Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi
Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas

penyebaran serabut serabut saraf optik, letaknya antara badan kaca dan koroid.
Bagian anterior berakhir pada ora serata. Retina terdiri atas lapisan yang melapisi
bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Di bagian retina yang
letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan yang terdapat makula lutea (bintik
kuning) kira-kira berdiameter 1-2 mm yang berperan penting untuk ketajaman
penglihatan. 2,5
Kira-kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah
bulat putih kemerah-merahan, disebut papil saraf optik, yang di tengahnya agak
melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk
ke dalam bola mata di tengah papil saraf optik. Arteri retina merupakan pembuluh
darah terminal.5
Retina memiliki ketebalan sekitar 10 mm dan terdiri atas 10 lapisan7,9 :
1. Lapisan epitel pigmen. (Retinal Pigment Epithelium/RPE).
2. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang
yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.
3. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
4. Lapis nukleus luar, merupakan susuan lapis nukleus sel kerucut dan
batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari
kapiler koroid.
5. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
7. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat
sinapsis sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel dari neuron kedua.

9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah
saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh
darah retina.
10. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan
badan kaca.

Gambar 1. Fundus okuli normal pada pemeriksaan funduskopi.


Terdiri dari retina, makula, fovea, blind spot/optic disc dan posterior pole
(retina yang terletak antara makula dan optic disc).
(available at : http://www.kellogg.umich.edu/theeyeshaveit/anatomy
/normal-fundus.jpg )
2.2.

Diabetes Mellitus (DM)


2.2.1. Definisi DM
Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.6
Tingkat prevalensi DM adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16
juta kasus diabetes di Amerika Serikat (AS) dan setiap tahunnya

didiagnosis 600.000 kasus. DM merupakan penyebab kematian ketiga di


AS dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat
retinopati diabetik.6
Apabila seseorang telah didiagnosis menderita diabetes sebelum
berusia 30 tahun, maka ia mempunyai resiko perkembangan retinopati
diabetik sekitar 2% per tahun. Semakin lama seseorang menderita DM,
maka kemungkinan untuk menderita retinopati diabetik semakin besar.4
Setelah 5 tahun menderita DM, 23% pasien dengan DM tipe I akan
menderita retinopati diabetik, dan setelah 15 tahun menderita DM, 80%
akan terkena retinopati diabetik. Pasien diabetes dengan DM tipe II juga
memiliki insidensi retinopati diabetik yang serupa dengan DM tipe I hanya
sedikit lebih rendah.5 Pasien dengan kelainan toleransi glukosa dan
kelainan glukosa puasa juga dapat tetap beresiko mengalami komplikasi
metabolik diabetes.6
2.2.2. Epidemiologi DM
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia
kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes
melitus di dunia.8
Pada 2006, jumlah penyandang diabetes (diabetasi) di Indonesia
mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar
mengidap, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara
teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi diabetes di
Indonesia berkisar 1,5 sampai 2,3, kecuali di Manado yang cenderung
lebih tinggi, yaitu 6,1%.8
Menurut Ketua Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) Prof Dr dr
Sidartawan Soegondo, Sp.PD, penyakit diabetes di Indonesia adalah DM
tipe 2, merupakan jenis penyakit diabetes yang mencakup lebih dari 90%
seluruh populasi diabetes.8

2.2.3. Klasifikasi DM
Perkembangan klasifikasi diabetes mellitus yang di perkenalkan
oleh American Diabetes Association (ADA) dan telah disahkan oleh World
Health Organization (WHO) dan juga telah dipakai di seluruh dunia. Ada
empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa : (1) diabetes mellitus
tipe 1 dan 2, (2) diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan (3) tipe
khusus lain. Dua kategori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah
gangguan toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa.6
DM tipe I dikenal dengan tipe jouvenile onset.4 Insidensi diabetes
mellitus tipe I sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat
dibagi dalam dua subtipe : (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan
kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan
tidak diketahui sumbernya.6,9
DM tipe II dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe adult onset atau
tipe non dependen insulin.4 Insidens DM tipe II sebesar 650.000 kasus
baru setiap tahunnya. Sedangkan gestational diabetes mellitus (GDM)
dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua
kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas,
multiparitasm dan adanya riwayat keluarga.6
2.2.4. Diagnosis DM
Diagnosis DM harus didasarkan pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI (Persatuan
Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian
besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.9
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas.6 Sedangkan gejala tidak khas DM
diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah

cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala


khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.9
2.2.5. Pengobatan DM
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi,
yaitu berupa pemberian edukasi perencanaan makan / terapi nutrisi medik,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapati adanya
kelebihan berat badan atau obesitas.8 Bila langkah-langkah pengendalian
DM belum dapat tercapai, maka dilanjutkan dengan pemberian terapi
medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan
pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai.6,9
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat
hiperglikemia oral :9
a.

Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan


secara bertahap.

b. Harus diketahui pasti bagaimana cara kerja dan efek samping


obat-obat tersebut.
c. Bila diberikan

bersamaan

dengan obat lain,

pikirkan

kemungkinan adanya interaksi obat.


d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hiperglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal,
baru beralih kepada insulin.
e. Usahakanlah agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Selain pengelolaan glukosa darah, faktor-faktor lain seperti berat
badan, tekanan darah, dan profil lipid, juga perlu diperhatikan. Sehingga
komplikasi kronik diabetes seperti, nefropati diabetik dan retinopati
diabetik yang sering menyebabkan kebutaan permanen pada penderita DM
juga dapat dicegah.6
2.3.

Retinopati Diabetik (RD)


2.3.1. Definisi RD

10

Retinopati diabetik adalah kelainan pada retina (retinopati), yang


merupakan komplikasi dari penyakit DM.10 RD merupakan suatu
mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan
pembuluh-pembuluh halus.2 Kebanyakan penyebab kebutaan di negaranegara berkembang seperti di negara barat disebabkan oleh komplikasi
penyakit diabetes.9
2.3.2. Epidemiologi RD
Angka kejadian retinopati diabetik dipengaruhi tipe diabetes
melitus (DM) dan durasi penyakit. Pada DM tipe I (insulin dependent atau
juvenile DM ), yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas,
umumnya pasien berusia muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik
ditemukan pada 13 persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang
dari 5 tahun, yang meningkat hingga 90 persen setelah DM diderita lebih
dari 10 tahun.11
Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan
oleh resistennya berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa
usia 30 tahun atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen
pasien penderita DM kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84
persen setelah menderita DM selama 15-20 tahun.11
2.3.3. Patofisiologi RD
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor
dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat
tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan
yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang
disebut fovea. Kelainan dasar dari RD terletak pada kapiler retina tersebut.
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan, dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel.10
Pada penderita DM terjadi gangguan metabolisme karbohidrat
akibat kurangnya insulin di dalam tubuh penderita. Peningkatan kadar gula

11

darah penderita akan menimbulkan pengaruh terhadap struktur dinding


pembuluh darah kapiler di retina sehingga fungsinya terganggu. Kadar
gula darah yang tinggi dalam waktu yang lama akan mengakibatkan terjadi
perubahan glukosa menjadi sorbitol.3
Peningkatan kadar sorbitol akan mengganggu perisit intramular,
dimana sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
kapiler, serta mengendalikan proliferasi endotel.7 Sehingga peningkatan
sorbitol ini akan mempengaruhi otoregulasi dari kapiler retina. Akibatnya
dinding kapiler retina akan melemah dan mengakibatkan terjadi
penonjolan pada suatu tempat atau yang dikenal dengan mikroaneurisma,
sebagai gejala pertama dari retinopati diabetik.3

Gambar 2. Penemuan klinis pada retinopati diabetik nonproliferative.


(available at: http://cetrione.blogspot.com/2008/09/retinopati-diabetiknonproliferatif.html)
Apabila mikroaneurisma berlanjut maka kerusakan pembuluh darah
kapiler ini bisa bertambah berat dan mikroaneurisma ini bisa pecah.
Terjadi perdarahan dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
yang mengakibatkan merembesnya cairan dari dalam pembuluh darah
keluar kapiler dan menumpuk di makula (edema makula) dan secara klinis
terlihat sebagai penebalan retina serta gambaran eksudat.3

12

Pada saat inilah visus penderita akan terganggu. Yang kemudian


dapat menyebabkan terjadi sumbatan pembuluh darah kapiler retina dan
mengakibatkan hipoksia jaringan retina. Infark dari jaringan neuroretina
akan memberikan gambaran cotton wool spots.3

Gambar 3. Cotton wool spots. Gambaran Ini terlihat akibat adanya


mikroinfark pada lapisan serat saraf. (available at:
http://cetrione.blogspot.com/2008/09/retinopati-diabetiknonproliferatif.html)
Jaringan retina yang iskemia akan makin bertambah luas, dan ini
akan

mengakibatkan

merangsang

timbulnya

pembentukan

faktor

pembuluh

vasoproferatif
darah

baru

yang

akan

(neovaskuler).

Pembentukan neovaskuler ini terjadi pada jaringan vena menembus


membran limitan interna dan pada jaringan kapiler diantara permukaan
retina dan membrana hialoid. Neovaskuler yang paling banyak ditemukan
berada di daerah sekitar papil nervus optikus.3
Pembuluh darah yang baru terbentuk ini betumbuh di depan retina
dan ruang subhialoid. Pembuluh darah baru ini merupakan jaringan yang
rapuh dan oleh karena goyangan badan kaca (corpus vitreum), maka
mudah terjadi robekan pembuluh ini dan akan terjadi perdarahan di
permukaan retina atau ke dalam badan kaca, yang tentu saja akan sangat
mengganggu penglihatan penderita.3

13

Pembentukan pembuluh darah baru ini akan menyebabkan


tebentuknya jaringan fibrongial, sehingga setiap peningkatan pembuluh
darah baru selalu disertai dengan pembentukan jaringan fibrosis. Pada
stadium lanjut, seringkali pembuluh darah sudah menciut dan yang tersisa
adalah jaringan fibrosis yang menempel ke retina dan membran hialoid.3
Apabila badan kaca berkontraksi dan tarikan ini diteruskan ke
retina oleh jaringan fibrotik tadi, maka terjadilah edema retina dan dapat
menyebabkan terjadi robekan pada retina yang dapat berakibat terjadinya
ablasio retina (retinal detachment).3 Pembuluh darah baru yang terbentuk
menimbulkan perdarahan prerenia dan vitreus. Neovaskularisasi dapat
menimbulkan glaukoma.3

Gambar 4. Proliferative diabetic retinopathy


(available at : http://blog.visivite.com/eyehealth/diabetic-retinopathy/)
Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetik
proliferatif dan merupakan penyebab utama dari kebutaan permanen.
Selain itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular yang menyebabkan ablasio
retina juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada retinopati
diabetik proliferatif.3
2.3.4. Klasifikasi RD
2.3.4.1. Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)

14

Pada stadium ini ditemukan gambaran : 2,3


1. Mikroaneurisma.
Merupakan gejala awal dari stadium ini. Terdapat penumpukan
fibrin dan sel darah merah didalamnya. Dapat berubah warna
menjadi kekuningan, apabila terjadi terjadi proliferasi sel
endotel kapiler. Apabila mikroaneurisma ini pecah, maka
terjadilah bercak perdarahan.
2. Bercak perdarahan.
Apabila masih kecil, dapat diragukan dengan mikroaneurisma.
Yang bisa membedakannya adalah angiografi fluoresein.
Perdarahan

yang

terjadi

dilapisan

dalam

dari

retina

memberikan gambaran bercak perdarahan. Dan apabila


perdarahannya terjadi di lapisan serabut saraf maka akan
terjadi gambaran perdarahan yang berbentuk lidah api.
3. Eksudat padat.
Akibat gangguan pada blood retinal barrier, maka terjadilah
perembesan cairan plasma yang mengandung protein dan lipid
keluar pembuluh darah kapiler ini. Apabila cairannya diserap
oleh tubuh, maka yang tinggal memberikan gambaran eksudat
padat.
4. Cotton wool spots.
Merupakan daerah infark dari jaringan retina akibat oklusi
arteriol prekapiler. Pada pemeriksaan angiografi terlihat tidak
adanya perfusi kapiler, sehingga terlihat hipofloresensi.
5. Sausage appearance
Gambaran pembuluh darah vena yang tidak sama besar dan
melebar pada tempat-tempat tertentu akan memberikan
gambaran

seperti

sosis.

Keadaan

ini

sejalan

dengan

peningkatan iskemia retina, sehingga pelebaran vena ini sering


berlanjut dengan Proliferative Diabetic Retinopathy.
6. Edema Makula

15

Diduga disebabkan oleh karena nekrosis dan rusaknya fungsi


kapiler retina. Sehingga terjadi eksudasi dan rembesan yang
menimbulkan edema makula. Visus biasanya sudah terganggu.
Pada NPDR dibagi menjadi beberapa tingkatan :12
a. Mild non proliferative retinopathy
Pada tahap awal, mikroaneurisma terjadi pada daerah kecil
berbentuk seperti balon, membengkak pada pembuluh darah
kecil retina.
b. Moderate non proliferative retinopathy
Seiring dengan bertambah buruknya penyakit, sebagian
pembuluh darah kapiler retina menjadi tersumbat. Dan timbul
hipoksia jaringan retina.
c. Severe non proliferative retinopathy
Semakin banyak pembuluh darah kapiler retina yang
tersumbat, sehingga suplai darah menjadi berkurang. Beberapa
area retina yang kekurangan suplai darah mengirim sinyal ke
tubuh untuk membentuk pembuluh darah baru untuk suplai
makanan.
Kemudian stage berikutnya adalah proliferative diabetic
retinopathy (PDR).
2.3.4.2.Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR)
Kelainan fundus yang ditemukan pada NPDR, dapat
berlanjut dan meningkat dengan terdapatnya :3

Neovaskularisasi
Merupakan gejala utama PDR ini. Dengan pemeriksaan
angiografi fluoresein, akan terlihat jaringan pembuluh darah
baru dan disertai dengan merembesnya cairan fluoresein
disekitar pembuluh darah tersebut sehingga memberikan kesan
hiperfloresensi.

Perdarahan Badan Kaca

16

Pada awalnya dapat hanya berupa gumpalan darah didalam


badan kaca dan akhirnya tersebar merata di badan kaca.
Gangguan visus pada stadium ini adalah yang terberat.

Ablasio Retina
Retina terlihat terangkat dan bisa ditemukan robekan pada
retina. Agak berbeda dengan ablasio regmatogenosa (retina
terlihat bergelombang), ablasio akibat tarikan ini terlihat kaku
dan tidak banyak gelombangnya. Pada stadium ini terlihat
adanya kaitan antara retina dengan jaringan fibrosis yang ada
didalam badan kaca tersebut.

2.3.5. Penurunan Tajam Penglihatan pada penderita RD


Berbeda dengan kebutaan yang disebabkan oleh penyakit katarak
yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang disebabkan oleh RD tidak dapat
ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun. Kebutaan yang
terjadi adalah kebutaan permanen.16
Pada penglihatan kabur, penderita mengalami perubahan osmotik
di dalam lensa karena fluktuasi kadar glukosa darah, dengan kata lain
lensa berubah bentuk, kemudian penglihatan menjadi kabur. Penurunan
tajam penglihatan merupakan tanda peringatan terjadinya retinopati.
Ketajaman penglihatan adalah nilai kebalikan sudut (dalam menit)
terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan.16
Pemeriksaan ketajaman penglihatan dapat dilakukan menggunakan
Optotype Snellen.7
Optotype Snellen terdiri atas sederetan huruf dengan ukuran yang
berbeda dan bertingkat serta disusun dalam baris mendatar. Huruf yang
teratas adalah yang besar, makin ke bawah makin kecil. Pendrita membaca
Optotype Snellen dari jarak 6 m, karena pada jarak ini mata akan melihat
benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pembacaan mulamula dilakukan oleh mata kanan dengan terlebih dahulu menutup mata
kiri. Lalu dilakukan secara bergantian.7,16

17

2.3.6. Diagnosis dan Pemeriksaan pada RD


Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan
retina secara rutin. Penderita DM dianjurkan untuk memeriksa retina mata
pada kesempatan pertama menderita DM atau di diagnosis menderita DM
dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai
dengan keadaan kelainan retinanya.9
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Retina diperiksa dengan oftalmoskopi direk, oftalmoskopi
indirek dan lensa kontak khusus (misal lensa bercermin tiga). Teknik yang
harus dikuasai oleh non spesialis adalah oftalmoskopi direk. Hasil terbaik
pada oftalmoskopi direk didapatkan jika pupil didilatasi lebih dahulu
dengan tropikamid, suatu midriatikum kerja pendek.14
Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. 9 Teknik pemeriksaan
angiografi fluoresein menghasilkan informasi mendetail mengenai
sirkulasi retina.15 Pada angiografi fluoresein penderita disuntik dengan
larutan yang disebut sebagai larutan fluorosein. Zat warna fluoresein ini
akan beredar di dalam darah selaput jala pasien. 15 Kemudian, digunakan
kamera fundus untuk mengambil foto retina. Teknik ini bermanfaat dalam
diagnosis maupun rencana terapi.14
2.3.7. Pencegahan dan Pengobatan RD
Pencegahan dan Pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya
yang harus dilakukan untuh mencegah dan menunda timbulnya retinopati
dan juga untuk memperlambat perburukan retinopati.9
Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik saat ini
meliputi :9
a. Kontrol glukosa darah
b. Kontrol tekanan darah

18

c. Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi


(jarang dilakukan)
d. Fotokoagulasi dengan sinar laser
-

Fotokoagulasi

panretinal

untuk

retinopati

diabetik

proliferatif atau glaukoma neovaskular


-

Fotokoagulasi fokal untuk edema makula

e. Vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina


Kendali atas kelainan metabolik pada penderita diabetes dapat
mencegah komplikasi mikrovaskuler. Diabetes and Control Complications
Trial menunjukkan bahwa kendali metabolik yang optimal itu bisa
mengurangi progresifitas timbulnya retinopati diabetik. Keuntungan
kendali kadar glycemic secara intensif tetapi perlu di follow up. Lalu,
kontrol metabolisme glukosa yang optimal harus suatu target perawatan
penting dan harus diterapkan sejak awal dan dipertahankan sebisa
mungkin. Kendali hipertensi juga efektif di dalam mengurangi
progrestifitas penyakit. Hiperlipidemia telah dihubungkan dengan adanya
eksudat retina pasien dengan retinopati diabetik, dan beberapa bukti
menyatakan bahwa lipid-lowering therapy dapat mengurangi exudates dan
microaneurysms.4,9,13
Oleh karena terbatasnya pengobatan, terapi farmakologi baru
sedang dikembangkan, mengarahkan pada dasar mekanisme biokimia yang
menyebabkan retinopati diabetik. Dasar pemikiran tersebut, suatu agen
yang dapat mencegah retinopati diabetik. Mekanisme yang berperan dalam
perusakan selular retina meliputi peningkatan jalur polyol mendorong
kearah akumulasi sorbita, sehingga menghasilkan advanced glycosylation
end product (AGEs), tekanan oxidative yang meningkat, dan pengaktifan
jalur protein kinase C (PKC)- menjadi terapi baru untuk pengobatan
retinopati diabetik. Formasi pembuluh darah berperan sangat penting
dalam perkembangan terjadinya PDR, dan berbagai agen angiogenik
berpotensial juga dalam terapi untuk retinopati diabetik.14.15
2.4.

Kerangka Teori

19

20

Anda mungkin juga menyukai