A. Pendahuluan
Tirotoksikosis berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi
yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.
Tirotoksikosis terbagi atas kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan
yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme. Tiroid sendiri diatur oleh kelenjar
lain yang berlokasi di otak, disebut pituitari. Pada gilirannya, pituitari diatur sebagian
oleh hormon tiroid yang beredar dalam darah (suatu efek umpan balik dari hormon
tiroid pada kelenjar pituitari) dan sebagian oleh kelenjar lain yang disebut
hipothalamus, juga suatu bagian dari otak.
B. Anatomi
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin saat akhir bulan pertama kehamilan.
Kelenjar tiroid terletak pada bagian bawah leher yang terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea dua dan tiga. Kapsul Fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasia paratrakea sehingga pada setiap gerakan
menelan akan selalu diikuti oleh terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang
merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan diklinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan dileher berhubungan dengan kelenjar tiroid. Berat
tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium, beratnya berkisar 10-20
gram1.
C. Fisiologi
Tiroid terdiri atas folikel yang merupakan kumpulan dari sel kolumnar. Sel
foliker tersebut mensintesis tiroglobulin (Tg) yang akan disekresiken kedalam lumen
folikel. Tg merupakan glikoprotein. Protein lain yang dihasilkan adalah
tiroperoksidase (TPO). TPO maupun Tg bersifat antigenik, sehingga dapat digunakan
sebagai tanda penyakit, misalnya pada penyakit tiroid autoimun. Hormon utama yaitu
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari
tiroglobulin. Hormon ini dilepaskan jikan tiroglobulin berikatan dengan enzim
khusus.
Hormon tiroid mengandung 59-65% yodium. Hormon T3 dan T4 berasal dari
yodinisasi residu tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid
terjadi dalam beberapa tahap, yaitu tahap trapping, oksidasi, coupling, storage atau
penyimpanan, deiyodinasi, proteolisis dan pengeluaran hormon tiroid1.
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke
dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida
masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel
tiroid kemudian membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin.
Tahap berikutnya adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase.
Selanjutnya terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan
kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon
tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam jumlah yang cukup
untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid terbentuk di dalam tiroglobulin,
keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim protease. Kemudian, T4
dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid.
Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas
yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam
tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap
monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin
ini kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon
tiroid tambahan2.
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master
gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi
TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating
Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP.
Mekanisme ini mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang
disekresikan berlebih, sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah
hormon tiroid tidak mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya2.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti
sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein,
protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya
adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid
meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan
jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran
sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap
pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun pertama
kehidupan pascalahir 2.
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan
metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan
laju metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem
kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan
frekuensi denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain
peningkatan pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada
sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan
sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain2.
D. Definisi
E. Etiologi
G. Gambaran Klinis
Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah
sebagai akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema), keadaan ini
sangat jarang hanya terjadi 2-3% penderita.
Diagnosis pasti dari suatu penyakit hampir diawali oleh kecurigaan klinis.
Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah
FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs maka
hipertiroid dapat ditegakkan.
Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus
harus dilakukan pemeriksaan radioiodine uptake. Bila didapatkan peningkatan uptake
maka diagnosis Grave’s disease dan toxic nodular goiter dapat ditegakkan.
Radioiodine uptake yang rendah didapatkan pada hipertiroid yang baik, tiroiditis sub
akut, tiroiditis hashimoto fase akut, pengobatan dengan levotyroxin yang jarang yaitu
struma ovarii.
Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat maka harus dicurigai adanya
tumor pituitari yang memproduksi TSH. Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah
maka FT3 harus diperiksa, diagnosis Grave’s disease stadium awal dan T3-secreting
toxic nodules dapat ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila FT3 rendah didapat
pada euthyroid sick sindrom atau pada penderita yang mendapatkan terapi dopamin
atau kortikosteroid.
Untuk itu telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Kemudian diteruskan dengan
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan
etiologi1.
I. Penatalaksanaan
Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT ini. Pertana
berdasarkan titrasi: mulai dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/laboratoris
dosis diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana pasien masih dalam keadaan
eutiroid. Kedua dengan blok-substitusi, dalam metode ini pasien diberi dosis besar
terus menerus dan apabila mencapai keadaan hipotiroid, maka ditambah hormon
tiroksin hingga mencapai eutiroid1.
2. Tiroidektomi
Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan goiter
nultinoduler maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan. Operasi ini baru
dilaksanakan jika pasien dalam keadaan eutiroid, secara klinis ataupun biokimia. Dua
minggu sebelum operasi penderita diberikan solutio lugol dengan dosis lima tetes dua
kali sehari. Pemberian solutio lugol bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi
kelenjar, sehingga akan mempermudah jalannya operasi1.
Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT
menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir pengobatan
RAI. Kekhawatiran bahwa radiasi akan menyebabkan karsinoma tidak Dosis RAI
berbeda, ada yang bertahap untuk mencapai eutiroid tanpa hipotiroid, ada yang
langsung dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroid kemudian ditambah tiroksin
sebagai substitusi. terbukti. Satu-satunya kontraindikasi adalah graviditas. Komplikasi
ringan, kadang terjadi tiroiditis sepintas. Pada enam bulan pasca radiasi disarankan
untuk tidak hamil.
J. Komplikasi
Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang sangat membahayakan dan merupakan
suatu kondisi eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Hampir semua kasus disertai oleh
faktor pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid belum jelas : free-hormon
meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya
kepekaan sel sasaran.
Tabel 6. Faktor Pencetus Krisis Tiroid
Infeksi Konsumsi hormon tiroid
Pembedahan baik tiroid atau non KAD
tiroid
Terapi radio iodine Gagal jantung kongestif
Putus obat antitiroid Hipoglikemia
Amiodaron Toksemia gravidarum
Stress emosi berat Persalinan
Emboli Paru CVA
Trauma Ekstraksi Gigi
Krisis tiroid ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan tidak ada kriteria
laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnostik untuk
krisis tiroid dibuat oleh Burch-Wartofsky untuk membedakan apakah tirotoksikosis,
impending crisis tiroid atau krisis tiroid3. Kecurigaan krisis tiroid apabila terdapat trias:
menghebatnya tanda tirotoksikosis, kesadaran menurun dan hipertermia1.
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi tiroid
yaitu kadar TSH (Thyrois Stimulating Hormone) tidak terdeteksi (<0,001 mU/L) dan
peningkatan kadar T3 lebih menonjol daripada T4 karena terjadi bersamaan dengan
peningkatan konversi hormon tiroid perifer T4 ke T33,7,8.
Pengobatan harus segera diberikan dan harus diberikan dengan kontrol yang baik
setiap harinya. Pengelolaan krisis tiroid ditujukan untuk menurunkan sintesis dan
sekresi hormon tiroid, menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid dengan
menghambat T4 menajdi T3, terapi mencegah dekompensasi sistemik, terapi penyakit
pemicu dan terapi suportif7,8.
Terapi Suportif
1. Pasang naso gastrik tube diperlukan untuk pemberian oral
2. Keseimbangan cairan dan infus glukosa untuk nutrisi
3. Oksigen
4. Status Kardiorespirasi
5. Kompres dingin
6. Acetaminophen (hindari penggunaan aspirin karena dapat melepas T4 dari TBG
(Thyroid Binding Globulin) sebagai akibat serum FT4 meningkat. Chlorpromazine
50-100 mg IM dapat digunakan untuk mengatasi agitasi dan dapat menghambat
termoregulasi sentral maka dapat digunakan untuk pengobatan hiperpireksia.
7. Phenobarbital, dapat digunakan sebagai sedatif
8. Multivitamin
Terapi Khusus
1. Terapi awal PTU 400 mg PO dengan dosis rumatan 100-200 mg setiap 4 jam atau
dengan menggunakan methimazole dengan dosis awal 40 mg PO dilanjutkan
dengan 10 mg setiap 4 jam. PTU merupakan tionamid pilihan pertama, karena
dapat pula menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Namun sayangnya obat
ini tidak tersedia dalam bentuk injeksi sehingga harus diberikan melalui pipa
nasogastrik7,8.
2. Solutio lugol 6 tetes setiap 6 jam harus diberikan 1 jam setelah pemberian PTU
3. Propanolol dengan dosis 10-40 mg PO setiap 6 jam atau 0,5-1 mg IV setiap 3 jam.
Propanolol sering digunakan dengan tujuan menurunkan konversi T4 menjadi T3
dan menghambat pengaruh perifer hormon tiroid7,8.
4. Hydrocortison hemisuccinate dosis 100-200 mg IV atau dexamethason 2 mg IV
setiap 8 jam.
5. Terapi faktor pencetus (misalnya infeksi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 3, Jakarta : Interna
Publishing; h2003-08
2. Guyton,ArthurC.Hall,JohnE.2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta:
EGC
3. Bursch HB, Wartofsky L.1993.Life-threatening thyrotoxicosis: Thyroid storm.
Endocrinol Metab Clin North Amer 22,63.
4. Tjokroprawiro, A.2002.Practical Guidlines with formula 41668 for the treatment of
thyroid crisis. Clinical Experiences:Morning report Dept.of Internal Medicine,
Airlangga University of Medicine, Surabaya.
5. Tjokroprawiro.2005.Thyrois Storm: A Life Threatening Thyrotoxicosis (Theraupetic
Guidelines with formula TS 41668 24-6).Presented at Workshop and Hands on
Experiences V Thyroid Surgery. School of Head and Neck Surgery for general
Surgeon. Surabaya 22-24 August.
6. Djokomoeljanto R. Pengelolaan Hipotiroidisme dan hipertiroidisme secara umum.
Naskah lengkap Endokrinologi Klinis IV.Eds Johan S.Masjhur dan Sri Hartini KS
Kariadi. Perkeni Bandung 2002 hlm RI.
7. Jameson L,Weetman A.Disorders of the Thyroid gland. In:Braunwald E, Fancy AS
Kasper DL,eds.Harrison’s Principles of internal medicine.15th ed.New York: Mc
Graw hill; 2001.p.2060-84.
8. Debaveye Y, Ellger B,Berghe GVN. Acute endocrine disorder. In RK Albert etal
(eds) Clinical Critical Care medicine. Mosby I nc Philadelphia,PA. 2006.p.497-06.
9. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 2, Jakarta : Interna
Publishing 2011; h2003-08
10. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 6 Jilid 2, Jakarta : Interna
Publishing 2014; h2455-63
11. Robbin S, Cotran R, Kumar V. 2004 Buku ajar patologi robbins ed.7. Vol.2.
Jakarta:EGC. Hal 811-12