringan fibrosa di retina
5. Kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina
sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah. Kebutaan akibat
retinopati diabetik dapat terjadi melalui mekanisme berikut : 1
1. Edema makula atau nonperfusi kapiler
2. Pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati proliperatif dan
kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina
(retinal detachment )
3. Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan vitreus dan preretina
4. Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma.

13
Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati
diabetik non proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler
mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding
retina (cotton wall spot), infark pada lapisan serabut saraf. Hal ini menimbulkan
area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang
rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina
mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manikmanik.
Bila satu dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif.
Retinopati diabetik non proliferatif dapat mempengaruhi fungsi
penglihatan melalui dua mekanisme yaitu: 4
1. Perubahan sedikit demi sedikit pada pembentukan kapiler intra retina
yang menyebabkan iskemik makular.
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema
makular.

Penyebab kebutaan pada retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses


berikut, antara lain:
1. Retinal Detachment (Ablasio Retina)
Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan
menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus. Suatu
saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga retina juga
ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses inilah yang
menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.1

2. Oklusi vaskular retina


Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses
biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan menyebabkan
terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial, namun apabila
terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina dan vitreus sehingga
mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila terjadi perdarahan luas,
maka tajam penglihatan penderitanya dapat sangat buruk hingga mengalami

14
kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan pada retinopati diabetik dengan
oklusi vena sentral, karena banyaknya dinding vaskular yang lemah.1
Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina. Arteri
yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai darah yang
berisi nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami hipoksia dan
terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan menyebabkan
penderitanya mengeluh penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan
pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina
berwarna pucat.1

3. Glaukoma
Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum
jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada
retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk sehingga
menambah tekanan intraokular.1

2.2.5 Gambaran Klinis


Adapun gejala subjektif dari retinopati diabetes non proliferatif adalah:10
 Penglihatan kabur
 Kesulitan membaca
 Penglihatan tiba-tiba kabur pada satu mata
 Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
 Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetes non proliferative


diantaranya adalah: 10
1. Mikroaneurisma
Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah
vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat pembuluh
darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini sering tidak terlihat.
Mikroaneurisma merupakan kelainan diabetes mellitus dini pada mata .

15
Gambar 2.7 Mikroaneurisma dan perdarahan intraretina

2. Dilatasi pembuluh darah balik


Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya yang ireguler dan
berkelok-kelok. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang- kadang
disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.

Gambar 2.8 Dilatasi pembuluh darah balik

3. Perdarahan
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat
memberikan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil.
Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau
pecahnya kapiler.

16
Gambar 2.9 Perdarahan pada retinopati diabetik nonproliferatif

4. Hard eksudat
Hard eksudat merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus
yaitu ireguler dan berwarna kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat berupa
pungtata, kemudian membesar dan bergabung.

Gambar 2.10 Hard Eksudat Di Fovea


5. Soft exudate
sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat
difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi
dan dihubungkan dengan iskemia retina.

17
Gambar 2.11 Cotton Wool Spots
6. Edema retina
Edema retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di
daerah makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak
sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat
intra retina. Dapat berbentuk zona-zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk
bundar disekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina.
Edema makular signifikan secara klinis (Clinically significant macular
oedema (CSME)) jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini:
 Edema retina 500 µm (1/3 diameter diskus) pada fovea sentralis.
 Hard eksudat jaraknya 500 µm dari fovea sentralis, yang berhubungan
dengan retina yang menebal.
 Edema retina yang berukuran 1 disk (1500 µm) atau lebih, dengan jarak
dari fovea sentralis 1 disk.
7. Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi )
pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok dan ireguler. Mula–mula
terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal
kemudian ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun
perdarahan badan kaca.

18
Gambar 2.12 Neovaskularisasi
2.2.6 Diagnosis Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan
Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold standard bagi penyakit ini.
Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) dapat digunakan
untuk menentukan jika pengobatan laser diindikasikan. FFA diberikan dengan
cara menyuntikkan zat fluorresens secara intravena dan kemudian  zat tersebut
melalui pembuluh darah akan sampai di fundus. Kemudian fundus dinilai dengan
alat FFA.1

2.2.7 Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya yang
harus dilakukan bersama untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan
juga untuk memperlambat perburukan retinopati. Tujuan utama pengobatan
retinopati diabetic ialah untuk mencegah terjadinya kebutaan permanen.1
Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetic saat ini meliputi:1

1. Pemeriksaan rutin pada ahli  mata


Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul hingga lima tahun setelah
diagnosis. Sedangkan pada sebagian besar penderita diabetes melitus tipe II telah
menderita retinopati saat didiagnosis diabetes pertama kali. Pasien- pasien ini
harus melakukan pemeriksaan mata saat diagnosis ditegakkan. Pasien wanita
sangat beresiko perburukan retinopati diabetik selama kehamilan. Pemeriksaan
secara umum direkomendasikan pada pasien hamil pada semester pertama dan
selanjutnya tergantung kebijakan ahli matanya.6

Tabel 2.1 Jadwal Pemeriksaan Pasien Hamil Yang Dicurigai DM


Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan
Umur onset Rekomendasi pemeriksaan pertama Follow up rutin minimal

19
DM/kehamilan kali
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai
kebijakan dokter mata
Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina

Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan

Normal atau mikroaneurisma yang sedikit Setiap tahun

Retinopati Diabetik non proliferatif ringan Setiap 9 bulan

Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 6 bulan

Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 4 bulan

Edema makula Setiap 2-4 bulan

Retinopati Diabetik  proliferatif Setiap 2-3 bulan

2. Kontrol gula darah dan kontrol tekanan darah


Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS) pada penderita Diabetes Melitus Tipe II dengan terapi intensif
menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c(glycohemoglobin) sebesar 1% akan
diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%. Hasil
penelitian DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun kontrol
glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati diabetik
secara sempurna, namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati diabetik
dan memburuknya retinopati diabetikyang sudah ada.Secara klinik, kontrol
glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi resiko
kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS
menunjukkan bahwa pasien dengan control tekanan darah secara ketat mengalami
penurunan resiko progresifitas retinopati sebanyak 34%.1

3. Fotoloagulasi dengan sinar laser:

20
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi
retinopati diabetik.Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat
meyebabkan kehilangan penglihatan yang berat jika tidak diterapi.Suatu uji klinik
yang dilakukan oleh National Institute of  Health  di Amerika Serikat jelas
menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser apabila
dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien dengan retinopati
diabetik proliferatif dan edema makula untuk mencegah hilangnya fungsi
penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio retina. Indikasi terapi
fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema macula dan
neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior.
4. Injeksi Anti VEGF
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah
studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk
degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita
melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh dalam
waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya
memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis.Avastin
merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah
pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi
vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan okuler,
avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars plana
dengan dosis 0,1 mL.Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin yang 
khusus dimodifikasi untuk penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis
0,05 mL.1
5. Vitrektomi pada perdarahan vitreus dan ablasio retina
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
(opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif.Vitrektomi dapat
juga membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi
pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi,
RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.1

2.2.8 Komplikasi10

21
1. Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling
sering.Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon
terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada
mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik
iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat
pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya
rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan
timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama
setelah dilakukan operasi.

2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang
terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan
jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini
adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik
pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah  retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada

22
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.

3. Perdarahan vitreus rekuren


Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik
proliferatif.Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada
retina hingga ke rongga vitreus.Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai
struktur yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan
perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-
hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior,
middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi
saat perdarahan vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif,
pasien biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi
direk secara jauh akanmenampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan
sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah
jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek
menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu
untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.

4.  Ablasio retina


Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari
lapisan pigmen epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa
menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau
kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur.

2.2.9 Diagnosa Banding

23
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vascular retina lainnya,
adalah hipertensive retinopathy. Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan
karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita
hipertensi. Karakteristik utama pada diabetik retinopati yaitu perubahan parenkim
dan vaskuler retina dimana pada retina ditemukan mikroaneurismata,
perdarahannya dalam bentuk bercak dan titik serta edema sirsinata, adanya edema
retina dan gangguan fungsi makula serta vaskularisasi retina dan badan kaca..
Sehingga dengan pemeriksaan laboratorium lengkap, funduskopi dan Angiografi
fluorescein akan ditemukan kelainan-kelainan pada retinopati diabetik yang
berbeda dengan retinopati hipertensif diantaranya pada retinopati hipertensif tidak
ada mikroaneurisma.Kelainan makula: pada retinopati hipertensif makula menjadi
star-shaped, sedangkan pada retinopati diabetik mengalami edema.Kapiler pada
retinopati hipertensif menipis, sedangkan retinopati diabetik menebal (beading).7

2.2.10 Prognosis
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan
atau menunda retinopati. Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan
tekanan darah disesuaikan <140/85 mmHg). Tanpa pengobatan, Detachment
retinal tractional dan edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang
berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi
walaupun diberi terapi optimum.1

2.3 RETINOPATI HIPERTENSI


Retinopati hipertensi adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah
retina akibat tekanan darah tinggi. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh
Marcus Gunn pada kurun abad ke-19 pada sekelompok penderita hipertensi dan
penyakit ginjal.2,8
Sejak tahun 1990, beberapa penelitian epidemiologi telah dilakukan pada
sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi
dan didapatkan bahwa kelainan ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun ke atas.
Prevalensi yang lebih tinggi juga ditemukan pada orang berkulit hitam
berbanding orang kulit putih berdasarkan insiden kejadian hipertensi yang lebih
banyak ditemukan pada orang berkulit hitam.8

24
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak teratur, eksudat
pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat
berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang
tajam, fenomena crossing, atau sklerosis pembuluh darah.2
2.3.1 Patogenesis
Tahapawal, pembuluh darah retina akan mengalami penyempitan (spasme).
Penyempitan pembuluh darah ini tampak sebagai pembuluh darah (terutama
arteriol retina) yang berwarna lebih pucat, kaliber pembuluh darah yang menjadi
lebih kecil atau ireguler karena spasme lokal, dan percabangan arteriol yang
tajam.2 Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya
penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan
degenerasi hialin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriol yang lebih
berat dan perubahan pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai
arteriovenous nicking.8 Terjadi juga perubahan refleks cahaya, dimana pada
pemeriksaan oftalmoskopi refleks cahaya yang terlihat menjadi lebih difus atau
kurang terang dari seharusnya.
Apabila dinding arteriol diinfitrasi oleh sel lemak dan kolesterol akan
menjadi sklerosis. Progresi yang lebih lanjut dari sklerosis dan hialinisasi
menyebabkan refleks cahaya menjadi lebih difus dan warna dari arteriol retina
menjadi merah kecoklatan hal ini disebut copper wire. Sklerosis yang lebih lanjut
pada vaskularisasi retina meningkatkan densitas optik sehingga menyebabkan
fenomena silver wire .8,9
Kelainan pada pembuluh darah ini dapat mengakibatkan kelainan pada
retina yaitu retinopatihi pertensi. Retinopati hipertensi dapat berupa perdarahan
atau eksudat retina yang pada daerah makula dapat memberikan gambaran seperti
bintang (star figure). Eksudat retina tersebut dapat berbentuk cotton wool patches
yang merupakan edema serat saraf retina akibat mikroinfark sesudah
penyumbatan arteriol, biasanya terletak sekitar 2-3 diameter papil di dekat
kelompok pembuluh darah utama sekitar papil, eksudat pungtata yang tersebar,
atau eksudat putih pada daerah yang tak tertentu dan luas.2

25
Perubahan pada sirkulasi retina pada fase akut melibatkan arteriol terminal
dibandingkan dengan arteriol utama, bila arteriol utama sudah terlibat maka ini
adalah respon kronik terhadap hipertensi.9
2.3.2 Klasifikasi Retinopati Hipertensi
Klasifikasi retinopati hipertensi di bagian Ilmu Penyakit Mata, RSCM
adalah sebagai berikut:2
1. Tipe 1: fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati, tidak ada sklerosis,
dan terdapat pada orang muda. Pada funduskopi, arteri menyempit dan pucat,
arteri meregang dan percabangan tajam, perdarahan ada atau tidak ada,
eksudat ada atau tidak ada.
2. Tipe 2: fundus hipertensi dengan atau tanpa retinopati sklerosasenil, terdapat
pada orang tua. Pada funduskopi, pembuluh darah tampak mengalami
penyempitan, Perdarahan retina ada atau tidak ada, tidak ada edema papil.
3. Tipe 3: fundus dengan retinopati hipertensi dengan arterio sklerosis, terdapat
pada orang muda. Padafunduskopi, penyempitan arteri, kelokan bertambah
fenomena crossing, perdarahan multipel, cotton wool patches, makulastar
figure.
4. Tipe 4: hipertensi yang progresif. Pada funduskopi, edema papil, cotton wool
patches, hard eksudat, danstar figure exudate yang nyata.

Klasifikasi retinopati hipertensi menurut Scheie, adalah sebagai berikut:2,8,3


1. Stadium I: terdapat penciutan setempat pada pembuluh darah kecil.
2. Stadium II: penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan kadang-
kadang penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri
tegang, membentuk cabang keras.
3. Stadium III: lanjutan stadium II, dengan eksudat cotton, dengan perdarahan
yang terjadi akibat diastol di atas 120 mmHg, kadang-kadang terdapat
keluhan berkurangnya penglihatan.
4. Stadium IV: seperti stadium III dengan edema papil dengan eksudat star
figure, disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastol kira-kira
150 mmHg.

26
Gambar 2.13 Retinopati Hipertensi10

2.3.3 Diagnosis danTatalaksana


Diagnosis retinopati hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemerisksaan fisik. Selain itu pemeriksaan penunjang seperti funduskopi,
pemeriksaan visus, pemeriksaan tonometri terutama pada pasien lanjut usia
diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Pemeriksaan laboratorium juga
penting untuk menyingkirkan penyebab lain retinopati selain dari hipertensi.
Hipertensi dan perubahan arteriosklerosis pada fundus diketahui melalui
pemeriksaan funduskopi, dengan pupil dalam keadaan dilatasi.8
Penatalaksanaan yang paling utama adalah mengatasi hipertensi meliputi
perubahan gaya hidup dan kombinasi dengan terapi medikamentosa yaitu obat-

27
obatan antihipertensi. Penurunan tekanan darah diharapkan dapat mencegah
perburukan yang disebabkan oleh kondisi iskemik yang dapat merusak nervus
optikus.9

2.4 RETINOPATI PREMATURITAS


2.4.1 Kausa
Retinopati prematuritas adalah suatu retinopati vasoproliferatif yang
mengenai bayi prematur dan bayi berat lahir rendah.1 Retina merupakan jaringan
yang unik karena vaskularisasi baru terbentuk pada usia empat bulan setelah
gestasi. Pada kehamilan minggu ke 34, pembuluh darah dalam mata berkembang
sempurna dan retina mempunyai peredaran darah yang sempurna. Vaskularisasi
yang tidak lengkap atau inkomplit sangat rentan terhadap kerusakan akibat
oksigen.

Gambar 2.14 Waktu Pembentukan Vaskularisasi Retina4


Avaskular retina akan memproduksi VEGF (Vascular Endothel Growth
Factor) yang in utero merupakan stimulus bagi migrasi pembuluh darah pada
pembentukan retina. Pada kelahiran prematur, produksi VEGF akan ditekan oleh
hiperoksia dan migrasi pembuluh darah terhenti. Selanjutnya peningkatan
kebutuhan metabolik pada mata yang tumbuh menyebabkan produksi VEGF yang
berlebihan yang mengakibatkan komplikasi neovaskular dari retinopati
prematuritas.4

28
American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Ophthalmology (AAO) padatahun 2014 merekomendasikan bahwa bayi dengan
berat lahir< 1500 gram atau usia gestasi kurang dari 32 minggu, dengan atau
tanpa terapi oksigen dan bayi dengan berat lahir 1500-2000 gram atau usia
gestasi lebih dari 32 minggu dengan keadaan klinis yang tidak stabil dan
membutuhkan alat penunjang paru-jantung untuk dilakukan skrining atau deteksi
dini retinopati prematuritas.6

2.4.2 Risiko Terjadinya Retinopati Prematuritas2


1. pernafasan berhenti (apnea)
2. penyakit jantung
3. kadar CO2 tinggi dalam darah
4. infeksi
5. keasaman darah rendah
6. gangguan pernafasan
7. bradikardi
8. transfuse

2.4.3 Gejala
Gejala didapat pada 5 stadium2:
 Stadium I: Pertumbuhan pembuluh darah ringan yang abnormal. Biasanya
menjadi baik tanpa pengobatan dan tidak memberikan akibat buruk pada
jangka waktu yang lama.
 Stadium II: Pertumbuhan pembuluh darah abnormal ringan. Biasanya
menjadi baik tanpa diobati dan tidak memberikan akibat dalam jangka
waktu yang lama.
 Stadium III: pertumbuhan pembuluh darah abnormal berat. Pada stadium
ini diperlukan pengobatan supaya tidak memberikan risiko tinggi dalam
jangka waktu yang lama.
 Stadium IV: pertumbuhan pembuluh darah sangat abnormal dengan
adanya ablasi retina. Ini memerlukan pengobatan segera supaya tidak
terjadi kebutaan.

29
 Stadium V: adanya abrasive retina total, memerlukan pengobatan dan
dapat berjalan menjadi gangguan penglihatan atau buta.

Gambar 2.15 Gambaran Retinopati Prematuritas dan Stadiumnya4


Gejala retinopati prematuritas yang berat:
 Gerakan mata abnormal
 Juling
 Rabun dekat berat
 Leukokorea

2.4.4 Pengobatan Retinopati Prematuritas2


Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan penglihatan. Pada pasien
tertentu diperlukan pengobatan segera. Pada umumnya, retinopati prematuritas
tidak memerlukan pengobtan dan akan membaik sendiri. Pada stadium 3 dan lebih
lanjut, pengobatan diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah
abnormal pada retina. Bentuk-bentuk pengobatannya adalah:

30
 Terapi krio, memakai memakai suhu beku untuk membekukan bagian
retina yang dipengaruhi retinopati prematuritas, yang akan menghentikan
pembuluh darah tidak sehat dalam mata.
 Terapi laser, seperti terapi krio, tetapi digunanakan untuk membakar
bagian retina yang dipengaruhi retinopati prematuritas. Terapi laser
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi krio.
 Bedah retina, dilakukan pada stadium 4 dan 5, dimana retina mulai lepas
atau ablasi total.

BAB 3
KESIMPULAN
Retina merupakan suatu struktur yang sangat kompleks dan sangat
terorganisasi, dengan kemampuan untuk memulai pengolahan informasi
penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan melalui nervus optikus ke
korteks visual.
Beberapa gangguan dapat terjadi pada retina, salah satunya adalah
retinopati. Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh
radang. Pada retinopati, akan didapatkan kelainan retina yang berhubungan
dengan penurunan penglihatan. Retinopati yang paling sering terjadi adalah
retinopati diabetic, retinopati hipertensi, dan retinopati prematuritas.

Diagnosis retinopati meliputi anamnesis dan pemeriksaan fundoskopi,


Pemeriksaan Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold standard bagi
penyakit ini. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) dapat

31
digunakan untuk menentukan jika pengobatan laser diindikasikan. Pembagian
stadium pada retinopati berguna dalam membantu memudahkan
pengklasifikasian, penatalaksanaan dan penentuan prognosis penyakit.

Penatalaksaan pada retinopati diabetik meliputi: pengontrolan glukosa


darah, fotoloagulasi dengan sinar laser, injeksi Anti VEGF, vitrektomi pada
perdarahan vitreus dan ablasio retina. Pada retinopati hipertensi, penatalaksanaan
yang paling utama adalah mengatasi hipertensi yang meliputi perubahan gaya
hidup dan kombinasi dengan terapi medikamentosa yaitu obat-obatan
antihipertensi. Pada retinopati prematiritas dapat dilakukan terapi krio, terapi
laser, bedah retina, dilakukan pada stadium 4 dan 5, dimana retina mulai lepas
atau ablasi total.

DAFTAR PUSTAKA

1.  Pandelaki K. Sudoyo AW, Setyiohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S.


Retinopati Diabetik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Penerbit Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hal. 1889-1893.
2. Ilyas, H.S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2015. hal. 230-244
3. Levanita, S. Prevalensi Retinopati Hipertensi di RSUP H. Adam Malik Medan
Periode Agustus 2008-Agustus 2010. Medan: Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara. 2010.
4. Vaughan, DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum, Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika. 2000, hal. 211-214.
5. Nema, HV. Text book of Opthalmology, Edition 4. New Delhi: Medical
publishers. 2002. hal. 249-251

32
6. Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreous, Section 12, American
- Academy of Ophtalmologi. United State. 2014-2015. hal. 71-86.
7. Kanski, JJ. Ophthalmology in focus. London: Elsevier. 1998
8. Kanski, JJ.. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6th ed. Elsevier.
London. 2007. hal.577-84
9. Ola, SM. Cellular and Molecular Mechanism of Retinopathy. Riyadh. King
Saud University. Department of Ophthalmology. 2011.
10. Bhavsar, A. Proliferative Retinopathy diabetic .Publish [ Jul 31,2016 ]
available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1225122-
print. diakses tanggal 13 Februari 2017.

33

Anda mungkin juga menyukai