Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT


MARET 2018
UNIVERSITAS HALU OLEO

SPONDYLITIS TUBERKULOSIS

Oleh:

Muhamad Isafarudin Susanto S.Ked

K1A1 12 016

Pembimbing:

dr. Albertus Varera., Sp.Rad

BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

RSU BAHTERAMAS SULAWESI TENGGARA

KENDARI

2018

1
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
Muhamad Isafarudin Susanto, Albertus Varera

A. PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis (TB), atau yang biasa disebut Infeksi tuberkulosis

spinal atau osteomielitis vertebra atau penyakit Pott, adalah penyakit ekstra

pulmoner1 yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang

menyerang korpus vertebra, berpotensi menyebabkan morbiditas yang serius,

termasuk defisit neurologis dan deformitas tulang belakang permanen.

Deformitas yang paling umum adalah deformitas kyphotic, yang dikenal

sebagai gibbus. Diagnosis biasanya ditetapkan pada tahap lanjut, di mana

telah terbukti adanya kelainan tulang belakang yang parah dan defisit

neurologis seperti paraplegia.2

Spondilosis TB adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui manusia

dan telah ditemukan pada mumi Mesir yang berasal dari tahun 3400 SM.

Penyakit ini dikenal sebagai Pott’s spine. Asal-usul nama tersebut dari

deskripsi infeksi tuberkulosis pada tulang belakang oleh Sir Percival Pott

dalam monografnya pada tahun 1779. Mayoritas pasiennya adalah bayi dan

anak kecil. Penghancuran yang khas dari celah diskus dan badan vertebral

yang berdekatan, serta diikuti penghancuran elemen tulang belakang lainnya

yang semakin parah dan progresif kemudian dikenal sebagai Pott’s disease.

Saat ini, istilah Pott’s disease/Pott's spine menggambarkan infeksi

2
tuberkulosis pada tulang belakang dan istilah 'Pott’s paraplegia'

menggambarkan paraplegia akibat TBC pada tulang belakang.1

B. EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan

bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen

insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan

akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita acquired

immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodeficiency

virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB

osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB.3

Prevalensi spondilitis TB berkisar 1-2% dari seluruh kejadian

tuberkulosis. Di Belanda dari tahun 1993-2001, prevalensi spondilitis TB

mencapai 3,5% dari seluruh kasus tuberkulosis (0,2-1,1% pada penduduk asli

Eropa, dan 2,3-6,3% pada penduduk non-Eropa). Data dari Los Angeles dan

New York menunjukkan tuberkulosis muskuloskeletal menyerang penduduk

Afro-Amerika, Hispanik, Asia-Amerika, dan penduduk yang berasal dari luar

Amerika. Sama seperti jenis tuberkulosis lain, spondilitis TB dipengaruhi

faktor sosioekonomi dan paparan infeksi sebelumnya. Beberapa penelitian

tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin tertentu, namun lebih sering

ditemukan pada laki-laki (perbandingan laki-laki dan perempuan 1,5-2:1). Di

Amerika Serikat dan negara berkembang lainnya, spondilitis TB sering terjadi

3
pada anak-anak. Di negara dengan prevalensi spondilitis TB tinggi, angka

kejadian paling tinggi justru pada usia remaja dan anak.4

Tuberkulosis adalah penyakit yang mempengaruhi sebagian besar orang

dewasa muda pada usia produktif mereka. Risiko pengembangan tuberkulosis

diperkirakan 20-37 kali lebih besar pada orang telah terinfeksi HIV

dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi HIV. Pada tahun 2009, sekitar 1,2

juta kasus tuberkulosis baru dilaporkan di antara orang dengan HIV; 90%

kasus ini kebanyakan terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara. Jumlah

kematian terkait tuberkulosis tertinggi terjadi di Afrika. Meskipun TB yang

resisten terhadap obat-obatan tidak umum terjadi pada penyakit tulang

belakang, tetapi telah dilaporkan beberapa kasus baru-baru ini.1

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI5

Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah struktur lentur

sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara

tiap dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan.

Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa mencapai 57 sampai

67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang-

tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang.

Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai daerah yang ditempatinya:

- Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang leher membentuk daerah tenguk

4
- Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk

bagian belakang toraks atau dada

- Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah

lumbal atau pinggang

- Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sakrum

atau tulang kelangkang

- Empat vertebra koksigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang

koksigeus atau tulang tungging.

Gbr 1. Kolumna Vertebralis6

5
Pada tulang leher, punggung dan pinggang ruas-ruasnya tetap terpisah

selama hidup dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas-ruas pada dua

daerah bawah, sakrum dan koksigeus, pada masa dewasa bersatu membentuk

dua tulang. Ini disebut ruas-ruas tak bergerak.

Dengan pengecualian dua ruas pertama adalah leher, semua ruas yang

dapat bergerak memiliki ciri khas yang sama. Setiap vertebra terdiri atas dua

bagian: anterior, disebut badan vertebra; dan posterior, disebut arkus neuralis

yang melingkari kanalis neuralis (foramen vertebra atau saluran sumsum

tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang.

Sendi kolumna vertebra dibentuk oleh bantalan tulang rawan yang

diletakkan diantara setiap dua vertebra, dikuatkan ligamentum yang berjalan

didepan dan dibelakang badan-badan vertebra sepanjang kolumna vertebralis.

Massa otot disetiap sisi membantu dengan sepenuhnya kestabilan tulang

belakang.

Diskus intervertebralis adalah bantalan tebal tulang rawan fibrosa yang

terdapat diantara badan vertebra yang dapat bergerak. Sendi yang terbentuk

antara cakram dan vertebra adalah persendian dengan gerakan yang terbatas

saja dan termasuk sendi jenis simfisis, tetapi jumlahnya yang banyak memberi

kemungkinan membengkok kepada kolumnanya secara keseluruhan.

Gerakannya yang mungkin adalah fleksi atau membengkok ke depan, ekstensi

atau membengkok ke belakang, membengkok ke lateral ke setiap sisi dan

rotasi atau berputar ke kanan dan ke kiri.

6
Kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh dan

sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan

cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan

memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk

menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakan berat badan seperti waktu

berlari atau meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang

terlindungi terhadap goncangan.

Kolumna vertebralis juga memikul berat badan, menyediakan permukaan

untuk kaitan otot, dan membentuk tapal batas posterior yang kukuh untuk

rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.

D. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Sementara berbagai organisme telah dikaitkan dengan spondylodiscitis

(bakteri, mikobakteri, jamur, dan parasit), tetapi infeksi bakteri

monomikrobial merupakan penyebab utamanya. Spondilitis TB paling sering

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.7

Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan

akan menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut

fokus primer (fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen

dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional.

Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional

7
disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup

kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/limfogen dan bersarang di

seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah

bening, osteoartikular, hingga endometrial.3

Spondilitis TB dapat terjadi akibat dari penyebaran hematogen, inokulasi

eksternal secara langsung atau dari jaringan yang bersebelahan. Jalur arterial

hematogenous yang dominan memungkinkan penyebaran infeksi ke kolumna

vertebralis. Wiley dan Trueta memperlihatkan bahwa metafisis dan

cartilaginous end plates merupakan tempat awal infeksi yang kemudian

ditularkan ke darah, sehingga dengan mudah menyebar hematogen ke daerah

metafisis pada vertebra yang berdekatan.7

Spondilitis TB biasanya melibatkan penghancuran awal bagian

anteroinferior dari korpus vertebra dan kemudian dapat menyebar di bawah

ligamen tulang belakang anterior, yang melibatkan aspek anterosuperior

vertebra inferior yang berdekatan. Penyebaran lebih lanjut dapat

menyebabkan abses yang berdekatan. Keterlibatan tipe anterior dari korpus

vertebra tampaknya disebabkan oleh perpanjangan abses di bawah ligamen

longitudinal anterior dan periosteum.7

Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi

paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum

tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi

8
akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi

akibat gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi

tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis,

endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih

terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi

lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan

vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior.

Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas

kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus.3

Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat,

banyaknya ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang

belakang yang terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas

kifotik. Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada

setengah bagian posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi,

maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-

lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.3

E. DIAGNOSIS

Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan

sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya,

diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah

terjadi deformitas tulang belakang dan defisit neurologis.3

9
Diagnosis sementara spondilitis TB didasarkan pada kecurigaan klinis

(riwayat TB), tes kulit tuberkulin positif (uji Mantoux), uji bacillus asam

cepat, reaksi berantai polimerase positif (PCR) untuk Mycobacterium

tuberculosis (MT), atau uji pelepasan interferon-gamma positif. Magnetic

Resonance Imaging (MRI) mampu membuat diagnosis sementara pada tahap

awal dan tetap menjadi metode pilihan. Evaluasi mikrobiologis spesimen

pernapasan, serta sampel jaringan tulang atau abses, dikultur dan diwarnai

untuk basil tahan asam, akan mengkonfirmasi diagnosis.8

1. Gambaran Klinik

Gejala klinis spondilitis TB yang pertama dan paling umum adalah

nyeri punggung, diikuti demam. Dari 1.997 pasien dengan spondilitis TB,

sakit punggung ditemukan sebagai gejala yang paling sering dilaporkan

dan penyakit ini terutama menyerang tulang belakang toraks. Kelainan

bentuk kyphotic, ketidakstabilan tulang belakang dan defisit neurologis

adalah komplikasi umum yang terkait dengan spondilitis TB. Tanda-tanda

defisit neurologis bergantung pada tingkat sumsum tulang belakang atau

akar saraf yang terlibat. Bergantung pada tingkat keterlibatan sumsum

tulang belakang dan kompresi akar spinal, defisit tersebut berkisar dari

kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparesis, paraplegia atau

quadriplegia.9

Tahap aktif spondilitis TB pada tulang belakang sering dikaitkan

dengan defisit neurologis karena kompresi mekanis dengan granuloma,

10
ketidakstabilan segmen vertebral dan perubahan inflamasi elemen tulang

belakang. Kyphosis yang sudah berlangsung lama dengan kompresi

sumsum tulang belakang mungkin dikaitkan atas komplikasi neurologis

setelah penyembuhan proses penyakit.9

Penelitian yang dilakukan di Iran menyimpulkan bahwa dari 58

orang diantaranya memiliki gambaran sakit punggung (84,5%), demam

terdeteksi 27,6% kasus, malaise (17,2%) dan penurunan berat badan

(36,2%) kasus. Pada pemeriksaan neurologis 63,8% memiliki paraparesis,

quadriparesis terlihat pada 13,8% kasus, 44,8% kasus mengalami

kehilangan sensorik, 29,3% pasien mengeluhkan masalah sfingter, dan

kehilangan sensorik nonspesifik terdeteksi pada 29,3% kasus. Ada 48,3%

kasus laki-laki dan 51,7% perempuan yang berusia antara 5-80 tahun pada

saat masuk. Namun, nyeri punggung dan nyeri tekan tulang belakang

lokal, merupakan temuan penting yang mengarahkan ke diagnosis

spondilitis TB.10

Diagnosis pasti sering sulit karena presentasi klinisnya tidak pasti

dan nonspesifik. Sakit punggung yang lama dan gejala konstitusional

mendominasi. Hal ini menyebabkan diagnosis tertunda dan peningkatan

morbiditas akibat komplikasi seperti abses dingin, saluran sinus,

kelemahan neurologis, keruntuhan vertebra dan kyphosis.11

Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi

TB di paru atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak

11
spondilitis TB yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi TB

ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan

pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi

paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas

akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial dengan predileksi di

apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa

secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses

paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar punggung berupa

pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk

mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal

(trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di

anterior rongga dada atau abdomen.3

2. Gambaran Radiologik

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yanardag et al menyebutkan

bahwa walaupun telah menganamnesis riwayat penyakit terdahulu

maupun pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium yang spesifik dan

sensitif untuk diagnosis spondilitis TB, tetapi temuan radiologis yang

dapat menjadi patokan diagnosis akhir dari spondilitis TB. Namun, di sisi

lain, kehadiran temuan radiologis serupa pada keterlibatan malignancy

tulang belakang, metastasis, atau jamur merupakan tantangan tersendiri

dalam foto polos dan CT Scan. Pemeriksaan MRI adalah studi pencitraan

12
yang paling efektif untuk spondilitis tuberkulosis. Diagnosis terakhir

hanya dikonfirmasi dengan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) pada

apusan atau kultur dari lokasi lesi.12

a. Foto Polos

Di negara-negara yang miskin sumber daya, vertebral radiography

masih menjadi langkah awal pencitraan tulang belakang. Hal ini sering

memberikan informasi yang cukup untuk diagnosis dan pengobatan

spondilitis TB. Foto polos menggambarkan perubahan yang konsisten

terhadap spondilitis TB hingga 99% kasus. Karakteristiknya meliputi

pemipihan vertebral end plate, tinggi diskus hilang, kerusakan osseus,

pembentukan tulang baru dan abses jaringan lunak. Seringkali,

melibatkan multiple vertebra dan late fusion atau kolaps vertebra.1

Cold abscesses tuberkulosis juga dapat terlihat pada foto polos

sebagai bayangan jaringan lunak yang bersebelahan dengan tulang

belakang. Pada tulang belakang servikal, peningkatan ruang jaringan

lunak prevertebral adalah parameter radiologis yang andal yang

menunjukkan patologi inflamasi (abses retrofaringeal). Pelebaran

mediastinum superior pada foto polos anteroposterior dan peningkatan

bayangan jaringan lunak prevertebralis dengan ekskavasi anterior

bayangan trakea foto polos lateral di punggung atas adalah indikator kuat

penyakit yang melibatkan tulang belakang. Abses pada dorsal dan lumbar

13
tulang belakang terlihat seperti bayangan soft tissue di paravertebral.

Kehadiran adanya kalsifikasi dalam abses sebenarnya adalah diagnostik

tuberkulosis tulang belakang. Kalsifikasi tersebut terbentuk karena

kurangnya enzim proteolitik pada M. tuberculosis.1

Kelemahan utama adalah foto polos umumnya tetap normal pada

tahap awal penyakit ini. Kira-kira sepertiga kalsium harus hilang dari area

tertentu agar osteolisis bisa tampak secara radiografi. Hal ini juga sulit

untuk menilai kompresi medula spinalis, keterlibatan jaringan lunak,

abses dan tingkat penyakit pada foto polos. Sebaliknya, pada saat

penyakit tampak jelas pada foto polos, pasien telah mencapai stadium

lanjut dengan mayoritas memiliki pemipihan vertebra dan defisit

neurologis.1

Kelainan foto polos yang tidak spesifik seperti osteopenia dan

pembengkakan jaringan lunak dapat mengarahkan ahli radiologi ke arah

diagnosis yang tepat dalam pengaturan klinis yang tepat pula. Contoh foto

polos berikut menunjukkan kelainan tulang dari tulang belakang servikal

sampai ke tulang belakang lumbal pada kelompok pasien yang telah

diteliti oleh Kavanagh et al. Dalam semua kasus foto polos adalah

investigasi pertama yang dilakukan untuk menentukan diagnosis.13

14
Gbr 2. Peningkatan celah atlantoaxial dan Gbr 3. Deformitas gibbus
paravertebral soft tissue swelling13 disertai pemipihan13

Gbr 4. Foto polos servikal memperlihatkan Spondilitis TB pada vertebra C6-7 dan
abses retropharyngeal (kiri). T-1 weighted image pada MRI dipasien yang sama
memperlihatkan destruksi vertebra C6-7.1

15
(a) (b)

Gbr 5. Spondilitis TB pada pasien laki-laki 38 tahun. (a) Foto Ro Torakolumbal AP menunjukkan
penurunan tinggi korpus vertebrae Th9(*), hilangnya struktur diskus dan iregularitas di Th8/Th 9.
Tampak masa di paravertebral (ditunjuk anak panah). (b) Potongan axial CT Scan tampak proses
destruksi korpus vertebra Th9 (kepala anak panah), dengan massa pada jaringan lunak di sekitarnya
(anak panah)4

Gambar 6. Deformitas berupa Gibus ditemukan dengan riwayat operasi di daerah torakolumbar.
Foto Ro lateral menunjukkan proses ankilosis pada tulang posisi kifosis.4

16
Gbr 7. Spondilitis tuberkulosis biasanya melibatkan columna anterior tulang belakang. Anak-anak
dengan keterlibatan beberapa tingkat tulang belakang daerah thoraks cenderung menjadi kifosis yang
progresif (a) bahkan setelah pengobatan medis yang tepat. (b) dan (c) menggambarkan deformitas
kifosis yang berat dan tajam pada pasien dengan “penyembuhan” penyakitnya.4

b. CT Scan

CT Scan lebih unggul dari MRI dalam evaluasi tingkat kerusakan

tulang, deformitas dan kalsifikasi. Tingkat kerusakan vertebra terlihat

jauh lebih jelas pada contoh kedua di bawah CT Scan dibandingkan

dengan MRI. CT Scan bisa sangat berguna dalam paraspinal "cold

abscess". Kalsifikasi dalam hal ini hampir dapat mendiagnosis infeksi TB

dan juga mengindentifikasi area kecil penyakit tulang yang litik.13

CT Scan menunjukkan kelainan lebih awal dari radiografi biasa.

Pola destruksi tulang mungkin terjadi pada 47% kasus; osteolitik dalam

34%, lokal dan sklerotik pada 10%, dan subperiosteal pada 30% kasus.

Temuan lainnya meliputi keterlibatan jaringan lunak dan abses jaringan

paraspinal. CT Scan sangat bermanfaat dalam demonstrasi kalsifikasi

17
apapun dalam cold abscess atau visualisasi lesi epidural yang

mengandung fragmen tulang.1

Gbr 8. Pemipihan V. T11/T12 dengan


retropulsi dari fragmen tulang posterior13

Gbr 9. Sugestif spondilitis TB. A. CT Scan axial memperlihatkan pola fragmen tulang. B. Large
paraspinal soft tissue abscesses disertai initial kalsifikasi pada dinding (anak panah) 11

18
Gbr 10. Temuan radiografi atypical. A. Multiple TB memperlihatkan sklerosis tulang yang meluas
pada 4 level dan penyakit infeksi intrasomatic di L4 tanpa melibatkan diskus. B. Pola permeative
osseous termasuk costotranverse joint dan adjacent soft tissue11

c. MRI

MRI merupakan gold standar pemeriksaan radiologi pada

Spondilitis TB karena resolusi jaringan lunak superior dan kemampuan

multiplanarnya. MRI lebih sensitif daripada foto polos dan lebih spesifik

daripada CT dalam diagnosis spondilitis TB. Pola khas penyebarannya

mulai dari anterior dan bergerak untuk melibatkan vertebra lawannya

melalui penyebaran subligamen yang terlihat jelas pada pemeriksaan

MRI. Temuan yang paling umum pada MRI adalah penurunan intensitas

sinyal pada T1 weighted images dan meningkatnya intensitas sinyal

pada T2. Abses paraspinal dan herniasi diskus yang mengancam

sumsum tulang belakang dapat didiagnosis secara akurat dan cepat

ditangani.1, 13

19
MRI dengan mudah menunjukkan keterlibatan korpus vertebral,

kerusakan diskus, cold abscess, pemipihan vertebra, dan deformitas

tulang belakang. Pada tahap awal, hanya degenerasi diskus dengan

perubahan intensitas sinyal sumsum tulang vertebra yang terlihat, yang

mungkin tidak cukup untuk diagnostik spondilitis TB. Pembentukan dan

pengumpulan abses dan perluasan jaringan granulasi yang bersebelahan

dengan korpus vertebralis sangat menandakan spondilitis TB. MRI juga

berguna dalam mendeteksi tuberkulosis intramedulla atau

extramedullary, kavitasi sumsum tulang belakang, edema sumsum

tulang belakang, dan kemungkinan lesi non tulang yang tidak disengaja

dari tulang belakang. Penyebaran massa paraspinal yang tidak dapat

disembuhkan dan keterlibatan beberapa tulang bersebelahan dan

perubahan tulang belakang intramedulla dapat ditunjukkan dengan

sangat baik oleh MRI.1

Gbr 11. T2-Weighted MRI


memperlihatkan keterlibatan T11/T12
dan kompresi spinal cord13
20
Gbr 12. Pembentukan Gibbus di thoraco-lumbal pada pasien Spondilitis TB (kiri).
Pemeriksaan MRI menunjukan pada T10-T12, spondilitis TB menyebabkan
destruksi, pemipihan vertebra, dan angulasi kolumna vertebra (kanan)

Gbr 13. T1-weighted image dari pemeriksaan MRI memperlihatkan abses


paravertebral bilateral disertai destruksi dari vertebra lumbal sama halnya dengan
diskus intervertebralisnya1

21
Berbeda dengan infeksi piogenik seperti S. Aureus, TB pada

umumnya memilah diskus intravertebral karena tidak adanya enzim

proteolitik. Dalam kasus yang jarang terjadi ketika diskus terlibat, akan

ada peningkatan intensitas sinyal pada T2-weighted imaging. Ada

sedikit reaksi periosteal dan sklerosis dengan TB dan elemen vertebral

anterior yang terlibat, dan dapat berguna dalam membedakannya dari

penyakit metastatik. Secara umum, Spondilitis TB memiliki banyak

tipikal seperti infeksi jamur dan sarcoidosis, gambaran klinis dan

pengambilan sampel jaringan yang penting dalam diagnosis yang

akurat.13

Elemen posterior tulang belakang, khususnya keterlibatan pedikel,

umumnya bukan ciri khas spondilitis TB. Dalam sebuah penelitian,

keterlibatan pedikel dicatat dengan jumlah pasien yang sangat tinggi

(65%). Dalam penelitian ini keterlibatan tertinggi terjadi pada tingkat

thoraks. Rata-rata korpus vertebral, penipisan diskus, abses prevertebral,

dan kyphosis lebih parah pada kelompok yang melibatkan pedikel.

Tidak ada temuan patognomonik pada MRI yang dapat membedakan

tuberkulosis dari infeksi tulang belakang lainnya atau dari kemungkinan

neoplasma.1

22
3. Gambaran Sitologi dan Mikrobiologi

Konfirmasi penyebab dapat dilakukan melalui pemeriksaan basil

tahan asam (BTA) pada spesimen patologis atau bukti histologis

tuberkulum atau hanya adanya sel epitel pada sel biopsi.1

Biopsi jarum halus dari jaringan yang dicurigai merupakan gold

standar untuk awal diagnostik spondilitis TB secara histopatologi. Dalam

sebuah penelitian di India, biopsi aspirasi jarum halus yang dilakukan

dengan CT-guided berhasil mendiagnosis spondilitis TB pada 34 dari 38

pasien. Bahan yang diperoleh dari biopsi harus diserahkan untuk studi

sitologi, histologis, dan bakteriologis. Angka positif untuk bacilli tahan

asam dapat dilihat pada 52% kasus dan kultur positif pada sekitar 83%

kasus. Namun, seperti pada TB Paru, kultur bukanlah gold standar untuk

mendiagnosis spondilitis TB karena basil mikobakteri tidak mudah

terdeteksi dari area ekstrapulmoner.1

Studi histologis mengkonfirmasi diagnosis spondilitis TB sekitar

60% pasien. Temuan sitologi yang paling umum diamati adalah

granuloma sel epithel (90%), granular necrotic background (83%), dan

infiltrasi limfositik (76%). Scattered multinucleated dan giant cell

Langhans dapat dilihat pada hingga 56% kasus. Hasil biopsi negatif palsu

umum terjadi, oleh karena itu diagnosis spondilitis TB harus dilakukan

berdasarkan manifestasi klinis dan radiologi ketika pemeriksaan

bakteriologi membuktikan hasilnya negative.1

23
F. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis spondilitis TB harus dipertimbangkan dengan keluhan yang

hampir mirip seperti nyeri punggung kronik (dengan atau tanpa manifestasi

dasar neurologi, atau manifestasi muskuloskeletal) dan pada usia muda.

Diagnosis banding yang umum mencakup spondilitis piogenik, spondilitis

brucellar, sarkoidosis, metastasis, multiple myeloma, dan limfoma.1

Karakteristik spondilitis TB pada pemeriksaan radiografi meliputi

bayangan jaringan lunak paraspinal yang luas, keterlibatan daerah toraks,

sinyal abnormal paraspinal yang terdefinisi dengan baik, penyebaran

subligament, dan adanya deformitas tulang belakang.1

a. Spondilitis Brucellar

Pada spondilitis brucellar, paling sering terkena di vertebra lumbalis

diikuti oleh segmen toraks dan servikal pada kolumna vertebralis.

Karakteristik pencitraan yang berbeda dari spondilitis brucellar

meliputi keterlibatan ruang diskus, bayangan jaringan paraspinal yang

minimal, dan tidak adanya deformitas gibbus.1

24
Gbr 14. T2 weighted images memperlihatkan low dan high signal intensity pada
vertebra L2 dan L3, masing-masing menunjukkan keterlibatan minimal end-plate
(anak panah) di anterior vertebra L2-L316

Spondilitis Brucellar memiliki struktur vertebra yang lebih intak,

keterlibatan diskus yang lebih sering, osteomielitis vertebra yang

meluas, sedikitnya keterlibatan soft tissue di sekitar area paraspinal

dan tidak ada proses pembentukan gibbus dibandingkan spondilitis

piogenik atau tuberkulosis lainnya.16

b. Spondilitis Pyogenic

Infeksi pyogenic pada vertebra lebih sering ditemukan pada

daerah lumbar dan servikal. Spondilitis pyogenic tidak melibatkan

vertebra, lengkungan posterior dan prosesus spinosus, dan seringkali

tidak ada deformitas gibbus. Kerusakan diskus intervertebralis lebih

sering terjadi pada spondilitis pyogenic.1

25
Gbr 15. Sagital contrast enhanced T1-weighted image memperlihatkan abses pada diskus
intervertebralis T11-T12 yang meluas hingga korpus vertebra7

c. Sarkoidosis

Sarkoidosis dapat menghasilkan lesi multifokal pada vertebra dan

diskus, bersamaan dengan massa paraspinal yang tampak identik

dengan tuberkulosis.1 Manifestasi kolumna vertebra yang khas adalah

lesi litik dengan batas sklerotik yang meningkat pada MRI disertai

peningkatan diskus intervertebralis.17

Gbr 16. Sagital T1-weighted MR image yang diperoleh setelah pemberian sodium
gadopentate menunjukkan beberapa daerah dengan multiple brightly enhancing dalam
korpus vertebra dan prosesus spinosus. Selain itu, meningkatnya massa dapat dilihat di
dalam sumsum tulang belakang pada tingkat diskus C6-7. Perhatikan peningkatan
dural pada tulang belakang toraks (anak panah).17

26
d. Metastasis

Pada pasien dengan keterlibatan metastasis sumsum tulang belakang

memiliki tinggi dari diskus intervertebralis biasanya tidak berubah,

namun hal ini mungkin akan terpengaruh pada limfoma dan multiple

myeloma. Vertebra end-plate juga berbeda dan biasanya teratur.

Bagian vertebra posterior lebih banyak terpengaruh sejak awal. Pada

pasien lanjut usia dengan kerusakan vertebra, penyakit metastasis

pada tulang belakang harus selalu dipertimbangkan.1

Lesi epidural dapat menunjukkan erosi osseous di sepanjang margin

korpus vertebral posterior atau pedikel. Jarang metastase dapat

menyebabkan scalloping pada tulang yang berdekatan.18

Gbr 17. Sagital CT Scan menunjukan reformasi dari tulang yang mengalami kerusakan pada
korpus vertebra L3 posterior (anak panah kuning) yang disebabkan oleh fokus metastasis18

27
G. TATA LAKSANA4

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Isoniazid (INH) merupakan golongan bakterisidal paling efektif,

namun rifampisin (RIF) juga harus digunakan. RIF dan pirazinamid (PZA)

merupakan obat dengan kerja sterilisasi kuman. Keduanya digunakan

untuk membunuh kuman persisten yang tidak dideteksi oleh imun tubuh,

sehingga memicu reaktivasi.

INH dan RIF merupakan kombinasi paling efektif untuk menekan

resistensi terhadap obat lain sehingga terapi obat multipel penting.

Durasi terapi spondilitis TB masih kontroversial. Manajemen

intensif tuberkulosis paru adalah 2 bulan, dan diikuti fase selanjutnya

dengan 2 obat selama 4 bulan. Pada spondilitis TB terdapat kematian

tulang dan jaringan yang mengurangi penetrasi antibiotik, sehinggga

terapi spondilitis TB lebih lama. Durasi terapi lebih pendek memiliki

keuntungan kepatuhan pasien baik, namun risikonya adalah angka

rekurensi tinggi. The British Thoracic Society menyarankan terapi selama

6 bulan jika tanpa keterlibatan saraf pusat; apabila mengenai saraf pusat

dilanjutkan RIF dan INH hingga 12 bulan. The Canadian Thoracic Society

merekomendasikan terapi tuberkulosis muskuloskeletal lebih panjang dari

tuberkulosis paru, dengan batas waktu tidak ditentukan.

Penelitian MRC di Hongkong mengkaji terapi spondilitis TB

dengan obat dan operasi. Dengan 5 tahun pemantauan, terapi 6 bulan, 9

28
bulan dengan INH/RIF/Streptomisin menunjukkan hasil baik. Pada tahun

ke 14 pengamatan kelompok terapi 6 bulan, 9 bulan, serta 18 bulan

memiliki hasil klinis tidak berbeda jauh. Penelitian di Madras

menggunakan pengobatan tanpa operasi. Mereka melaporkan durasi terapi

6 bulan dan 9 bulan dengan angka ketaatan 91% dan 98% setelah 10 tahun

pengamatan tidak berbeda signifikan. Penelitian terakhir oleh British

Medical Research Council mengindikasikan spondilitis TB harus diterapi

selama 6-9 bulan.

Efek samping obat harus dipantau. Ketajaman visus harus

dievaluasi pada penggunaan etionamid dan dapat ireversibel, obat ini tidak

digunakan pada anak karena pemeriksaan yang lebih sulit dan kompleks.

Streptomisin dan etambutol dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Banyak

obat bersifat hepatotoksik. Adanya nausea harus dicurigai mungkin

hepatitis. Apabila Transaminase (AST/ALT) meningkat 5 kali nilai

normal atau terjadi hiperbilirubin, INH, RIF, PZA harus dihentikan; jika

kembali normal, pengobatan dapat dimulai kembali dengan dosis rendah

dan dinaikkan bertahap.

Multi Drugs Resistance (MDR) dijumpai pada 1,8-5% kasus.

Biasanya menyebabkan kegagalan terapi medis dan operatif, ditunjang

hasil sensitivitas. Saat MDR ditegakkan maka pengobatan diubah menjadi

amikasin atau kanamisin (6 bulan), ofloksasin, etionamide, etambutol,

PZA, INH, dan RIF dapat dipertimbangkan untuk mencegah resistensi.

29
Protokol MDR juga mengharuskan injeksi intravena golongan

aminoglikosida sehingga membutuhkan kepatuhan pasien dan dukungan

keluarga. Pemberian subkutan dapat dipertimbangkan pada anak untuk

menghindari nyeri akibat injeksi intramuskular.

2. Dekompresi

Indikasi pembedahan adalah spondilitis TB dengan defisit

neurologis, paling sering paraplegia. Tindakan yang dilakukan adalah

dekompresi medula spinalis untuk menunjang stabiliasi tulang belakang.

Indikasi yang jelas untuk tindakan dekompresi adalah pada kompresi

ekstradural karena jaringan granulasi dengan komponen cairan yang

menekan medula spinalis, dan dengan gambaran edema medula, myelitis

atau myelomalasia.

3. Instrumentasi Stabilisator

Stabilisasi dengan instrumen dapat menjadi cara aman apabila

terjadi infeksi trabekula. Pada sebagian besar kasus pasien dengan kifosis

30o-35o bertujuan mencegah deteriorasi. Indikasi tindakan ini adalah

penyakit panvertebral, yang mengenai segmen panjang yang mana

cangkok tulang setelah dekompresi anterior lebih dari dua korpus

vertebrae. Instrumentasi posterior seperti implant Hartshill mengambil

lokasi satu segmen di atas dan bawah. Fiksasi dengan pedicle screw juga

dapat digunakan.

30
4. Koreksi Kifosis

Indikasi adalah kifosis berat dengan sudut ≥60o atau bila kifosis

memicu deformitas dan gangguan fungsional. Hal ini terjadi jika tiga atau

lebih vertebrae mengalami kerusakan struktur. Anak usia kurang dari 7

tahun dengan kelainan lebih dari 3 vertebrae pada sisi dorsal atau sisi

dorsolumbal harus segera dikoreksi. Pada saat operasi dilakukan

dekompresi anterior, pemendekan kolumna posterior, stabilisasi

instrument posterior, cangkok untuk menyambung segmen anterior dan

posterior korpus vertebrae.

H. KOMPLIKASI14

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

- Destruksi korpus dan diskus vertebra yang mengakibatkan deformitas dan

instabilitas

- Paraparesis atau paraplegia. Paraplegia dapat dibedakan menjadi awitan

awal (<2 tahun) dan awitan lambat (>2 tahun). Awitan awal terjadi akibat

inflamasi edema, granulasi TB, serta abses TB, sementara paraplegia

awitan lambat disebabkan oleh reeksaserbasi penyakit atau kompresi

mekanik medula spinalis

- Abses paravertebra dapat menyebar ke lokasi lain: leher, dada, abdomen,

dan selangkangan.

31
I. PENCEGAHAN15

Spondilitis TB adalah manifestasi infeksi TB yang jarang namun serius

yang harus dideteksi pada tahap awal untuk memastikan penanganan segera.

Pasien dengan komplikasi neurologis memerlukan dekompresi bedah

secepatnya untuk hasil yang optimal. Meskipun TB dan manifestasi

ekstrapulmonar ditemukan lebih sering pada pasien yang

immunocompromised, hal ini juga dapat terjadi pada orang yang

immunocompetent. Indeks kecurigaan yang tinggi ditambah dengan riwayat

pasien yang menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan penyelidikan radiologis

diperlukan untuk mendapatkan diagnosis dini untuk meminimalkan risiko

kelanjutan komplikasi.

J. PROGNOSIS4

Modalitas terapi terbaru sangat efektif untuk melawan progresifitas

spondilitis TB jika tidak muncul komplikasi berupa deformitas berat atau

defisit neurologis. Deformitas dan defisit motorik merupakan komplikasi

serius spondilitis TB dan berlanjut menjadi masalah serius jika diagnosis

terlambat. Kepatuhan terapi dan resistensi obat merupakan faktor yang

berpengaruh signifikan terhadap kesembuhan. Paraplegia akibat kompresi

medula spinalis yang disebabkan oleh penyakit aktif biasanya berespons baik

terhadap pengobatan. Paraplegia dapat bermanifestasi dan bertahan karena

32
kelainan medula spinalis yang permanen. Dekompresi operatif dapat

mempengaruhi pemulihan pasien, dibandingkan dengan terapi obat yang

lambat. Harus diwaspadai komplikasi lambat jangka panjang termasuk

reaktivasi penyakit serta deformitas lainnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Garg, R K dan Dilip S S. 2011. Spinal tuberculosis: A review. India: The

Journal of Spinal Cord Medicine, Vol 34 No 5, p440-452.

2. Faried, A et al. 2015. Spondylitis Tuberculosis in Neurosurgery Department

Bandung Indonesia. Bandung: Department of Neurosurgery, Universitas

Padjadjaran–Dr. Hasan Sadikin Hospital, Indonesia.

3. Zuwanda dan Raka Janitra. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis

Tuberkulosis. CDK-208 Vol 40 No 9, Jakarta.

4. Jacobus, D J. 2014. Pott’s Disease. CDK-220 Vol 41 No 9, Jawa Timur.

5. Pearce, E C. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

6. Marieb, E N dan Katja H. 2013. Human Anatomy & Physiology Ninth

Edition. United State America: PEARSON.

7. Lee, K Y. 2014. Comparison of Pyogenic Spondylitis and Tuberculous

Spondylitis. Asian Spine J; 8 (2): 216-223, South Korea.

8. Osmanagic A et al. 2016. A Rare Case of Pott’s Disease (Spinal Tuberculosis)

Mimicking Metastatic Disease in the Southern Region of Denmark. Am J

Case Rep; 17: 394-388, Denmark.

9. Ahmed, E G et al. 2013. Clinical Presentation of Pott’s Disease of the Spine

in Adult Sudanese Patients. J Med Microb Diagn Vol 2 Issue 2, p2, Sudan.

34
10. Ehsaei, M R dan Gholamreza B. 2010. Pott’s Disease: a review of 58 cases.

Medicaal Journal of the Islamic Republic of Iran Vol 23 No 4, p200-206, Iran.

11. Garcia, A R et al. 2013. Imaging findings of Pott’s disease. Jerman: Springer-

Verlag.

12. Yanardag, H et al. 2016. Tuberculous Spondylitis: Clinical Features of 36

Patients. Case Reports in Clinical Medicine, 5, p411-417, Turkey.

13. Kavanagh, J et al. 2011. Tuberculous Spondylitis: What every Radiologist

should know. Poster No C-1917, European Society of Radiology, Dublin,

Ireland.

14. Liwang, F dan Riwanti Estiasari. 2016. “Spondilitis TB” dalam Kapita

Selekta Kedokteran edisi IV jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.

15. Kegan, J et al. 2016. Pott’s Disease, Avoiding Potentially Severe

Consequences. Austin Internal Medicine Volume 1 Issue 2, United State of

America.

16. Kim, J W et al. 2013. MRI Findings of Brucellar Spondylitis: A Case Report.

J Korean Soc Radiol p257-260, South Korea.

17. Campbell, S E et al. 2004. Vertebral and Spinal Cord Sarcoidosis. Radiologic-

Pathologic Conference of Brooke Army Medical Center, United State of

America.

18. Shah, L M dan Karen L S. 2011. Review Article: Imaging of Spinal

Metastatic Disease. International Journal of Surgical Oncology Volume 2011

p1-12, Hindawi Publishing Corporation, United State of America.

35

Anda mungkin juga menyukai