Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein serta
menghasilkan komplikasi kronik seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan
gangguan neuropati sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Dipiro et al. 2015).
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM diIndonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang
DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes
Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.
Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik
dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7
di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM (PERKENI 2015).
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi. Pada tahap akut, komplikasi diabetes terjadi akibat gangguan
metabolik seperti hipoglikemia atau krisis hiperglikemia sedangkan pada tahap
kronik, gangguan ini terjadi akibat kerusakan mikrovaskular berupa kelainan pada
retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati) serta
makrovaskular dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit
jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah) (PERKENI 2015,
Waspadji 2014). Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap
infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberculosis paru
dan infeksi kaki, yang kemudian berkembang menjadi ulkus diabetes (Waspadji
2014). Sedangkan komplikasi menahun DM di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
tahun 2011 terdiri atas neuropati 54%, proteinuria 26,50%, ulkus diabetik 8,70%,
retinopati 33,40%, angina 7,40%, dan Peripheral Artery Disease (PAD) 10,90%
(Kemenkes 2014).

1
Ulkus diabetik di Indonesia merupakan permasalahan yang belum dapat
terkelola dengan baik. Ulkus diabetik atau lebih dikenal dengan kaki diabetik
adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang mengalami perubahan
patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan abnormalitas
neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan atau
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas bawah (Alexiadou and
Doupis 2012). Berdasarkan uji statistik Chi-Square didapatkan 2 variabel yang
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ulkus diabetikum yaitu PAD dan
trauma. Sedangkan, hasil uji statistik regresi logistik ganda menyatakan bahwa
lama DM, neuropati, PAD, riwayat trauma, dan perawatan kaki merupakan faktor
risiko terjadinya ulkus diabetikum. PAD dan trauma adalah faktor yang paling
berpengaruh (Loviana, Rudy, dan Zulkarnain 2015).
Prevalensi terjadinya ulkus diabetik di Indonesia sebesar 16% dan 25%
sering kali berakhir dengan kematian dan amputasi (Waspadji 2014). Sebagian
besar (60-80%) ulkus kaki akan sembuh, sementara 10-15% dari mereka akan
tetap aktif, dan 5-24% dari mereka akhirnya akanmenyebabkanamputasi anggota
badandalam jangka waktu 6-18 bulan setelah evaluasi pertama (Alexiadou and
Doupis 2012). Selain itu, telah diperkirakan bahwa 15% ulkus kaki diabetik
menghasilkan amputasi ekstremitas bawah dan 85% pasien diabetes yang
menjalani amputasi ekstremitas bawah memiliki ulkus sebelum amputasi.
Kematian relatif 5 tahun setelah ulkus kaki diabetik adalah 48% (International
Diabetes Federation 2017). Untuk itu perlu dilakukan pencegahan dini dan
pengobatan yang tepat guna mengatasinya. Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi
menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan
terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadinya perlukaan pada kulit)
dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi) (Waspadji
2014).
Menurut hasil penelitian Susanti Antonia Ari (2007) dari hasil evaluasi
Drug Related Problems (DRP) pasien diabetes melitus dengan komplikasi
ulkus/gangren ditemukan 13 kasus mengalami aktual DRP, yaitu 8 kasus dosis

2
kurang, 6 kasus butuh terapi obat tambahan, 2 kasus obat tidak tepat, dan tidak
perlu obat serta dosis berlebih masing-masing 1 kasus. Potensial DRP juga
ditemukan pada 2 kasus, yaitu tidak perlu obat dan adverse drug reaction masing-
masing 1 kasus. Menurut hasil penelitian Hajma Lilla Prapdhani Agni (2016) hasil
evaluasi menurut kriteria ketepatan penggunaan antibiotik yang digunakan di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan
komplikasi ulkus/gangren yaitu 100% tepat indikasi, 100% tepat pasien, 42,3%
tepat obat, dan 61,9% tepat dosis. Menurut hasil penelitian Umboro Recta Olivia
(2012) penggunaan antidiabetika pada ulkus diabetik di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta yaitu insulin (46,7%), obat hipoglikemik oral (OHO) (18,1%), terapi
kombinasi OHO-OHO (20,5%), terapi kombinasi insulin-OHO (13,9%), dan
terapi kombinasi insulin-insulin (0,8%).
Penderita DM di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi menduduki
urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak pada rawat jalan dengan jumlah
sebanyak 11.172 pasien dan urutan kelima dari 10 penyakit terbanyak pada rawat
inap dengan jumlah sebanyak 349 pasien. Selanjutnya dari data tersebut
ulkus/gangren memiliki prevalensi 12,03% dari pasien rawat inap dan 1,92% dari
pasien rawat jalan.
Semakin tingginya prevalensi penderita DM dengan komplikasi
ulkus/gangren maka perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi pengobatan
pada pasien DM dengan komplikasi ulkus/gangren di Rumah Sakit Islam Jakarta
Pondok Kopi dengan analisis DRPs. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non
eksperimental yang dianalisis secara deskriptif non analitik. Pengambilan data
dilakukan secara retrospektif terhadap data rekam medis seluruh pasien Ulkus
Diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
B. Permasalahan penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat
dirumuskan beberapa permasalahan mengenai evaluasi pengobatan diabetes
melitus dengan komplikasi ulkus diabetikum pada pasien di Rumah Sakit Islam
Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-2017, sebagai berikut di bawah ini.

3
1. Bagaimanakah gambaran pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-
2017, meliputi umur, jenis kelamin, penyakit penyerta serta tingkat
keparahan ulkus ?
2. Bagaimanakah gambaran pengobatan yang digunakan oleh pasien ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-
2017, meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat ?
3. Adakah Drug Related Problems (DRP) yang terjadi pada pasien ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-
2017, meliputi tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat lama
pemberian?
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui gambaran pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-2017,
meliputi umur, jenis kelamin, penyakit penyerta serta tingkat keparahan
ulkus.
2. Mengetahui gambaran pengobatan yang digunakan oleh pasien ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-
2017, meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat.
3. Mengetahui gambaran kerasionalan penggunaan obat pada pasien ulkus
diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-
2017, meliputi tepat obat, tepat dosis, dan tepat lama pemberian.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan yang
berkaitan dengan peresepan obat pasien ulkus diabetikum sehingga dapat
digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan perbaikan terapi.
2. Bagi perguruan tinggi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut
khususnya dalam bidang farmasi klinis.

4
3. Bagi peneliti
Dapat memahami penggunaan obat pada pasien ulkus diabetikum secara
tepat, aman dan rasional.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Definisi, Tanda dan Gejala Diabetes Melitus
Menurut International Diabetes Federation (IDF) 2013, diabetes melitus
adalah penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup
insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Gejala awal yang
paling umum terjadi pada pasien DM tipe 1 adalah adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, dan kelesuan disertai hiperglikemia. Sedangkan
gejala yang terjadi pasien DM tipe 2 adalah kelesuan, poliuria, nokturia, dan
polidipsia, penurunan berat badan yang signifikan kurang umum; Lebih sering,
pasien kelebihan berat badan atau obesitas (Dipiro et al. 2015).
2. Diagnosis Diabetes Melitus
Gejala klasik dari diabetes umumnya meliputi poliuria, polidipsi, dan
penurunan berat badan secara tidak jelas. Gejala diabetes juga dapat ditunjukkan
dari hasil tes yang memenuhi kriteria berikut:
a. A1C ≥6.5% (48 mmol/mol).
b. Konsentrasi plasma glukosa puasa (yaitu tidak ada asupan makan selama 8
jam) 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
c. Konsentrasi plasma glukosa pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) (2
jam setelah pemberian beban gula 75 g) 200mg/dL (11,1 mmol/L).
d. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih
dengan gejala klasik hiperglikemiaatau krisis hiperglikemik.
Dengan kriteria 1 sampai 3 harus dikonfirmasi dengan pengujian berulang (Dipiro
et al. 2015, Care & Suppl, 2018). Dianjurkan agar tes yang sama diulang atau tes
yang berbeda dilakukan tanpa penundaan dengan menggunakan sampel darah
baru untuk konfirmasi. Misalnya, jika A1C adalah 7,0% (53mmol / mol) dan hasil
pengulangan adalah 6,8% (51 mmol / mol), diagnosis diabetes dikonfirmasi. Jika
dua tes yang berbeda (seperti A1C dan FPG) keduanya berada di atas ambang
diagnostik, ini juga memastikan diagnosisnya. Jika pasien memiliki hasil tes di

6
dekat batas ambang diagnostik, tenaga kesehatan harus mengikuti pasien dengan
seksama dan mengulang tes dalam 3-6 bulan (Care & Suppl 2018).
3. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA) tahun
2018:
Tabel 1 Klasifikasi DM (Care & Suppl 2018)
Klasifikasi DM Penyebabnya
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolute
Tipe 2 Disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin
yang menyebabkan resistensi insulin
Diabetes mellitus gestasional Didiagnosis pada trimester kedua atau
ketiga kehamilan yang tidak secara jelas
terkena diabetes sebelum kehamilan
Diabetes tipe spesifik Disebabkan oleh penyebab lainya seperti
sindrom monogenic diabetes (DM neonatus
dan DM yang muncul/terjadi pada masa
muda), penyakit pancreas cystic fibrosis),
dan obat-obatan atau kimiawi (pengobatan
pada HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ)

4. Patologi dan patogenesis


DM Tipe 1 (5% -10% kasus) biasanya berkembang pada masa kanak-
kanak atau awal masa dewasa dan berakibat dari penghancuran sel pankreas yang
dipicu autoimun, yang mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Proses autoimun
dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel
β (misalnya, antibodi sel islet, antibodi insulin) (Dipiro et al. 2015).
DM Tipe 2 (90% kasus) ditandai dengan kombinasi beberapa derajat
resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin dimanifestasikan
dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan
produksi glukosa hepatik, dan penurunan serapan otot skeletal glukosa (Dipiro et
al. 2015)
Penyebab diabetes yang tidak umum (1%-2% kasus) meliputi gangguan
endokrin (misalnya, akromegali, sindrom Cushing), diabetes mellitus gestasional
(GDM), penyakit pankreas eksokrin (misalnya pankreatitis), dan obat-obatan

7
(misalnya glukokortikoid, pentamidin, niasin, α-interferon) Dipiro et al. 2015).
Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati, neuropati, dan nefropati.
Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit jantung koroner,stroke, dan penyakit
pembuluh darah perifer (Dipiro et al. 2015).

B. Ulkus kaki
1. Definisi, Tanda dan Gejala Ulkus kaki
Ulkus kaki adalah luka terbuka yang berkembang dan menembus ke
jaringan subkutan. Komplikasi pada kaki berkembang terutama sebagai akibat
penyakit vaskular perifer, neuropati, dan deformasi kaki. Penyakit pembuluh
darah perifer menyebabkan iskemia ke tungkai bawah. Penurunan aliran darah ini
menghilangkan oksigen dan nutrisi dan mengganggu kemampuan sistem
kekebalan tubuh untuk berfungsi secara memadai (Dipiro et al. 2008).
Gejala gangren dimulai dari timbulnya kemerahan pada kulit, timbul rasa
nyeri (bisa tidak), lama-lama menjadi dingin, tidak berasa, pucat, dan berubah
warna menjadi coklat lalu hitam, menimbulkan bau yang tidak enakmenandakan
adanya organisme anaerob, timbul nanah pada lukanya dan udem di sekitar daerah
luka dan suhu mungkin sedikit meningkat atau normal (Dipiro et al. 2014).
2. Epidemiologi
Insiden terjadinya ulkus dan gangren diperkirakan 15-25% pasien dengan
diabetes yang setara dengan sedikitnya lebih dari 2% setiap tahun dan antara 5-
7,5% dari pasien-pasien dengan neuropati (International Diabetes Federation
2017). Resiko terjadinya infeksi dan amputasi masih tinggi yaitu sekitar 40-80%
pasien akan mengalami infeksidan sekitar 5-24% pasien tersebut memerlukan
tindakan amputasi. Pasien diabetes dengan ulkus terutama di daerah ekstremitas
bawah memiliki resiko amputasi 15-40 kali lebih besar dibanding orang yang
tidak memiliki diabetes. Beberapa studi menunjukkan 40-70 % amputasi non
traumatik terjadi pada pasien diabetes (Alexiadou and Doupis 2012).
Prevalensi Ulkus Kaki Diabetes berkisar antara 4-10%, dengan prevalensi
yang lebih rendah (1,5-3,5%) pada orang muda dan lebih tinggi (5-10%) pada

8
orang tua. Sekitar 14-24% pasien UKD akan memerlukan amputasi, dengan angka
rekurensi 50% setelah tiga tahun (Langi 2011).
Kesintasan (survival rate) setelah amputasi ekstremitas bagian bawah pada
individu diabetes lebih rendah dibandingkan individu nondiabetes. Mortalitas lima
tahun paska amputasi sekitar 68%, dan angka harapan hidup lebih rendah pada
pasien dengan tingkat amputasi yang lebih tinggi. Di Indonesia angka kematian
dan angka amputasi masih tinggi, masing-masing sebesar 16% dan 25%
(RSUPCM tahun 2003), sebanyak 14,3% akan meninggal setahun paska amputasi,
dan sebanyak 37% meninggal dalam tiga tahun paska amputasi (Waspadji 2014).
3. Etiologi dan Patofisiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau
menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa
terasa.Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus.Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas,
sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi
ulkus.Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit.Hal
ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap
trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa
yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia,
serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot (Kartika 2017).
Proses angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan
pembuluh darah perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan
bagian distal tungkai berkurang. DM yang tidak terkendali akan menyebabkan
penebalan tunika intima (hyperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah
besar dan kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan
nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit
terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen

9
mengakibatkan kematian jaringanyang selanjutnya menjadi ulkus. Infeksi sering
merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati (Kartika
2017).
4. Klasifikasi
Tingkatan infeksi pada kaki pasien diabetes dapat dibagi menjadi:
Tabel 2 Klasifikasi infeksi pada kaki pasien diabetes menurut Infectious Diseases
Society of America and International Working Group on the Diabetic Foot
(Lipsky et al. 2012)
Manifestasi Klinis Infeksi PEDIS IDSA
grade infection
severity
Tidak ada gejala atau tanda infeksi 1 Tidak
Infeksi hadir, seperti yang didefinisikan oleh kehadiran terinfeksi
minimal 2 dari item berikut:
 Bengkak atau indurasi lokal
 Eritema
 Rasa nyeri atau nyeri lokal
 Kehangatan lokal
 Cairan purulen (tebal, buram sampai putih atau
sekresi kuat)
Infeksi lokal hanya melibatkan kulit dan jaringan 2 Ringan
subkutan (tanpa keterlibatan jaringan yang lebih dalam
dan tanpa tanda sistemik seperti yang dijelaskan di
bawah). Jika eritema, harus>0,5 cm sampai ≤ 2 cm di
sekitar ulkus
Mengecualikan penyebab lain dari respon inflamasi
pada kulit (misalnya, trauma, asam urat, Charcot neuro-
osteoarthropathy akut, fraktur, trombosis, stasis vena).
Infeksi lokal (seperti yang dijelaskan di atas)dengan 3 Sedang
eritema>2 cm, atau melibatkan struktur lebih dalam
dari pada jaringan kulit dansubkutan (misalnya abses,
osteomielitis, artritisseptik, fasciitis), dan
Tidak ada tanda respons inflamasi sistemik (seperti
yang dijelaskan di bawah)
Infeksi lokal (seperti yang dijelaskan di atas) dengan 4 Parah
tanda SIRS, sebagaimana ditunjukkan oleh ≥2 dari
yang berikut ini:
 Suhu>38 ° C atau <36 ° C
 Detak jantung>90 denyut / menit
 Tingkat pernafasan>20 napas / menit atau PaCO2
<32 mmHg
 Jumlah sel darah putih>12.000 atau <4000 sel/μL
atau ≥10% belum matang

10
Singkatan: IDSA, Infectious Diseases Society of America; PaCO2, tekanan parsial
karbon dioksida arterial; PEDIS, perfusi, luas/ukuran, kedalaman/kehilangan
jaringan, infeksi, dan sensasi; SIRS, sindrom respon inflamasi sistemik. Iskemia
dapat meningkatkan keparahan infeksi, dan adanya iskemia kritis sering membuat
infeksi parah. Infeksi sistemik terkadang terwujud dengan temuan klinis lainnya,
seperti hipotensi, kebingungan, muntah, atau bukti gangguan metabolik, seperti
asidosis, hiperglikemia berat, dan azotemia onset baru (Lipsky et al. 2012).
Keuntungan utama dari kedua klasifikasi tersebut adalah definisi yang
jelas dan jumlah kategori yang relatif kecil, membuatnya lebih mudah digunakan.
Bagi dokter yang kurang berpengalaman dengan manajemen kaki diabetes. Yang
penting, klasifikasi IDSA telah divalidasi secara prospektif karena memprediksi
kebutuhan rawat inap (dalam satu penelitian, 0 untuk tidak ada infeksi, 4% untuk
ringan, 52% untuk sedang, dan 89% untuk infeksi berat) dan untuk amputasi
anggota badan (3% untuk infeksi tidak ada, 3% untuk ringan, 46% untuk sedang,
dan 70% untuk infeksi berat) (Lipsky et al. 2012).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar ditentukan oleh derajat
keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Terapi awal yang diberikan
pada keadaan ulkus dan gangren bertujuan menghindari tindakan amputasi, antara
lain dengan melakukan debridement, dressing, off-loading, pengendalian glukosa
darah dengan insulin dan Obat Hipoglikemik Oral (OHO), penanganan infeksi
dengan antibiotika, serta memperbaiki kelainan vaskular dan sirkulasi dengan
revaskularisasi (Lipsky et al. 2012).
a. Kontrol Glikemik
Pemantauan berkala tingkat glukosa darah, merupakan faktor penting
dalam penyembuhan ulkus diabetik. Beberapa penelitian menunjukan
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah >11,1 mmol/ L (setara >310 mg/mL
atau tingkat HbA1c>12) berhubungan dengan penurunan fungsi neutrofil,
termasuk kemotaksis leukosit, sehingga menekan respon inflamasi dan
mengurangi respon host terhadap infeksi. Selain itu, pasien dengan kadar glukosa

11
darah >220 mg/dL memiliki resiko infeksi 2,7 kali lebih tinggi (Yazdanpanah
2015). Untuk mengontrol kadar glukosa darah dapat digunakan insulin maupun
obat hipoglikemik oral. Pasien dengan ulkus diabetik umumnya memiliki kontrol
glikemik yang buruk ditunjukkan oleh kadar glukosa plasma, tingkat HbA1c,
ketonuria bahkan ketoasidosis. Untuk mencapai kadar glikemik normal dengan
cepat, umumnya digunakan infus intravena insulin. Diagnosa ulkus yang lebih
awal, terapi antibiotika yang tepat dan kontrol glikemik yang baik, akan
mempercepat penyembuhan dan mencegah dilakukan tindakan amputasi (Pendsey
2007).
1) Insulin
Tabel 3 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Dipiro et al.
2015)
Jenis Insulin Onset Puncak efek Lama
(jam) kerja
(jam)
Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro (Humalog®) 15–30 menit 1–2 3–5
Insulin Aspart (Novorapid®) 15–30 menit 1–2 3–4
Insulin Glulisin (Apidra®) 15–30 menit 1–2 3–4
Kerja Pendek (Short-Acting)
Regular (Humulin® R, Actrapid®) 30–60 menit 2–3 3–6

Kerja Menengah (Intermediate-Acting)


NPH (Humulin N®, Insulatard®, 2–4 jam 4–6 8–12
Insuman Basal®)

Kerja Panjang (Long-Acting)


Detemir (Levemir®) 2 jam 6–9 14–24
Glargine (Lantus®) 4–5 jam – 22–24

2) Obat Hipoglikemik Oral


Tabel 4 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral (Dipiro et al. 2015)
Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerja
Biguanid Metformin Meningkatkan penggunaan glukosa di
jaringan perifer dan menghambat
glukoneogenesis

12
(Lanjutan) Tabel 4 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral (Dipiro et al. 2015)
Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerja
Sulfonilurea Glimepirid  Meningkatkan sekresi insulin
Glipizid  Meningkatkan sensitivitas
Gliburid jaringan terhadap insulin
Gliklaszid  Meningkatkan sekresi glukagon
Glinid Nateglinide Mekanisme kerja seperti
Repaglinide sulfonilurea
Tiazolidindion Rosiglitazone Mekanisme kerja mengatur ekspresi
Pioglitazone gen dengan mengikat PPAR-γ dan
PPAR-α
Penghambat Acarbose Menghambat enzim α -Glukosidase
α –Glukosidase
Penghambat dipeptil Linagliptin Menghambat penguraian GLP-1
peptidiase Sitagliptin Meningkatkan kadar GLP-1 darah
DPP-4 Saxagliptin

b. Pengendalian Infeksi
Mencegah atau mengendalikan infeksi pada ulkus kaki diabetik sangat
penting untuk mencegah komplikasi seperti osteomielitis (Infeksi tulang) atau
amputasi. Penanganan awal biasanya dilakukan secara empiris, berdasarkan
tingkat keparahan infeksi atau data epidemiologi dan resistensi lokal (Leese et al.
2009).
Data beberapa penelitian menunjukkan sebagian besar pasien yang
mengalami infeksi ulkus/gangren akan membaik setelah 1-2 minggu dilakukan
terapi. Penggunaan antibiotika yang terlalu panjang akan meningkatkan terjadinya
efek samping yang tidak diinginkan, resistensi antibiotika, dan tingginya biaya
(Lipsky et al. 2012).
Tabel 5 Regimen Antibiotik Empirik yang Disarankan Berdasarkan Tingkat
Keparahan Klinis untuk Infeksi Kaki Diabetes (Lipsky et al. 2012)
Tingkat keparahan infeksi Kemungkinan Patogen Antibiotik
(administrasi)
Ringan(biasanya diobati Staphylococcus aureus Dicloxacillin
dengan oral) (MSSA);
Streptococcus spp
Clindamycinb
Cephalexinb
Levofloxacinb
Amoxicillin-clavulanateb

13
(Lanjutan) Tabel 5 Regimen Antibiotik Empirik yang Disarankan Berdasarkan
Tingkat Keparahan Klinis untuk Infeksi Kaki Diabetes (Lipsky et al. 2012)
Tingkat keparahan infeksi Kemungkinan Antibiotik
(administrasi) Patogen
Methicillin- Doxycycline
resistant
S. aureus (MRSA)
Trimethoprim/
sulfamethoxazole
Sedang (dapat diobati MSSA; Levofloxacinb
dengan oral atau parenteral Streptococcus
awal) atau parah(biasanya spp;
diobati dengan agen Enterobacteriaceae
parenteral) ;
obligate anaerobes
Cefoxitinb
Ceftriaxone
Ampicillin-sulbactamb
Moxifloxacinb
Ertapenemb
Tigecyclineb
Levofloxacinb atau ciprofloxacinb
with clindamycinb
Imipenem-cilastatinb
MRSA Linezolidb
Daptomycinb
Vancomycinb
Pseudomonas Piperacillin-tazobactamb
aeruginosa
MRSA, Vancomycin ditambah salah satu
Enterobacteriacae, dari berikut ini: ceftazidime,
Pseudomonas, dan cefepime, piperacillin-tazobactamb,
obligate anaerob aztreonamb atau karbapenemb

Keterangan:
1. Agen dengan tipe huruf tebal adalah yang paling sering digunakan
sebagaipembanding dalam uji klinis (lihat Tabel 6). Satu-satunya agen yang
saat ini secara khusus disetujui FDA untuk infeksi kaki diabetes ditunjukkan
dengan huruf miring.
2. Agen spektrum sempit (misalnya, vankomisin, linezolid, daptomycin) harus
dikombinasikan dengan agen lain (misalnya fluoroquinolone) jika diduga
dilakukan oleh infeksi polymicrobial (terutama sedang atau berat).

14
3. Gunakan agen yang aktif melawan MRSA untuk pasien yang memiliki
infeksi parah, bukti adanya infeksi atau kolonisasi dengan organisme ini di
tempat lain, atau faktor risiko epidemiologis untuk infeksi MRSA.
4. Pilih rejimen definitif setelah mempertimbangkan hasil uji budaya dan
kerentanan dari spesimen luka, serta respons klinis terhadap rejimen empiris.
5. Agen-agen serupa dari kelas obat yang sama mungkin bisa diganti dengan
agen yang disarankan.
6. Beberapa rejimen ini tidak memiliki persetujuan FDA untuk infeksi kulit
dan kulit yang rumit.
Singkatan: CPK, creatine phosphokinase; ESBL, extended-spectrum β-lactamase;
FDA, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS; IV, intravena; MIC, konsentrasi
hambat minimum; MRSA, Staphylococcus aureus yang resisten methicillin;
MSSA, Staphylococcus aureus peka-methicillin; PO, Oral; QID, 4 kali sehari;
TID, 3 kali sehari.
a. Agen yang disetujui untuk mengobati infeksi kulit dan struktur kulit
berdasarkan studi yang mengecualikan pasien dengan infeksi kaki diabetes
(misalnya ceftaroline,telavancin) tidak disertakan.
b. Agen terbukti efektif dalam uji klinis termasuk pasien dengan infeksi kaki
diabetes.
c. Daptomycin atau linezolid dapat diganti untuk vankomisin (Lipsky et al.
2012).

C. Kategori Umur
Menurut Depkes RI (2009) Kategori umur dapat dibagi menjadi 9
kelompok, yaitu:
a. Masa balita usia 0-5 tahun
b. Masa Kanak-kanak usia 5-11 tahun
c. Masa remaja awal usia 12-16 tahun
d. Masa remaja akhir 17-25 tahun
e. Masa dewasa awal usia26-35 tahun
f. Masa dewasa akhir usia 36-45 tahun

15
g. Masa Lansia awal usia 46-55 tahun
h. Masa Lansia akhir usia 56-65 tahun
i. Masa Manula usia 65 tahun ke atas

D. Rasionalitas Pengobatan
Tujuan penggunaan obat rasional adalah untuk menjamin pasien
menndapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode
waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes 2011).
Menurut Kemenkes tahun (2011) penggunaan obat dikatakan rasional jika
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.

16
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
f. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.
h. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.

17
i. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis.
j. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi Sebagai contoh: Peresepan rifampisin akan
mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan,
penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga
obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
k. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat
dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat
yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada
pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar
pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga
petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

E. Rumah Sakit
Menurut Undang-undang nomor 44 Tahun 2009, Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Tugas Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan

18
perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas tersebut, Rumah Sakit
mempunyai fungsi:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

E. Rekam Medik
Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud
rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan tulisan-
tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka palayanan kesehatan. Bentuk Rekam
Medis dalam berupa manual yaitu tertulis lengkap dan jelas dan dalam bentuk
elektronik sesuai ketentuan.
Rekam medis terdiri dari catatan-catatan data pasien yang dilakukan dalam
pelayanan kesehatan. Catatan-catatan tersebut sangat penting untuk pelayanan
bagi pasien karena dengan data yang lengkap dapat memberikan informasi dalam
menentukan keputusan baik pengobatan, penanganan, tindakan medis dan lainnya.
Dokter atau dokter gigi diwajibkan membuat rekam medis sesuai aturan yang
berlaku.
C. Kerangka berfikir
Adanya kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 9,1 juta pada
tahun 2014 menjadi 14,1 juta dan komplikasi yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk

19
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Ulkus Diabetikum di Indonesia merupakan
permasalahan yang belum dapat terkelola dengan baik. Penatalaksanaan Ulkus
Diabetikum diberikan terapi antidiabetik oral dan antibiotik. Terapi obat tersebut
kemungkinan dapat menimbulkan masalah-masalah terkait obat yang dialami
penderita. Peresepan antibiotik yang kurang tepat akan menimbulkan masalah
diantaranya akan meningkatkan angka kejadian resistensi baik resistensi mikroba
terhadap antibiotik tunggal maupun kombinasi, peningkatan toksisitas akibat
kesalahan pemilihan antibiotik meliputi pemberian dosis serta frekuensi dan
durasinya, memicu timbulnya efek samping lain diluar penyakit yang diderita
pasien, dan membuat infeksi menjadi lebih lama penyembuhannya yang
berdampak pada lama perawatan dan biaya perawatan pasien yang tentunya
merugikan.
RS Islam Pondok Kopi dengan pasien Ulkus Diabetikum yang cukup
tinggi, maka diperlukan suatu evaluasi terhadap proses penatalaksanaan terapi
yang dilakukan khususnya terapi dengan menggunakan obat untuk melihat
kesesuaiannya terhadap standar terapi pengobatan yang ada, ditinjau dari
kesesuaian obat dan dosis agar kualitas hidup pasien semakin meningkat dan hasil
terapi yang dicapai optimal.

20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Jadwal Penelitian


1. Tempat penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di bagian Rekam Medis Rumah Sakit Islam
Jakarta Pondok Kopi.
2. Jadwal penelitian
Tabel 6 Rencana Jadwal Penelitian
Bulanke 1 Bulanke 2 Bulanke 3
No UraianKegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Telaah pustaka X X X
2. Konsultasi X X X
3. Penyusunan
X X
Proposal
4. Seminar
X
Proposal
5. Pelaksanaan
X X
Orientasi
6. Pengumpulan
X X
Data
7. Pengolahan
X X
Data
8. Penulisan
X X X X X X X X X X X X
Skripsi
9. Ujian

B. Metode penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif melalui penelusuran data secara
retrospektif. Data diperoleh dari rekam medik pasien dengan diagnosa Ulkus
Diabetikum periode tahun 2016-2017 di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Pasien penderita Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok
Kopi.

21
2. Sampel
Pasien yang didiagnosa Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit Islam Jakarta
Pondok Kopi periode tahun 2016-2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
Rekam medik pasien yang didiagnosa Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit
Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-2017 dan pasien mendapatkan
terapi antibiotik.
2. Kriteria Eksklusi
Pasien penderita Ulkus Diabetikum dengan infeksi lain, pasien pulang
paksa, pasien meninggal dan data yang tidak lengkap atau tidak terbaca.

E. Definisi Operasional
1. Tepat Pemilihan Obat
Kesesuaian pemilihan obat dengan dibandingkan berdasarkan dari hasil
Pharmacotherapy A pathophysiologic Approach edition 2014 dan Lipsky et al
2012 Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the
Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections Infectious Diseases Society
of America. Pemilihan obat yang tepat dapat didasarkan pada ketepatan kelas
terapi dan jenis obat yang sesuai dengan literatur tersebut.
2. Tepat indikasi
Ketepatan indikasi penyakit yaitu antibiotik diindikasikan untuk infeksi
bakteri. Pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala
adanya infeksi bakteri.
3. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Dosis
terlalu rendah terjadi jika pasien menerima obat yang tepat namun dosis yang
diberikan terlalu rendah, frekuensi pemberian dan durasinya kurang. Dosis terlalu
tinggi terjadi jika pasien menerima obat yang tepat namun dosis yang diberikan

22
terlalu tinggi, frekuensi pemberian dan durasinya tinggi. Dosis yang diberikan
kepada pasien dibandingkan dengan literatur terkait Drugs information
Handbook: A Comprehensive Resource for All Clinicians and Healthcare
Professionals 2008-2009, British National Formulary 2015 dan AHFS Point of
cares drug information for health care professional 2011.
4. Tepat Lama Pemberian
Rentang waktu pasien Ulkus Diabetikum dalam penggunaan antibiotik di
Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi periode tahun 2016-2017.

F. Pola penelitian
Pasien DM dengan ulkus/gangren

a. Karakterisik pasien: Nama, umur, berat badan, tanggal


diagnosa penyakit DM dan ulkus diabetes, riwayat obat
yang diberikan, komplikasi, terapi yang diberikan, dosis,
lama pemberian dan rute pemberian
b. Pemeriksaan klinik: Tekanan darah, suhu tubuh, RR
c. Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan laboratorium dan
mikrobiologi

Antibiotik yang digunakan

Evaluasi ketepatan pemilihan obat,


indikasi, dosis dan lama pemberian

Toolkit
Lipsky et al 2012. Dipiro 2014, AHFS 2011 DIH
2009, dan BNF 2015

Tepat Tidak Tepat

Gambar 1 Pola Penelitian

23
G. Teknik Pengumpulan Data
Data diambil secara retrospektif selama periode tahun 2016-2017. Sumber
data berasal dari rekam medik pasien yang didiagnosa Ulkus Diabetikum di RSI
Jakarta Pondok Kopi. Data-data yang dikumpulkan adalah data rekam medik yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diambil berupa:
1. Demografi pasien yaitu umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, penyakit
penyerta dan diagnosa.
2. Riwayat obat yang digunakan obat antihiperglikemik, antibiotik dan obat-
obat lain mencakup jenis obat, dosis, dan lama pemberian.
3. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi
data gula darah, cek darah lengkap, kultur bakteri dan uji kerentanan
antimikroba.

H. Analisa Data
Data yang dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif. Parameter untuk
menilai ketepatan pemilihan jenis obat, indikasi, dosis, dan lama pemberian
sebagai berikut:
1. Hasil dari antimicrobial susceptibility test di RS Islam Jakarta Pondok Kopi,
Pharmacotherapy A pathophysiologic Approach edition 2014 dan Lipsky et
al 2012 Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline
for the Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections Infectious
Diseases Society of America sebagai toolkit ketepatan obat, indikasi dan
lama pemberian.
2. Drugs information Handbook: A Comprehensive Resource for All Clinicians
and Healthcare Professionals 2008-2009, British National Formulary 2015
dan AHFS Point of cares drug information for health care professional
2011 sebagai toolkit ketepatan dosis.

24
I. Penyajian data
Data yang dianalisis menggunakan toolkit kemudian disajikan dalam bentuk
tabel untuk mendapatkan gambaran deskriptif ketepatan pemilihan obat, dosis dan
lama pemberian antihiperglikemik dan antibiotik yang diteliti, meliputi:
1. Distribusi karakteristik pada pasien Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit Islam
Jakarta Pondok Kopi.
2. Distribusi ketepatan antibiotik pada pasien Ulkus Diabetikum dan ketepatan
dosisnya.
3. Distribusi ketepatan indikasi dan lama pemberian antibiotik pada pasien
Ulkus Diabetikum.

25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan terhadap rekam medik pasien rawat inap ulkus
diabetikum yang mendapatkan pengobatan di RS Islam Pondok Kopi Jakarta
periode 2016-2017. Pasien ulkus diabetikum selama 2 tahun yang dapat dijadikan
subyek penelitian adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi yaitu mempunyai
catatan rekam medik yang lengkap meliputi identitas pasien, terdiagnosa ulkus
diabetikum, mendapat terapi obat dan dilengkapi data laboratorium. Diperoleh
110 pasien ulkus diabetikum dan didapat 95 kasus yang memenuhi kriteria
inklusi.dengan 15 kasus yang di eksklusi yaitu 4 kasus diagnosa infeksi lain, 1
kasus data tidak lengkap, dan 10 kasus pasien meninggal. Hasil distribusi sebagai
berikut :

A. Karakteristik Pasien Rawat Inap Ulkus Diabetikum di RS Islam Pondok


Kopi Jakarta Periode Tahun 2016-2017 Yang Memenuhi Kriteria Inklusi
Pada tabel dibawah ini terdapat gambaran profil pasien berdasarkan
karakteristik sosio-demografi dan karakteristik klinis.
Tabel 7 Karakteristik Sosio-demografi Pasien
Karakteristik Sosio-Demografi Jumlah Persentase (%)
Pasien N= 95
Jenis Kelamin
Laki-laki 54 56,84
Perempuan 41 43,16
Usia
17-25 1 1,05
26-35 1 1,05
36-45 8 8,42
46-55 27 28,41
56-65 27 28,41
≥65 31 32,63
Berat Badan (kg)
Tidak ada keterangan 23 24,21
40-53 18 18,95
54-67,5 37 38,95
68-81 13 13,68
82-95 2 2,10
96-108 1 1,05
130 1 1,05

26
Tabel 8 Karakteristik Klinis Pasien
Karakteristik Klinis Jumlah Pasien Persentase
(%)
N= 95
Lama Rawat (hari)
1-5 36 37,89
6-10 48 50,53
11-15 10 10,53
19 1 1,05
Diagnosa
DM + Ulkus DM 61 64,21
DM + Ulkus DM + Anemia 1 1,05
DM + Ulkus DM + dyspepsia 4 4,21
DM + Ulkus DM + CHF + shock kardiogenik 1 1,05
+ cardiomegaly + dyspepsia
DM ketoasidosis + ulkus DM 3 3,16
DM ketoasidosis + ulkus DM + sepsis 1 1,05
DM + CVD + Bacterial infection specified + 1 1,05
cerebrovaskular disease
DM + Ulkus DM + CKD 4 4,21
DM + Ulkus DM + CKD + cephalgia 1 1,05
DM + Ulkus DM + Diarrhea + hipertensi 1 1,05
DM + Ulkus DM + GEA + AKI 1 1,05
DM + Ulkus DM + AKI 1 1,05
DM + Ulkus DM + Stroke iskemik 1 1,05
DM + Ulkus DM + Stroke iskemik + sepsis 1 1,05
DM + Ulkus DM + hipoglikemik + hipertensi 1 1,05
DM + Ulkus DM + hipoglikemik 3 3,16
DM + Ulkus DM + CKD + hipertensi + 1 1,05
embolism 2 2,10
DM + Ulkus DM + hipoalbumin 1 1,05
DM + Ulkus DM + hiponatrium + hipokalium
+ sepsis 1 1,05
DM + Ulkus DM + melaena + CKD 1 1,05
DM + Ulkus DM + hiponatrium 1 1,05
DM + Ulkus DM + phlebitis and
thrombophlebitis of other and unspecified
Tingkat Keparahan Ulkus
Berat 69 72,63
Ringan 3 3,16
Sedang 23 24,21

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pasien laki-laki dan


perempuan yang terdiagnosis ulkus diabetikum pada instalasi rawat inap di RS

27
Islam Pondok Kopi Jakarta. Dari hasil penelitian, jumlah pasien terbanyak adalah
pada pasien laki-laki sebanyak 54 pasien (56,84%). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Manda et al. 2012) dan (Parisi et al. 2016)
menunjukan bahwa penderita ulkus diabetikum lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut (Yu MK et al. 2013) ini dikarenakan
perempuan kurang cenderung olahraga teratur tetapi memiliki kepatuhan yang
lebih baik untuk diet sehat, pemantauan glukosa, pemeriksaan dan perawatan kaki
sendiri yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
Kriteria pembagian usia menurut Depkes RI tahun 2009 meliputi 9
kelompok usia, yaitu: 0-5 tahun (masa balita), 5-11 tahun (masa kanak-kanak),
12-16 tahun (masa remaja awal), 17-25 tahun (masa remaja), 26-35 tahun (masa
dewasa awal), 36-45 tahun (masa dewasa akhir), 46-55 tahun (masa lansia), 56-
65 tahun (masa lansia akhir), 65 tahun ke atas (masa manula).
Tabel di atas menunjukan bahwa pasien ulkus diabetikum di RS Islam
Pondok Kopi Jakarta pada instalasi rawat inap paling banyak terjadi pada usia >
65 tahun (32,63%) dengan rata-rata usia 58,92 tahun. Pada usia lanjut, penuaan
menyebabkan menurunnya sensitivitas insulin dan menurunnya fungsi tubuh
untuk metabolisme glukosa. Hal tersebut didukung hasil penelitian yang serupa
oleh Suastika dkk (2005) di Bali didapatkan bahwa prevalensi DM pada kelompok
usia tua lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan dengan kelompok yang lebih
muda. Risiko DM makin meningkat sesuai dengan perkembangan usia (Soewondo
dan Pramono 2011). (Nainggolan, Kristanto, dan Edison 2013) dalam studinya
menunjukan semakin tua kecenderungan menderita diabetes semakin tinggi.
Kelompok umur yang paling berisiko adalah pada usia 55-64 tahun.
Diagnosis merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum seorang
pasien mendapatkan tindakan mengenai penyakitnya. Diagnosa terbanyak yang
diperoleh dari hasil penelitian ini adalah diabetes dengan ulkus diabetikum
sebanyak 61 pasien. Penyakit penyerta terbanyak yang diserita pasien ulkus
diabetikum adalah dyspepsia dan CKD (Chronic Kidney Disease). Hasil
penelitian di RS Islam Pondok Kopi Jakarta bahwa pasien ulkus diabetikum
terbanyak yang menjalani rawat inap adalah pasien dengan derajat kaparahan

28
yang berat yaitu 72,63% yang didasarkan pada derajat keparahan berdasarkan
Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2012. Banyaknya penderita
rawat inap ini dapat disebabkan karena pasien dengan derajat keparahan ulkus
yang berat bias mengalami gangguan sistemik seperti demam, muntah, syok
hingga sepsis berat sehingga perlu penanganan lebih lanjut (National Health
Service 2014).
B. Distribusi Penggunaan Obat Pasien Rawat Inap Ulkus Diabetikum
Berdasarkan WHO ATC/DDD di RS Islam Pondok Kopi Jakarta Periode
Tahun 2016-2017
Penggunaan obat lain diberikan kepada pasien untuk mengatasi keluhan
pasien. Banyaknya macam obat non-antibiotik yang diberikan pada pasien
menyebabkan obat tersebut perlu dikelompokkan berdasarkan Anatomic
Therapeutic Chemical (ATC)/Defined Daily Dose (DDD) dan tabel di bawah ini
menunjukkan obat lain yang diberikan pada pasien ulkus diabetikum.
Tabel 9 Distribusi Penggunaan Obat Berdasarkan WHO ATC/DDD
No Kelas terapi Jumlah Persentase
. obat (%)
1. Sistem Saraf 93 14,83
2. Sistem Kardiovaskular 68 10,85
3. Sistem Pernapasan 12 1,91
4. Darah dan Agen Pembentuk Darah 70 11,16
5. Sistemik Hormonal 2 0,32
6. Sistem Muskuloskeletal 67 10,68
7. Sistem Genitourinari dan Hormon 3 0,48
Seks
8. Antineoplastik dan Imunomodulasi 9 1,43
9. Dermatologik 3 0,48
10. Saluran Pencernaan dan 300 47,85
Metabolisme
Total 627 100%

Data dari tabel tersebut (lampiran 4) dapat dilihat penggunaan obat pada
pasien ulkus diabetikum yang sering diresepkan yaitu obat saluran pencernaan dan
metabolisme, obat sistem saraf, dan obat sistem kardiovaskular. Data dari tabel

29
untuk obat saluran pencernaan yang paling banyak diresepkan adalah antidiabetes
(21,69%) dan obat terkait asam lambung (12,92%), obat sistem saraf yang paling
banyak diresepkan adalah analgesic (12,44%) sedangkan obat sistem
kardiovaskular yang paling banyak diresepkan adalah diuretik (3,51%) dan Ca
Blocker (2,55%). Dapat dilihat sebagian besar penyakit penyerta pada pasien
ulkus diabetikum yaitu ulcer/dyspepsia dan hipertensi. Hipertensi merupakan
salah satu faktor risiko dari penyakit diabetes. Pengobatan hipertensi dapat
digunakan baik dengan tunggal maupun kombinasi, selain pengobatan secara
farmakologis pengobatan non-farmakologis seperti: menurunkan berat badan,
meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta
mengurangi konsumsi garam (PERKENI 2015). Antiulserasi dan antihipertensi
yang sering digunakan yaitu ranitidine (6,38%) dan furosemide (3,03%). NSAID
atau antiinflamasi non steroid diperlukan karena tanda dari infeksi pada Ulkus
Diabetikum adalah adanya inflamasi berupa nyeri, kemerahan, adanya
peningkatan suhu dan bengkak (Lipsky et al. 2012).

C. Distribusi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Rawat Inap Ulkus


Diabetikum di RS Islam Pondok Kopi Jakarta Periode Tahun 2016-2017
Infeksi kaki merupakan bentuk komplikasi paling sering dijumpai pada
pasien diabetes. Tanda-tanda dari infeksi umumnya meliputi rasa nyeri,
kemerahan, peningkatan suhu dan bengkak. Pemilihan antibiotik empiris
direkomendasikan berdasarkan tingkat keparahan infeksi dan bakteri penginfeksi.
Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi sangatlah disarankan, terutama pada
infeksi berat. Pada infeksi berat disarankan menggunakan antibiotik spektrum luas
dan menunggu hasil kultur bakteri (Lipsky et al. 2012).
Hasil yang diperoleh dari data rekam medik pasien rawat inap di RS Islam
Pondok Kopi Jakarta Periode tahun 2016-2017 (lampiran 6) menyatakan bahwa
terdapat 7 golongan antibiotik yang digunakan untuk pengobatan ulkus
diabetikum yaitu golongan penicillins (Amoxicillin/clavulanate dan Ampicillin-
sulbactamcarbapenem), carbapenem (meropenem, imipenem/cilastatin dan
doripenem), sefalosporin (ceftriakson, ceftazidime, ceftriaxone, cephalexin,
ceftizoxim, cefoperazone, cefixime, cefadroxil), fluoroquinolon (siprofloksasin

30
dan levofloksasin), makrolida (azitromisin dan clindamycin), aminoglikosida
(gentamisin), aminoglikosida (gentamicin) dan antibiotik golongan lain
(metronidazole dan fosfomycin). Hasil analisis penelitian ini antibiotik tunggal
yang banyak digunakan adalah golongan cephalosporin (ceftriaxone,
cefoperazone, cefixime,). Mekanisme kerja cephalosporin yaitu menghambat
sintesis dinding sel bakteri, jika dinding sel rusak atau tidak terbentuk sel akan
lisis atau tidak dapat membelah (Priyanto 2010).
Dalam keadaan tertentu diperlukan kombinasi antibiotik. Kombinasi obat
dipilih dengan melihat keparahan dari ulkus yang diderita oleh pasien. Diketahui
antibiotik kombinasi yang banyak digunakan adalah kombinasi antara ceftriaxone
dan metronidazole dengan persentase sebesar 15,46%. Ceftriaxone dipilih karena
merupakan antibiotik yang digunakan pada derajat keparahan sedang, yang mana
didapatkan pasien dalam penelitian ini didiagnosis infeksi sedang (24,21%).
Menurut Clay et al. (2004) kombinasi ceftriaxone dan metronidazole digunakan
untuk terapi Ulkus Diabetikum dengan derajat keparahan sedang.
D. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Ketepatan Indikasi Obat,
Pemilihan Obat, Dosis Obat, dan Lama Pemberian
1. Ketepatan Indikasi Obat

Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum


sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama
pemberian yang tepat (Permenkes 2011). Ulkus Diabetikum membutuhkan terapi
antibiotik jika terdapat 2 atau lebih tanda inflamasi yaitu kemerahan (eritema atau
rubor), kehangatan (kalor), nyeri atau kelembutan (warna), indurasi
(pembengkakan atau tumor) atau sekresi purulent (Lipsky et al. 2016).

Tabel 10 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Ulkus Diabetikum di


RS Islam Pondok Kopi Periode Tahun 2016-2017 Berdasarkan
Ketepatan Indikasi Obat
No. Ketepatan Indikasi Obat Jumlah obat Persentase (%)
1 Tepat 95 100
2 Tidak tepat 0 0
Total 95 100

31
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketepatan indikasi penggunaan
antibiotik 100% yang artinya semua pasien telah menerima terapi antibiotik sesuai
indikasi penyakitnya. Semua pasien dinilai mendapat terapi antibiotik sesuai
indikasi dapat dilihat dari kadar WBC ( White Blood Cell) yang lebih tinggi dari
normal dan juga dari diagnose yaitu ulkus DM.

2. Ketepatan Pemilihan Obat


Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan pemilihan antibiotik
pada pasien Ulkus Diabetikum berdasarkan tingkat keparahan ulkus. Panduan
yang digunakan adalah Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun
2012. Ketepatan obat dinilai dari kadar WBC pasien, dikatakan tingkat keparahan
berat apabila kadar WBC ˃ 12.000 x 103/uL menurut Infectious Diseases Society
of America (IDSA) tahun 2012. Antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu
48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes 2011). Hasil
penelitian mengenai evaluasi tepat obat yang digunakan pada pasien ulkus
diabetikum disajikan pada tabel 11.
Tabel 11 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Ulkus Diabetikum di
RS Islam Pondok Kopi Periode Tahun 2016-2017 Berdasarkan
Ketepatan Pemilihan Obat
No. Ketepatan pemilihan obat Jumlah obat Persentase (%)
1 Tepat 52 26
2 Tidak tepat 148 74
Total 200 100
Pada tabel 12 menunjukkan ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien
ulkus diabetikum 52 obat (26%) tepat pemilihan obat berdasarkan Infectious
Diseases Society of America (IDSA) tahun 2012. Terdapat kombinasi dengan 4
obat, kombinasi 3 obat dan 2 obat, jumlah peresepan yang tidak sesuai sebanyak
126 obat (63%). Sedangkan antibiotik hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat peresepan antibiotik yang tidak sesuai dengan kriteria obat, hal ini
dikarenakan antibiotik tidak tercantum dalam Infectious Diseases Society of
America (IDSA) tahun 2012 sebagai obat pilihan untuk Ulkus Diabetikum

32
menurut tingkat keparahannya dan tidak ditemukan artikel penelitian terkait
antibiotik tunggal maupun kombinasi tersebut.

3. Ketepatan Dosis Obat

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik pada


Ulkus Diabetikum berdasarkan literatur yang digunakan antara lain AHFS 2011,
DIH 2009, BNF 70 dan artikel penelitian terkait.

Tabel 12 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Ulkus Diabetikum di


RS Islam Pondok Kopi Periode Tahun 2016-2017 Berdasarkan
Ketepatan Dosis
No. Ketepatan dosis Jumlah obat Persentase (%)
1 Tepat 196 86,72
2 Tidak tepat 30 13,27
Total 226 100

Pada penelitian ini pemberian antibiotik dosis tepat yaitu sebanyak 196
kasus (86,72%) dan terdapat 30 kasus (13,27%) pemberian antibiotik dengan
dosis tidak tepat. Hasil penelitian dari 30 kasus (13,27%) tidak tepat dosis terdapat
26 kasus tidak tepat dosis dengan dosis kurang dan 4 kasus dengan dosis berlebih
serta terdapat 1 kasus (gentamicin) yang tidak dapat ditentukan ketepatan
dosisnya dikarenakan tidak terdapatnya data berat badan sedangkan menurut
literatur AHFS 2011 dan DIH 2009 dosis gentamicin untuk pasien dewasa adalah
3 mg / kg sehari diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap 8 jam dan 1-2,5 mg / kg /
dosis setiap 8-12 jam.
Pemberian dosis kurang pada penelitan ini yaitu pada pemberian
clindamycin, cefoperazone, fosfomycin, meropenem, dan ceftazidime. Pemberian
clindamycin pada pasien dewasa 3 x 1 (300 mg) sedangkan menurut literatur
AHFS 2011, DIH 2009 dan BNF 70 dosis clindamycin untuk pasien dewasa
adalah 300 mg 4 kali sehari. Pemberian cefoperazone pada pasien dewasa 2 x 1
(1g) sedangkan menurut literatur Rosenberg (1983) 2-4g setiap 12 jam. Pemberian
fosfomycin pada pasien dewasa 2 x 1 (1g) sedangkan menurut literatur Legat et
al. (2003) dosis yang diberikan 200mg/kg dibagi dalam 3 dosis terbagi dan
menurut Metzler et al. (2009) dosis yang diberikan 100mg/kg dibagi dalam 2-3

33
dosis terbagi. Pemberian meropenem pada pasien dewasa 3 x 1 (500 mg)
sedangkan menurut literatur AHFS 2011, DIH 2009 dan BNF 70 dosis
meropenem untuk pasien dewasa adalah 500 mg 4 kali sehari. Pemberian
ceftazidime pada pasien dewasa 2 x 1 (500 mg) sedangkan menurut literatur
AHFS 2011, DIH 2009 dan BNF 70 dosis meropenem untuk pasien dewasa
adalah 500 mg 3 kali sehari.
Terdapat 4 kasus dosis berlebih pada pasien nomor 8 yaitu ciprofloxacin
dengan dosis 3 x 1 (500 mg), berdasarkan literatur AHFS 2011, DIH 2009 dan
BNF 70 untuk dosis ciprofloxacin 2 x 1 (500 mg)/hari. Pemberian dengan dosis
berlebih dapat menyebabkan terjadinya efek toksik dan efek samping yang tidak
diinginkan (Aslam dkk 2003). Efek samping yang dapat terjadi antara lain
tendinitis, ruptur tendon, C. difficile diare, perpanjangan QT, neuropati perifer
(Bergman & Shah, 2016)Pada pasien nomor 23 dan 82 yaitu Cefadroxil dengan
dosis 3 x 1 (500 mg), berdasarkan literatur AHFS 2011, DIH 2009 dan BNF 70
untuk dosis cefadroxil 2 x 1 (500 mg)/hari. Pada pasien nomor 15 yaitu
Ceftriaxone dengan dosis 3 x 1 (1g), berdasarkan literatur AHFS 2011, DIH 2009
dan BNF 70 untuk dosis ceftriaxone 1-2 g setiap 12-24 jam. Efek samping yang
dapat terjadi C. difficile diare (Bergman and Shah 2016)
Berdasarkan literatur AHFS 2011, DIH 2009, BNF 70, dan artikel
penelitian lain didapatkan hasil bahwa dosis antibiotik yang telah diresepkan
lebih kecil (underdose) dari dosis yang seharusnya diberikan sehingga dosis yang
digunakan tidak tepat (lampiran 7). Sebagaimana yang diketahui dosis merupakan
takaran yang diperlukan untuk mencapai efek teraupetik yang tepat. Jika dosis
yang diberikan terlalu tinggi dapat menimbulkan toksik, sedangkan dosis yang
terlalu rendah tidak dapat menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan.
Pemberian dosis obat yang tidak sesuai standar dapat memberikan dampak yang
luas bagi pasien. Pertama, bila dosis obat yang tertera pada resep tidak tepat/tidak
sesuai standar maka pasien tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang benar
terkait penyakitnya. Semakin tepat pemberian dosis, maka semakin cepat dan
tepat pula tercapainya kadar antibiotik pada tempat infeksi, efek terapi yang

34
optimal dipengaruhi oleh tercapainya kadar antimikroba pada tempat infeksi
sehingga efektivitas antibiotik pun tidak tercapai secara maksimal (Yanti 2016)
Pemberian dosis antibiotik yang tidak tepat dapat memberikan dampak
yang luas bagi pasien diantaranya mengakibatkan pasien tersebut gagal
mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya, dapat menimbulkan
komplikasi berkaitan dengan penyakitnya serta meningkatnya kejadian resistensi
antibiotik. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan
sel mikroba oleh antimikroba (Jawetz. E 1984). Mikroorganisme yang telah
resisten terhadap suatu antibiotik menunjukkan bahwa mikroorganisme tersebut
tidak mampu lagi dikendalikan atau dibunuh dengan menggunakan antibiotik
tertentu. Hal ini terjadi karena bakteri telah mengenal antibiotik tersebut
sebelumnya dan telah membentuk ketahanan di dalam tubuh bakteri. Sehingga
antibiotik yang diberikan tidak ada pengaruhnya terhadap bakteri tersebut (Dipiro
et al. 2015)
4. Ketepatan Lama Pemberian Obat

Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan lama pemberian


antibiotik pada Ulkus Diabetikum berdasarkan literatur yang digunakan Infectious
Diseases Society of America (IDSA) 2012.

Tabel 13 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Ulkus Diabetikum di


RS Islam Pondok Kopi Periode Tahun 2016-2017 Berdasarkan
Ketepatan Lama Pemberian
No. Ketepatan dosis Jumlah obat Persentase (%)
1 Tepat 13 5,75
2 Tidak tepat 205 90,71
Total 226 100
Pada tabel 13 menunjukkan ketepatan lama pemberian antibiotik pada
pasien ulkus diabetikum 13 obat (5,75%) tepat pemilihan obat berdasarkan
Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2012. Menurut Infectious
Diseases Society of America (IDSA) tahun 2012 lama pemberian antibiotik untuk
Ulkus Diabetikum menurut tingkat keparahannya yaitu ringan 1-2 minggu, sedang
1-3 minggu, dan berat 2-4 minggu. Kejadian tidak tepat lama pemberian antibiotik
seringkali karena dalam waktu singkat kombinasi obat berubah tetapi perlu dilihat

35
kembali bagaimana kondisi pasien saat datang, serta hasil WBC (White Cell
Blood) yang sekiranya belum juga membaik dengan kombinasi antibiotik
sebelumnya hingga akhirnya kombinasi antibiotik diganti.

36
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Dari hasil penelitian retrospektif pada pasien rawat inap Ulkus Diabetikum
yang menggunakan antibiotik di RS Islam Pondok Kopi Jakarta Periode Tahun
2016-2017, dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Hasil penelitian evaluasi ketepatan indikasi obat terdapat 95 kasus (100%)
tepat indikasi antibiotik.
2. Hasil penelitian evaluasi ketepatan pemilihan obat berdasarkan diagnosa
tingkat keparahan terdapat 52 obat (26%) tepat pemilihan antibiotik.
3. Hasil penelitian evaluasi ketepatan dosis antibiotik berdasarkan literatur
terdapat 196 obat (86,72%) tepat dosis.
4. Hasil penelitian evaluasi ketepatan lama pemberian antibiotik berdasarkan
literatur terdapat 13 obat (5,75%) tepat lama pemberian.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan:
1. Diharapkan dalam terapi pengobatan Ulkus Diabetikum di RS Islam Pondok
Kopi Jakarta Periode 2016-2017, diperhatikan penentuan tingkat keparahan,
lama pemberian dan kombinasi antibiotik.
2. Perlu dilakukan penelitian secara prospektif tentang kerasionalan pengobatan
Ulkus Diabetikum dan kajian efektivitas sehingga dapat diketahui keadaan
yang sebenarnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Alexiadou, K. and Doupis, J. 2012. Management of diabetic foot ulcers. Diabetes


Therapy, 3(1), 1–15.
Aslam M, Tan CK, Prayitno A. 2003. Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Elex Media Komputindo,
Jakarta. Hlm. 192.
Bergman, B. S. and Shah, P. J. 2016. Diabetic Foot Infections, 2007 (Cdc 2014).
Care, D. and Suppl, S. S. 2018. 2. Classification and Diagnosis of Diabetes:
Standards of Medical Care in Diabetes—2018. Diabetes Care,
41(Supplement 1), S13–S27.
Clay, P. G. et al. 2004. Clinical Efficacy, Tolerability, and Cost Savings
Associated with the Use of Open-Label Metronidazole Plus Ceftriaxone
Once Daily Compared with Ticarcillin / Clavulanate Every 6 Hours as
Empiric Treatment for Diabetic Lower- Extremity Infections in Olde, 2(3),
181–189.
Depkes RI 2009. Klasifikasi Umur Menurut Kategori. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Kesehatan.
Dipiro et al. 2008. Phamacotherapy Principles & Practice. The Mc Graw-Hill
Companies, Inc. New York. Hlm. 664.

Dipiro et al. 2014. Pharmacotherapy A Pathophisiologic Ninth Edition. The Mc


Graw-Hill Companies, Inc. New York. Hlm. 3861.
Dipiro et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. The Mc Graw-
Hill Companies, Inc. New York. Hlm. 161.
International Diabetes Federation (IDF). 2018. What is Diabetes.
https://www.idf.org/about-diabetes/what-is-diabetes.html. Diakses 4
Februari 2018.
International Diabetes Federation. 2017. IDF Clinical Practice Recommendations
on the Diabetic Foot - 2017.
Jawetz, E. 1984. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Kartika, R. W. 2017. Pengelolaan gangren kaki Diabetik. Continuing Medical
Education, 44(1), 18–22.
Kementerian kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.Hlm. 6.
Langi, Y. A. 2011. Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu. Jurnal
Biomedik, 3(Dm), 95–101.

38
Leese, G. et al. 2009. Use of antibiotics in people with diabetic foot disease: A
consensus statement. The Diabetic Foot Journal, 12(2).
Legat, F. J. et al. 2003. Penetration of Fosfomycin into Inflammatory Lesions in
Patients with Cellulitis or Diabetic Foot Syndrome, 47(1), 371–374.
Lipsky, B. A. et al. 2012. 2012 infectious diseases society of America clinical
practice guideline for the diagnosis and treatment of diabetic foot infections.
Clinical Infectious Diseases, 54(12).
Lipsky, B. A.et al. 2016. IWGDF guidance on the diagnosis and management of
foot infections in persons with diabetes. Diabetes/Metabolism Research and
Reviews, 32(30), 45–74.
Loviana, R. R., Rudy, A., & Zulkarnain, E. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Ulkus
Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di
RSUP Dr . M . Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 243–248.
Manda, V. et al. 2012. Foot ulcers and risk factors among diabetic patients
visiting Surgery Department in a University Teaching Hospital in Ajman ,
UAE, 2(3), 34–38.
Metzler, J. et al. 2009. High fosfomycin concentrations in bone and peripheral
soft tissue in diabetic patients presenting with bacterial foot infection, (July),
574–578.
Nainggolan, O. Kristanto, A. Y. dan Edison, H. 2013. Determinan Diabetes
Melitus Analisis Baseline Data Studi Kohort Penyakit Tidak Menular Bogor
2011. Buletin Penelitian Kesehatan, 16(2), 331–339.
Parisi, M. C. R.et al. 2016. Baseline characteristics and risk factors for ulcer ,
amputation and severe neuropathy in diabetic foot at risk : the BRAZUPA
study. Diabetology & Metabolic Syndrome, 1–8.
National Health Service. 2014. Guideline for Management of Adult Diabetic Foot
Infections. Royan Devon and Exeter NHS Foundation Trus
Pendsey, S. P. 2007. Insulin in diabetic foot. The Journal of the Association of
Physicians of India, 55 Suppl(July), 66.
PERKENI. 2015. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2015. Perkeni.
Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar. Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi
(Leskonfi). Depok. Hlm. 86.
Rosenberg, E. W. 1983. Use of Cefoperazone in the Empiric Treatment of Serious
Skin Infections, 5(April), 161–164.
Soewondo, P., dan Pramono, L. A. 2011. Prevalence, characteristics, and
predictors of pre-diabetes in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 20(4),
283–294.

39
Susanti A. A. 2007. Evaluasi Pengobatan Pasien Diabetes Melitus dengan
Komplikasi Ulkus/Gangren di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Juli-Desember 2005. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Hlm. 85-86.
Umboro R. O. 2012. Evaluasi Penggunaan Antidiabetika Pada Ulkus Diabetik
(studi kasus di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta). Tesis. Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Waspadji, S. 2014. Kaki diabetes.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas


Kedokteran UI. Jakarta. Hlm. 2369, 2370.
World Health Organization (WHO). 2018. ATC/DDD Index 2018.
https://www.whocc.no/atc_ddd_index/. Diakses 24 November 2018.
Yanti, Y. E. 2016. Rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap
balita penderita pneumonia dengan pendekatan metode gyssens di rsud sultan
syarif mohamad alkadrie pontianak. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Yazdanpanah, L. 2015. Literature review on the management of diabetic foot
ulcer. World Journal of Diabetes, 6(1), 37.
Yu, M. K. et al. 2013. Sex disparities in diabetes process of care measures and
self-care in high-risk patients. Journal of Diabetes Research, 2013 (May
2014).

40
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN ULKUS
DIABETIKUM DI RUMAH SAKIT DI JAKARTA

Skripsi
Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Farmasi

Yang disusun oleh :


Ayu Nuraini
1404015055

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2018

41

Anda mungkin juga menyukai