Anda di halaman 1dari 28

GRAVES DISEASE

A.Rahmaan Nur, Rizky Magnadi

I. PENDAHULUAN
Tirotoksikosis adalah keadaan hormon tiroid berlebih, berbeda dengan

hipertiroidisme yang merupakan hasil dari fungsi sekresi berlebih dari tiroid.

Tirotoksikosis disebabkan oleh hipertiroidisme, baik primer, sekunder, atau

tanpa hipertiroidisme. Hipertiroidisme primer dapat disebabkan oleh Graves

disease, toksik multinodular goiter, toksik adenoma, metastasis karsinoma tiroid

fungsional, pengaktifan mutasi reseptor TSH, pengaktifan mutasi Gsα (sindrom

McCune-Albright), struma ovarii, dan kelebihan yodium (fenomena Jod-

Basedow). Namun, penyebab utama dari tirotoksikosis adalah hipertiroidisme

primer yang disebabkan oleh Graves disease, MNG toksik, dan adenoma

toksik.1

Graves disease adalah salah satu contoh hipertiroidisme yang cukup sering

diantara kejadian tirotoksikosis. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi dari

faktor genetik dan lingkungan. Manifestasi dari penyakit ini antara lain

pembesaran kelenjar tiroid, takikardia, tremor, miksedema pretibial, dan

kelainan pada mata. Kelainan pada mata (oftalmopati) ini meliputi keterlibatan

jaringan lunak, retraksi kelopak mata, proptosis, neuropati optik, dan myopati

restriktif.1,2 Secara umum, mata pasien dengan hipertiroidisme terlihat melotot.

Gejala pada mata tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas dengan

singkatan “NOSPECS”. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit

pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata

dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler


akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan

pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran

otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.

Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan

nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.1,3

Retinopati diabetes (RD) adalah salah satu komplikasi mikrovaskular dari

diabetes melitus (DM). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan

paling sering ditemukan pada usia dewasa, dimana pasien diabetes memiliki

risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebuataan dibanding nondiabetes.

Penurunan penglihatan yang terjadi akibat masalah vaskularisasi retina terjadi

secara progresif. Gejala subjektif yang umumnya ditemukan dapat berupa

kesulitan membaca, penglihatan kabur, penglihatan tiba-tiba menurun pada satu

mata, melihat lingkaran-lingkaran cahaya atau bintik gelap. Secara objektif, pada

RD dapat ditemukan adanya mikroaneurisma terutama pada daerah vena,

perdarahan dalam bentuk titik, garis maupun bercak, dilatasi pembuluh darah

balik dengan lumen ireguler, hard exudate, soft exudates, neovaskularisasi,

edema retina dan hiperlipidemia pada retina.1

II. ANATOMI
1. Anatomi Bola Mata

Bola mata merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki struktur

yang sangat istimewa. Bola mata berbentuk bulat dengan diameter 24 mm

atau lebih kurang 1 inci. Persarafan organ ini pun cukup unik karena saraf

pada mata merupakan satu-satunya saraf yang dapat dilihat (dengan

oftalmoskop) secara in vivo.1


Gambar 1. Anatomi Bola Mata

mata dilapisi oleh 3 lapis jaringan, yaitu sclera, jaringan uvea dan retina.

Sklera merupakan bagian terluar dari bola mata. Sklera berwarna putih dan

tersusun atas kolagen. Sklera sebenarnya berhubungan langsung dengan

kornea pada bagian anteriornya. Kornea bersifat transparan dan memudahkan

cahaya masuk ke dalam mata. Jaringan uvea kaya akan vaskularisasi. Jaringan

uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Lapisan paling dalam bola mata

adalah retina. Retina terdiri atas 10 lapisan dan bertanggung jawab merubah

sinar yang masuk menjadi rangsangan pada saraf optik untuk

diinterpretasikan di otak.1

Bola mata penuh akan cairan. Ada dua cairan yang berebeda terdapat di

bola mata. Vitreous humour mengisi bagian posterior dari bilik vitreous.

Cairan ini merupakan suspense jelly yang menyerupai Jell-O. Sedangakan

aqueous humour mengisi bilik mata depan dan bilik mata belakang. Cairan

ini diproduksi di bilik mata belakang dan mengalir ke bilik mata depan.
Cairan ini kaya akan nutrisi dan membantu komponen avaskular kornea dan

lensa untuk teteap mendapat asupan nutrisi.1

2. Anatomi Retina

Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor penerima

rangsangan cahaya. Perbatasan antara retina dan koroid adalah sel epitel

retina. Lapisan pigmen epithelium (RPE) terletak di permukaan dalam

bulbus. Selama ini, RPE dipercaya hanya memiliki satu fungsi yaitu

menyerap cahaya yang masuk ke mata sehingga dapat meningkatkan kualitas

penglihatan mata. Namun, telah banyak ditemukan fungsi lain dari lapisan

ini. RPE ternyata dapat menjaga integritas struktur dari retina dengan cara

mengfagosit sel-sel fotoresptor yang rusak akibat pajanan dari radikal bebas,

photo-oxidative , dan energi cahaya. Proses fagositosis ini bertujuan untuk

memperbarui sel-sel fotoreseptor yang rusak.1

Gambar 2. Lapisan Retina


Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan

multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola

mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus

siliare, dan berakhir di tepi ora serata.1,2

Retina dibentuk dari lapisan neuroektoderma sewaktu proses

embriologi. Retina berasal dari divertikulum otak bagian depan

(proencephalon). Pertama-tama vesikel optic terbentuk kemudian

berinvaginasi membentuk struktur mangkuk berdinding ganda, yang disebut

optic cup.1,2

Dalam perkembangannya, dinding luar akan membentuk epitel pigmen

sementara dinding dalam akan membentuk sembilan lapisan retina lainnya.

Retina akan terus melekat dengan proencephalon sepanjang kehidupan

melalui suatu struktur yang disebut traktus retinohipotalamikus

Lapisan-lapisan retina dari luar ke dalam :1,2

1. Epitel pigmen retina.

2. Lapisan fotoreseptor, terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk

ramping dan sel kerucut merupakan sel fotosensitif.

3. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

4. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus kerucut dan

batang.

5. Lapisan pleksiform luar, yaitu lapisan aseluler yang merupakan tempat

sinapsis fotoreseptor dengan sel bipolar dan horizontal.

6. Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan

sel Muller. Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps sel

bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

8. Lapisan sel ganglion yang merupakan lapisan badan sel dari neuron kedua.

9. Lapisan serabut saraf merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke

arah saraf optik. Di dalam lapisan ini terdapat sebagian besar pembuluh

darah retina.

10. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan

badan kaca.

Lapisan fotoreseptor adalah lapisan yang berperan sangat besar dalam

penglihatan gelap dan terang. Integritas lapisan ini dapat menentukan proses

penglihatan yang baik. Pada bagian tengah retina terdapat bagian pucat yang

kaya akan xantofil. Bagian ini disebut makula.1,2

a. Vaskularisasi Retina

Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu arteri retina sentralis

yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan khoriokapilari yang

berada tepat di luar membrana Bruch. Arteri retina sentralis

menvaskularisasi dua per tiga sebelah dalam dari lapisan retina (membran

limitans interna sampai lapisan inti dalam), sedangkan sepertiga bagian

luar dari lapisan retina (lapisan plexiform luar sampai epitel pigmen retina)

mendapat nutrisi dari pembuluh darah di koroid. Arteri retina sentralis

masuk ke retina melalui nervus optik dan bercabang-cabang pada

permukaan dalam retina. Cabang-cabang dari arteri ini merupakan arteri

terminalis tanpa anastomose. Lapisan retina bagian luar tidak mengandung


pembuluh-pembuluh kapiler sehingga nutrisinya diperoleh melalui difusi

yang secara primer berasal dari lapisan yang kaya pembuluh darah pada

koroid.1,2

Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak

berlubang, membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh

koroid dapat ditembus.Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi

lapisan epitel pigmen retina. Fovea sentralis merupakan daerah avaskuler

dan sepenuhnya tergantung pada difusi sirkulasi koroid untuk nutrisinya.

Jika retina mengalami ablasi sampai mengenai fovea maka akan terjadi

kerusakan yang irreversibel.1,2

III. Graves Disiase

1. Definisi

Graves disease adalah salah satu contoh hipertiroidisme yang cukup sering

diantara kejadian tirotoksikosis. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi dari

faktor genetik dan lingkungan. Manifestasi dari penyakit ini antara lain

pembesaran kelenjar tiroid, takikardia, tremor, miksedema pretibial, dan

kelainan pada mata. Kelainan pada mata (oftalmopati) ini meliputi

keterlibatan jaringan lunak, retraksi kelopak mata, proptosis, neuropati optik,

dan myopati restriktif.1,2

2. Epidemiologi dan Insiden

Graves disease memiliki prevalensi sekitar 60-80% dari kejadian

tirotoksikosis. Prevalensinya bervariasi pada tiap populasi, terutama

bergantung pada asupan yodium. Penyakit ini timbul pada 2% wanita, namun

hanya sepersepuluhnya saja pada pria. Penyakit ini jarang timbul sebelum
adolesens dan biasanya muncul antara usia 20 sampai 50 tahun, namun pada

usia lebih tua juga dapat terjadi.1,2

3. Morfologi

Pada kasus Graves disease yang tipikal, kelenjar tiroid membesar

secara difus akibat adanya hipertrofi dan hiperplasia difus sel epitel folikel

tiroid. Kelenjar biasanya lunak dan licin, dan kapsulnya utuh.1,2 Secara

mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus yang tidak diobati tampak tinggi

dan kolumnar serta lebih ramai daripada biasa. Meningkatnya jumlah sel

ini menyebabkan terbentuknya papila kecil, yang menonjol ke dalam lumen

folikular. Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan yang

ditemukan pada karsinoma papilar. Koloid di dalam lumen folikel tampak

pucat, dengan tepi berlekuk-lekuk. Infiltrat limfoid, terutama terdiri atas sel

T dengan sedikit sel B dan sel plasma matang, terdapat di seluruh

intersisium, pusat germinativum sering ditemukan. Terapi praoperasi

mengubah morfologi tiroid, sebagai contoh pemberian yodium pascaoperasi

menyebabkan involusi epitel dan akumulasi koloid akibat terhambatnya

sekresi tiroglobulin. Jika terapi dilanjutkan, kelenjar mengalami fibrosis.2

Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid

generalisata. Pada pasien dengan oftalmopati, jaringan orbita tampak

edematosa akibat adanya glikosaminoglikan hidrofilik. Selain itu, terjadi

infiltrasi oleh limfosit, terutama sel T. Otot orbita mengalami edema pada

awalnya tetapi kemudian mengalami fibrosis pada perjalanan penyakit

tahap lanjut. Dermopati, jika ada, ditandai dengan menebalnya dermis

akibat pengendapan glikosaminoglikan dan infiltrasi limfosit.2,3


4. Patogenesis

Sama halnya dengan hipotiroidisme autoimun, kombinasi dari faktor

lingkungan dan genetik, misalnya polimorfisme gen HLA-DR, CTLA-4, dan

PTPN22 (regulator sel T) berkontribusi terhadap Graves disease. Kejadian

penyakit ini pada kembar monozigotik adalah 20-30%, sedangkan pada

kembar dizigotik <5%. Bukti tak langsung menunjukkan bahwa stress

merupakan faktor penting yang memengaruhi sistem neuroendokrin dan

sistem imun. Merokok hanya menimbulkan risiko minor terhadap Graves

disease dan risiko mayor untuk pembentukan opthalmopati. Peningkatan

asupan yodium secara cepat akan memperburuk penyakit ini, dan peluang

meningkat tiga kali lipat pada periode post-partum.1,3


Hipertiroidisme pada Graves disease disebabkan oleh thyroid-

stimulating immunoglobulin (TSI) yang disintesis di kelenjar tiroid, seperti di

nodus limpa dan sumsum tulang. Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan

bioassay atau TSH-binding inhibitor immunoglobulins (TBII) assay.

Keberadaan TBII pada pasien dengan tirotoksikosis mengaburkan

keberadaan TSI, assay tersebut berguna untuk memantau wanita hamil

dengan Graves disease karena kadar TSI yang tinggi dapat melewati plasenta

dan menyebabkan tirotoksikosis neonatal. Antibodi TPO tampak pada 80%

kasus dan merupakan penanda siap ukur dari autoimunitas. Untuk jangka

panjang, hipotiroidisme autoimun spontan terjadi pada 15% kasus.1,4

Sitokin memegang peranan penting dalam opthalmopati terkait tiroid.

Terdapat infiltrasi otot ekstraokuler akibat aktivasi sel T, pelepasan sitokin

(IFN-γ, TNF, dan IL-1) menghasilkan aktivasi fibroblas dan peningkatan

sintesis glikosaminoglikan yang menangkap air, sehingga menuju pada

bengkak otot. Pada kasus yang berkepanjangan, dapat terbentuk fibrosis


ireversibel pada otot. Fibroblas orbital cukup sensitif terhadap sitokin.

Patogenesis dari opthalmopati terkait tiroid sebenarnya masih belum jelas,

namun terdapat bukti TSH-R yang merupakan autoantigen yang

diekspresikan pada orbital dan dapat dikaitkan dengan penyakit tiroid

autoimun. Peningkatan lemak adalah penyebab tambahan dari ekspansi

jaringan retrobulbar. Peningkatan tekanan intraorbital dapat menuju pada

proptosis, diplopia, dan neuropati optik.1

5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda pada Graves disease sangat mirip dengan

tirotoksikosis. Manifestasi klinis yang muncul bergantung pada keparahan

tirotokskosis, lamanya penyakit, toleransi individu terhadap kelebihan

hormon tiroid, dan usia pasien. Pada usia tua, ciri-ciri tirotoksikosis dapat

tersembunyi, namun yang khas adalah kelelahan dan penurunan berat badan,

disebut tirotoksikosis apatetik.1,3,5

Tirotoksikosis dapat menyebabkan penurunan berat badan meskipun

selera makan meningkat akibat kenaikan laju metabolik. Kenaikan berat

badan terjadi pada 5% pasien, karena peningkatan asupan makanan.

Manifestasi lainnya adalah hiperaktivitas, gelisah, takut, dan iritabilitas,

menyebabkan mudah lelah pada beberapa pasien. Insomnia dan gangguan

konsentrasi sering terjadi, apatetik tirotoksikosis dapat menjadi rancu pada

depresi lansia. Tremor halus merupakan temuan yang sering ditemukan,

mudahnya dengan menarik jari sambil merasakan ujung jari pada telapak

tangan. Gangguan neurologis lainnya meliputi hiperrefleksia, lemah otot, dan

myopati proksimal tanpa fasikulasi. Chorea merupakan ciri yang sangat


jarang. Tirotoksikosis terkadang dikaitkan dengan paralisis periodik akibat

hipokalemia, sering terjadi pada pria Asia.1,4

Tirotoksikosis biasanya dikaitkan dengan kejadian:

- Peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor di urin dan feses.


- Demineralisasi tulang, dipantau dengan densitometri tulang.
- Fraktur patologis pada wanita usia tua.
- Osteitis fibrosa, osteomalasia, dan osteoporosis.5

Hiperkalsemia dapat terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis.

Konsentrasi total kalsium serum meningkat pada 27% pasien, dan terjadi

kenaikan kalsium serum terionisasi sekitar 47% pasien. Konsentrasi dari

alkalin fosfatase serum yang tidak tahan panas dan osteokalsin juga

meningkat. Temuan ini menunjukkan hiperparatiroidisme primer, namun

konsentrasi dari PTH imunoreaktif di serum menurun pada pasien tirotksik

dengan hiperkalsemia.5

Fungsi kardiovaskular berubah akibat peningkatan kebutuhan sirkulasi

yang disebabkan oleh hipermetabolisme dan perlu mendisipasi panas yang

terbentuk. Pada saat istirahat, resistensi perifer vaskular menurun dan curah

jantung meningkat sebagai akibat peningkatan isi sekuncup dan denyut

jantung. Hormon tiroid yang berlebih dapat memberikan efek inotropik

langsung. Keluhan kardiovaskular yang paling sering terjadi adalah sinus

takikardia, sering berkaitan dengan palpitasi, terkadang disebabkan oleh

takikardia supraventrikular. Curah jantung yang tinggi menyebabkan pulsasi

bounding, tekanan pulsasi melebar, dan murmur sistolik aorta yang dapat
memperburuk angina pada gagal jantung di usia tua atau usia muda dengan

kelainan jantung. Fibrilasi atrial sering terjadi pada pasien >50 tahun.5

Kulit biasanya hangat dan lembab, biasanya pasien mengeluh

berkeringat dan tidak tahan panas terutama pada cuaca panas/hangat. Selain

itu dapat pula terjadi eritema palmar, onikolisis, pruritus, urtikaria, dan

hiperpigmentasi difus. Tekstur rambut tetap baik, namun pada 40% pasien

terjadi alopesia difus, yang menetap meskipun telah dikembalikan ke eutiroid.

Waktu transit gastrointestinal berkurang, menyebabkan peningkatan

frekuensi feses, seringkali diare atau steatorea ringan. Efek langsung dari

hormon tiroid pada resorpsi tulang menyebabkan osteopenia pada

tirotoksikosis lama. Hiperkalsemia ringan timbul pada 20% kasus, namun

lebih sering hiperkalsiuria. Terdapat peningkatan kejadian fraktur pada

penderita dengan riwayat tirotoksikosis.5,6

Laju konfersi androstenedion menjadi testosteron, estron, dan estradiol

dan testosteron menjadi DHT meningkat. Peningkatan konversi androgen

menjadi estrogen dapat diperkirakan sebagai mekanisme ginekomastia dan

disfungsi seksual pada 10% pria dengan tirotoksikosis dan mekanisme

amenorrhea pada wanita. Mekanisme lain yang menyebabkan perubahan

menstruasi adalah disrupsi dari amplitudo dan frekuensi dari pulsasi LH/FSH

akibat pengaruh hormon tiroid pada pensinyalan GnRH. Selain itu ada pula

yang mengatakan sebagai akibat peningkatan prolaktin yang menekan

hormon seks.1,5
Tiroid akan membesar hingga dua sampai tiga kali normal,

konsistensinya padat, dan terdapat thrill atau bruit akibat peningkatan

vaskularisasi kelenjar dan sirkulasi hiperdinamik.1,3

Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan

lunak, retraksi kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.

Fase dari perkembangan penyakit ini adalah fase kongestif dan fibrosis. Pada

fase kongestif (inflamasi), mata merah dan nyeri, dapat berulang selama 3

tahun dan hanya 10% pasien yang mengalami masalah penglihatan jangka

panjang yang serius. Pada fase fibrosis, mata tenang, meskipun ada defek

motilitas yang tidak nyeri.7

1. Keterlibatan Jaringan Lunak


Gejala meliputi grittiness (merasa seperti ada benda asing), fotofobia,

lakrimasi, dan rasa tidak nyaman di retrobulbar.7

Tanda yang dapat dilihat pada pasien antara lain:


- Hiperemia epibulbar.

- Periorbital swelling, disebabkan oleh edema dan infiltrasi dibalik septum

orbital, dapat disebabkan oleh kemosis dan prolaps lemak retroseptal ke

kelopak mata.
- Keratokonjungtivitis limbus superior.

2. Retraksi Kelopak
Retraksi kelopak mata atas dan bawah terjadi pada kurang lebih 50% pasien

dengan Graves disease dengan mekanisme:

- Kontraktur fibrosis dari levator yang berkaitan dengan perlekatan dengan

jaringan orbital. Fibrosis pada otot rektus inferior dapat menyebabkan

retraksi kelopak mata bawah.

- Reaksi berlebih terhadap levator rektus superior sebagai respons terhadap

hipotrofi akibat fibrosis dan kekakuan otot rektus inferior. Reaksi ini dapat

pula disebabkan secara tidak langsung oleh fibrosis otot rektus superior.

- Reaksi berlebih dari otot Muller sebagai akibat dari overstimulasi simpatis

karena kondisi hipertiroid.7


Tanda yang muncul yaitu ketika sklera terlihat di bawah limbus. Tanda lain

yang dapat ditemukan antara lain:

- Tanda Dalrymple

- Tanda Kocher

- Tanda Von Graefe


3. Proptosis
Propotosis dapat terjadi unilateral, bilateral, aksial, simetris, atau asimetris, dan

seringkali permanen. Proptosis berat dapat menyebabkan keratopati eksposur,

ulkus kornea, dan infeksi.7

4. Myopati Restriktif
Sebagian pasien (30-50%) dengan penyakit mata tiroid mengalami

oftalmoplegia dan dapat menjadi permanen. Motilitas okular dibatasi oleh

edema inflamasi dan fibrosis. Tekanan intraokular dapat meningkat karena

adanya penekanan okular oleh otot rektus inferior yang fibrosis.7 Bentuk

kelainan motilitas okular antara lain:


- Defek elevasi akibat kontraktur fibrosis pada otot rektus inferior, yang

menyerupai kelumpuhan otot rektus superior.

- Defek abduksi akibat fibrosis otot rektus medialis, yang mencetuskan

kelumpuhan nervus VI.

- Defek depresi sebagai akibat tidak langsung dari fibrosis otot rektus superio

- Defek aduksi akibat fibrosis otot rektus lateralis.7

5. Neuropati Optik
Neuropati optik jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang serius akibat

penekanan nervus optikus atau pembuluh darah pada apeks orbital akibat

kongesti dan pembesaran otot rektus. Penekanan tersebut dapat terjadi tanpa

proptosis yang signifikan, tetapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan

berat yang dapat dicegah. Gangguan yang terjadi biasanya pada penglihatan

sentral.7
Tanda-tanda yang dapat dilihat dari pasien antara lain:

- Penurunan visus, berkaitan dengan RAPD, desaturasi warna, dan

penurunan kemampuan membedakan terang.

- Gangguan lapang pandang dapat berupa sentral atau parasentral dan dapat

pula terjadi bersamaan dengan defek bundel serat saraf. Jika terdapat

peningkatan tekanan intraokular, sulit dibedakan dengan glaukoma sudut

terbuka primer.

- Diskus optik biasanya normal, namun terkadang bengkak atau atrofi.7

Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid

Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan

NOSPECS):

Kelas Uraian:

0 : No signs and symptoms. Tidak ada gejala dan tanda.


1 : Only signs no symptoms. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid

retraction, stare, lid lag)

2 : Soft tissue involvement with signs and symptoms. Perubahan jaringan lunak

orbita, dengan tanda dan gejala seperti lakrimasi, fotofobia, dan pembengkakan

palpebra atau konjungtiva.

3 : Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer).

4 : Extraocular muscles involvement. Keterlibatan otot-otot ekstra okular.

5 : Corneal involvement. Perubahan pada kornea (keratitis).

6 : Sight loss due to optic nerve involvement. Kebutaan (kerusakan nervus optikus)8

- Kelas 1, terjadinya spasme otot

palpebra superior dapat menyertai

keadaan awal tirotoksikosis Graves yang

dapat sembuh spontan bila keadaan

tirotoksikosisnya diobati secara adekuat.

Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada

otot-otot dan jaringan orbita.

- Kelas 2 ditandai dengan keradangan

jaringan lunak orbita disertai edema

periorbita, kongesti dan pembengkakan

dari konjungtiva (khemosis).

- Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel

exophthalmometer.
- Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif

terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran

menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka

akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.

- Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).

- Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus optikus, yang akan menyebabkan

kebutaan.1

Patofisiologi Oftalmopati Graves

- Inflamasi otot ekstraokular, yaitu adanya infiltrasi selular yang pleomorfik,

berhubungan dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi

osmotik air. Otot-otot tersebut membesar hingga dapat mencapai 8 kali normal,

lalu menekan nervus optikus. Degenerasi dari serat otot menyebabkan fibrosis,

sehingga terjadi myopati restriktif dan diplopia.7

- Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast dari

jaringan intersisial, lemak orbital, dan kelenjar lakrimal dengan penumpukan

glikosaminoglikan dan retensi cairan. Hal ini menyebabkan volume orbital

meningkat dan secara tidak langsung meningkatkan tekanan intraorbital yang

menyebabkan retensi cairan berlebih.7

6. Diagnosis Banding

Diagnosis dari Graves disease langsung dilihat dari konfirmasi

biokimia tirotoksikosis, goiter difus pada palpasi, opthalmopati, TPO dan

antibodi TSH-R positif, dan sering dengan riwayat individu dan keluarga

dengan penyakit autoimun. Untuk pasien dengan tirotoksikosis yang tidak


menunjukkan mayoritas gejala tersebut, maka diagnostik yang paling penting

adalah scan radionuklida (99mTc, 123I, atau 131I) pada tiroid, yang membedakan

difusnya dengan penyakit nodul tiroid, tiroiditis destruktif, jaringan tiroid

ektopik, dan tirotoksikosis tiruan. Pada hipertiroidisme sekunder akibat

tumor TSH penyekresi pituitari, terdapat pula goiter difus. Manifestasi klinis

dari tirotoksikosis dapat menyerupai kelainan lain, misalnya serangan panik,

mania, feokromositoma, dan penurunan berat badan yang disertai keganasan.1

7. Tatalaksana Oftamolpati Graves

Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on

Graves Orbitopathy, penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki

prinsip antara lain:

a. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan


spesialis mata. Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala
yang bersifat sight threatening seperti penurunan visus, perubahan
intensitas dan kualitas warna, corneal opacity, atau edema makula.
b. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis. Faktor risiko yang
dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah merokok dan disfungsi
tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan efektivitas dari terapi, dan
meningkatkan progresi oftalmopati Graves setelah pemberian terapi
radioiodin untuk hipertiroid. Sebagai prevensi, faktor risiko dapat
diminimalisasi melalui edukasi.
c. Manajemen masalah oleh spesialis mata. Hal yang dapat dilakukan
antara lain penilaian derajat keparahan dan progresivitas dari
oftalmopati Graves, manajemen oftalmopati yang mengancam
penglihatan, dan manajemen oftalmopati derajat sedang-berat.
d. Manajemen oftalmopati ringan. Didalamnya termasuk tatalaksana awal
untuk mencegah terjadinya perburukan penyakit.
e. Keadaan khusus. Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus
dipertimbangkan bila tindakan pembedahan dilakukan.9
Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat
disingkat menjadi TEAR:

- T : Tobacco abstinence
- E : Euthyroidism must be achieved
- A : Artificial tears
- R : Referral to a specialist centre with experience10

Penatalaksanaan terhadap oftalmopati Graves yang timbul dapat dibagi

berdasarkan gejala yang dialami pasien antara lain:

1. Keterlibatan jaringan lunak

Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari adanya

proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis limbic superior.

a. Epibulbar hiperemis

Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/steroid topikal maupun

oral.

b. Keratokonjungtivitis limbus

Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terpajan menjadi

kering. Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk mengurangi keratopati

eksposur bila tidak berespon dengan lubrikan.7,11

2. Retraksi kelopak

Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena dapat

membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi untuk

memperbaiki retraksi yang terjadi.

a. Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan

disinsersi otot Muller.

b. Reseksi retraktor kelopak bawah.

c. Injeksi Botox

Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat digunakan

sebagai tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana definitif.

d. Guanethidine 5% eyedrops

Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi

akibat reaksi berlebih dari otot Muller.

3. Proptosis

Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana

medikamentosa dan pembedahan.

a. Terapi medikamentosa

- Steroid sistemik

Orbitopati fase akut akibat neuropati optik kompresif biasanya ditangani

dengan kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB

prednison. Dosis ini dipertahankan selama 2 hingga 8 minggu sampai

respon klinis terlihat. Dosis kemudian dikurangi sesuai dengan kondisi

pasien, berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik. Injeksi

metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500 ml cairan

isotonis (normal saline) dapat diberikan pada kompresi optik akut.

- Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai ajuvan dari penggunaan steroid, atau

ketika steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan 60% hinggan

70% pasien memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun

rekuren terjadi lebih dari 25% pasien. Perbaikan diharapkan selama 6

minggu, dengan perbaikan maksimal dalam 4 bulan.

- Terapi kombinasi

Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan

prednisolon dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.7,11

b. Dekompresi pembedahan

Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi ketika

terapi non invasif tidak efektif lagi. Dekompresi bertujuan untuk

meningkatkan volume orbit dengan membuang tulang dan lemak disekitar

rongga orbital.

4. Miopati Restriktif

Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan

pembedahan adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan kemampuan

stereoskopik. Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila diplopia menetap

dengan sudut deviasi yang tidak berubah selama 6 bulan.7

5. Neuropati Optik

Penatalaksanaan neuropati optik adalah dengan steroid sistemik, jika tidak

berhasil atau steroid menjadi kontraindikasi, dapat dilakukan dekompresi

orbital.7
8. Komplikasi

Krisis Tiroid (Thyroid Storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat

sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya

krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :

- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.


- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak
diobati secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.1,5

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda

hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :

 Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai


41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
 Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
 Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
 Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare, dan ikterus.1

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari

simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian

menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis

tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita

tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis

tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari


beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah

reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih

sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.1,5

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari

seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu

terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin.

Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada

kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis

pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan

angka kematian perinatal.1,5


DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci
AS, Longo DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA:
McGraw Hill Medical. 2008; 2233-37.
2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL.
Buku ajar patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; 813-15.
3. Moeljanto RD. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. 2009; 2009-15.
4. Matfin G, Kuenzi JA, Guven S. Disorders of endocrine control of growth and
metabolism. In: Porth CM. Pathophysiology-concepts of altered health states.
7th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2005; 975.
5. Thyrotoxicosis. In: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky. Williams textbook
of endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2003.
6. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical
endocrinology. 8th ed. McGraw Hill. 2007.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed.
China: Elsevier. 2011. [ebook]
8. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: New Age
International. 2007; 390-2.
9. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson A et al. Consensus statement of the
European Group on Graves’ Orbitopathy (EUGOGO) on management of GO.
Eur J Endocrinol. 2008; 158: 273-285.
10. Bartalena L, Marcocci C, Tanda L, et al. Management of thyroid eye disease.
Eur J Med Mol Imaging. 2002;29:S458-65.
11. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed.
USA: Mc Graw-Hill. 2007. [ebook]

Anda mungkin juga menyukai