Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PRA-KEPANITERAAN KLINIK

ANALISIS MASALAH DIFABILITAS PADA ANAK

OLEH :

NAMA : I GEDE ANUGRAH ADIATMIKA


NIM : K1A1 13 022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

2017
ANALISIS MASALAH DIFABILITAS PADA ANAK

A. PERNYATAAN
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas
yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak.
Riskesdas 2013 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia
disability free. Interpretasi lain adalah penduduk Indonesia cenderung
tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami dalam
melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Menggunakan
komponen pembanding Riskesdas 2007, prevalensi disabilitas 11
persen. Status disabilitas berbanding lurus dengan umur, namun
berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks
kepemilikan. Kelompok nelayan dan non pekerja merupakan kelompok
dengan disabilitas tertinggi. Sulawesi Selatan merupakan provinsi
dengan prevalensi disabilitas tertinggi, DIY terendah.
Jumlah anak dengan disabilitas menurut RISKESDAS 2007,
sekitar 4 persen dari anak usia 15 sampai 19 tahun mengalami kesulitan
yang signifikan pada setidaknya satu domain fungsional (penglihatan,
pendengaran, berjalan, berkonsentrasi dan memahami orang lain serta
perawatan diri) dan oleh karena itu dianggap sebagai hidup dengan
disabilitas.
Anak-anak penyandang disabilitas adalah mereka yang sering kali
tidak mendapatkan perawatan kesehatan atau bersekolah. Mereka yang
paling rentan mengalami kekerasan, pelecehan, eksploitasi dan
penelantaran, terutama jika mereka tersembunyi atau ditempatkan dalam
lembaga-seperti banyak dari mereka karena stigma sosial atau biaya
ekonomi untuk membesarkannya.
Setiap anak tidak terkecuali anak dengan disabilitas mempunyai
hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan hak-
hak lainnya. Akan tetapi jumlah anak disabilitas di Indonesia yang
ternyata tidak sedikit harus diperhatikan bersama terutama oleh
lingkungan terdekat atau orangtua. Hal ini dibuktikan dengan adanya
jumlah anak penyandang disabilitas yang semakin meningkat dari tahun
ke tahun menurut Pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang
Cacat Kementerian Sosial (2009) , terdapat 65.727 anak, yang terdiri
dari 78.412 anak dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 anak dengan
kedisabilitasan sedang dan 46.148 anak dengan kedisabilitasan berat.
Lalu berdasarkan Susenas Triwulan 1 Maret 2011, jumlah anak
Indonesia sebanyak 82.980.000. Dari populasi tersebut, 9.957.600 anak
adalah anak berkebutuhan khusus dalam kategori penyandang
disabilitas.

B. PERTANYAAN
1. Apasajakah permasalahan yang dihadapi oleh anak dengan
penyandang defabilitas ?
2. Bagaimana strategi pola asuh anak dengan difabilitas ?

C. SOLUSI
1. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh anak dengan
penyandang defabilitas.
Anak dengan disabilitas (ADD) dihadapkan dengan berbagai
permasalahan lain yang harus mereka hadapi. Rentetan persoalan
diawali dengan keharusan anak untuk bisa menerima dan
menyesuaikan diri terhadap kedisabilitasan, kemudian anak harus
berhadapan dengan reaksi lingkungan sekitar yang tidak berpihak.
Permasalahan fisik akibat disabilitas, masalah sosial psikologis
menjadi masalah berat yang harus dihadapi ADD, terlebih lagi bila
dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan tidak diperoleh anak.
Pemenuhuhan kebutuhan dan perlindungan terhadap ADD
sesungguhnya telah menjadi perhatian dunia. Konvensi Hak Anak
(KHA) yang diratifikasi berbagai negara di dunia mencakup
didalamnya adalah perlindungan dan jaminan bagi ADD, namun
dalam pelaksanaannya belum maksimal terwujud. Anak dengan
difabilitas banyak yang kurang beruntung kerana abuse dan neglect
dibanding anak normal. Anak disabilitas perempuan mendapat
kekerasan fisik maupun seksual. Anak disabilitas kurang terwakili
dalam sistem perlindungan anak. Anak disabilitas kesulitan
menjangkau pendidikan dan hampir 90% anak disabilitas di negara
berkembang tidak akses ke sekolah.
Masalah yang ditemukan di Indonesia juga tidak jauh berbeda,
banyak ADD belum bisa mengakses sistem pendidikan. Menurut
estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia,
hanya 10 % ADD yang akses ke sistem pendidikan. Data Susenas
2009 menunjukkan (43.87 %) anak disabilitas usia sekolah usia (7-17
tahun) belum pernah mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87 %)
sedang sekolah dan sekitar 20.26 % berstatus tidak sekolah lagi.
Kajian Kementrian Sosial tahun 2009 menunjukkan sebagian
besar ADD berada dalam keluarga miskin, yang faktanya
menunjukkan mereka sulit mendapatkan hak dasarnya sebagai anak
secara wajar dan memadai. Banyak situasi ADD pada keluarga
miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan khusus sesuai dengan
kedisabilitasannya dari orangtua/keluarga, kondisi khas karena
berbagai keterbatasan kemampuan keluarga miskin. Orientasi
orangtua lebih prioritas pada upaya untuk memenuhi kelangsungan
hidup keluarga, dan mengabaikan keperluan anaknya yang disabilitas
karena sumber dana yang terbatas.
2. Bagaimana strategi pola asuh anak dengan difabilitas ?
Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan
anak, Keluarga terutama orangtua bertugas untuk memberikan
perlindungan serta kasih sayang kepada anak. Keluarga mempunyai
pengaruh yang besar dalam pengasuhan kepada anak dengan
disabilitas dengan tujuan anak dengan disabilitas dapat memenuhi
kebutuhan mereka secara mandiri. orangtua wajib mendampingi
anak, mengasuh anak, dan memberikan hak-hak yang seharusnya
mereka miliki. Banyak keluarga khususnya para orangtua yang
memandang “rendah” dan hanya bisa bergantung pada orang lain.
Jumlah anak disabilitas di Indonesia yang ternyata tidak sedikit,
harus diperhatikan bersama terutama oleh lingkungan terdekat atau
orangtua. Karena anak dengan disabilitas memerlukan penanganan
khusus, tetapi tidak semua orangtua yang tulus menerima anak
dengan disabilitas dan memberikan kasih sayang. Orangtua
terkadang tidak memperdulikan atau kurangnya perhatian atau kasih
sayang orangtua kepada anak dengan disabilitas. Belum banyak
orangtua yang menerima anak dengan disabilitas dengan hati yang
tulus. Anak dengan disabilitas tidak merasakan diterima secara
penuh di lingkungan keluarga terutama orangtua. Orangtua
menganggap anak dengan disabilitas merupakan “aib” bagi keluarga.
Begitu juga dengan stigma negatif bahwa anak dengan disabilitas
hanya dapat menunggu bantuan saja dan tidak bisa melakukan
aktivitas sendiri. Reaksi orangtua mempunyai anak dengan disabilitas
juga bermacam-macam.
Orangtua anak dengan disabilitas juga harus mendapatkan
dukungan dari keluarga besar dan lingkungan di sekitar orangtua
anak misalnya tetangga terdekat ataupun temanteman dari orangtua.
Support dari keluarga besar ataupun lingkungan luar kepada
orangtua menjadi kekuatan tersendiri agar orangtua dapat benar-
benar yakin dan percaya diri untuk memberikan pengasuhan.
Dukungan sosial yang diberikan kepada anak dengan
disabilitas antara lain: Dukungan emosional, informasi, atau materi
alat bantu yang diberikan. Dukungan sosial berpengaruh terhadap
anak berkebutuhan khusus dalam membuat anak tersebut tidak
merasa berbeda dari anak normal. Support, motivasi, semangat serta
penghargaan bagi mereka sangat mempengaruhi psikis anak.
dampaknya anak semakin yakin akan potensi yang ada dalam
dirinya. Tak jarang orangtua tidak dapat melakukan coping strategy,
dampaknya biaya perawatan untuk ADD pun tergolong mahal.
Namun setidaknya terdapat tiga strategi yang biasa diadopsi oleh
masyarakat di negara-negara maju dan berkembang seperti
Australia, China dan Iran.
Dalam hal pengasuhan, orangtua harus mengetahui bagaimana
kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Pengasuhan yang baik
kepada anak dengan disabilitas yaitu cara berkomunikasi. Dengan
kemampuan berkomunikasi dapat lebih mengetahui kebutuhan
psikososial anak, antara lain: Anak harus dipersepsi sebagai
seseorang dengan kualitas-kualitas individu yang memiliki kebutuhan,
keinginan, temperamen, kepribadian dan keterampilan. Komunikasi
yang diberikan kepada anak disabilitas memang sedikit berbeda
tergantung dengan jenis disabilitas anak.

KEPUSTAKAAN

Badan Pusat Statistik. 2009. Survei Sosial Ekonomi Nasional


(SUSENAS). BPS 2009.

Fidhzalidar, G. M., 2015. Tingkat Kecemasan Sosial pada Anak


yang Mengalami Cacat Fisik di YPAC. Psychology Forum. Program
Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. 2015.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset


Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pembangunan Kesehatan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset


Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pembangunan Kesehatan.
Kementrian Sosial Republik Indonesia. Direktorat Rehabilitasi
Sosial Penyandang Cacat. Jakarta: Kementerian Sosial, 2009.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011.


Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Jakarta:
Sekretariat Negara.

Vani, G. C., Raharjo, S. T., Hidayat, E. N., Humaedi, S. 2015.


Pengasuhan (GOOD PARENTING) bagi Anak dengan Disabilitas.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. 2015.

Anda mungkin juga menyukai