PENELUSURAN JURNAL
PENGARUH TERAPI MADU TERHADAP LUKA DIABETIK PADA PASIEN DENGAN
DIABETES MELLITUS TIPE 2
OLEH
KELOMPOK 6
B10-A
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas Waranugraha
Beliaulah penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengaruh Terapi Madu Terhadap
Luka Diabetik Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat dengan bantuan dari berbagai pihak yang membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu masalah penulisan yaitu
“Bagaimanakah pengaruh terapi madu terhadap luka diabetik pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 2?”
2
BAB II
PEMBAHASAN
ABSTRAK
Pendahuluan: Salah satu alternatif perawatan luka diabetik adalah menggunakan terapi
madu. Madu memiliki kandungan air dan kelembapan yang cukup sehingga tidak mendukung
bakteri untuk bertumbuh dan berkembangbiak. Survey yang dilakukan di daerah kelurahan
Pegirian Surabaya, masih ada pasien DM yang mengalami luka diabetik dan melakukan perawatan
menggunakan air dan betadin, larutan NaCl 0,9% dan serbuk Nebacetin. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi madu terhadap luka diabetik. Metode: Desain
penelitian menggunakan pra eksperimental dengan pendekatan one-group pre-post test. Populasi
penelitian adalah pasien yang menderita luka diabetik sejumlah 10 orang, sampel diambil dengan
menggunakan teknik Non Probability Sampling dengan pendekatan Total Sampling. Pengumpulan
data menggunakan lembar observasi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan derajat luka diabetik
sebelum dilakukan terapi madu sebagian besar dalam kategori berat yaitu 9 responden (90%).
Derajat luka diabetik setelah pemberian terapi madu diperoleh sebanyak 4 responden (40%) dalam
kategori sedang. Uji statistik menggunakan Wilcoxon didapatkan tingkat signifikasi 0,023
(ρ<0,05) yang berarti ada pengaruh pemberian terapi madu terhadap luka diabetik pada pasien DM
tipe 2. Diskusi: Dengan demikian, terapi madu sangat membantu dalam proses penyembuhan luka
diabetik pasien, sehingga di harapkan terapi ini dapat di jadikan pengobatan alternatif untuk
penyembuhan luka diabetik
Kata Kunci: Luka diabetik, Terapi madu
3
2.1.2. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) sering dikenal sebagai penyakit “kencing manis” merupakan
masalah kesehatan yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi dalam darah yang disebabkan
oleh gangguan pada sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya. Menurut American
Diabetes Association (ADA) 2010, mendefinisikan DM sebagai suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin.
Hiperglikemi bila berkepanjangan dan tidak dikontrol dengan baik menyebabkan komplikasi
angiopati dan neuropati. Kedua hal ini yang menyebabkan gangguan sirkulasi darah yang akan
menghambat suplai oksigen pada serabut saraf dan kerusakan endotel pembuluh darah, hal ini akan
memicu tumbuhnya bakteri terutama bakteri anaerob sehingga pada akhirnya timbul luka kaki
diabetik.
Menurut WHO (2007), Indonesia termasuk sepuluh negara dengan jumlah kasus DM
terbanyak di dunia. Pada tahun 2000, Indonesia berada pada peringkat keempat dengan jumlah
kasus sebesar 8,4 juta orang, dan diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan menjadi 300 juta orang
bahkan diprediksi jumlahnya akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 366 juta orang (Depkes
RI, 2008). Penanganan luka diabetik dapat dilakukan dengan terapi farmakologis maupun terapi
non farmakologis. Terapi farmakologis meliputi pemberian suntikan insulin, obat hipoglikemik
oral (OHO). Madu merupakan salah satu terapi non-farmakologis yang bisa diberikan dalam
perawatan luka DM.
4
d. Analisis PICOT
1. Population
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita luka diabetik sejumlah
10 orang di RW 011, Kelurahan Pegirian, Surabaya.
2. Intervention
Pengambilan data awal (pre-test) dilakukan terhadap setiap pasien dengan luka
diabetik sebelum dilakukan perawatan luka dengan penggunaan madu melalui instrument
lembar observasi. Kemudian pasien dengan luka diabetik tersebut dilakukan perawatan
luka dengan penggunaan madu. Prosedur yang diterapkan yaitu perlakuan tersebut
dilakukan selama 2 minggu dengan aturan pakai madu dioleskan pada luka setiap hari
kurang lebih sehari dua kali, kemudian tutup luka dengan kasa kering, anjurkan pada
responden untuk luka agar tetap dalam kondisi kering. Postest dilakukan pada hari
terakhir penelitian.
3. Comparation
Data yang telah didapatkan kemudian dilakukan editing, coding dan dianalisa
dengan statistik nonparametrik yaitu Wilcoxon yang menunjukkan hasil p=0,023 yang
berarti p <0,05 dan demikian dapat diartikan bahwa HO ditolak yang menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh madu terhadap penyembuhan luka diabetik.
4. Outcome
Hasil pengukuran derajat luka sebelum dilakukan terapi madu diperoleh 9
responden (90%) mengalami derajat berat dan 1 responden (10%) mengalami derajat
ringan. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden di RW 011
Kelurahan Pegirian Surabaya mengalami luka diabetik dengan kategori derajat luka berat.
Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 9 orang (90%). Menurut
Morison, (2009), menyatakan bahwa laki-laki cenderung banyak mengalami masalah
diabetes mellitus berhubungan dengan aktivitas yang sebanding dengan tekanan, dimana
semakin tinggi aktivitas seseorang maka semakin tinggi pula tekanan yang diperoleh,
sehingga laki-laki memiliki resiko lebih tinggi mengalami luka diabetik dibanding
perempuan. Diketahui sebanyak 5 orang (42%) responden berusia 55-60 tahun. Menurut
Riyadi dan Sukarmin (2010), menyatakan bahwa seiring bertambahnya usia seseorang
akan mengalami penurunan fisiologis yang cepat. Selain itu juga terjadi penurunan
5
sensasi rasa pada kaki dan bagian tubuh lainnya, sehingga penurunan ini akan beresiko
pada penurunan fungsi pankreas untuk memproduksi insulin.
Lama luka yang diderita responden terbanyak adalah 1-5 tahun sejumlah 7 orang.
Suyono (2004), mengatakan bahwa penderita diabetes mellitus yang telah lama menderita
luka diabetik antara 1-5 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darahnya tidak
dikendalikan dengan baik akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler
sehingga responden dapat mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang akan
mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah akibat tersumbatnya pembuluh darah perifer
yang akan menghambat suplai oksigen pada serabut saraf dan kerusakan endotel
pembuluh darah, hal tersebut dapat memicu tumbuhnya bakteri dengan subur terutama
bakteri anaerob, sehingga penyebab timbulnya luka diabetik pada kaki.
Pengukuran derajat luka setelah dilakukan terapi madu terlihat bahwa dari 10
responden terdapat 3 orang (30%) mengalami derajat ringan, sebanyak 4 orang (40%)
mengalami derajat sedang dan 3 orang (30%) mengalami derajat berat. Dari hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden di RW 011 Kelurahan Pegirian
Surabaya mengalami perubahan derajat luka setelah dilakukan terapi madu.
Menurut Molan (1992 dalam Jeffrey dan Echazaretta, 1997) dan Basal et al (2009)
menyatakan bahwa madu memiliki kandungan air 18,25%; kelembaban/aktivitas air
(AW) sebesar 0,58%; Hidrogen peroksida sebesar 0,038 mmol/L; Keasaman (pH) sebesar
3,95; kandungan protein sebesar 0,29%; Fruktosa sebesar 38,87%; glukosa sebesar
29,98% dan mineral sebesar 0,20%. Rata-rata kandungan air pada madu sekitar 17%
dengan AW sebesar 0,56-0,62 hal ini tidak mendukung pertumbuhan kebanyakan bakteri
yang membutuhkan AW sebesar 0,94-0,99 pertumbuhan bakteri dihambat oleh hydrogen
peroksida, selain itu bakteri pathogen hanya bisa hidup pada pH antara 4,0-4,5. Madu
juga merangsang tumbuhnya jaringan baru sehingga selain mempercepat penyembuhan
juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit.
5. Time
Penelitian ini dilakukan di RW 11 kelurahan Pegirian, kecamatan Semampir,
Surabaya. Dilihat dari hasil pengumpulan data, penelitian dilakukan sekitar bulan April
2016.
6
2.1.4. Simpulan dan Saran
a. Simpulan
Derajat luka diabetik responden sebelum pemberian terapi madu, di RW 011,
Kelurahan Pegirian, Surabaya adalah derajat luka kategori berat. Sedangkan derajat luka
diabetik responden sesudah pemberian terapi madu, di RW 011, Kelurahan Pegirian, Surabaya
adalah derajat luka kategori sedang. Dari hasil tersebut didapatkan ada pengaruh pemberian
terapi madu terhadap derajat luka di RW 011, Kelurahan Pegirian, Surabaya.
b. Saran
Hasil penelitian dapat di gunakan sebagai metode pengobatan alternatif non
farmakalogis yang dapat membantu proses penyembuhan luka diabetik. Mahasiswa mengenal
serta memahami tentang pengaruh terapi madu dan di harapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikanya pada saat praktek di lapangan atau di masyarakat.
7
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Melitus adalah
peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh
darah.
8
resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan diabetes yang didapat sewaktu hamil
dan yang terakhir adalah diabetes dengan tipe spesifik yang lain. Diabetes ini terjadi akibat
sekunder dari penyakit-penyakit lain, contohnya sindrom Cushing’s, pankreatitis dan
akromegali (NIH, 2008).
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak
tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI
ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien
dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran
sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system
transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama
dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi
memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995). Diabetes Mellitus tipe II disebut
juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk
Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat
timbul pada masa kanak-kanak. Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM
tipe II, diantaranya adalah:
1. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
4. Kelompok etnik
9
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine
(Glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urine, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (Poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (Polifagia) akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut turun menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti hiperventilasi, napas bau
aseton dan bila tidak ditangani akan mengakibatkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian.
Diabetes Tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu retensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Retensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
untuk mengatasi retensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel
10
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
11
f) Penurunan energi metabolik yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak
dapat berlangsung secara optimal.
g) Luka yang lama sembuh, proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar
utama dari protein dan unsur makanan yang lain. Bahan protein banyak
diformulasikan untuk kebutuhan energi sel sehingga bahan yang diperlukan untuk
penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan.
h) Laki-laki dapat terjadi impotensi, ejakulasi dan dorongan seksualitas menurun karena
kerusakan hormon testosteron.
i) Mata kabur karena katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh
hiperglikemia.
12
3) Derajat II: Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
4) Derajat III: Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
5) Derajat IV: Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
6) Derajat V: Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua
golongan:
1) Kaki Diabetik akibat Iskemia (KDI)
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati
(arterosklerosis) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI:
(a) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
(b) Pada perabaan terasa dingin.
(c) Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
(d) Didapatkan ulkus sampai gangren.
2) Kaki Diabetik akibat Neuropati (KDN)
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari
sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa,
oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.
13
idaman, mencegah komplikasi akut dan kronik, serta meningkatkan kualitas hidup
(Suyono, 2009).
2. Latihan fisik (Olahraga)
Olahraga mengaktivasi ikatan insulin dan reseptor insulin dimembran plasma
sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah. Latihan fisik yang rutin memelihara
berat badan normal dengan indeks massa tubuh (BMI) ≤ 25 (Adisa, Alutundu, & Fakeye,
2009: Casey, De Civita & Dasgupta, 2010). Manfaat latihan fisik adalah munurunkan
kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah
kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar
kolesterol total serta trigliserida (Sudoyo, et al. 2009).
3. Terapi famakologi
Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula darah normal atau mendekati
normal. Pada DM tipe II, insulin terkadang diperlukan sebagai terapi jangka panjang
untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika dengan diet, latihan fisik dan Obat
Hipoglikemia Oral (OHO) tidak dapat menjaga gula darah rentang normal. Pada pasien
DM tipe II kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi
kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya (Smeltzer, et al. 2008).
Obat-obatan seperti, metformin, glitazone, dan akarbose adalah obat-obatan
kelompok pertama. Mereka bekerja pada hati, otot dan jaringan lemak, usus.Singkatnya
mereka bekerja ditempat dimana terdapat insulin yang mengatur glukosa darah. Sulfonil,
repaglinid, nateglinid meningkatkan pelepasan insulin yang disuntikkan menambah kadar
insulin disirkulasi darah. Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut diatas berbeda.
Berdasarkan cara kerja, OHO dibagi menjadi 3 golongan:
a) Memicu produksi insulin: Sulfonilurea, golongan glinid (Meglitinide, Repaglinid,
Nateglinid)
b) Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin): Biguard (Metformin
adalah satu-satunya biguard yang tersedia saat ini. Metformin dapat dikombinasi
dengan sulfonylurea), Tiazolidinedion (rosiglitazone dan pioglitazone),
Rosiglitanzone (Avandia)
c) Penghambat enzim alfa glukosidase: Akarbose
14
Berdasarkan pada konsensus Perkeni (2006), indikasi penggunaan insulin pada DM
tipe II adalah:
a) Ketoasidosis, koma hyperosmolar dan asidosis laktat.
b) Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar)
c) Berat badan yang menurun dengan cepat
d) Kehamilan atau DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
e) Tidak berhasil dikelola dengan OHO dosis maksimal atau ada kontra indikasi dengan
OHO
(Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009).
4. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan pada pasien DM diperlukan karena penatalaksanaan DM
memerlukan prilaku penanganan yang khusus seumur hidup. Pasien tidak hanya belajar
ketrampilan untuk merawat diri sendiri guna menghindari fluktuasi kadar glukosa darah
yang mendadak, tetapi juga harus memiliki prilaku preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Pasien harus mengerti mengenai
nutrisi, manfaat dan efek samping terapi, latihan, perkembangan penyakit, strategi
pencegahan, teknik pengobatan gula darah dan penyesuaian terhadap terapi (Smeltzer, et
al. 2009).
15
pengobatan. Papyrus bahasa dari mesir kuno menyebutkan pengobatan luka bakar
menggunakan madu. Tentara Rusia dan tentara Cina juga menggunakan madu untuk
mengobati luka pada Perang Dunia I. Madu telah digunakan untuk Mengobati luka bakar dan
ulkus untuk mengurangi dan mempercepat penyembuhan luka. Dalam sebuah penelitian di
India disebutkan bahwa madu memiliki kemampuan yang lebih cepat dalam menyembuhkan
luka bakar derajat II dibandingkan cara konvensional atau terapi lainnya.
b. Mekanisme
Madu banyak mengandung glukosa, fruktosa, air, asam amino, vitamin biotin, asam
nikotinin, asam folit, asam pentenoik, proksidin, tiamin, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor,
dan kalium. Madu juga mangandung zat antioksidan dan H2O2. Madu sangat efektif
digunakan sebagai terapi topical pada luka melalui peningkatan jaringan granulasi dan
kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Aljady et al., 2000). Selain itu menurut
Lusby (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka. Madu juga
merangsang pertumbuhan jaringan baru sehinga selain mempercepat penyembuhan juga
mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit. Madu memiliki efek osmotic dengan
tingginya kadar gula dalam madu terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit
menyebabkan madu memiliki efek osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut
memungkinkan mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang. Madu
memiliki kadar asam yang tingi dengan pH sekita antara 3.2-4.5 (sangat asam). Dengan
adanya kadar asam yang tingi inilah mikroorganisme yang tidak tahan asam (seperti kuman
TBC) akan mati. Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah atau luka, sehingga secara tidak
langsung madu akan membersihkan luka tersebut. Madu menimbulkan efek analgetik
(penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada
luka. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak
terkandung pada madu. Secara tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada
pada tubuh kita (Abdillah, 2008).
16
Menurut hasil penelitian beberapa jurnal, indikasi penggunaan terapi madu yaitu pada
luka diabetes (gangren), luka yang mengalami nekrosis, luka dengan kondisi kering yang
membutuhkan kelembapan dalam proses penyembuhannya, luka yang belum mendapat
terapi pengobatan misalnya antibiotik, dan luka dengan bau tidak sedap.
2. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari terapi madu pada luka yaitu jenis luka yang telah mengalami
kerusakan sampai pada saraf sehingga berpotensi untuk di amputasi. Selain itu,
kontraindikasi dari terapi madu adalah pasien yang mengalami inflamasi dan nyeri akut,
pada luka dengan kondisi balutan tidak dapat diganti dalam waktu tertentu (Anonim,
2006).
d. Efek Samping
Madu dengan cepat dapat membersihkan infeksi dari luka. Kemampuan madu sangat
efektif bahkan untuk strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu tidak memiliki
sifat seperti antiseptik atau antibiotik, sehingga madu tidak menyebabkan kerusakan pada
proses penyembuhan luka melalui efek samping (Johnson, 1999). Jadi dapat disimpulkan
bahwa penggunaan madu dalam perawatan luka tidak memiliki efek samping apapun.
17
dengan madu, 53.33% dari pasien tersebut lukanya bersih dari pus, dan 33.33% pasien
berkurang pusnya. Ada tidaknya pus ini juga menentukan timbulnya bau pada luka gangrene,
luka tanpa pus tidak berbau atau baunya berkurang.
Nyeri yang timbul pada luka gangrene turut menjadi factor pengkajian kondisi luka pada
pasien diabetes, 60% dari pasien yang lukanya diobati dengan madu menunjukkan hilangnya
tanda-tanda nyeri. 80% pasien yang belum mendapat intervensi perawatan luka dengan madu
tidak ada ditemukan status vaskulernya, hal ini menurun menjadi 50% setelah dilakukan
perawatan dengna madu pada lukanya. Madu juga memiliki efek antibakteri pada konsentrasi
1.8-11% dan pada konsentrasi 1-4% bisa menghambat strain MRSA (Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus), dari efek antibakteri tersebut setelah 3-6 hari luka infeksius yang
dirawat dengan madu menjadi steril kembali. Jaringan nekrotik pada luka gangrene secara
cepat menjadi lunak dan terpisah dari jaringan epitel sehingga lebih mudah diangkat dengan
debridement minimal.
Dalam sebuah penelitian membandingkan luka yang dirawat dengan madu dan dengan
luka yang dirawat dengan silver sulfadiazine. Dari penelitian tersebut terbukti bahwa madu
memberi hasil 114% lebih baik dalam proses epitelisasi dan 69% granulasi. Dengan proses
penyembuhan yang lebih cepat, dan efek samping yang minimal dari penggunaan madu dapat
disimpulkan penggunaan madu untuk perawatan luka gangrene cukup efektif dan aman
dilakukan di rumah sakit. Melalui kadar airnya yang rendah dan sifat hygrokopisnya madu
mampu menyerap cairan dalam bakteri, jamur dan mikroorganisme lain sehingga mereka
tidak dapat tumbuh.
18
Perawat yang melakukan intervensi perawatan luka tetap harus memperhatikan factor
psikologis pasien agar selama perawatan, pasien merasa tenang. Berikut intervensi-intervensi
tambahan bagi pasien diabetes dengan luka gangren dan mendapat intervensi perawatan luka
dengan madu.
1. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko
Rasional: meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi dan infeksi serta
mengurangi kekhawatiran pasien
2. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat perawatan luka
Rasional: mengurangi nyeri pada luka
3. Jelaskan pada pasien rasional penggunaan madu dan efek sampingnya pada kondisi luka
pasien
Rasional: mengurangi ansietas pasien
19
Untuk menghindari tercampurnya madu dengan zat buruk yang terbentuk akibat luka,
bersihkan luka terlebih dahulu. Anda dapat menggunakan air hangat yang sudah dicampur
antiseptik, air rebusan daun jambu biji, atau cairan infus NaCl.
4. Keringkan Luka
Setelah dibersihkan dengan air, kemungkinan masih terdapat area luka yang basah. Untuk
itu Anda perlu mengeringkan luka menggunakan kain yang mudah menyerap
kelembapan, seperti kain kasa. Gunakan kain kasa yang bersih dan kering, lalu keringkan
luka dengan perlahan dan hati-hati.
5. Beri Madu pada Luka
Setelah area luka benar-benar kering, berikan madu pada luka. Jika luka bersifat kering,
Anda hanya perlu mengoleskan madu secukupnya di atas luka. Namun, jika luka bersifat
basah, bahkan hingga membentuk kedalaman luka, berikan madu sebanyak cairan yang
keluar pada luka atau hingga memenuhi kedalaman luka. Ingat, jangan terlalu banyak
memberikan madu pada luka.
6. Tutup Luka dengan Balutan
Setelah memastikan madu sudah merata pada luka, tutup luka dengan balutan kasa atau
dressing pad lainnya. Pastikan luka tertutup secara menyeluruh. Lalu, rekatkan balutan
menggunakan plester agar balutan tidak berpindah tempat.
7. Bersihkan Diri Kembali
Setelah melakukan pengobatan luka diabetes, Anda sangat perlu untuk membersihkan
tangan. Berishkan tangan Anda menggunakan sabun antiseptik atau cairan steril lainnya
agar Anda terhindar dari infeksi bakteri atau kuman yang mungkin terbawa ketika
menangani luka.
20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”
(siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit
diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan
kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin
(Corwin, 2009).
Terapi madu untuk kesembuhan luka diabetes merupakan terapi komplementer dalam
keperawatan luka. Madu telah digunakan sebagai obat sejak jaman kuno. Ayurveda
(pengobatan India) mendefinisikan madu sebagai sari kehidupan dan merekomendasikan
penggunaannya sebagai pengobatan.
Madu banyak mengandung glukosa, fruktosa, air, asam amino, vitamin biotin, asam
nikotinin, asam folit, asam pentenoik, proksidin, tiamin, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor,
dan kalium. Madu juga mangandung zat antioksidan dan H2O2. Madu sangat efektif
digunakan sebagai terapi topical pada luka melalui peningkatan jaringan granulasi dan
kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Aljady et al., 2000).
Madu dengan cepat dapat membersihkan infeksi dari luka. Kemampuan madu sangat
efektif bahkan untuk strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu tidak memiliki
sifat seperti antiseptik atau antibiotik, sehingga madu tidak menyebabkan kerusakan pada
proses penyembuhan luka melalui efek samping (Johnson, 1999).
B. Saran
Diharapkan kepada para pembaca khususnya mahasiswa/i Stikes Wira Medika PPNI
Bali dapat memahami dan mengetahui tentang trend dan issue terapi madu terhadap luka
diabetik sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan masalah yang
dialami pasien diabetes mellitus dengan luka diabetik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, N. H. Al., Widayati, N., & Ardiana, A. 2014. Pengaruh Perawatan Luka Menggunakan
Madu terhadap Kolonisasi Bakteri Staphylococcus Aureus pada Luka Diabetik Pasien
Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember. e-Jurnal
Pustaka Kesehatan, Vol. 2 (no. 3), hal 499-506
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. EGC: Jakarta.
Doengoes Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan.Edisi 3. EGC. Jakarta.
Ilma, Annisa. 2017. 11 Cara Mengobati Luka Diabetes dengan Madu Secara Ampuh. Available
(online): https://halodiabetes.com/cara-mengobati-luka-diabetes-dengan-madu. Diakses
pada tanggal 3 April 2018
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Soegondo, S., dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Sujono & Sukarmin. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin &
Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sundari, Fauziyah & Tjahjono, Hendro Djoko. 2017. Pengaruh Terapi Madu Terhadap Luka
Diabetik Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 di RW 011 Kelurahan Pegirian
Surabaya. Surabaya: Jurnal Keperawatan STIKES William Booth
22