Anda di halaman 1dari 28

Retinopati Diabetik Non Proliferatif (RDNP)

Musdah Mulya, Suryani Rustam

A. Pendahuluan
Retinopati Diabetik (RD) merupakan penyulit penyakit Diabetik Mellitus yang
terjadi pada usia 20 sampai 64 tahun. Penyakit ini paling ditakuti akibat sering
menyebabkan kebutaan dan saat ini merupakan penyebab hampir seperempat angka
kebutaan di negara-negara barat. Kontrol diabetik dan hipertensi yang baik akan
memperlambat pembentukan retinopati dan komplikasi diabetik lainnya. Sebanyak 60-
75% pengidap diabetik tipe 1 akan mengalami retinopati berat dalam 20 tahun sekalipun
dengan kontrol penyakit yang baik. Retinopati biasanya bersifat proliferatif. Pada pasien
diabetik tipe 2 yang lebih tua, retinopatinya lebih sering bersifat nonproliferatif, dengan
risiko gangguan penglihatan sentral yang parah akibat makulopati.1
Patogenesis awal retinopati dan mekanisme kebutaan dipengaruhi oleh perubahan
persarafan dan kerusakan aksi insulin di retina yang terjadi pada pasien diabetik mellitus.
Kemajuan-kemajuan terakhir dalam bidang bedah (vitrektomi, terapi laser) memang
menolong, tetapi banyak pasien tetap menderita retinopati proliferatif, perdarahan vitreus
rekuren dan akhirnya kebutaan bilateral. Sekarang sedang berlangsung berbagai
penelitian di semua aspek diabetik, dan dapat diharapkan bahwa generasi pengidap
diabetik berikutnya akan memperoleh banyak manfaat dari apa yang sedang dikerjakan
sekarang.1
Tersedia pengobatan untuk mencegah kebutaan tersebut, tetapi untuk hasil
terbaik, terapi harus diberikan sebelum terjadi penurunan penglihatan, yakni, pengidap
diabetik harus menjalani perneriksaan fundus secara teratur dan dirujuk bila ada indikasi
pengobatan. Kelainan utama yang harus diketahui adalah terbentuknya neovaskular di
diskus optikus dan eksudat di sekitar makula. Setiap pengidap diabetik yang mengalami
gangguan penglihatan harus dirujuk untuk menjalani pemeriksaan oftalmologik.1

B. Retina
1. Anatomi
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan, dan multi
lapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata,
mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina merupakan struktur
yang terorganisasi memberikan informasi visual ditransmisikan melalui nervus
1
optikus ke korteks visual. Retina berkembang dari cawan optikus eksterna yang
mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin.1
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm
kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun. Dari
ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior
dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior
mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang secara
sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata 250 μm,
paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 μm, menipis pada fovea dengan
ukuran 150 μm, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80 μm.1
Warna retina biasanya jingga, kadang pucat pada anemia dan iskemia, merah
pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika,
arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan
nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat
nutrisi dari koroid.2

Gambar 1. Anatomi mata

2
2. Histologi

Gambar 2. Lapisan Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Permukaan luar retina berhubungan dengan
koroid, sedangkan permukaan dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina
terdiri atas 10 lapisan dari luar ke dalam, yaitu :2
a. Lapisan epitel pigmen retina
b. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapisan terluar pada retina yang terdiri atas sel
batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.
c. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
d. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan sel
batang.Ketiga lapisan di atas merupakan lapisan yang avaskular dan mendapat
metabolisme dari kapiler koroid.
e. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapisan aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
f. Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, sel Muller.
Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
g. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aselular dan sebagai tempat sinaps
sel bipolar, sel amkrin dengan sel ganglion.
3
h. Lapisan sel ganglion merupakan lapisan badan sel daripada neuron kedua.
i. Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan – lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah
retina.
j. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.

3. Fisiologi Retina
Penglihatan bergantung pada stimulasi fotoreseptor retina oleh cahaya. Benda-
benda tertentu di lingkungan, misalnya matahari, api, dan bola lampu, memancarkan
cahaya. Pigmen-pigmen di berbagai benda secara selektif menyerap panjang
gelombang tertentu cahaya yang datang dari sumber-sumber cahaya, dan panjang
gelombang yang tidak diserap dipantulkan dari permukaan benda. Berkas-berkas
cahaya yang dipantulkan inilah yang memungkinkan kita melihat benda tersebut.
Suatu benda yang tampak biru menyerap panjang gelombang cahaya merah dan hijau
yang lebih panjang dan memantulkan panjang gelombang biru yang lebih pendek,
yang dapat diserap oleh foto pigmen di sel-sel kerucut biru mata, sehingga terjadi
pengaktifan sel-sel tersebut.3
Penglihatan warna diperankan oleh sel kerucut yang mempunyai pigmen
terutama cis aldehida A2. Penglihatan warna merupakan kemampuan membedakan
gelombang sinar yang berbeda. Warna ini terlihat akibat gelombang elektromagnetnya
mempunyai panjang gelombang yang terletak antara 440-700. Warna primer yaitu
warna dasar yang dapat memberikan jenis warna yang terlihat dengan campuran
ukuran tertentu. Pada sel kerucut terdapat 3 macam pigmen yang dapat membedakan
warna dasar merah, hijau dan biru, yaitu :3
 Sel kerucut yang menyerap long-wavelength light (red)
 Sel kerucut yang menyerap middle- wavelength light (green)
 Sel kerucut yang menyerap short-wavelength light (blue)
Pada mata normal (emetropia), sumber cahaya jauh difokuskan di retina tanpa
akomodasi, sementara dengan akomodasi kekuatan lensa ditingkatkan untuk
membawa sumber cahaya dekat ke fokus. Sinar harus melewati beberapa lapisan
retina sebelum mencapai fotoreseptor. Fungsi utama mata adalah memfokuskan
berkas cahaya dari lingkungan ke sel batang dan sel kerucut, sel fotoreseptor retina.

4
Fotoreseptor kemudian mengubah optik cahaya menjadi sinyal listrik untuk
ditransmisikan ke SSP. Bagian retina yang mengandung fotoreseptor sebenarnya
adalah kelanjutan (perluasan) dari SSP dan bukan suatu organ perifer terpisah.
Selama perkembangan mudigah, sel-sel retina “mundur” dari sistem saraf sehingga
lapisan-lapisan retina, yang mengejutkan, menghadap ke belakang. Bagian saraf dari
retina terdiri dari tiga lapisan sel peka rangsang, (1) lapisan paling luar (paling dekat
dengan koroid) yang mengandung sel batang dan sel kerucut, yang ujung-ujung peka
cahayanya menghadap ke koroid (menjauhi sinar optik); (2) lapisan tengah sel
bipolar; dan (3) lapisan dalam sel ganglion. Akson-akson sel ganglion menyatu untuk
membentuk saraf optik, yang keluar dari retina, tidak tepat dari bagian tengah. Titik
di retina tempat saraf optik keluar dan pembuluh darah berjalan disebut diskus
optikus. Bagian ini sering disebut sebagai bintik buta; tidak ada bayangan yang dapat
dideteksi di bagian ini karena tidak adanya sel kerucut dan sel batang. Dalam
keadaan normal kita tidak menyadari adanya bintik buta ini karena pemrosesan di
sentral agaknya “mengisi” kekosongan ini.3

Gambar 3. Lapisan retina yang peka terhadap rangsangan

Sinar harus melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai


fotoreseptor di semua bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan
seukuran pentul jarum yang terletak tepat di tengah retina, lapisan sel ganglion dan
bipolar tersisih ke tepi sehingga cahaya langsung mengenai fotoreseptor. Gambaran
5
ini, disertai oleh kenyataan bahwa hanya sel kerucut (dengan ketajaman atau
kemampuan diskriminatif yang lebih besar daripada sel batang) ditemukan di bagian
ini, menyebabkan fovea menjadi titik dengan penglihatan paling jelas. Pada
kenyataannya, fovea memiliki konsentrasi sel kerucut tertinggi di retina. Karena itu,
kita memutar mata kita agar bayangan benda yang sedang kita lihat terfokus di fovea.
Daerah tepat di sekitar fovea, makula lutea, juga memiliki konsentrasi sel kerucut
yang tinggi dan ketajaman lumayan. Namun, ketajaman makula lebih rendah
daripada fovea, karena adanya lapisan sel ganglion dan bipolar di atas makula.3
Retina merupakan bagian dari sistem saraf pusat, dengan karakter blood-
retinal barrier (BRB) yang menyerupai karakter blood-brain barrier (BBB). Retina
terdiri atas 10 lapisan berbeda. Melalui lapisan-lapisan retina, pembuluh darah
memberi nutrisi dan oksigen, dan dapat dibagi menjadi lapisan mikrovaskuler
superfisial (arteriol dan venul), lapisan kapiler medial, dan lapisan kapiler dalam.4

C. Definisi
Retinopati diabetik merupakan kelainan retina pada pasien diabetik melitus.
Retinopati diabetik adalah penyakit yang berpotensi merusak/menyumbat pembuluh
darah retinal secara kronis progresif, berhubungan dengan hiperglikemia yang lama dan
terkait dengan diabetik melitus juga hipertensi. RD dapat diklasifikasikan berdasarkan
keadaan klinis. Retinopati diabetik terbagi menjadi beberapa stadium, yaitu non
proliferatif dan proliferatif. Retinopati Diabetik Non Proliferatif (RDNP) merupakan
kelainan mikrovaskular yang tidak melewati membran limitan interna yang ditandai
dengan adanya mikroaneurisma, area non perfusi kapiler, kerusakan nerve fibre layer,
intra retina mikrovaskular abnormalities (IRMAs), dot-blot intraretina hemorrhages,
edema retina, hard exudates (HE), dan venous beading. RDNP dibagi menjadi ringan,
sedang, dan berat. RDNP berat didefinisikan apabila memenuhi salah satu aturan 4:2:1
yaitu mikroaneurisma di 4 kuadran, atau venous beading di 2 kuadran, atau IRMAs di 1
kuadran. RDNP berat memiliki risiko progresifitas menjadi RDP sebesar 15% dalam 1
tahun. RDNP sangat berat diklasifikasikan jika terdapat 2 atau lebih kriteria 4:2:1. RDNP
sangat berat memiliki progresifitas menjadi RDP sebesar 45% dalam 1 tahun.2,4,5
Retinopati Diabetik Proliferatif (RDP) ditandai dengan adanya neovaskularisasi
yang dipicu oleh keadaan iskemia. Neovascularization of the disk (NVD) dan
neovascularization elsewhere (NVE) merupakan tanda utama RDP. Neovaskularisasi

6
dapat mencetuskan terjadinya perdarahan vitreus dan hifema spontan. Neovaskularisasi
yang terjadi di sudut bilik mata dapat mengakibatkan glaukoma sekunder.5

D. Epidemiologi
Penderita diabetik mellitus tipe I (insulin dependent diabetik) dan tipe II (non
insulin dependent diabetik) mempunyai risiko yang besar untuk terjadinya retinopati
diabetik. Makin lama menderita diabetik mellitus makin bertambah risiko terjadinya
retinopati diabetik. Diabetik yang dialami lebih dari 20 tahun pada tipe I hampir
seluruhnya dan >60% pada tipe II menderita retinopati. Retinopati diabetik menjadi
penyulit diabetik mellitus paling penting. Hal ini diakibatkan oleh insidennya yang cukup
tinggi yaitu mencapai 40-50 % penderita diabetik dan prognosisnya yang kurang baik
terutama bagi penglihatan. Di Amerika serikat terdapat kebutaan hampir 5000 orang
pertahun akibat retinopati diabetik. Sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan
penyabab kebutaan ke 4 dari seluruh penyebab kebutaan.2
Prevalensi RD pada pasien dengan DM tipe 1 dilaporkan sebesar antara 0-3%.
Prevalensi pasien DM tipe 2 yang baru terdiagnosis didapatkan angka sebesar 6,7-3,2%.
Penelitian oleh Sya’baniyah dkk di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
menunjukkan RD merupakan komplikasi DM pada organ mata terbanyak kedua (24.5%)
setelah katarak (47.7%). Di Indonesia, data resmi mengenai jumlah penderita retinopati
diabetik belum ada sehingga angka kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati diabetik di
Indonesia belum diketahui. Tetapi, dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI
tahun 1995, kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati masuk ke dalam kategori
“kebutaan akibat penyakit lain” sebanyak 28%.5
Angka kejadian retinopati diabetik di RSUD dr. Soedarso Pontianak adalah
18,6%. Jumlah penderita RD terbanyak adalah yang berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 63,24%. Jumlah penderita RD terbanyak adalah yang sudah mengalami DM
antara 5 - 10 tahun yaitu sebanyak 45.59% dan penderita RD terbanyak berada pada
kelompok usia 50 - 54 tahun yaitu sebanyak 20.59%. Penderita RD pada penelitian ini
didominasi oleh pada penderita RD dengan kadar Hba1c >8% atau yang memiliki
kontrol glukosa darah yang buruk yaitu sebanyak 66.18% dan RD terbanyak adalah pada
fase RDNP yaitu 39 orang (57.35%) sedangkan pada fase PDR sebanyak 29 orang
(42.65%).6
Penelitian yang dilakukan di China, dari 41 referensi dan 48.995 pasien DM tipe
2, prevalensi RD, RDP dan RDNP adalah 28%, 6% dan 27%. Prevalensi RD pada pasien
7
DM tipe 2 dari Singapura, India, Korea Selatan, Malaysia, Asia dan China adalah 33%,
42%, 16%, 35%, 21% dan 25%. Pasien RDNP dari India, Korea Selatan, Malaysia, Asia
dan China memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari pasien RDP (45% vs 17%, 13% vs
3%, 30% vs 5%, 23% vs 2% and 22% vs 3%).7

E. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko RD yang tidak dapat dimodifikasi, di antaranya
adalah durasi dan usia saat terjadinya onset. Pada anak yang terdiagnosa DM sebelum
usia 5 tahun, angka harapan hidup tanpa retinopati lebih lama dibandingkan setelah usia 5
tahun terdiagnosa. Risiko klinis retinopati bertambah 28% setiap tahunnya pada masa
prepubertas dan 36% postpubertas. Sebelum usia 30 tahun, 97% memiliki retinopati dan
25% diantaranya adalah retinopati diabetik proliperatif setelah 15 tahun terdiagnosa.
Dengan semakin berkembangnya penanganan DM, angka tersebut mulai menurun.8
Berdasarkan rentang usia, diperoleh hasil bahwa pasien Retinopati Diabetik yang
terbanyak adalah pada rentang usia 45-64 tahun sebanyak 148 orang (67,5%). Penelitian
lain didapatkan pasien yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak terkena retinopati
diabetik dibandingkan dengan pasien laki-laki. Didukung juga dengan teori-teori yang
menjelaskan bahwa setelah berumur diatas 40 tahun, metabolisme dan strukstur-struktur
sel sudah lebih susah beradaptasi dan bekerja lebih lambat, apalagi setelah menopause
adanya hubungan dengan tidak seimbangnya hormon estrogen dan progesteron, ditambah
kehamilan menjadi salah satu faktor resiko pada pasien yang menderita diabetik dan
retinopati diabetik.9
Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi di antaranya, adalah kadar
HbA1C, Vitamin D, dan Index Massa Tubuh (IMT). Penanganan DM yang intensif
menurunkan risiko dan progresifitas RDNP hingga 53%. Pasien usia remaja dengan DM
tipe 1 selama lebih dari 10 tahun dan memiliki kadar HbA1c >10% berisiko terkena RD
yang dapat berkembang dalam beberapa bulan untuk mengancam hilangnya penglihatan,
sehingga pasien seperti ini harus secara periodic mendapatkan pemeriksaan fundus. Kadar
25-hidroxivitamin D yang tinggi dapat menurunkan risiko RD. Defisiensi vitamin D
memiliki efek inflamasi dan angiogenik. Hal ini turut berperan dalam terjadinya RD,
begitu juga dengan IMT yang tinggi.8
Pasien dengan hipertensi memiliki risiko mengalami retinopati 11 kali lebih
besar daripada pasien tanpa hipertensi. Penelitian dilakukan di 19 rumah sakit di Inggris,
Skotlandia, dan Irlandia. 1148 pasien diabetik melitus tipe 2 dengan rata-rata menderita
8
diabetik 2.6 tahun, rata-rata umur 56 tahun dan rata-rata tekanan darah 160/94 mmHg
dibagi menjadi 2 kelompok secara random. 758 pasien mendapat pengawasan kontrol
tekanan darah yang ketat (<150/85) mmHg dengan terapi angiotensin inhibitor atau beta
bloker dan 390 pasien tidak mendapat pengawasan kontrol tekanan darah yang ketat
(<180/105) mmHg. Tingkat keparahan retinopati diukur dengan skala Early Treatment of
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Juga dilihat adanya mikroaneurisme, perdarahan
pada vitreus, katarak, serta lesi-lesi spesifik seperti eksudat keras dan cotton-wool spots.
Setelah 4.5 tahun terlihat perbedaan yang signifikan pada perhitungan mikroaneurisme
dimana kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat 23.3% terdapat lebih dari 5
mikroaneurisme. Sedangkan kelompok dengan kontrol tekanan darah kurang ketat
sejumlah 33.5%. Efek berlanjut setelah 7.5 tahun dimana eksudat keras bertambah dari
11.2% menjadi 18.3% dengan lesi yang lebih sedikit pada kelompok dengan kontrol
tekanan darah ketat. Cotton-wool spots juga bertambah dengan jumlah yang lebih sedikit
pada kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat. 9 tahun pengamatan, pasien dengan
kontrol tekanan darah ketat mengalami pengurangan progresivitas retinopati diabetik 34%
dibandingkan yang tidak mendapat pengawasan ketat.10
Pada penelitian lain yang menggunakan fotografi retina, 1919 pasien diamati
selama 6 tahun. Fotograf difokuskan pada lesi retinopati diabetik yang dinilai
menggunakan skala Early Treatment of Diabetic Retinopa thy Study Final. Faktor risiko
dinilai setelah 3 bulan diet setelah pasien didiagnosa diabetik. Pasien diperiksa setiap 3
bulan. Hasil penelitian menyatakan, 1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak menderita
retinopati diabetik pada diagnose awal, selama 6 tahun, 22% telah berkembang menjadi
retinopati dengan mikroaneurisme pada kedua mata, bahkan lebih buruk. 703 (37 %)
pasien dengan retinopati pada saat diagnosa awal, 29 % menjadi lebih parah. Onset dan
progresivitas ini erat hubungannya dengan indeks glikemik, paparan glikemik selama 6
tahun, tingginya tekanan darah, dan kebiasaan merokok. Untuk pasien yang telah
menderita retinopati, progresivitas berhubungan juga dengan usia, jenis kelamin,
hiperglikemi, dan kebiasaan merokok.11
Hal-hal lain yang juga dikaitkan sebagai faktor risiko RD adalah peningkatan
kadar lipid serum. Ini dapat meningkatkan risiko perkembangan RD. Hiperlipidemia
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk edema makula diabetik eksudatif. Oleh
karena itu, kontrol lipid serum direkomendasikan sebagai tindakan terapi awal pada
pasien diabetes dengan statin dan fibrat. Selain itu, direkomendasikan bahwa pasien
dengan diabetes dan penyakit ginjal menjalani pemeriksaan retina yang hati-hati karena
9
risiko mengembangkan RD (hingga 58%). Merokok pun telah dikaitkan dengan insiden
yang lebih rendah dari RD, namun, mengingat tingkat morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi di antara perokok, dianjurkan berhenti merokok. Peningkatan risiko
perkembangan RD dua kali lipat selama kehamilan bagi wanita diabetes yang
merencanakan kehamilan. Selain itu, mereka harus dipantau dengan pemeriksaan glukosa
darah rutin dan pemeriksaan retina selama dan setelah masa kehamilan. Penilaian
menyeluruh terhadap RD direkomendasikan sebelum merencanakan kehamilan. Penyakit
mata diabetes lainnya seperti katarak, neuropati optik, kelumpuhan otot ekstraokular,
rubeosis iridis, dan keterlambatan penyembuhan epitel kornea harus dipertimbangkan
pada pasien dengan RD. Disarankan untuk memeriksa iris dan sudut mata untuk menilai
neovaskularisasi sebelum inisialisasi tetes mata midriatik.12

F. Patofisiologi
Hiperglikemia dan faktor genetik berkaitan dengan patofisiologi retinopati
diabetik. Terdapat beberapa mekanisme yang diduga berperan pada kerusakan
mikrovaskuler dan retinopati diabetik, antara lain: polyol pathway, glikasi non-enzimatik,
aktivasi protein kinase C (PKC), faktor genetik, inflamasi, dan stres oksidasi. Pada polyol
pathway, aldose reduktase mereduksi glukosa menjadi sorbitol dengan kofaktor
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Kemudian sorbitol diubah
menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydroginase (SDH). Sorbitol bersifat hidrofilik dan tidak
dapat berdifusi ke dalam membran sel, sehingga terjadi akumulasi yang menyebabkan
kerusakan osmotik endotel pembuluh darah retina, kehilangan perisit, dan penebalan
membran basement. Fruktosa berikatan dengan fosfat menjadi fructose-3-phosphate dan
kemudian dipecah menjadi 3-deoxyglucosone, yang nantinya dibentuk menjadi advanced
glycation end products (AGEs).4
Advanced glycation end products merupakan protein atau lemak yang dihasilkan
dari reaksi glikasi non-enzimatik dan oksidasi setelah terpapar gula aldose. Produk awal
reaksi non-enzimatik adalah schiff base, yang kemudian spontan berubah menjadi
Amadori product. Proses glikasi protein dan lemak menyebabkan perubahan molekuler
yang menghasilkan AGE. AGE ditemukan di pembuluh darah retina dengan kadar serum
berkorelasi dengan derajat keparahan retinopati. AGE dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel seperti RAGE, galectin-3, CD36, dan reseptor makrofag. AGE
memodifikasi hormon, sitokin, dan matriks ekstraseluler, sehingga terjadi kerusakan

10
vaskuler. Selain itu, AGE juga menghambat sintesis DNA, meningkatkan mRNA VEGF,
meningkatkan NF-kB di endotelium vaskuler, dan memicu apoptosis perisit retina.4
Pada Aktivasi Protein Kinase C (Pkc) Pathway dimana PKC merupakan serine
kinase yang berperan dalam transduksi hormonal, neuronal, dan stimulus growth factor.
Keadaan hiperglikemia meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG), yang merupakan
aktivator PKC. PKC β1/2 berperan penting dalam proses terjadinya retinopati diabetik.
Aktivasi PKC berperan dalam kejadian komplikasi diabetik, seperti: perubahan aliran
darah, mengatur sintesis protein matriks ekstraseluler, permeabilitas pembuluh darah,
angiogenesis, sel pertumbuhan, dan enzymatic activity alteration (MAPK). Selain itu,
vascular endothelial growth factor (VEGF) di jaringan retina juga ikut meningkat,
memicu terjadinya edema makula dan retinopati proliferasi.4
Salah satu faktor penyebab retinopati diabetik adalah ketidakseimbangan antara
pembentukan dan eliminasi reactive oxygen species (ROS). Pada fisiologi normal, ROS
membantu tubuh untuk merusak mikroorganisme asing yang dapat merusak sel. Akan
tetapi, kadar ROS tinggi dapat merusak sel melalui peroksidase lipid, modifikasi DNA,
destruksi protein, dan kerusakan mitokondria. ROS mengaktifkan poly-(ADP-ribose)-
polymerase (PARP). PARP menghambat glyceraldehyde phosphate dehydrogenase
(GAPDH), sehingga terjadi akumulasi metabolit glikolitik. Metabolit ini kemudian
mengaktifkan AGE, PKC, polyol, dan hexosamine pathway, sehingga memperburuk
keadaan retinopati.4
Hiperglikemia merupakan keadaan proinflamasi, meningkatkan sintesis nitrit
oksida (iNOS), leukotrien, dan cyclooxigenase-2 (COX2). Respons inflamasi
memperburuk proses inflamasi pada pathway lainnya melalui sitokin, adhesi molekul,
sinyal VEGF, reseptor AGE, dan perubahan regulasi nitric oxide. Hipertensi sendiri
menyebabkan stres endotel yang memicu peningkatan aktivitas VEGFs. Pasien diabetik
mellitus dengan hipertensi, mengalami peningkatan aktivitas VEGFs berlebih
dibandingkan pasien diabetik melitus tanpa hipertensi sehingga efek VEGFs, seperti
peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina dan penebalan membran basal dan
seluler yang akhirnya menyebabkan kebocoran mikrovaskuler (eksudat, perdarahan),
sumbatan pembuluh darah (iskemik, neovaskularisasi okuler) yang merupakan gejala
retinopati, menjadi berkali lipat dan menimbulkan efek yang lebih parah. Oleh karena itu,
kemungkinan pasien diabetik melitus dengan hipertensi untuk mengalami retinopati lebih
besar dibanding tanpa hipertensi.4,

11
G. Klasifikasi
Ada banyak tumpang tindih antara berbagai klasifikasi. Mereka semua mengenali
dua mekanisme dasar yang menyebabkan hilangnya penglihatan: retinopati (risiko
pembuluh baru) dan makulopati (risiko kerusakan pada fovea pusat).8
1. Retinopati
Retinopati diabetik diklasifikasikan menurut ada tidaknya pembuluh darah baru
yang abnormal sebagai berikut yang memiliki prognosis yang berbeda:
 Retinopati non-proliferatif (background / preproliferatif)
 Retinopati proliferatif
2. Retinopati diabetik non-proliferatif (RDNP) (background / preproliferatif)
a. Dalam klasifikasi internasional American Academy of Ophthalmology
(AAO), RDNP dinilai sebagai:
 Mild
 Moderate
 Severe
b. Dalam klasifikasi National Screening Committee (NSC-UK), RDNP
dinilai sebagai:
 Background (Level R1)
 Pre-proliferative (Level R2)
c. Dalam Skema Derajat Retinopati Diabetik Skotlandia, RDNP dinilai
sebagai:
 Mild background (Level R1)
 Moderate background (Level R2)
 Severe background (Level R3)

Gambar 4. 1) Fundus Normal, 2) Retinopati Diabetik Non Proliferatif, 3) Retinopati Diabetik


Proliferatif13

12
Klasifikasi RDNP berdasarkan hasil pemeriksaan retina adalah sebagai berikut:13
1. Early NPDR, ditandai dengan setidaknya satu mikroaneurisma.
2. Moderate NPDR, ada banyak mikroaneurisma, dot-and-blot hemorrhages, venous
beading dan/atau cotton wool spots.
3. Severe NPDR, ditandai oleh cotton-wool spots, venous beading dan kelainan
mikrovaskular intraretinal berat (IRMA). Hal ini didiagnosa dengan ketentuan “4-2-
1”. Diagnosa dibuat jika pasien mengalami : perdarahan intraretina difus dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran, venous beading pada ≥2 kuadran atau IRMA pada
≥1 kuadran.

Gambar 5. Klasifikasi Retinopati berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy


Study classification (ETDRSC) syang dikenal sebagai Gold Standard14

13
H. Tanda dan Gejala
Perubahan dini atau apa yang dsebut dengan RDNP, tidak memberikan keluhan
gangguan penglihatan. Perubahan dini yang reversible dan tidak mengakibatkan
gangguan penglihatan sentral dinamakan retinopati simpleks atau background
retinopathy. Bila pembuluh darah rusak dan bocor dan masuknya lipid ke makula, makula
akan edem dan penglihatan menurun. Retinopati merupakan gejala DM utama pada mata,
dimana ditemukan pada retina :2
1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama daerah vena
dengan bentuk bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus
posterior. Kadang-kadang pembuluh darah ini demikian kecilnya sehingga tidak
terlihat sedang dengan bantuan angiografi fluoresen lebih mudah dipertunjukkan
adanya mikroaneurismata ini. Mikroaneurismata merupakan kelainan DM dini pada
mata.
2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurismata di polus posterior. bentuk perdarahan ini merupakan prognosis
penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk
disbanding kecil. Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada
mikroaneurisma atau karena pecahnya kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darahbalik dengan lumennya irregular dan berkelok-kelok, bentuk
ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan tapi hal ini tidaklah demikian. Hal ini
terjadi akibat kelainan sirkulasi dan kadang-kadang disertai kelainan endotel dan
eksudasi plasma.
4. Hard exudates merupakan infiltrasi lipid ke dalam mata. Gambarannya khusus yaitu,
irreguler, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pengtata membesar dan
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Pada
mulanya tampak pada gambaran angiografi fluoresen sebagai kebocoran fluoresen di
luar pembuluh darah. Kelainan ini terutama terdiri dari bahan-bahan lipid dan
terutama banyak ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.
5. Soft exudates yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih. Biasanya terletak di bagian tepi daerah ninirigasi dan dihubungkan
dengan iskemia retina.
6. Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak di permukaan jaringan.
Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah. Tampak
14
sebagai pembuluh darah berkelok-kelok, dalam kelompok-kelompok dan bentuknya
irreguler. Hal ini merupakan awal penyakit yang berat pada RD. Mula-mula terletak
di dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca.
Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan
retina, perdarahan subhialoid (preretinal), maupun perdarahan badan kaca. Proliferasi
preretinal dari suatu neovaskularisasi biasanya diikuti proliferasi jaringan ganglia dan
perdarahan.
7. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.
8. Hiperlipidemia, suatu keadaan yang sangat jarang, tanda ini akan segera hilang bila
diberikan pengobatan.
Retinopati diabetika dapat muncul tanpa gejala, serta selanjutnya dapat
menimbulkan gangguan penglihatan sampai kebutaan, yang biasanya terjadi setelah
menderita DM selama 5 – 15 tahun (40 – 50%). Terjadi pada 60% penderita diabetes > 15
tahun. Di AS setiap tahun >8000 penderita diabetes menjadi buta karena retinopati DM.
Beberapa faktor sistemik yang dapat mempengaruhi terjadinya retinopati diabetika antara
lain adalah: (1) Hipertensi. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa baik pada retinopati
DM non-proliferativa maupun proliferativa , progresivitas retinopati berhubungan dengan
tekanan darah sistolik dan diastolik. (2) Pengendalian kadar gula darah. Pengendalian
gula darah yang baik akan memperlambat terjadinya perubahan pembuluh darah. (3)
Kehamilan. Progresifitas retinopati menjadi lebih cepat pada kehamilan.15

Gambar 6. Retinopati Diabetik15

15
Kelainan yang didapat pada retinopati diabetes bisa berupa kebocoran/kenaikan
permeabilitas kapiler dengan akibat edema retina, eksudat keras (berwarna kuning, karena
eksudasi plasma yang lama berlangsung), plak-plak wol kapas (cotton wool patches) yang
berwarna putih, tak berbatas tegas, dan terkait dengan iskemia retina, serta timbulnya
perdarahan retina akibat gangguan permeabilitas mikroanuerisma atau karena pecahnya
kapiler. Selain itu, terjadi juga obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah dalam kapiler retina. Pirau (shunt) arteri-vena bisa terbentuk sebagai akibat
pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler. Akhirnya daerah iskemik pada
retina memicu proses neovaskularisasi retina. Pembuluh darah ini sangat rapuh. Jika
neovaskularisasi terjadi sampai di vitreous, maka mudah terjadi perdarahan vitreous,
selanjutnya bekas perdarahan ini menjadi sikatriks. Sikatrik di vitreous dapat
menyebabkan ablasi retina tipe tarikan.15
Retinopati diabetika non-proliferatif terjadi akibat hiperpermebilitas pembuluh
darah yang memiliki tanda-tanda yaitu mikroaneurisma (berupa tonjolan dinding kapiler
terutama daerah kapiler vena), eksudat keras dan lunak, perdarahan retina, serta
dengan/tanpa edema makula. Edema makula terjadi karena akumulasi cairan eksudatif
dari sawar darah-retina luar yang rusak (edema ekstraseluler) atau sebagai akibat hipoksia
yang menyebabkan akumulasi cairan dalam sel retina individu (edema intraseluler).
Kedua mekanisme tersebut merupakan konsekuensi dari penutupan kapiler (iskemia),
baik secara tidak langsung (ekstraseluler) atau langsung (intraseluler). Munculnya edema
makula dapat dinilai pada pemeriksaan stereoskopik atau disimpulkan dengan adanya
eksudat intraretinal. Kebocoran dari mikroaneurisma terisolasi atau kelompok
mikroaneurisma dapat muncul sebagai area terpisah dari edema sekitarnya (edema fokus)
yang memancar keluar dari mikroaneurisma yang bocor. Eksudat dapat melukiskan tepi
edema yang meningkat, mirip dengan tanda pasang surut laut, Eksudat seperti itu
biasanya ditemukan pada lapisan plexiform luar pada pemindaian OCT melalui area
tersebut. Mekanisme edema yang lebih luas (edema difus) lebih kompleks dapat
diperkirakan terjadi sebagai akibat kebocoran kapiler yang meluas, seringkali dari segmen
kapiler dengan gangguan autoregulasi daripada mikroaneurisma diskrit. Mekanisme lain
termasuk disfungsi epitel pigmen retina atau adanya iskemia terutama yang
mempengaruhi zona pembuluh darah perifoveal.15

16
Gambar 7. Retinopati Diabetik Non Proliferatif Ringan15
Retinopati diabetika proliferatif terjadi akibat adanya proliferasi endotel sehingga
timbul neovaskularisasi. Pembuluh-pembuluh darah baru yang terbentuk tampak sebagai
pembuluh darah yang berkelok-kelok. Mula-mula terdapat pada retina, menjalar ke
depan retina, kemudian dapat masuk ke badan kaca. Bila pecah dapat menimbulkan
perdarahaan vitreus, perdarahan retina, dan memicu timbulnya jaringan parut di retina.
Fibrosis ini selanjutnya dapat menarik lepas retina dari tempat melekatnya.
Neovaskularisasi juga timbul pada permukaan iris, yang disebut rubeosis iridis. Hal ini
dapat menimbulkan glaukoma karena tertutupnya sudut bilik mata oleh pembuluh darah
baru dan juga akibat perdarahan akibat pecahnya rubeosis iridis.15

Gambar 8. Retinopati Diabetik Proliferatif beresiko tinggi15

Sebagian besar kebutaan akibat retinopati DM dapat dicegah dengan laser


fotokoagulasi yang dilaksanakan tepat waktu. Kenyataannya sebagian besar penderita

17
datang terlambat, di saat mana waktu ideal untuk fotokoagulasi sudah lewat, contohnya
pasien datang dengan visus nol (tak ada persepsi cahaya) dan mata kadang terasa nyeri.15

I. Diagnosa
Diagnosis RDNP dapat ditegakkan melalui beberapa cara. Pemeriksaan awal
untuk pasien RD dapat dilakukan secara komprehensif, dengan perhatian khusus pada
aspek-aspek yang relevan dengan RD, yaitu :16
a. Anamnesis
Prinsip anamnesis dilakukan sama halnya dalam penyakit lain. Keluhan
utama ditanyakan mengenai durasi, frekuensi dan kecepatan onsetnya. Lokasi,
keparahan, dan gejala lain yang menyertai keluhan dalam hal ini gejala okular dan
nonokular juga penting untuk diketahui. Riwayat penyakit terdahulu yang
berkaitan dengan gangguan vaskuler seperti diabetik dan hipertensi serta
penggunaan obat-obatan sistemik, khususnya kortikosteroid karena efek okularnya
yang merugikan. Begitupun dengan riwayat alergi obat. Beberapa hal yang harus
diketahui menyangkut retinopati diabetik, yaitu durasi diabetik, riwayat glikemik
yang lampau (HbA1c), riwayat penyakit dan pengobatan yang lain (mis. Obesitas,
penyakit ginjal, hipertensi sistemik, level lipid serum, kehamilan, neuropati),
riwayat penyakit mata (mis. Trauma, penyakit mata lainnya, suntikan mata,
pembedahan (termasuk perawatan laser retina dan pembedahan refraksi). Riwayat
keluarga berkaitan dengan gangguan okular, seperti strabismus, ambliopia,
glaukoma, atau katarak, dan masalah retina, seperti ablasi retina atau degenerasi
makula.16
b. Pemeriksaan Fisik
Ketajaman visual bertujuan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap
mata secara terpisah. Pada pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan huruf
terkecil yang masih dapat dilihat pada kartu baca baku (snellen card) dengan jarak
6 meter atau 20 kaki. Tajam penglihatan menentukan seberapa jelas pasien dapat
melihat. Tajam penglihatan seseorang dapat berkurang pada keadaan kelainan
refraksi seperti miopia (rabun jauh), rabun dekat (hipermetropia), astigmat atau
silendris, kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan
badan kaca keruh, serta saraf penglihatan terganggu fungsinya seperti bintik
kuning (makula luteal), saraf optik, dan pusat penglihatan di otak.16

18
Pemeriksaan tekanan intraokular (TIO) juga dapat dilakukan. Penderita
diabetik sering menunjukkan open angle glaucoma primary, dilatasi pembuluh
darah, peningkatan viskositas darah, penyempitan arteriol dan peningkatan TIO,
penyakit pembuluh retina sentral. Perdarahan kapiler, edema perikapiler dan
makula dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan onkotik dengan terjadinya
asidosis darah; hiperglikemia dengan ketosis sejalan dengan penurunan TIO.16
Pemeriksaan slitlamp adalah pemeriksaan dengan mikroskop binokular
yang dipasang di meja dengan sumber penerangan khusus yang dapat disesuaikan.
Sinar celah linier dari lampu pijar diproyeksikan ke bola mata, menerangi
penampang optik mata. Sudut iluminasi dapat bervariasi sesuai dengan lebar,
panjang, dan intensitas sinar cahaya. Pembesaran dapat disesuaikan juga (biasanya
daya 10× hingga 16×). Karena slitlamp adalah mikroskop binokular,
pandangannya adalah "stereoskopis," atau tiga dimensi. Pemeriksaan dengan
slitlamp dapat mengamati struktur matadari palpebra hingga ke lensa.16
Pemeriksaan oftalmoskopi dilakukan untuk menilai kelainan pada vaskuler
retina dan fundus okuli. Cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan
memberikan reflex fundus. Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi
sinar. Dapat dinilai kelainan pada papil saraf optik (papiledema, hilangnya pulsasi,
ekskavasi papil saraf optik, atrofi saraf optik.), pada retina (perdarahan subhialoid,
perdarahan intra retina, lidah api, dot- blots, edema retina, edema makula),
pembuluh darah retina (rasio arteri vena, perdarahan dari arteri atau vena, adanya
mikroaneurisma dari vena). Pada retinopati diabetik dapat ditemukan: 1) edema
makula, meliputi kerusakan vaskuler makula yang fokal atau difus, 2) perubahan
mikrovaskuler termasuk mikroaneurisma, perdarahan intraretina, vascular
tortuosity dan malformasi vaskuler (RDNP) yang memicu pertumbuhan vaskuler
yang abnormal pada diskus optic atau retina (RDP) dan 3) nonperfusi kapiler
retina yang dideteksi dengan angiografi retina sebagai penutupan vaskuler,
komplikasi diabetes yang mengakibatkan kebutaan dan saat ini tidak dapat
ditangani (meskipun dengan terapi ranibizumab).17
c. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis RD antara
lain dengan pemeriksaan biomikroskopi, angiografi fluoresen, ultrasonografi dan
Optical Coherence Tomography (OCT).16

19
Gambar 9. Angiografi Fluoresen13

Angiografi fluoresen dapat membantu untuk menentukan ada atau tidak


adanya area nonperfusi dan / atau area neovaskularisasi retina yang tidak
terdeteksi secara klinis dan untuk menentukan penyebab hilangnya ketajaman
penglihatan. Angiografi flouresen merupakan pemeriksaan tidak rutin pada pasien
dengan diabetik. Kebutuhan untuk angiografi yang melokalisasi kebocoran
mikroaneurisma atau daerah-daerah putus kapiler menurun karena penggunaan
agen anti-VEGF dan kortikosteroid intraokular semakin meningkat dalam
mengobati edema makula sehingga penggunaan operasi laser fokal menurun.16
Ultrasonografi adalah alat diagnostik untuk menilai status retina dengan
adanya perdarahan vitreous atau kekeruhan media lainnya. Selain itu,
ultrasonografi B-scan dapat membantu untuk menentukan tingkat dan keparahan
traksi vitreoretinal, terutama pada makula mata diabetik. Saat ini, ultrasonografi
digunakan sekunder untuk pengujian OCT. Pemeriksaan OCT merupakan
pemeriksaan yang bersifat noninvasif dan pada pemeriksaan ini dapat diperoleh
gambaran potong lintang (cross sectional) retina serta dapat menilai ketebalan
makula secara kuantitatif, traksi vitreomakular, dan mendeteksi bentuk lain
penyakit makula pada pasien dengan edema makula diabetik. Dalam praktik
klinis, keputusan sering didasarkan pada temuan OCT. Misalnya, keputusan
untuk mengulangi suntikan anti-VEGF, mengganti agen terapeutik (mis.,

20
kortikosteroid intraokular), memulai perawatan laser, atau bahkan
mempertimbangkan operasi vitrektomi. Namun demikian, ketebalan retina,
bahkan ketika diukur dengan OCT, tidak selalu secara konsisten berkorelasi
dengan ketajaman visual.16
Fotografi Fundus adalah teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi
retinopati diabetik dan telah digunakan dalam studi penelitian klinis besar.
Fotografi Fundus juga berguna untuk mendokumentasikan keparahan diabetik,
keberadaan NVE dan NVD, respon terhadap pengobatan, dan kebutuhan untuk
perawatan tambahan pada kunjungan mendatang.16

Gambar 10. Pemeriksaan OCT normal13

Gambar 11. Pemeriksaan OCT pada edema makula13


21
J. PENANGANAN
Kebutaan karena komplikasi diabetes dapat dikurangi secara bermakna dengan
melakukan pencegahan terhadap penyakit diabetes itu sendiri. Timbulnya retinopati DM
serta progresivitas retinopati dapat diperlambat apabila kadar gula darah, tekanan darah,
serta kadar kolesterol darah dikendalikan sehingga mendekati angka normal. Prinsipnya
adalah pencegahan penurunan penglihatan lebih jauh dengan laser fotokoagulasi retina.
Syaratnya ialah tepat waktu dan memadai. Untuk itu perlu dilakukan deteksi dini. Untuk
DM tipe 1 perlu dilakukan pemeriksaan retina 5 tahun setelah awitan. Sedangkan untuk
DM tipe 2 perlu pemeriksaan retina setahun sekali, mulai sejak diagnosis DM
ditegakkan.15
Kasus RDNP ringan-sedang tidak membutuhkan terapi, namun observasi
dilakukan setiap tahun dan dilakukan pengendalian glukosa darah. Pada RDNP berat
perlu pemantauan per 6 bulan untuk mendeteksi tanda-tanda progresivitas menjadi
proliferatif. Pada edema makula tanpa manifestasi klinis yang signifikan dilakukan
observasi tanpa tindakan laser. Clinically Significant Macular Edema (CSME)
membutuhkan tindakan laser fokal atau difus, injeksi intravitreal triamcinolone atau
injeksi intravitreal anti-VEGF. RDP diberi tindakan laser cito. Panretinal
photocoagulation (PRP) untuk regresi pembuluh darah baru sehingga menurunkan angka
kebutaan. Vitrektomi dilakukan pada perdarahan vitreus dan traksi vitreoretina.
Intravitreal anti-VEGF preoperatif dapat menurunkan kejadian perdarahan berulang dan
memperbaiki tajam penglihatan postoperasi.4

Gambar 11. Fotokoagulasi Panretinal13


22
Fotokoagulasi laser panretinal (PRP) pada retinopati diabetes proliferatif bertujuan
untuk regresi neovaskuler. PRP merusak area iskemi retina dan meningkatkan tekanan
oksigen mata. Area iskemi pada mata dapat memproduksi vascular endothelial growth
factor (VEGF), sehingga progresif merusak retina. Terapi PRP dapat satu atau beberapa
sesi, menggunakan laser Argon hijau atau biru membakar sebanyak 1200 atau lebih dari
500 μm dipisahkan satu dengan lainnya dengan jarak satu setengah lebar luka bakar. Efek
samping scatter PRP yaitu penurunan tajam penglihatan malam hari, perubahan
penglihatan warna, sensitivitas cahaya, tajam penglihatan perifer, dan dilatasi pupil.4
Terapi anti-VEGF adalah pilihan perawatan awal untuk edema makula. Kelompok
yang menerima terapi anti-VEGF sendiri atau dengan perawatan laser lebih baik daripada
kelompok yang diobati dengan laser saja. Terapi anti-VEGF menggunakan bevacizumab,
ranibizumab, atau aflibercept adalah pengobatan yang efektif untuk memusatkan
keterlibatan CSME. Tidak ada perbedaan statistik efek samping obat yang serius antara
ketiga obat tersebut. Peningkatan ketajaman visual yang lebih besar didapatkan pada
penggunaan aflibercept dan bevacizumab selama tahun pertama dengan visus 20/50 atau
visus dasar yang lebih buruk. Pada tahun kedua, jumlah injeksi rata-rata menurun hingga
sekitar setengah dari jumlah di tahun pertama. Efek samping yang mungkin terjadi
termasuk endophthalmitis infeksi, pembentukan katarak, ablasi retina, dan peningkatan
TIO, terutama untuk kortikosteroid seperti triamcinolone.15,17
Laser fotokoagulasi memiliki prinsip bahwa energi cahaya dapat diubah menjadi
panas (panas diserap oleh RPE) sehingga menyebabkan koagulasi protein di lapisan
retina. Jenis-jenisnya ada tiga, yaitu fokal, grid (kisi), dan panretinal. Fotokoagulasi fokal
ditujukan langsung pada daerah mikoaneurisma atau kebocoran kapiler yang lokal yang
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan edema makula. Fotokoagulasi grid
merupakan tindakan laser berbentuk kisi mengelilingi daerah edema retina akibat
kebocoran kapiler yang difus. Fotokoagulasi panretina dilakukan untuk mencegah
terbentuknya zat-zat vasoaktif sehingga dapat mencegah timbulnya serta mengakibatkan
regresi pembuluh darah neovaskuler. Sebenarnya, neovaskularisasi inilah komplikasi
yang paling ditakuti karena dapat menyebabkan glaukoma dan atau perdarahan vitreous.
Fotokoagulasi pada retinopati yang dilakukan tepat waktu serta diberikan secara adekuat
dapat mengurangi kebutaan sampai 90%.15,18

23
Gambar 12. Laser Fotokoagulasi15

Penelitian yang dilakukan oleh Mulyati, dkk didapatkan bahwa tajam penglihatan
akan meningkat lebih baik pada grup dengan tindakan laser fotokoagulasi dibandingkan
dengan injeksi intravitreal anti VEGF atau kombinasi keduanya, meskipun perbaikan itu
hanya terjadi hingga minggu keempat setelah tindakan. Sedangkan, pada minggu ke12
setelah tindakan, tajam penglihatan pada grup dengan tindakan laser fotokoagulasi akan
menurun. Meskipun demikian, hasilnya pada minggu ke-12 lebih baik jika dibandingkan
dengan kedua grup lainnya yaitu injeksi intravitreal anti VEGF dan kombinasi. Namun
demikian, tajam penglihatan tidak bisa digunakan sebagai indikator tunggal keberhasilan
suatu tindakan, karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal ini menunjukkan
bahwa kelompok dengan tindakan kombinasi dari laser fotokoagulasi dan injeksi
intravitreal anti VEGF mempunyai hasil terendah bahkan sebelum tindakan apapun
dilakukan. Sehingga, setelah tindakan dilakukan, tidak banyak yang dapat diharapkan
untuk memperbaiki tajam penglihatan lebih banyak lagi.19
Vitrektomi adalah tindakan untuk mengeluarkan vitreus yang berdarah atau
terdapat jaringan parut, dan untuk menempelkan kembali retina yang lepas karena tarikan.
Ini merupakan pembedahan untuk keadaan perdarahan yang terjadi di vitreus, ablasi
retina tarikan/kombinasi dengan ablasi rhegmatogen, neovaskularisasi tidak hilang
dengan laser fotokoagulasi, maupun edema retina tidak membaik dengan laser.15

24
K. Prognosis
Kejadian retinopati dalam 5 tahun sejak diagnosis diabetes tipe 1 sangat jarang,
namun retinopati pada diabetes tipe 2 sangat bervariasi. Pengendalian glukosa darah
dengan kadar HbA1c hingga 6,5% dan pemeriksaan mata berkala sesuai derajat retinopati
diabetes dapat mencegah kebutaan. Peningkatan kadar glukosa darah mendadak dapat
mempengaruhi kejadian retinopati. Selain mengontrol glukosa darah, tekanan darah dan
kadar lipid yang terkontrol juga mencegah terjadinya retinopati. Pada penelitian Early
Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) pada 3.711 pasien RD, PRP dapat
menurunkan risiko kebutaan sampai kurang dari 2% jika dilakukan pada derajat
keparahan yang tepat (RDNP berat dan RDP) dan terapi laser fokal pada kasus makula
edema dapat menurunkan angka kebutaan sampai 50%. Diabetic Retinopathy Vitrectomy
Study (DRVS) menyimpulkan bahwa terapi vitrektomi dini pada kasus RDP pasien DM
tipe1 dapat mempertahankan tajam penglihatan pasien; 2 tahun setelah operasi, 36%
pasien vitrektomi dini dan 12% pasien vitrektomi terlambat memiliki tajam penglihatan
20/ 40 atau lebih baik.20,21

25
Daftar Pustaka

1. Riorden-Eva P, Augsburger Jj. Vaughan & Asbury’s : Oftalmologi Umum Ed. 17.
2010. Mc Grav-Hill Education. Hal 190-193, 319, 405, 419.
2. Ilyas S, Yulianti Sr Ilmu Penyakit Mata Ed. 5. 2017. Bp-Fkui. Hal 10-11, 230-
234.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Ed. 6. 2012. Egc. Hal 211-
221.
4. Elvira, Suryawijaya Ee. Retinopati Diabetes. Cdk-274/ Vol. 46 No. 3 Th. 2019.
Rsu Kabupaten Kerinci, Jambi. Hal 220-224.
5. Yusran M. Retinopati Diabetik: Tinjauan Kasus Diagnosis Dan Tatalaksana. Jk
Unila, Volume 1, Nomor 3. 2017. Hal 578-582.
6. Dwi Ac. Gambaran Karakteristik Retinopati Diabetika Di Rumah Sakit Umum
Dr. Soedarso Pontianak. 2016. Fk Tanjungpura. Hal 8-12.
7. Yang Qh, Zhang Xm, Li Xr. Prevalence Of Diabetic Retinopathy, Proliferative
Diabetic Retinopathy And Non-Proliferative Diabetic Retinopathy In Asian T2dm
Patients: A Systematic Review And Metaanalysis. Int J Ophthalmol, Vol. 12, No.
2, Feb.18, 2019. Hal. 302-311.
8. The Royal College Of Ophthalmologists. Diabetic Retinopathy
Guidelines.2012.Hal. 6-9, 25-27
9. Ilery T, Sumual V, Rares L. Prevalensi Retinopati Diabetik Pada Poliklinik Ilmu
Kesehatan Mata Selang Satu Tahun. 2013. Hal 7-9.
10. Shah, C. A. 2004. Risks of Progression of Retinopathy and Vision Loss Related to
Tight Blood Pressure Control in Type 2 Diabetes Mellitus. Hal. 1631-1639.
11. Stratton IM, Kohner EM, Aldington SJ, Turner RC, Holman RR, Manley SE,
Matthews DR. 2001. UKPDS 50: Risk Factors For Incidence And Progression Of
Retinopa Thy In Type II Diabetes Over 6 Years From Diagnosis. Diabetologia.
Hal. 156-163.
12. Rejavi Z, Safi S, Javad Ma, Et Al. Diabetic Retinopathy Clinical Practice
Guidelines: Customized For Iranian Population. Journal Of Ophthalmic And
Vision Research. 2016. Hal. 397-399.
13. Vislisel J, Oetting T. Diabetic Retinopathy: From One Medical Student To
Another. 2010. University Of Iowa Health Care Opthalmology And Visual
Sciences. Hal 1-7.
26
14. Gupta N, Gupta R. Diabetic Retinopathy – An Update. Jimsa Jan. - Mar. 2015
Vol. 28 No. 1. Department Of 1ophthalmology And 2medicine,Himalayan
Institute Of Medical Sciences, Dehradun, Uttarakhand, India. Hal 54-56
15. Suhardjo, Hartono. Buku Ilmu Kesehatana Mata. 2007. Fk Ugm. Hal 122-126
16. Preferred Practice Patterns Committee. Preferred Practice Pattern: Diabetic
Retinopathy. American Academy Of Ophthalmology.2017. Hal 10-13.
17. Wang W, Lo Acy. Review Diabetic Retinopathy: Pathophysiology And
Treatments. Int. J. Mol. Sci. 2018, 19, 1816; Doi:10.3390/Ijms19061816. Hal 4.
18. Altomare F, Kherani A, Lovshin J. Retinopathy Diabetes Canada Clinical Practice
Guidelines Expert Committee. Can J Diabetes 42 (2018). Hal 212-213.
19. Mulyati, Amin R, Santoso B. Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik
Yang Diterapi Dengan Laser Fotokoagulasi Dan Atau Injeksi Intravitreal Di
Rumah Sakit Moh. Hoesin Palembang. Mks. Vol. 47(2). 2015. Hal 119-120.
20. Garg S, Davis RS. Diabetic Retinopathy Screening Update. Clinical Diabetes •
Volume 27, Number 4, 2009. Hal 140-142.
21. Unnikrishnan AG, Kalra S, Tandon N. Diabetic retinopathy care in India: An
Endocrinology Perspective. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism.
Vol. 20. 2016. Hal 1-2.

27
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019
UNIVERSITAS HALU OLEO

RETINOPATI DIABETIK NON PROLIFERATIF (RDNP)

PENYUSUN :
Musdah Mulya, S. Ked
K1A1 13 087

PEMBIMBING :
dr. Suryani Rustam, Sp.M, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
28

Anda mungkin juga menyukai