Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

Ulkus Kornea
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Auladina Siddiqah
2007501010034

Pembimbing:
dr. Cut Putri Samira, Sp. M (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus yang berjudul “Ulkus Kornea”. Shalawat dan salam kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan besar diseluruh aspek kehidupan
manusia khususnya di bidang ilmu pengetahuan.

Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata, RSUD dr. Zainoel Abidin
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Ucapan terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan kepada dr. Cut Putri
Samira, Sp. M (K) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam
penulisan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan
rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi sumbangan
pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan
berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT
selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, 31 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi....................................................................................................................3
2.3 Faktor Risiko...................................................................................................................4
2.4 Patogenesis.......................................................................................................................6
2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................7
2.6 Manifestasi Klinis...........................................................................................................8
2.7 Klasifikasi dan Diagnosis...............................................................................................9
2.8 Tatalaksana...................................................................................................................11
2.9 Prognosis........................................................................................................................13
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................................14
3.1 Identitas Pasien.............................................................................................................14
3.2 Anamnesis......................................................................................................................14
BAB IV ANALISA MASALAH.................................................................................................20
BAB V KESIMPULAN...............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Retinopati diabetum merupakan gangguan mikrovaskular retina yang terjadi akibat efek
jangka panjang dari diabetes melitus. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan retina hingga
menimbulkan kebutaan.1 Retinopati diabetikum dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan
klinis menjadi retinopati diabetik nonproliferatif dan retinopati diabetik proliferatif. Retinopati
Diabetik Nonproliferatif (NPDR) ditandai dengan perubahan vaskularisasi intraretina,
sedangkan pada Retinopati Diabetik Proliferatif (PDR) ditemukan neovaskulerisasi yang
diakibatkan oleh iskemia. Angka kejadian retinopati diabetik pada semua populasi diabetes
meningkat seiring durasi penyakit dan usia pasien. Wisconsin Epidemiology Study of Diabetic
Retinopathy (WESDR) melaporkan 99% pasien DM tipe 1 dan 60% pasien DM tipe 2 akan
mengalami retinopati diabetes dalam 20 tahun. RD proliferatif terjadi pada 50% pasien DM tipe
1 dalam 15 tahun. Retinopati Diabetik jarang terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, namun
risiko meningkat setelah usia puberitas. 2

Salah satu komplikasi yang dapat menyebabkan kebutaan pada pasien diabetes mellitus
yaitu retinopati diabetik. Hal ini menjadi masalah yang patut mendapat perhatian karena
besarnya angka kebutaan yang dapat terjadi akibat peningkatan angka diabetes di dunia. Secara
global, diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014
dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980. American Academy of Ophtalmology
menyatakan bahwa angka kejadian diabetes emellitus adalah 387 juta yang diperkirakan
meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035. Sekitar 93 juta orang diantaranya memiliki
komplikasi retinopati diabetik. Jumlah pasien dengan retinopati diabetik di Amerika juga terus
mengalami peningkatan dan diperkirakan akan mencapai 16,0 juta pada tahun 2050. Indonesia
merupakan negara ke-7 dengan angka penderita diabetes terbanyak pada tahun 2019 . Riset
Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013 menemukan sekitar 6,9% penduduk Indonesia yang
berusia di atas 15 tahun menderita diabetes mellitus..3,4

Dalam perjalanan penyakitnya, retinopati diabetik mungkin asimptomatik pada tahap


awal dan mungkin terdiagnosis secara kebetulan setelah dilakukan tindakan funduskopi. Namun,
beberapa keluhan juga mungkin terjadi seperti, pandangan kabur, distorsi penglihatan, floaters,
sulit melihat sat malam hari, ataupun gangguan penglihatan warna yang lebih jarang terjadi.

1
Apabila keadaan tersebut terus berlanjut dan tidak ditangani maka dapat jatuh ke keadaaan
terminal dan menyebabkan kerusakan permanen pada penglihataan hingga kebutaan. 2

Deteksi dini dan intervensi secara tepat dan cepat merupakan kunci untuk menghindari
terjadinya kebutaan akibat retinopati diabetik. Tatalaksana retinopati diabetik dapat dilaksanakan
di berbagai tingkat pelayanan kesehatan baik berupa tindakan preventif, kuratif, hingga
rehabilitatif. Tatalaksana awal yang paling utama adalah kontrol glukosa darah baik dengan
perubahan gaya hidup dan medikamentosa. Selanjutnya dapat dilakukan tatalaksana baik berupa
laser panretinal fotokoagulasi (PRP), injeksi anti vascular endothelial growth factor (VEGF),
hingga tindakan operasi vitrektomi pars plana (VPP) diberikan sesuai dengan derajat keparahan
penyakit..2,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Retinopati diabetika merupakan kelainan mata pada pasien diabetes yang diakibatkan
oleh kerusakan kapiler retina, sehingga menimbulkan gangguan penglihatan sampai
menimbulkan kebutaan permanen. Risiko mengalami retinopati meningkat sejalan dengan
lamanya menderita diabetes sehingga hiperglikemia yang berlangsung lama diduga sebagai
faktor risiko utama.2 Retinopati diabetes termasuk salah satu komplikasi penyakit diabetes
mellitus yang mampu menimbulkan kerusakan pada bagian retina mata. Kontrol glikemik yang
buruk, hipertensi yang tidak terkontrol, dislipidemia, nefropati, dan obesitas dikaitkan dengan
6
memburuknya retinopati diabetik. Hal ini akan berdampak langsung pada terganggunya
penglihatan penderita dan apabila terlambat ditangani akan menyebabkan penderita mengalami
kebutaan permanen.7

2.2 Epidemiologi
Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab utama kebutaan terutama diantara
usia produktif. Berdarkan penelitian yang dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic
study of Diabetic Retinopathy (WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati menjadi dua
kelompok yaitu onset muda dan onset tua. Onset muda adalah pasien yang didiagnosis diabetes
sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset tua adalah pasien yang didiagnosis diabetes
setelah 30 tahun. Pada onset muda, 71% terdiagnosis dengan retinopati, 23% terkena retinopati
diabetika proliferatif dan 6% terdiagnosis Clinicially Significant Macular Edema (CMSE). Pada
onset tua, pasien retinopati dengan pengobatan insulin sebesar 70% dan tanpa pengobatan 39%.
Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14% CMSE, sedangkan dengan
yang pengobatan insulin 14% mencapai proliferatif dan 11% CMSE.8

Berdasarkan penelitian survey populasi di Melton Mowray, England prevalensi retinopati


pada pasien dengan pengobatan insulin sebesar 41% dan pasien tanpa pengobatan insulin
sebesar 52%. Data dari western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan yang
telah mengalami tahap lanjut seperti PDR dan perdarahan makula sekitar 10%. Berdasarkan
penelitian 3 populasi besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien diabetes

3
4

The Blue Mountains Eye Study dengan tanda proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar
5,5%.7 Di negara-negara Asia, prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa
dekade, tetapi informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas. The Aravind Eye Disease
Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun adalah 27%. 3
Secara umum, sekitar 5-8% pasien dengan retinopati diabetik memerlukan tindakan laser dan
sebanyak 0,5% pasien membutuhkan operasi vitrektomi. 9

2.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi retinopati diabetika antara lain : 8,10

1) Jenis Kelamin
Hasl penelitian WSDR menunjukkan bahwa pada penderita dibawah 30 tahun,
kejadian proliferatif lebih sering terjadi pada pria dibandingakan dengan wanita,
walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna untuk progesivitas dari
retinopatinya. Sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada perbedaan
yang bermakna untuk kejadian maupun progesivitas antara pria maupun wanita.
2) Umur
Prevalensi dan keparahan pada diabetes tipe 1 berhubungan dengan usia.
Retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13 tahun, namun angka kejadiannya
meningkat sampai usia 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan setelahnya. Pada
pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat dengan bertambahnya usia.
3) Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian WSDR ditemukan bahwa pada pasien diabetes dengan
retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak terdiagnosis retinopati. Sehingga kadar gula darah yang tinggi berpengaruh
terhadap kejadian retinopati diabetikum.
4) Durasi Diabetes
Durasi lamanya pasien mengalami diabetes mellitus merupakan faktor terkuat
kejadian retinopati. Pervalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15
tahun sejak diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun menjadi 75-
95% dan mencapai 100% setelah 30 tahun. Pada diabetes tipe 2 prevalensi
5

retinopati terjadi sekitar 20% sejak diagnosis ditegakkan dan meningkat menjadi
60-85% setelah 15 tahun.
5) Hipertensi
Hipertensi merupakan komorbid tersering pasien retinopati dengan diabetes.
Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi vaskularisasi retina yang akan
memperparah patofisiologi terjadinya retinopati diabetikum. Sekitar 17% pasien
retinopati diabetik tipe 1 memiliki hipertensi dan 25% pasien menjadi memiliki
hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis retinopati diabetik.
6) Hiperlipidemia
Dislipedemia sangan berhubungan terhadap terjadinya retinopati proliferatif dan
makula. Dislipidemia berhubungan dengan tebentuknya hard exudate pada
penderita retinopati. Berdasarkan penelitian WESDR, hard exudate lebih banyak
terdapat pada pasien diabetes tanpa pengobatan oral hypolipidemic.
7) Insulin endogen
Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki kadar C-peptide
plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak berpengaruh terhadap
progesivitas retinopati. Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya
kadar insulin endogen.
8) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor patogenesis
pada diabetes tipe 2
9) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan retinopati pada
penderita diatas 30 tahun tanpa pengobatan insulin. Mereka yang underweight
(BMI<20 kg/m2 untuk pria dan wanita) memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena retinopati dibandingkan dengan BMI normal.
10) Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat kehamilan.
Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan dengan
preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak.
6

2.4 Patogenesis
Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya retinopati diabetik.
Hiperglikemia menyebabkan aktivasi jalur alternatif metabolisme glukosa, termasuk jalur poliol,
pembentukan stress oksidatif, aktivasi protein kinase C, dan glikasi protein non enzimatik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7%
lebih jarang terjadi retinopati yang progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi
insulin. Beberapa proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan
terjadinya retinopati diabetika antara lain:11,12

1) Aktivasi jalur poliol


Peningkatan enzim aldose reduktase terjadi akibat hiperglikemia yang meningkatan
produksi sorbitol. Sorbitol adalah senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati
membran basalis sehingga tertimbun di sel dan menumpuk di jaringan lensa, pembuluh
darah dan optik. Penumpukan ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik yang
menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel. Konsumsi NADPH selama
peningkatan produksi sorbitol menyebabkan penigkatan stress oksidatif yang akan
mengubah aktivitas Na/K-ATPase, perubahan aktivitas protein kinase C isoform
gangguan metabolisme phopathydilinositol, dan peningkatan produksi prostaglandin.

Gambar 2.1 Polyol pathway


7

2) Glikasi Non-enzimatik
Hiperglikemia yang terjadi menyebabkan akumulasi glukosa yang berlebihan dalam
darah. Selanjutnya glukosa akan berikatan dengan asam amino bebas, serum atau
protein yang menghasilkan Advanced gycosilation end product (AGE). Interaksi antara
AGE dan reseptornya menimbulkan inflamasi vaskular dan reactive oxygen species
(ROS) yang berhubungan dengan kejadian retinopati diabetika proliferatif.

Gambar 2.2 Formasi advanced glycation endproducts (AGEs)


3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan regulator
protein kinase C dari glukosa. Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dyang
nantinya akan mengaktifkan VEGF yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah
baru. Hal inilah yang mendasari terbentuknya neovaskularisasi pada diabetik retinopati
proliferatif.

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari terjadinya retinopati diabetik diakibatkan oleh
kelainan pada kapiler retina akibat hiperglikemia kronik. Dinding kapiler terdiri dari 3
lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel,
perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1 : 1. Sel perisit
berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas,
mempertahankan fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana
basalis berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel bersama dengan
8

matriks ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif. .
Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika menyebabkan terjadinya perbedaan
perbandingan sel endotel dan sel perisit menjadi 10 : 1,7. Hal ini ditimbulkan akibat
penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya
proliferasi sel endotel,.11,13
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di tingkat
kapiler yaitu pembentukan aneurisma, peningkatan permeabilitas, oklusi, proliferasi
pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan jaringan fibrosis, serta adanya
kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus . 2,12

Gambar 2.3 (A) Foto fundus retinopati diabetes. AN (arteriol narrowing), NFH (nerve fi ber
hemorrhage), VB (venous beading), CWS (cotton wool spot), HE (hard exudate), PRH (pre-
retinal hemorrhage). (B) Perbandingan retina normal dan retinopati diabetes.

2.6 Manifestasi Klinis


Retinopati diabetik mungkin asimptomatik pada tahap awal dan mungkin terdiagnosis
secara kebetulan setelah dilakukan tindakan funduskopi. Namun, beberapa keluhan juga
mungkin terjadi seperti, pandangan kabur, distorsi penglihatan, floaters, sulit melihat saat malam
hari, ataupun gangguan penglihatan warna yang lebih jarang terjadi. Apabila keadaan tersebut
terus berlanjut dan tidak ditangani maka dapat jatuh ke keadaaan terminal dan menyebabkan
kerusakan permanen pada penglihataan hingga kebutaan. Pada pemeriksaan fisik biasa tanda
retinopati diabetik dapat dijumpai dari hasil pemeriksaan funduskopi berupa tanda
mikroaneurisma, perdarahan retina, hard exudate, cotton wool spot/ soft exudate, Intra retinal
9

Microvascular Abnormality (IRMA), perubahan arteri dan vena, serta ditemukan


neovaskularisasi yang menjadi ciri khas pada Proliferative Diabetic Retinopaty (PDR). 2

2.7 Klasifikasi dan Diagnosis


Retinopati diabetik dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis, yaitu
Nonproliferative Diabetic Retinopaty (NPDR) dan Proliferatif Diabetic Retinopaty
(PDR).2

1) Nonproliferative Diabetic Retinopaty (NPDR)


Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering tidak
memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan foto warna
fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA). Mikroaneurisma merupakan tanda
awal terjadinya NPDR, yang terlihat dalam foto warna fundus berupa bintik merah
yang sering di bagian posterior. Kelainan morfologi lain antara lain penebalan
membran basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang tampak sebagai bercak warna
kuning dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus (Cotton Wool Spot).
Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran lipoprotein plasma. Edema terjadi
akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot terjadi akibat kapiler yang mengalami
sumbatan. RDNP selanjutnya dibagi menjadi minimal, sedang, berat dan sangat
berat.2,8
a) Retinopati non-proliferatif ringan
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b) Retinopati non-proliferatif sedang
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan,
eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA (Intraretinal microvascular
abnormalities).
c) Retinopati non-proliferatif berat
Terdapat <2 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran
retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, IRMA ekstensif minimal pada 1 kuadran.
d) Retinopati non-proliferatif sangat berat
Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif berat .
10

2) Proliferatif Diabetic Retinopaty (PDR).


Proliferatif Diabetic Retinopaty (PDR) ditandai dengan terbentuknya pembuluh darah
baru (Neovaskularisasi). Dinding pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri dari satu
lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga sangat rapuh dan
mudah mengalami perdarahan. Pembentukan pembuluh darah baru tersebut sangat
berbahaya karena dapat tumbuh menyebar keluar retina sampai ke vitreus sehingga
menyebabkan perdarahan di vitreus yang mengakibatkan kebutaan. Apabila
perdarahan terus berulang akan terbentuk jaringan sikatrik dan fibrosis di retina yang
akan menarik retina sampai lepas sehingga terjadi ablasio retina. RPD dapat dibagi
lagi menjadi: 2,7
a) Non- high risk proliferative diabetic retinopathy 14
Bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang
mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa disertai perdarahan
preretina atau vitreus; atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa
disertai perdarahan preretina atau vitreus.
b) High risk proliferative diabetic retinopathy 14
Apabila ditemukan 3 atau 4 risiko berikut :
 Ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina
 Ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus
 Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup
lebih dari satu per empat daerah diskus
 Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap
adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan dua
gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan
resiko tinggi.
11

Gambar 2.5 Fotografi fundus berwarna pada PDR yang menunjukkan neovaskularisasi,
perdarahan neovaskularisasi, pelepasan retina dari makula.

2.8 Tatalaksana
penatalaksanaan utama retinopati diabetik dapat berupa pengendalian gula darah,
hipertensi sistemik, dan hiperkolesterolemia. NPDR ringan-sedang tidak membutuhkan terapi,
namun observasi dilakukan setiap tahun dan dilakukan pengendalian gula darah. Pada NPDR
berat perlu pemantauan per 6 bulan untuk mendeteksi tanda-tanda progresivitas menjadi
proliferatif. Pada edema makula tanpa manifestasi klinis yang signifikan dilakukan observasi
tanpa tindakan laser. CSME membutuhkan tindakan laser fokal atau difus, injeksi intravitreal
triamcinolone atau injeksi intravitreal anti-VEGF. Sedangkan tatalaksana pada PDR diberi
tindakan laser cito. Pan-retinal photocoagulation (PRP) bertujuan untuk regresi pembuluh darah
baru sehingga menurunkan angka kebutaan. Vitrektomi dilakukan pada perdarahan vitreus dan
traksi vitreoretina. Intravitreal anti-VEGF preoperatif dapat menurunkan kejadian perdarahan
berulang dan memperbaiki tajam penglihatan post- operasi.2,3

1. Fotokoagulasi Laser

Terapi laser biasanya untuk retinopati diabetes nonproliferatif disertai CSME dan
retinopati diabetes proliferatif. Tujuan laser fotokoagulasi adalah mencegah kebocoran
mikroaneurisma dan menghambat ekstravasasi cairan ke makula. Penggunaan laser fotokoagulasi
pada CSME menunjukkan perbaikan hasil dengan sisa gangguan tajam penglihatan sedang
(moderate visual loss, MVL) antara pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan. MVL adalah
penggandaan sudut visual, dari 20/20 menjadi 20/40 atau 20/100 dari 20/50, perbaikan 15 atau
lebih huruf pada ETDRS chart, atau perbaikan lebih dari 3 baris pada Snellen chart. Terapi laser
dapat ditunda setelah edema makula teratasi. Terapi laser disertai injeksi intravitreal secara
12

signifikan memperbaiki tajam penglihatan dan penurunan ketebalan makula (anatomi)


dibandingkan terapi laser saja dalam 6-24 bulan.2

Fotokoagulasi laser panretinal (PRP) pada retinopati diabetes proliferatif bertujuan untuk
regresi neovaskuler. PRP merusak area iskemi retina dan meningkatkan tekanan oksigen mata.
Area iskemi pada mata dapat memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF), sehingga
progresif merusak retina. Terapi PRP dapat satu atau beberapa sesi, menggunakan laser Argon
hijau atau biru membakar sebanyak 1200 atau lebih dari 500 µm dipisahkan satu dengan lainnya
dengan jarak satu setengah lebar luka bakar. Efek samping scatter PRP yaitu penurunan tajam
penglihatan malam hari, perubahan penglihatan warna, sensitivitas cahaya, tajam penglihatan
perifer, dan dilatasi pupil.2

2. Anti-Vascular Endothelial Growth Factor (Anti- VEGF)

Salah satu faktor yang mendasari terjadinya retinopati diabetik diakibatkan oleh
pembentukan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), sehingga menjadi salah satu target
terapi terutama neovaskulerisasi. Anti-VEGF yang tersedia saat ini renibizumab bevacizumab,
pegatanib, dan aflibercept.. Ranibizumab merupakan fragmen humanized monoconal antibody
against semua isoform VEGF, bermanfaat sebagai terapi choroidal neovascularization pada age-
related macular edema. Penelitian RIDE/IRISE melaporkan pada pasien yang mendapat injeksi
0,3 mg ranibizumab setiap bulan selama 2 tahun, ketebalan foveal sentral masih lebih dari 250
µm dan tajam penglihatan terbaik 20/40. 2

Selain itu, Aflibercep dapat memperbaiki tajam penglihatan dan anatomi lebih baik dari
pada ranibizumab. Pegatanib merupakan 28-base ribonucleid acid aptamer yang berikatan dan
menghambat kerja VEGF ektraseluler, terutama asam amino 165 (VEGF 165). Sedangkan
bevacizumab merupakan humanized monoconal IgG antibody yang berikatan dan menghambat
semua isoform VEGF yang digunakan dalam terapi oftamologi. Terapi anti-angiogenik
menggunakan anti VEGF dapat memperbaiki tajam penglihatan pasien edema makula diabetes 2

3. Kortikosteroid

Triamsinolon asetonid intravitreal bermanfaat untuk edema makula diabetes refrakter.


Implan intravitreal deksametason 0,7 mg (DEX Implan) telah disetujui FDA sebagai terapi
edema makula diabetes dan fluocinolone aceetonide (Fac) intravitreal telah disetujui FDA
13

sebagai terapi edema makula diabetes yang sebelumnya telah mendapat terapi kortikostreroid
dan klinis tekanan intraokular tidak meningkat. Perlu diketahui bahwa penggunaan
kortikosteroid dapat meningkatkan tekanan intraokular dan katarak.2

4. Vitrektomi Pars Plana

Vitrektomi pars plana dapat menjadi pilihan terapi pada ablasio hialoid posterior terutama
jika terbukti ada traksi posterior hialoid dan edema makula diabetes difusa.2

Indikasi vitrektomi pada RD dengan komplikasi :

 Perdarahan vitreus menetap lebih dari 6 bulan


 Ablasio retina traksi atau mengancam makula
 Ablasio retina traksi dan regmatogenosa
 Edema makula diabetes difus yang berkaitan dengan traksi hialoid posterior
 Perdarahan vitreous berulang meskipun telah dilakukan PRP
 Perdarahan premakula subhialoid
 Neovaskularisasi segmen anterior

2.9 Prognosis
Prognosis retinopati diabetik bergantung dari durasi lamanya diabetes mellitus, kontrol
glikemik, kondisi komorbid terkait, serta kepatuhan pasien terhadap jalur pengobatan yang tepat.
Oleh karena itu dibutuhkan konseling yang tepatt mengenai kondisi retina yang membuat pasien
sadar bahwa apabila terjadi keterlambatan dalam penanganan, maka dapat menimbulkan
kebutaan permanen. Pengendalian gula darah dan pemeriksaan mata berkala sesuai derajat
retinopati diabetes dapat mencegah kebutaan.15

Fotokoagulasi laser panretinal (PRP) dapat menurunkan risiko kebutaan kurang dari 2%
jika dilakukan pada derajat keparahan yang tepat (RD nonproliferatif berat dan RD proliferatif)
dan terapi laser fokal pada kasus makula edema dapat menurunkan angka kebutaan sampai 50%.
Terapi vitrektomi dini pada kasus RD proliferatif pasien DM tipe 1 dapat mempertahankan tajam
penglihatan pasien 2 tahun setelah operasi sebanyak 36% pasien vitrektomi dini dan 12% pada
pasien dengan vitrektomi terlambat. Ketajaman penglihatan yang dihasilkan yaitu sekitar 20/ 40
atau lebih baik.15
14

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Wardati
No. CM : 1-02-11-67
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 Tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Lhong, Aceh Besar
Tanggal Pemeriksaan : 22-12-2021
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan mata kabur pada kedua mata
Keluhan Tambahan : Tidak ada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan mata kabur pada kedua mata sejak 10 bulan
yang lalu. Keluhan lebih berat dirasakan pada mata kiri, terutama sejak 3
bulan yang lalu. Pasien mengatakan mata kirinya hanya mampu melihat
dalam jarak sekitar 2 meter saja, sedangkan mata kanan masih mampu
melihat jauh, namun hanya sedikit terasa kabur. Keluhan lain seperti nyeri
pada mata, fotofobia, dan mata merah tidak dikeluhkan pasien. Pasien
mengaku memiliki riwayat kecelakaan yang menyebabkan trauma di dekat
mata kanannya sejak 10 bulan yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat
diabetes mellitus sejak 8 tahun lalu dan baru akhir-akhir ini rutin
mengkonsumsi obat minum.Akibat kadar gula darah yang tinggi, pasien
harus menggunakan insulin, namun karena alergi, pasien saat ini hanya
mengkonsumsi obat oral saja.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat DM sejak 2014
Riwayat Penyakit Keluarga :
Orang tua dari pasien memiliki riwayat DM
15

Riwayat Pemakaian Obat :


Pasien menggunakan Insulin, metformin, dan glucodex
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien adalah ibu rumah tangga
3.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/i, regular, isi cukup, kuat angkat
Pernafasan : 20x/i, regular
Suhu : 36,7oC

Pemeriksaan Fisik Ophtalmologi

Pemeriksaan Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra (OS)


Visus 6/9 2/60
Supra cilia
Madarosis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Palpebra superior
Edema Tidak ada Tidak ada
Spasme Tidak ada Tidak ada
Hiperemi Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Palpebra inferior
Edema Tidak ada Tidak ada
Hiperemi Tidak ada Tidak ada
Enteropion Tidak ada Tidak ada
Ekteropion Tidak ada Tidak ada
Jaringan Parut Tidak ada Tidak ada
Pungtum lakrimalis
Pungsi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva palpebra superior
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
16

Folikel Tidak ada Tidak ada


Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Folikel Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva bulbi
Kemosis Tidak ada Tidak Ada
Injeksi Konjungtiva Tidak ada Tidak Ada
Injeksi Silier Tidak ada Tidak Ada
Perdarahan di bawah konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguecula Tidak ada Tidak ada
Sklera
Warna Normal Normal
Pigmentasi Tidak ada Tidak ada
Limbus
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Kornea
Edema Tidak ada Tidak Ada
Infiltrat Tidak ada Tidak Ada
Ulkus Tidak ada Tidak Ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Bilik Mata Depan
Kejernihan Jernih Jernih
Kedalaman Dalam Dalam
Hipopion Tidak ada Tidak Ada
Iris/Pupil
17

Refleks cahaya langsung (+) (+)


Refleks cahaya tidak langsung (+) (+)
Lensa
Kejernihan Jernih Keruh
Dislokasi/subluksasi Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

3.4. Resume
Pasien perempuan 32 tahun datang dengan keluhan mata kabur pada kedua mata
sejak 10 bulan yang lalu dan lebih berat dirasakan pada mata kiri. Riwayat DM
sejak 2014 dan pernah menggunakan insulin. Saat ini pasien menggunakan obat
metformin serta glucodex sebagai terapi karena alergi terhadap insulin. Pasien
rutin kontrol ke dokter endokrin setiap minggu. GDS terakhir : 214 mg/dl.
Pada pemeriksaan lokalis mata adalah sebagai berikut:

PEMERIKSAAN LOKAL

OD Pemeriksaan OS
6/9 Visus 2/60
Tenang Palpebra Tenang
Tenang Konjungtiva Tenang
Jernih Kornea Jernih
Limbus
Dalam Bilik Mata Depan Dalam
Bulat, reguler Iris Bulat, reguler
Refleks cahaya (+) Pupil Refleks cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih
Normal perpalpasi Tekanan Intraokuli Normal perpalpasi
18

PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI

OD Pemeriksaan OS
Perdarahan (-) Vitreous Perdarahan (+)

Mikroaneurisma (+), Retina Perdarahan intraretinal


neovaskularisasi (+) (+), neovaskularisasi
(+), Fibroepitelisasi (+),
Mikroaneurisma (+),

Gambar 3.1 Foto Funduskopi


19

Gambar 3.2 Foto OCT Scan

3.5. Diagnosis
 Proliferative Diabetic Retinopaty (PDR) ODS

3.6. Tata Laksana


Medikamentosa:
 Flamar eye drop 4 x 1 tetes ODS
 Vitrolenta eye drop 4 x 1 tetes ODS
 Vit B1 1 x 1 tablet

3.7. Foto Klinis

Gambar 3.3 Mata Kanan dan Kiri


BAB IV
ANALISA MASALAH

Pasien perempuan umur 32 tahun datang dengan keluhan mata kabur pada kedua mata.
Pasien dengan riwayat DM sejak 2014 dan memiliki riwayat menggunakan insulin sebagai
terapi, namun satat ini pasien mendapatkan terapi obat diabetes oral berupa metformin dan
glucodex karena pasien mengalami alergi terhadap insulin. GDS terakhir 214 mg/dl. Sesuai
dengan teori dimana pada pasien dengan diagnosis diabetes sebelum usia 30 tahun sangat
berisiko untuk terjadinya retinopati diabetik, dimana pada pasien ini terdiagnosis diabetes
mellitus tipe 2 sejak berusia 24 tahun. Selain itu, umur merupakan salah satu faktor risiko
retinopati diabetes dimana kejadian retinopati meningkat dengan bertambahnya umur. Selain itu
durasi lamanya mengalami diabetes merupakan faktor terkuat kejadian retinopati, dimana pada
diabetes tipe 2 prevalensi retinopati sekitar 20% sejak diagnosis ditegakkan dan meningkat
menjadi 60-85% setelah 15 tahun. Kadar gula darah yang tinggi juga menjadi faktor kejadian
retinopati dimana pasien dengan retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak terdiagnosis retinopati.

Hasil anamnesis diketahui pasien mengeluhkan pandangan kabur yang memberat sejak 3
bulan lalu tanpa rasa nyeri atau keluhan lainnya. Keluhan ini merupakan salah satu keluhan yang
dapat timbul pada pasien yang mengalami retinopati diabetik akibat diabetes mellitus yang
dideritanya. Keluhan ini dapat timbul akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol,
sehingga menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah retina bahkan dapat menimbulkan
perdarahan pada makula yang dapat mengancam penglihatan. Pada pemeriksaan didapatkan
visus OD 6/9 dan OS 2/60. Hasil visus ini sejalan dengan keluhan pasien dimana pasien
mengaku pandangan terasa lebih kabur pada mata kirinya, bahkan pasien hanya mampu melihat
sejauh 2 meter saja dengan mata kirinya.
Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan perdarahan makula, neovaskularisasi,
fibroepitelisasi, dan mikroaneurisma pada vitreous mata kiri. Berdasarkan pemeriksaan fisik
Ophtalmologi dan pemeriksaan funduskopi dapat dikatakan bahwa pasien mengalami Retinopati
Diabetikum Proliferatif . Sesuai dengan kriterianya dimana pada PDR memiliki tanda hasil
funduskopi berupa adanya neovaskularisasi atau adanya pembentukan pembuluh darah baru pada

20
retina yang sifatnya mudah rapuh, sehingga sangat mungkin menyebabkan perdarahan. Selain
itu, beberapa tanda lain dari hasil funduskopi juga didapatkan fibroepitelisasi, mikroaneurisma,
dan perdarahan makula. Berdasarkan gambaran funduskopi tersebut menunjukkan bahwa pasien
mengalami High risk proliferative diabetic retinopathy dengan tanda adanya neovaskularisasi
pada beberapa bagian dan terjadinya perdarahan pada makula dan vitreus.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa Flamar, Vitrolenta, dan Vit B1. Flamar eye
drop merupakan obat tetes mata yang memiliki kandungan natrium diclofenak yang berfungsi
untuk mengatasi pembengkakan atau peradangan non bakterial pada mata. Flamar bekerja
dengan cara menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX), dimana enzim ini berfungsi dalam
pembentukan prostaglandin saat terjadi luka yang menyebabkan rasa nyeri dan peradangan.
Selanjutnya vitrolenta eye drop merupakan obat tetes mata yang mengandung pottasium iodine
dan sodium iodine. Obat ini berfungsi untuk mengatasi kekeruhan atau perdarahan pada vitreus.
Selain itu pasien juga diberikat vit B1 tablet yang berperan untuk menjaga kesehatan mata
terutama pada persarafan dan lensa mata.
Selain medikamentosa di atas pasien juga disarankan untuk menjalani terapi laser. Pada
kasus PDR, kelainan tersebut dapat menyebabkan terjadinya iskemia pada struktur mata. Area
iskemi pada mata dapat memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF), sehingga
progresif merusak retina. Fotokoagulasi laser panretinal (PRP) pada retinopati diabetes
proliferatif bertujuan untuk regresi neovaskuler, merusak area iskemi retina dan meningkatkan
tekanan oksigen mata.. Efek samping scatter PRP yaitu penurunan tajam penglihatan malam hari,
perubahan penglihatan warna, sensitivitas cahaya, tajam penglihatan perifer, dan dilatasi pupil.

21
BAB V
KESIMPULAN

Retinopati diabetikum merupakan kelainan pada retina yang diakibatkan oleh komplikasi
diabetes mellitus jangka panjang. Pada kasus ini, pasien diketahui mengalami keluhan berupa
penglihatan kabur yang memberat sejak 3 bulan lalu dengan riwayat diabetes mellitus sejak 8
tahun. Hasil pemeriksaan visus pasien menurun menjadi OD 6/9 dan OS 2/60. Berdasarkan hasil
funduskopi pasien didapatkan tanda berupa neovaskularisasi, fibroepitelisasi, mikroaneurisma,
dan perdarahan makula serta vitreus. Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk
penegakan diagnosis antara lain pemeriksaan biomikroskopi, angiografi floresen, ultrasonografi
dan Optical Coherence Tomography (OCT). Oleh beberapa klinis tersebut pasien ditegakkan
dengan diagnosis High risk Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) ODS.

Penegakan diagnosis retinopati diabetikum sedini mungkin perlu dilakukan melalui


upaya skrining rutin pada pasien dengan diabetes mellitus. Tatalaksana utama pencegahan
progresivitas retinopati diabetic adalah pengendalian gula darah, hipertensi sistemik dan
hiperkolesterolemia. Terapi mata seperti penggunaan laser atau vitrektomi juga berdasarkan
lokasi dan derajat keparahan PDR. Skrining dan follow up rutin pada pasien DM berperan
penting dalam mempertahankan tajam penglihatan pasien

22
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Eisma JH. Current knowledge on diabetic retinopathy from human donor


tissues. World J Diabetes. 2015;6(2):312.
2. Erlvira, Suryawijaya EE. Retinopati Diabetes. Cermin Dunia Kedokt.
2019;46(3):220–4.
3. Ninla Elmawati Falabiba. Pola Kasus dan Tatalaksana Retinopati Diabetik
di Pusat Rujukan Tersier Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
Indonesia Tahun 2016-2019. 2019;
4. Dharma AG. Retinopati Diabetika. Candi Eye Cent. 2014;
5. Wang W, Lo ACY. Diabetic retinopathy: Pathophysiology and treatments.
Int J Mol Sci. 2018;19(6).
6. Nittala MG, Keane PA, Zhang K, Sadda SR. Risk factors for proliferative
diabetic retinopathy in a Latino American population. Retina.
2014;34(8):1594–9.
7. Yusran M. Retinopati Diabetik: Tinjauan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana.
JK Unila |. 2017;1:578–82.
8. Taylor HR. Diabetic retinopathy. Clin Exp Ophthalmol. 2005;33(1):3–4.
9. Moutray T, Evans JR, Lois N, Armstrong DJ, Peto T, Azuara-Blanco A.
Different lasers and techniques for proliferative diabetic retinopathy.
Cochrane Database Syst Rev. 2018;2018(3).
10. Harding S. Diabetic retinopathy. Clin Evid (Online). 2004;(12):939–50.
11. Duh EJ, Sun JK, Stitt AW. Diabetic retinopathy: current understanding,
mechanisms, and treatment strategies. JCI insight. 2017;2(14):1–13.
12. Ahmad SI. Pathophysiology of Diabetes. Diabetes. 2020;2013:47–50.
13. Kusuhara S, Fukushima Y, Ogura S, Inoue N, Uemura A. Pathophysiology
of diabetic retinopathy: The old and the new. Diabetes Metab J.
2018;42(5):364–76.
14. Singh R, Ramasamy K, Abraham C, Gupta V, Gupta A. Diabetic
retinopathy : An update. Indian J Ophthalmol. 2008;56(3):179–88.
15. Nentwich MM. Diabetic retinopathy - ocular complications of diabetes
mellitus. World J Diabetes. 2015;6(3):489.

Anda mungkin juga menyukai