Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021


UNIVERSITAS BOSOWA

Demam Berdarah Dengue

DISUSUN OLEH
Alfi Cahya Arifin
45 2011 2026

DOSEN PEMBIMBING
dr. Hj. A. Hilda Novita, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2021
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Alfi Cahya Arifin, S.Ked


NIM : 4520112026
Judul : Demam Berdarah Dengue

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa
Makassar

Makassar, Februari 2021

Pembimbing

dr. Hj. A. Hilda Novita, Sp.A


iii

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Definisi 1
1.2 Klasifikasi Infeksi Virus Dengue 1
1.3 Epidemiologi 3
1.4 Etiologi 4
1.5 Patogenesis 6
1.6 Manifestasi Klinis 9
1.7 Diagnosis 13
1.8 Kriteria Diagnosis 18
BAB II TATALAKSANA
2.1 Triase 23
2.2 Tatalaksana Rawat Jalan 26
2.2 Terapi Cairan 27
2.3 Terapi Simtomatik 29
2.4 Terapi DBD dengan Syok 29
2.5 Kriteria Memulangkan Pasien 35
BAB III KOMPLIKASI DAN PROGNOSA
3.1 Komplikasi 37
3.2 Prognosa 38
BAB IV PENCEGAHAN
4.1 Pemberantasan Vektor 39
4.2 Vaksinasi 41
BAB V PENUTUP 43
DAFTAR PUSTAKA 44
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus


disebabkan oleh virus dengue, dengan manifestasi klinis yang sangat
bervariasi mulai dari demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi
perdarahan, penurunan trombosit, adanya hemokonsentrasi yang ditandai
kebocoran plasma yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus.1,2,3
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan
manifestasi DBD. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan dan
sebagian akan menderita Demam Dengue (DD) yang tidak disertai
dengan adanya kebocoran plasma.1

1.2 Klasifikasi Infeksi Virus Dengue

Dalam klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011 disusun hampir sama


dengan klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok infeksi dengue
simtomatik dibagi menjadi demam yang tidak terdiferensiasi
(undifferentiated fever), DD, DBD, dan expanded dengue syndrome.
(Gambar 1). Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue ditegaskan bahwa
DBD bukan lanjutan dari DD namun merupakan spektrum klinis yang
berbeda. Perbedaan antara DD dan DBD adalah terjadinya plasma
(plasma leakage) pada DBD, sedangkan pada DD tidak. Selanjutnya DBD
diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit yaitu derajat I dan II untuk
DBD tanpa syok, dan derajat III dan IV untuk sindrom syok dengue.
Pembagian derajat penyakit tersebut diperlukan sebagai landasan
pedoman pengobatan.4,5
2

Gambar 1. Klasifikasi Dengue WHO 2011


(WHO. 2011)
Keterangan gambar:
1) Undifferentiated Fever: demam pada bayi, anak-anak maupun dewasa
yang disebabkan oleh infeksi virus dengue, khususnya bila infeksi
adalah yang pertama kali terjadi (infeksi dengue primer) dimana
demam ini tidak dapat dibedakan dengan demam akibat infeksi virus
lainnya, biasanya ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai
penyebab demam pada kelompok masyarakat tertentu. Ruam
makulopapular dapat muncul menyertai demam ataupun pada saat
demam berangsur normal.6
2) Dengue Fever: demam disertai dua atau lebih tanda-tanda sakit
kepala, nyeri retroorbital, myalgia, arthralgia. Laboratoris: leukopenia,
trombositopenia, tanpa bukti kebocoran plasma. 7
3) Expanded dengue syndrome: demam berdarah dengan manifestasi
khusus atau tidak biasa meliputi neurologikal, hepatic, renal dan
keterlibatan organ terisolasi lainnya.3
3

1.3 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever (Demam Berdarah) di Asia tenggara
pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958
terjadi epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit
ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di
Asia Tenggara.8
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru dicurigai pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar
pulau jawa dilaporkan pada tahun1972 di Sumatera Barat dan Lampung
disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Hingga saat ini kasus DBD
telah tersebar di 472 kabupaten/kota di 34 Provinsi. Kemenkes RI
melaporkan kasus DBD tahun 2020 sebanyak 95.893, sementara jumlah
kematian akibat DBD adalah sebanyak 661. Terdapat 5 kabupaten/kota
dengan kasus DBD tertinggi, yaitu di Buleleng 3.313 kasus, Badung 2.547
kasus, Kota Bandung 2.363 kasus, Sikka 1,786 kasus, Gianyar 1.717
kasus. (Gambar 2).8,9
DBD dapat terkena pada semua usia. Proporsi DBD pergolongan umur
antara lain <1 tahun sebanyak 3,13%, 1-4 tahun 14,88%, 5-14 tahun
33,97%, 15-44 tahun 37,45%, >44 tahun 11,57%. Adapun proporsi
kematian DBD pergolongan umur antara lain <1 tahun sebanyak 10,32%,
1-4 tahun sebanyak 26,57%, 5-14 tahun 34,13%, 15-44 tahun sebanyak
15,87%, dan >44 tahun sebanyak 11,11%. 9
4

Gambar 2. Perkembangan Kasus DBD di Indonesia


(Kemenkes RI 2020)

1.4 Etiologi dan Transmisi

DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue. Virus dengue merupakan


RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan
kapsul lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok Arthrophod Borne virus,
famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang
berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense
yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil

eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 C. Virus dengue


mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4, yang
semuanya dapat menyebabkan demam demam berdarah dengue.
Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN 3 merupakan
serotype terbanyak Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang
5

yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4


serotipe selama hidupnya.10,11,12
DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Aedes aegypti merupakan
vektor yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae.albopictus,
Ae.polynesiensis, Ae.scutelaris dan Ae. niveus juga dianggap sebagai
vektor sekunder. Kecuali Ae.aegypti semuanya mempunyai daerah
distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka
merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka
merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.aegypti.
Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia,
kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Sebenarnya yang dikenal sebagai Vektor DBD adalah
nyamuk Aedes betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk aedes aegypti
yang betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan morfologi
antenanya, Aedes aegypti jantan memiliki antena berbulu lebat sedangkan
yang betina berbulu agak jarang/tidak lebat. 1
Nyamuk Aedes aegypti mendapat virus dengue sewaktu
menggigit/mengisap darah orang yang sakit DBD atau tidak sakit tetapi
didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang didalam
darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan
penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7
hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk
penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-
kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap
untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini
akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena
itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi
penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap
kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan
6

mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang
diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan
dari nyamuk ke orang lain.1

1.5 Patogenesis

Patogenesis DBD sampai saat ini masih kontroversi dan belum


diketahui secara jelas. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD. Respon imun
yang berperan dalam patogenesis DBD yang diketahui adalah: 10
a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang dikumpulkan
dalam menetralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen serta
sitotoksisitas dimediasi antibodi. Antibodi akan virus menggantikan
atau memperbaiki replikasi virus pada makrofag atau
monosit. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement.
b) Limfosit T baik T-sitotoksik (CD8) dan T-helper (CD4)
menghubungkan respon kekebalan tubuh terhadap virus dengue. T
helper merupakan TH1 akan menghasilkan limfokin, IL-2 dan
interferon gamma serta TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
c) Makrofag dan monosit berfungsi dalam memfagositosis virus dan
opsonisasi antibodi. Tetapi dalam fagositosis ini mengakibatkan
replikasinvirus dan sekresinsitokin meningkat oleh makrofag.
d) Dalam mengaktifkan system komplemennkompleksnimun
meyebabkan terjadinya C3andan C5a.
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory).12
Teori virulensi dapat dihipotesiskan ketika virus dengue seperti juga
virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat
tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia
maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
7

dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan


viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian
terjadi sebagai akibat serotipe virus paling virulen. 12
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan
bahwa jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu
maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya
apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak

dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.


Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-
antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai Antibody
Dependent Enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovlemia dan syok. 12
Patogenesis berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection). Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.12
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
8

dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang
erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh
darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat
akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal,
oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.12
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.12
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.12
9

Gambar 3. Patogenesis DBD


(Syafiqah N. 2018)

1.6 Manifestasi Klinis

Manifesitasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi,


mendadak, kontinu, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam
disertai dengan gejala lain seperti muka kemerahan (facial flushing),
anoreksia, mialgia dan artralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik,
mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen difus,
kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan konjungtiva yang kemerahan
(pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai suhu 40°C, dan dapat disertai
kejang demam.3
Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif,
petekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila,
muka dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat
ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna,
10

hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan.


Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal
sakit, namun berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan
orang tua. Ruam konvalesens, dapat ditemukan pada masa
penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan
pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu
diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian
pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak
berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering
ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue/SSD). 3
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi
pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites.
Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi
pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering
dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan
efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall
thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain.
Peningkatan nilai hematokrit (>20%) dan penurunan kadar protein plasma
terutama albumin serum (>0,5 g/dL) merupakan tanda indirek kebocoran
plasma.3
Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume
intravaskular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal
sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis.
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis,
serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena
setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit. 3
1. Fase Demam. Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh
seiring dengan menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi
secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera, tidak secara
bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan
11

perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan
gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak
berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma
yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila
berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi. 3,11
2. Fase kritis (fase syok). Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time
of fever defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran
plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan
mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs).
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu
antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat
merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat
saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu,
tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap
walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi
postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau
perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi
perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan.
Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif menjadi di
bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit merupakan tanda
awal perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh
leukopenia (5.000 sel/mm3). Peningkatan hematokrit merupakan salah
satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan
plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat
penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena
untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
12

terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil


pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa
syok hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis
metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular
diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat
meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan
hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien
tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat
cepat. Selain itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak
dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis,
miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai
expanded dengue syndrome.3,11
3. Fase penyembuhan (fase konvalesens). Apabila pasien dapat melalui
fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi
cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang
berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan
umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Pada
beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus
lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit
kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan
yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah
penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit
umumnya lebih lambat. Gangguan permapasan akibat efusi pleura
masif dan asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan
terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan intravena
diberikan berlebihan.3,11
13

1.7. Diagnosis

1. Anamnesis14
1) Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadadak, selama 2-7
hari.
2) Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah.
3) Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri
perut.
4) Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan
mimisan.
5) Dijumpai kasus DBD di lingkungan rumah atau sekolah.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda perdarahan1
(1) Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati,
trombositopenia, dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi
intravascular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak
adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet positif (uji Rumple
Leed/ uji bendung), petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam
tetapi dapat pula dijumpai setelah hari ke 3 demam.
(2) Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk, untuk
membedakannya: lakukan penekanan pada bintik merah yang
dicurigai dengan kaca obyek atau penggaris plastik transparan,
atau dengan meregangkan kulit. Jika bintik merah menghilang saat
penekanan/ peregangan kulit berarti bukan petekie. Perdarahan
lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Pada anak yang belum pernah mengalami mimisan, maka mimisan
merupakan tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula
perdarahan konjungtiva atau hematuria.
Cara melakukan uji tourniquet:1
a. Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset
disesuaikan dengan umur anak, yaitu lebar= 2/3 lengan atas).
14

b. Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan


tekanan diastolic
c. Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara
sistolik dan diastolik (rata-rata tekanan sistolik dan diastolik) selama
5 menit. (Bila telah terlihat adanya bintik-bintik merah ≥ 10 buah,
pembendungan dapat dihentikan).
d. Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau
daerah lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah,
tanda perdarahan (petekie).
e. Hasil uji tourniquet dinyatakan positif (+) bila ditemukan ≥ 10 bintik
perdarahan (petekie), pada luas 1 inci persegi (2,5 cm 2).

Gambar 3. Bintik-bintik perdarahan bawah kulit


(Kemenkes RI. 2017)
2) Hepatomegali1,2
(1) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable)
sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan dan dibawah
procesus Xifoideus.
(2) Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat
meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati
15

tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan di


hipokondrium kanan disebabkan oleh karena peregangan kapsul
hati. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak
kecil.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi dengue adalah:
1) Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia
di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan
penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial. Isolasi virus
hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam. 3
2) Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang rerdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa
nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan
isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas
laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada
enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal. 3
3) Deteksi antigen virus
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen),
yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang
penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi
sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang
setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian
makin menurun setelahnya. Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
16

90% terutama saat viremia (terutama kurang dari 3 hari demam). Namun,
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan derajat berat infeksi dengue
apakah demam dengue (DD) atau demam berdarah dengue (DBD) dan
tidak dapat menentukan serotype dengue. Hasil NS1 yang positif dapat
membuat interpretasi yang salah sehingga terjadi overdiagnosis,
overtreatment, overhospitalization padahal diagnosis pasien adalah DD,
namun sebaliknya hasil NS1 yang negatif tidak pasti menyingkirkan DBD
karena jika viremia menurun maka antigen NS1 tidak terdeteksi. Waktu
pemeriksaan NS1 saat viremia sangat menentukan hasil, sedangkan
dalam praktek sehari-hari pasien sering datang setelah demam hari ke-3,
yang memberi hasil yang negatif. Untuk itu perlu pemantauan klinis, hari
demam dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk mendeteksi
terjadinya DBD.3
4) Deteksi serum respon imun/uji serologi serum imun
(1) Haemaglutination inhibition test (Uji HI). Pada saat ini tidak banyak
laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji HI walau sensitif
namun kurang spesifik dan memerlukan dua sediaan serum akut dan
konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dini.3
(2) ELISA (IgM/IgG). Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi
primer atau sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue
IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji
tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel
darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat.
Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue Rapid Strip
Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA. Dengue Rapid Test
mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan
cut-off kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat
mendeteksi antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus
dengue primer dan sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG
ditentukan hanya mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas
17

muncul pada infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai
terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI >
1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons
antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG
infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi
primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2.3
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan
kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer.
Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG
dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder. Beberapa kasus dengue
sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan
IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol
yang terlihat. Ulangi pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala
klinis kearah DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol
tidak terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja. 3
5) Analisis parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai
hematrokit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian
dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.
(1) Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm) dan rasio antara neutrofil
dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa
kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat
masuk fase konvalesens.3
(2) Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/µL dapat
ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
18

trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase


demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu.
Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga
sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit.
Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD.
Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati).
Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase
penyembuhan.3
(3) Pada awal demam nilai hematrokit masih normal. Peningkatan ringan
pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah.
Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari adanya
kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah 100.000/µL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematrokit dapat
diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan. 3

1.8 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis DBD dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan


kriteria diagnosis laboratoris. Tanda dan gejala DBD pada fase awal
sangat menyerupai DD, tanda dan gejala yang khas berupa tanda
kebocoran plasma baru timbul beberapa hari kemudian. Oleh karena itu
pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlukan sebagai pasien rawat jalan
maupun rawat inap, masih perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya DD
atau merupakan DBD fase awal. Pasien DBD memiliki risiko untuk
mengalami syok, sehingga harus menjalani rawat inap dengan
tatalaksana yang berbeda dari DD. kupdf Untuk itu, perlu diketahui kriteria
diagnosis dari DD:7

Diagnosis DD
 Demam tinggi mendadak
19

 Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih:


Nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot dan tulang, ruam kulit,
meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
 Leukopenia
 Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif
 Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (Hemokonsentrasi,
efusi pleura, asites, hipopreteinemia)

Adapun untuk diagnosis DBD3


Diagnosis Klinis DBD
 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus,
bifasik
 Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan atau
melena; maupun berupa uji tourniquet positif
 Nyeri kepala, myalgia, artalgia, nyeri retroorbital
 Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di
sekitar rumah
 Hepatomegali
 Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu
tanda/gejala:
- Peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal
atau dari data populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipopreteinemia
 Trombositopenia <100.000/mm3

Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis DBD.
20

Terdapat tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi


kemungkinan terjadinya syok pada penderita DBD: 3
Tanda Bahaya (Warning Signs)
Klinis Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Latergi, gelisah
Perdarahan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan
penurunan cepat jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi

DBD dengan syok3


1. Memenuhi kriteria DBD
2. Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang
terkompensasi maupun dekompensasi
1) Syok Terkompensasi
Syok Terkompensasi
 Takikardi
 Takipnea
 Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolic) <20
mmHg
 Waktu pengisian kapiler >2 detik
 Kulit dingin
 Produksi urin menurun <1 ml/kgBB/jam
 Anak gelisah
21

2) Syok Dekompensasi
Syok Dekompensasi
 Takikardi
 Hipotensi (sistolik dan diastolic turun)
 Nadi cepat dan kecil
 Pernapasan kusmaull
 Sianosis
 Kulit lembab dan dingin
 Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

Menurut WHO derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat


(pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi).5
DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium
DBD I Demam dan manifestasi Trombositopenia
perdarahan (uji bendung <100.000 sel/mm3;
positif) dan tanda peningkatan
perembesan plasma hematokrit ≥20%

DBD II Seperti derajat I ditambah Trombositopenia


perdarahan spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan
hematokrit ≥20%
DBD III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan <100.000 sel/mm3;
sirkulasi (nadi lemah, peningkatan
tekanan nadi ≤ 20 mmHg, hematokrit ≥20%
hipotensi, gelisah, diuresis
menurun
DBD IV Syok hebat dengan Trombositopenia
tekanan darah dan nadi <100.000 sel/mm3;
yang tidak terdeteksi peningkatan
hematokrit ≥20%

Kriteria diagnosis laboratoris DBD: 1


22

1. Probable: apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan


serologi antidengue (deteksi antibosi) serum tunggal dan/atau
penderita bertempat tinggal/ pernah berkunjung ke daerah endemis
DBD dalam kurun waktu masa inkubusi.
2. Confirmed: apabila diagnosis klinis diperkuat dengan sekurang-
kurangnya salah satu pemeriksaan berikut:
1) Isolasi virus Dengue dari serum atau sampel otopsi.
2) Pemeriksaan HI Test dimana terdapat peningkatan titer antibodi 4
kali pada pasangan serum akut dan konvalesen atau peningkatan
antibodi IgM spesifik untuk virus dengue
3) Positif antigen virus Dengue pada pemeriksaan otopsi jaringan,
serum atau cairan serebrospinal (LCS) dengan metode
immunohistochemistry, immunofluoressence atau serokonversi
pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada
pemeriksaan serologi berpasangan (ELISA)
4) Positif pemeriksaan antigen dengue dengan Polymerase Chain
(PCR) atau pemeriksaan NS1 dengue.

BAB II
23

TATALAKSANA

Tatalaksana yang tepat dan segera dapat mengurangi morbiditas dan


mortalitas DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan
suportif, terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok
utama dalam tatalaksana DBD. Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang
apabila cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (DBD
dengan syok) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian
penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok.
Perembesan plasma terutama terjadi saat tubuh turun. Pemeriksaan nilai
hematokrit merupakan indicator yang sensitive untuk mendeteksi derajat
perembesan plasma, sehingga jumla cairan yang diberikan harus
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematokrit. Perlu diperhatikan
bahwa kebocoran plasma pada DBD bersifat sementara, sehingga
pemberian cairan jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat
menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya. 3
Terapi simtomatis diberikan terutama untuk kenyaman pasien, seperti
pemberian antipiretik dan istirahat. 3

2.1 Triase

Setiap rumah sakit yang merawat pasien infeksi virus dengue, harus
mempersiapkan Unit Triase sebagai tempat antuk melakukan skrining,
apakah pasien harus menjalani rawat inap atau rawat jalan. (Gambar 4).
Triase dapat dilakukan juga di Puskesmas yang mempunyai tempat
perawatan, mempunyai dokter dan perawat terlatih. Pada saat seorang
pasien datang dengan dugaan menderita infeksi dengue, maka diantar ke
Unit Triase untuk menjalani pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan
jasmani yang teliti dan dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap,
minimal kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit. 3
Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari
yang disertai nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia, ruam kulit,
24

manifestasi perdarahan baik spontan maupun hasil uji Tourniquette,


jumlah leukosit yang rendah (kurang dari 4.000/mm³) tanpa atau dengan
jumlah trombosit yang menurun dan apalagi bila diketahui ada kasus
dengue di lingkungan tempat tinggal atau di sekolah, maka harus dicurigai
pasien tersebut menderita infeksi dengue. Di Indonesia belum ada harga
normal nilai hematokrit, namun apabila nilai hematokrit sangat tinggi
dibandingkan dengan nilai hematokrit pasien berdasar pengamatan dari
pasien-pasien terdahulu, meningkatkan kecurigaan terhadap
kemungkinan infeksi virus dengue. Apabila rendah atau biasa, nilai ini
merupakan data dasar yang sangat berguna dalam tata laksana
selanjutnya.3
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat
bermanifestasi sebagai DD, DBD, DBD dengan syok atau expanded
dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien infeksi virus dengue harus
diteliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan rawat jalan dan
pasien mana yang harus menjalani rawat inap. Pada umumnya pasien
pada saat masuk didiagnosis sebagai DD dapat diperlakukan sebagai
pasien rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti
thalassemia, sindrom nefrotik, hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat risiko
tinggi seperti asma bronkial dan obesitas atau apabila ditemukan indikasi
sosial seperti rumah yang jauh, tidak ada orang tua atau pengasuh yang
dapat diandalkan. Demikian juga pasien DD yang mengalami muntah
persisten atau menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap.
Pasien dengan DBD, DBD dengan syok atau expanded dengue syndrome
harus menjalani rawat inap. Skrining di triase adalah untuk menentukan
pasien mana yang dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan
pasien rawat inap.3
25

Gambar 4. Skrining pasien DBD di Triase


(Hadinegoro SR. 2014)

2.2 Tatalaksana Rawat Jalan


26

Pasien yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial,


diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Serta bila didapatkan nilai
Hemoglobin, Hematokrit dalam batas normal dengan jumlah trombosit
>100.000/mm3.3
Pasien diberi pengobatan simtomatik berupa antipiretik seperti
parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang dapat diulang
setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa asetil
salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-inflammatory
drugs/NSAID) seperti ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan
metode fisik seperti kompres diperbolehkan, yang dianjurkan adalah
dengan cara "kompres hangat" (diseka dengan air hangat suam kuku). 3
Anak dianjurkan cukup minum, boleh air putih atau teh, namun lebih
baik jika diberikan cairan yang mengandung elektrolit seperti jus buah,
oralit atau air tajin. Tanda kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4-6
jam.3
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD,
tanda dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari
kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang
ditegakkan pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai
pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih
lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD fase awal. Pasien DD,
walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami penyulit
seperti dehidrasi akibat asupan yang kurang misal karena timbul muntah,
perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan
kontrol setiap hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD
dengan penyulit atau DBD.3
Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua
dengan jelas, untuk mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD
dengan penyulit atau DBD yang mungkin timbul selama rawat jalan, orang
tua diminta untuk memantau kondisi anak, bila ditemukan tanda bahaya
27

(warning sign) harus segera kembali ke rumah sakit tanpa harus


menunggu keesokan harinya.3
Nasihat kepada orang tua untuk pasien rawat jalan di rumah: 3
1. Anak harus istirahat
2. Cukup minum selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, cairan
elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air
kecil setiap 4-6 jam.
3. Parasetamol 10 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38°C dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
4. Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh
petugas kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai: pola
demam, jumlah cairan yang masuk dan keluar (misalnya muntah,
buang air kecil), tanda-tanda perembesan plasma dan perdarahan,
serta pemeriksaan darah perifer lengkap.
5. Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit jika ditemukan satu atau
lebih keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk,
nyeri perut hebat, muntah terus-menerus, tangan dan kaki dingin dan
lembab, letargi atau gelisah/rewel, anak tampak lemas, perdarahan
(misalnya b.a.b berwarna hitam atau muntah hitam), sesak napas, tidak
buang air kecil lebih dari 4-6 jam, atau kejang.

2.3 Pemilihan Terapi Cairan

Kunci tata laksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat
suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal
terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan kebocoran plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan tanda- tanda bahaya secara awal dan
pemberian cairan larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan
awal pengganti volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit.
28

Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus


menerus dan penurunan jumlah trombosit yang cepat. 4
1. Fase Demam
Tata laksana DBD fase demam bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. 4
2. Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap
kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit
berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Tetesan berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin.
Secara umum, volume yang dibutuhkan selama terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler adalah jumlah cairan dehidrasi sedang (rumatan)
ditambah defisit cairan 5%.4
Cairan intravena diperlukan apabila:4
1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok;
2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit;
3) Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid sesuai cairan
dehidrasi sedang (6-7 ml/kgBB/jam). Monitor tanda vital, diuresis
29

setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya


evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak tampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar
Hematokrit cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-
turut, maka tetesan dikurangi secara bertahap menjadi 5 ml/kgBB/jam,
kemudian 3 ml/ kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48
jam.

2.4 Terapi Simtomatik

1. Antipiretik
Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan apabila shuhu >38 C
dengan interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. 3
2. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit. 3

2.5 Tatalaksana DBD dengan syok

Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi


perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase
selanjutnya fase dekompensasi. Diagnosis dini syok terkompensai disertai
dengan pengobatan yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik disbanding apabila pasien sudah jatuh ke dalam fase syok
dekompensasi. Prinsip utama tatalaksana DBD dengan syok adalah
pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu bila
ditemukan faktor komorbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan
gangguan asam basa, gangguan elestrolit harus diobati dengan segera. 3
1. Tatalaksana DBD dengan syok terkompensasi3
1) Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat
pengobatan sebagai berikut:
30

2) Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit.


3) Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena
dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu ljam. Periksa
hematokrit.
4) Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkg BB/jam
selama 1-2 jam.
5) Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya
setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak
diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang
diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin
membaik.
6) Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit,
kalsium dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B- C-S
(A=asidosis, B=bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula
darah) yang memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau
beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi.
31

Pemeriksaan Laboratorium A-B-C-S3


Singkatan Pemeriksaan Laboratorium Keterangan
A - Acidosis Analisis gas darah Indikasi apabila terjadi
prolonged shock.
Apabila terdapat keterlibatan
organ, periksa: fungsi hati
dan BUN, kreatinin
B - Bleeding Hematokrit Apabila Ht menurun
dibandingkan pemeriksaan
sebelumnya atau tidak
meningkat, segera periksa
golongan darah untuk
persiapan transfusi
C - Calcium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi pada
hampir semua pasien DBD
namun asimtomatik.
Pemberian Ca diperlukan
pada kasus berat atau
dengan komplikasi. Dosis 1
mg/KgBB dilarutkan dua kali,
diberikan secara intravena
perlahan-lahan (apabila
diperlukan dapat diulang
setap 6 jam), kalsium
glukonat maksimal 10 mL.
S – Blood Gula darah Kasus DBD berat, nafsu
Sugar makan menghilang apalagi
disertai muntah; dan adanya
gangguan fungsi hati akan
menyebabkan hipoglikemia.
32

a) Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang berkepanjangan


(prolonged shock). Hal ini menimbulkan eksaserbasi hipotensi,
gangguah kontraktilitas otot jantung dan mudah terjadi aritmia bahkan
sampai henti jantung, selain itu akan menurunkan respons
kardiovaskular terhadap katekolamin. Dengan perkataan lain,
asidosis yang tidak segera dikoreksi akan memperberat syok
hipovolemik.3
b) Perdarahan berat dapat menimbulkan atau memperberat syok
hipovolemik. Tanpa pemberian transfusi akan menimbulkan
oksigenisasi jaringan yang tidak adekuat, menimbulkan hipoksia
jaringan sehingga dapat menyebabkan asidosis dan hal lain yang
mempersulit upaya mengatasi syok hipovolemik. Perdarahan dapat
terlihat nyata seperti hematemesis dan melena, namun dapat
tersembunyi (occult/concealed bleeding) yang pada umumnya terjadi
di dalam rongga usus. Sebelum feses yang berwarna hitam keluar
untuk pertama kali, perdarahan usus sulit diketahui. Rasa tidak enak
di perut, distensi perut, penurunan peristaltik/bising usus dapat
merupakan tanda adanya perdarahan tersembunyi di rongga usus.
Indikator lain adanya perdarahan adalah melalui pemeriksaan
hematokrit berkala. Pada keadaan syok, hematokrit diperiksa pada
saat masuk, setelah resusitasi cairan,. selanjutnya setiap 4-6 jam. Bila
pada pemeriksaan selanjutnya hematokrit menurun atau bila pada
pemeriksaan awal hematokrit tidak tinggi namun disertai kondisi
hemodinamik yang tidak stabil, harus dicurigai adanya perdarahan.
Tranfusi dapat berupa darah segar (fresh whole blood) dengan dosis
10 mL/kg BB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kg BB.3
c) Kalsium pada umumnya menurun pada setiap pasien DBD walaupun
umumnya tidak memberikan gejala. Kalsium berperan penting untuk
kontraktilitas otot polos dan otot skeletal. Hipokalsemia yang tidak
dikoreksi akan menimbulkan insufisiensi kontraktilitas otot jantung.
Disfungsi jantung tidak jarang ditemukan pada anak yang mengalami
33

sakit berat, sehingga respons terhadap resusitasi cairan menjadi


kurang atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalsium glukonat
diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan
secara intravena perlahan-lahan (apabila diperlukan dapat diulang
setiap 6 jam), dosis maksimal 10 mL.3
d) Hipoglikemia disebabkan asupan yang rendah akibat nafsu makan
yang menghilang dan atau muntah. Selain itu adanya gangguan
fungsi hati akan menyebabkan hipoglikemia pula. Namun pada
beberapa kasus dapat terjadi hiperglikemia.Hipoglikemia yang tidak
dikoreksi dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kejang, aritmia
bahkan henti jantung sehingga akan mempersulit upaya dalam
mengatasi syok. Hipoglikemia merupakan keadaan darurat medis dan
harus segera dikoreksi dengan larutan glukosa dengan dosis glukosa
0,5–1,0 g/kgBB diberikan secara bolus.
7) Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus
kedua. Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20
mL/kgBB dalam waktu 10-20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan
larutan kristaloid isotonik. Walaupun tidak ditemukan perdarahan
tetapi keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan pemberian
transfusi.3
8) Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10 mL/kgBB/jam
selama 1-2 jam, setelah itu jenis cairan diganti dengan larutan
kristaloid dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya dalam waktu 24 48 jam
setelah syok teratasi pemberian cairan intravena sudah tidak
diperlukan lagi. Namun apabila tidak teratasi, pasien dapat jatuh ke
dalam profound shock, maka seringkali diperlukan bantuan napas
buatan dan pemberian obat inotropik, dan memerlukan perawatan di
unit perawafan intensif.3
34

2. Tatalaksana DBD dengan syok dekompensasi


Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera,
pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi
profound shock yang mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat
berobat sudah dalam syok dekompensasi, baik yang masih dalam fase
hipotensif maupun yang sudah jatuh ke dalam profound shock, diberi
pengobatan sebagai berikut:3
1) Berikan oksigen 2-4 L/menit
2) Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih
dari 3-5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
3) Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus
dalam waktu 10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan
pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula darah, dan kalsium.
4) Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kg
BB/jam selama 1-2 jam.
5) Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid
dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5,5,3,1,5
mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi,
cairan intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk
mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral makin membaik.
6) Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit
tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis,
hipoglikemia atau hipokalsemia.
7) Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan
masif, berikan transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis
10 mL/kg BB atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB.
8) Jika nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda
perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik
pertimbangkan pemberian transfusi darah. Pada syok berat
(prolonged shock, recurrent shock, profound shock), perdarahan
35

masif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang sulit diatasi


memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.
3. Pemantauan DBD dengan syok3
Setiap pasien DBD yang mengalami syok harus dilakukan
pemeriksaan berkala.
a. Tanda vital setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok
sudah teratasi
b. Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah
sakit terutama pada pasien syok dekompensasi atau yang
mengalami syok yang berkepanjangan.
c. Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi
pertama dan kedua, selanjutnya setiap 4-6 jam.
d. Produksi urin harus ditampung dan diukur.
e. Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau sistim lain, seperti
ginjal, hati, gangguan pembekuan, dan jantung; periksa fungsi ginjal,
fungsi hati, fungsi koagulasi, dan EKG.
f. Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya
edema paru akibat kelebihan cairan.Periksa keadaan respirasi
(napas cepat, napas cuping hidung, retraksi, ronki basah tidak
nyaring), peninggian tekanan vena jugularis (jugular venous
pressure/JVP), hepatomegali, asites, efusi pleura. Edema paru jika
tidak diobati akan menimbulkan asidosis, sehingga pasien dapat
kembali jatuh ke dalam syok.

2.6 Kriteria Memulangkan Pasien1

Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah


ini:
1) Tampak perbaikan secara klinis
2) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3) Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis)
36

4) Hematokrit stabil
5) Jumlah trombosit >50.000/ul dan menunjukkan kecenderungan
meningkat
6) Tiga hari setelag syok teratasi
7) Nafsu makan membaik
37

BAB III

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

3.1 Komplikasi

1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai
akibat dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa
virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa
keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut. Pada
ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau
somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD /
SSD. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka
untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu.
Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya.
Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran
tetap menurun (hati- hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada
ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun,
alkalosis pada analisa gas darah, dan hyponatremia (Bila mungkin periksa
kadar amoniak darah).2,12
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminan, sebagai faktor
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler, penting
38

diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis


merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg
BB per jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan
syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan
jumlah urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin. 2,12
3. Edema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga
sampai kelima sakit sesuai dengan panduan yang diberikan, biasanya
tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma masih
terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi
bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran
edema paru pada foto rontgen.2,12

3.2 Prognosis
Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan
terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. 15
39

BAB IV

PENCEGAHAN

4.1 Pemberantasan Vektor

Pemberantasan penyakit dapat dilakukan dengan meniadakan nyamuk


yang berperan membawa virus dengue, banyak sekali metode yang bisa
membasmi nyamuk diantanya pengendalian lingkungan, pengendalian
secara biologis dan pengendalian secara kimiawi. 1
1. Pengendalian secara fisik
Pengendalian fisik merupakan pilihan utama pengendalian vector DBD
melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara
menguras bak mandi/bak penampungan air, menutup rapat-rapat tempat
penampungan air dan memanfaatkan kembali/mendaur ulang barang
bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk
(3M). PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan secara
luas dan serentak, terus menerus dan berkesinambungan. PSN 3M
sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga
terjadi pemutusan rantai pertumbuhan nyamuk pra dewasa tidak menjadi
dewasa. Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M adalah semua tempat
potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat
penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dan tempat
penampungan air alamiah.
PSN 3 M dilakukan dengan cara, antara lain: 1
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/
tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Memanfaatkan atau mendaur ulangn barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
40

PSN 3M diiringi dengan Plus lainnya, antara lain:


(1) Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat
lainnya yang sejenis seminggu sekali.
(2) Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
(3) Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain
(dengan tanah, dan lain-lain)
(4) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit
dikuras atau di daerah yang sulit air
(5) Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
(6) Memasang kawat kasa
(7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
(8) Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
(9) Menggunakan kelambu
(10) Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
2. Pengendalian secara biologi
1) Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit) sebagai musuh
alami stadium pra dewasa nyamuk. Jenis predator yang digunakan
adalah ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung (nympha), Toxorrhyncites, Mesocyclops
dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode
yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.1
2) Insektisida biologi untuk pengendalian DBD, diantaranya: Insect
Growth Regulator (IGR) dan Bacillus Thuringiensis Israelensis (BTI)
ditujukan untuk pengendalian stadium pra dewasa yang diaplikasikan
kedalam habitat perkembangbiakan vektor. IGR mampu menghalangi
pertumbuhan nyamuk di masa pra dewasa dengan cara
merintangi/menghambat proses chitin synthesis selama masa jentik
berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan
nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah
terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene
adalah 34.600 mg/kg ). BTI sebagai salah satu pembasmi jentik
41

nyamuk/larvasida yang ramah lingkungan. BTI terbukti aman bagi


manusia bila digunakan dalam air minum pada dosis normal.
Keunggulan BTI adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa
menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTI
cenderung secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu
dianjurkan pemakaian yang berulang kali.1
3. Pengendalian secara kimiawi
Pengendalian vector cara kimiawi dengan menggunakan inteksida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di
masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida
adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun
maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping
itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan
syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor.
Aplikasi insektisida yang berulang dalam jangka waktu lama di satuan
ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi. Insektisida tidak dapat
digunakan apabila nyamuk resisten/kebal terhadap insektisida. 1
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD antara lain: 1
1) Sasaran nyamuk dewasa antara lain: Organophospat (Malathion,
methylpirimiphos Pyrethroid (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine,
Cyflutrine, Permethrine, S-Bioalethrine dan lain-lain). Yang ditujukan
untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan
panas/fogging dan pengabutan dingin/ULV .
2) Sasaran pra dewasa (jentik)/ larvasida antara lain: Organophospat
(temephos), Piriproxifen dan lain-lain.

4.2 Vaksin

Pada tahun 2011, penelitian Sanofi Pasteur mengenai vaksin hidup,


chimeric yellow fever tetravalent dengue vaccine (CYD-TDV) memasuki
fase III uji klinis. Vaksin ini dikaji efikasi dan keamanannya di 25 uji klinis,
42

di 15 negara, dengan lebih dari 30.000 partisipan usia 2-16 tahun. Bulan
Desember tahun 2015, vaksin ini pertama kalinya mendapat lisensi di
Meksiko, Brazil dan Filipina, dan selanjutnya di 19 negara Asia, Amerika
Latin dan Australia.Tahun 2016, WHO Strategic Advisory Group of
Experts on Immunization (SAGE) merekomendasikan penggunaan vaksin
dengue hanya pada anak usia >9 tahun di negara endemis
(seroprevalens) >70%, dan tidak direkomendasikan jika seroprevalens
<50%. Berdasarkan penelitian terakhir didapatkan secara umum vaksin ini
mempunyai efikasi 56,5% dan dapat menurunkan risiko perawatan rumah
sakit sebanyak 80% serta mengurangi risiko menderita DBD yang berat
sebesar 93% bila diberikan pada anak usia diatas 9 tahun. Pada bulan
September 2016, vaksin ini mendapat persetujuan dari BPOM. Sejak saat
itu, vaksin tetravalent sudah resmi beredar di Indonesia. 16,17
Saat ini, vaksin DBD digunakan dalam rentang usia 9 hingga 45 tahun.
Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian efektivitas vaksin lebih
rendah terhadap semua serotipe pada usia dibawah 9 tahun. Efektivitas
vaksin pada individu di atas 45 tahun belum dievaluasi dan masih belum
diketahui. Vaksinasi CYD-TDV diberikan dalam tiga dosis dengan jarak 6
bulan. Jika dosis vaksinasi ditunda oleh karena alasan apa pun, tidak
perlu mengulang kembali dan dosis berikutnya harus diberikan. Saat ini
belum ada data tentang penggunaan dosis booster. 16,17
43

BAB V

PENUTUP

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak


ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, termasuk
Indonesia. DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu
Den-1, Den-2, Den3 dan Den 4 yang ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti yang terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia. Manifestasi klinis sangat bervariasi
mulai dari demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan,
penurunan trombosit, adanya hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran
plasma. Sampai saat ini belum ada terapi antiviral yang spesifik untuk
tatalaksana DBD, terapi hanya berdasarkan pada terapi simptomatik dan
terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama
dalam tatalaksana DBD. Saat ini telah tersedia vaksin untuk virus dengue
yaitu CYD-TDV dapat diberikan pada anak usia >9 tahun. Disamping
pemberian vaksin, pencegahan pada DBD yang paling utama dengan
pemberantasan vektor penyakit salah satunya menerapkan 3 M.

DAFTAR PUSTAKA
44

1. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam


Berdarah Dengue di Indonesia. 2017.
2. Tanto C, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.
3. Hadinegoro SR, dkk. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi
Virus Dengue pada Anak. IDAI. 2014.
4. Hadinegoro SR, dkk. Update Management of Infectious Disease
and Gastrointestinal Disorder. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM. 2021.
5. World Health Organization. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.
6. Ginting F. Pedoman Diagnostik Dan Tatalaksana Infeksi Dengue
Dan Demam Berdarah Dengue Menurut Pedoman WHO 2011.
2017.
7. WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI. 2009.
8. Soedarmo SS, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008.
9. Kemenkes RI. Data Terbaru Kasus Demam Berdarah di Indonesia.
2021.
10. Setiati,S., Alwi, I., Sudoyono,A., Simadibtara,M., Setiyohadi,B .
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing Jakarta.
11. Schaefer TJ, dkk. Dengue Fever. Statpearls Publishing. 2020.
12. Syafiqah N. Demam Berdarah Dengue. 2018.
13. Candra A. Dengue Hemorrhagic Fever: Epidemiology,
Pathogenesis, and Its Transmission Risk Factors. Aspirator. Vol. 2
No. 2. 2010.
45

14. Pudjiadi HA, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. IDAI. 2009.
15. Kliegman. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi 20. 2015.
16. Satari HI, Adila SF. Keamanan Vaksin Dengue pada Anak. Sari
Pediatri, Vol. 21, No. 2. 2019.
17. Fauziah Y, Ahmad A. Pemberian Vaksinasi Dengue pada Dewasa.
Jurnal Human Care. 2020.

Anda mungkin juga menyukai