DISUSUN OLEH
Alfi Cahya Arifin
45 2011 2026
DOSEN PEMBIMBING
dr. Hj. A. Hilda Novita, Sp.A
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Definisi 1
1.2 Klasifikasi Infeksi Virus Dengue 1
1.3 Epidemiologi 3
1.4 Etiologi 4
1.5 Patogenesis 6
1.6 Manifestasi Klinis 9
1.7 Diagnosis 13
1.8 Kriteria Diagnosis 18
BAB II TATALAKSANA
2.1 Triase 23
2.2 Tatalaksana Rawat Jalan 26
2.2 Terapi Cairan 27
2.3 Terapi Simtomatik 29
2.4 Terapi DBD dengan Syok 29
2.5 Kriteria Memulangkan Pasien 35
BAB III KOMPLIKASI DAN PROGNOSA
3.1 Komplikasi 37
3.2 Prognosa 38
BAB IV PENCEGAHAN
4.1 Pemberantasan Vektor 39
4.2 Vaksinasi 41
BAB V PENUTUP 43
DAFTAR PUSTAKA 44
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
1.3 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever (Demam Berdarah) di Asia tenggara
pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958
terjadi epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit
ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di
Asia Tenggara.8
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru dicurigai pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar
pulau jawa dilaporkan pada tahun1972 di Sumatera Barat dan Lampung
disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Hingga saat ini kasus DBD
telah tersebar di 472 kabupaten/kota di 34 Provinsi. Kemenkes RI
melaporkan kasus DBD tahun 2020 sebanyak 95.893, sementara jumlah
kematian akibat DBD adalah sebanyak 661. Terdapat 5 kabupaten/kota
dengan kasus DBD tertinggi, yaitu di Buleleng 3.313 kasus, Badung 2.547
kasus, Kota Bandung 2.363 kasus, Sikka 1,786 kasus, Gianyar 1.717
kasus. (Gambar 2).8,9
DBD dapat terkena pada semua usia. Proporsi DBD pergolongan umur
antara lain <1 tahun sebanyak 3,13%, 1-4 tahun 14,88%, 5-14 tahun
33,97%, 15-44 tahun 37,45%, >44 tahun 11,57%. Adapun proporsi
kematian DBD pergolongan umur antara lain <1 tahun sebanyak 10,32%,
1-4 tahun sebanyak 26,57%, 5-14 tahun 34,13%, 15-44 tahun sebanyak
15,87%, dan >44 tahun sebanyak 11,11%. 9
4
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang
diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan
dari nyamuk ke orang lain.1
1.5 Patogenesis
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang
erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh
darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat
akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal,
oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.12
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.12
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.12
9
perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan
gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak
berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma
yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila
berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi. 3,11
2. Fase kritis (fase syok). Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time
of fever defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran
plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan
mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs).
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu
antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat
merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat
saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu,
tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap
walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi
postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau
perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi
perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan.
Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif menjadi di
bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit merupakan tanda
awal perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh
leukopenia (5.000 sel/mm3). Peningkatan hematokrit merupakan salah
satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan
plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat
penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena
untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
12
1.7. Diagnosis
1. Anamnesis14
1) Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadadak, selama 2-7
hari.
2) Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah.
3) Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri
perut.
4) Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan
mimisan.
5) Dijumpai kasus DBD di lingkungan rumah atau sekolah.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda perdarahan1
(1) Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati,
trombositopenia, dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi
intravascular yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak
adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet positif (uji Rumple
Leed/ uji bendung), petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam
tetapi dapat pula dijumpai setelah hari ke 3 demam.
(2) Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk, untuk
membedakannya: lakukan penekanan pada bintik merah yang
dicurigai dengan kaca obyek atau penggaris plastik transparan,
atau dengan meregangkan kulit. Jika bintik merah menghilang saat
penekanan/ peregangan kulit berarti bukan petekie. Perdarahan
lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Pada anak yang belum pernah mengalami mimisan, maka mimisan
merupakan tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula
perdarahan konjungtiva atau hematuria.
Cara melakukan uji tourniquet:1
a. Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset
disesuaikan dengan umur anak, yaitu lebar= 2/3 lengan atas).
14
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi dengue adalah:
1) Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia
di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan
penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial. Isolasi virus
hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam. 3
2) Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang rerdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa
nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan
isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas
laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada
enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal. 3
3) Deteksi antigen virus
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen),
yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang
penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi
sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang
setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian
makin menurun setelahnya. Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari
16
90% terutama saat viremia (terutama kurang dari 3 hari demam). Namun,
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan derajat berat infeksi dengue
apakah demam dengue (DD) atau demam berdarah dengue (DBD) dan
tidak dapat menentukan serotype dengue. Hasil NS1 yang positif dapat
membuat interpretasi yang salah sehingga terjadi overdiagnosis,
overtreatment, overhospitalization padahal diagnosis pasien adalah DD,
namun sebaliknya hasil NS1 yang negatif tidak pasti menyingkirkan DBD
karena jika viremia menurun maka antigen NS1 tidak terdeteksi. Waktu
pemeriksaan NS1 saat viremia sangat menentukan hasil, sedangkan
dalam praktek sehari-hari pasien sering datang setelah demam hari ke-3,
yang memberi hasil yang negatif. Untuk itu perlu pemantauan klinis, hari
demam dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk mendeteksi
terjadinya DBD.3
4) Deteksi serum respon imun/uji serologi serum imun
(1) Haemaglutination inhibition test (Uji HI). Pada saat ini tidak banyak
laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji HI walau sensitif
namun kurang spesifik dan memerlukan dua sediaan serum akut dan
konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dini.3
(2) ELISA (IgM/IgG). Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi
primer atau sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue
IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji
tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel
darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat.
Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue Rapid Strip
Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA. Dengue Rapid Test
mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan
cut-off kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat
mendeteksi antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus
dengue primer dan sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG
ditentukan hanya mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas
17
muncul pada infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai
terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI >
1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons
antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG
infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi
primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2.3
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan
kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer.
Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG
dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder. Beberapa kasus dengue
sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan
IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol
yang terlihat. Ulangi pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala
klinis kearah DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol
tidak terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja. 3
5) Analisis parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai
hematrokit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian
dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.
(1) Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm) dan rasio antara neutrofil
dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa
kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat
masuk fase konvalesens.3
(2) Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/µL dapat
ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
18
Diagnosis DD
Demam tinggi mendadak
19
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis DBD.
20
2) Syok Dekompensasi
Syok Dekompensasi
Takikardi
Hipotensi (sistolik dan diastolic turun)
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan kusmaull
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
BAB II
23
TATALAKSANA
2.1 Triase
Setiap rumah sakit yang merawat pasien infeksi virus dengue, harus
mempersiapkan Unit Triase sebagai tempat antuk melakukan skrining,
apakah pasien harus menjalani rawat inap atau rawat jalan. (Gambar 4).
Triase dapat dilakukan juga di Puskesmas yang mempunyai tempat
perawatan, mempunyai dokter dan perawat terlatih. Pada saat seorang
pasien datang dengan dugaan menderita infeksi dengue, maka diantar ke
Unit Triase untuk menjalani pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan
jasmani yang teliti dan dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap,
minimal kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit. 3
Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari
yang disertai nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia, ruam kulit,
24
Kunci tata laksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat
suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal
terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan kebocoran plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan tanda- tanda bahaya secara awal dan
pemberian cairan larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan
awal pengganti volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit.
28
1. Antipiretik
Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan apabila shuhu >38 C
dengan interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. 3
2. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit. 3
4) Hematokrit stabil
5) Jumlah trombosit >50.000/ul dan menunjukkan kecenderungan
meningkat
6) Tiga hari setelag syok teratasi
7) Nafsu makan membaik
37
BAB III
3.1 Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai
akibat dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa
virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa
keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut. Pada
ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau
somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD /
SSD. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka
untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu.
Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya.
Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran
tetap menurun (hati- hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada
ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun,
alkalosis pada analisa gas darah, dan hyponatremia (Bila mungkin periksa
kadar amoniak darah).2,12
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminan, sebagai faktor
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah
syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler, penting
38
3.2 Prognosis
Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan
terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. 15
39
BAB IV
PENCEGAHAN
4.2 Vaksin
di 15 negara, dengan lebih dari 30.000 partisipan usia 2-16 tahun. Bulan
Desember tahun 2015, vaksin ini pertama kalinya mendapat lisensi di
Meksiko, Brazil dan Filipina, dan selanjutnya di 19 negara Asia, Amerika
Latin dan Australia.Tahun 2016, WHO Strategic Advisory Group of
Experts on Immunization (SAGE) merekomendasikan penggunaan vaksin
dengue hanya pada anak usia >9 tahun di negara endemis
(seroprevalens) >70%, dan tidak direkomendasikan jika seroprevalens
<50%. Berdasarkan penelitian terakhir didapatkan secara umum vaksin ini
mempunyai efikasi 56,5% dan dapat menurunkan risiko perawatan rumah
sakit sebanyak 80% serta mengurangi risiko menderita DBD yang berat
sebesar 93% bila diberikan pada anak usia diatas 9 tahun. Pada bulan
September 2016, vaksin ini mendapat persetujuan dari BPOM. Sejak saat
itu, vaksin tetravalent sudah resmi beredar di Indonesia. 16,17
Saat ini, vaksin DBD digunakan dalam rentang usia 9 hingga 45 tahun.
Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian efektivitas vaksin lebih
rendah terhadap semua serotipe pada usia dibawah 9 tahun. Efektivitas
vaksin pada individu di atas 45 tahun belum dievaluasi dan masih belum
diketahui. Vaksinasi CYD-TDV diberikan dalam tiga dosis dengan jarak 6
bulan. Jika dosis vaksinasi ditunda oleh karena alasan apa pun, tidak
perlu mengulang kembali dan dosis berikutnya harus diberikan. Saat ini
belum ada data tentang penggunaan dosis booster. 16,17
43
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
44
14. Pudjiadi HA, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. IDAI. 2009.
15. Kliegman. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi 20. 2015.
16. Satari HI, Adila SF. Keamanan Vaksin Dengue pada Anak. Sari
Pediatri, Vol. 21, No. 2. 2019.
17. Fauziah Y, Ahmad A. Pemberian Vaksinasi Dengue pada Dewasa.
Jurnal Human Care. 2020.