Anda di halaman 1dari 39

0

MAKALAH
DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh:

HUPAZMI FAJRI

PUSKESMAS KELAPA
2022
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Gastritis di susun Untuk Memenuhi angka kredit pada
dupak.

Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan dari
berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

Kelapa, Juli 2021

Penulis
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue
tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam
kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian
akibat DBD, khususnya pada anak. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI
(2007) menunjukkan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2005
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit
penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%. (Chen, 2009).
Menurut Achmadi (2010) demam berdarah dengue banyak ditemukan di
daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia
menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD,
dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang menyebabkan masalah
dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi, penyebaran penyakit yang
mudah meluas dan terutama menyerang anak-anak. Pada DBD yang terlambat
ditegakkan diagnosisnya sering berakibat fatal.
Masa kritis dari penyakit ini terjadi pada akhir fase demam yaitu pada Dengue
Syok Syndrome (DSS), karena pada saat itu terjadi penurunan suhu tubuh yang
tiba-tiba dan sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam
berat-ringanya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang
terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
Syok pada demam berdarah (DSS) merupakan tanda kegawatan yang harus
3

mendapat perhatian serius. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat,
pasien dapat meninggal dalam waktu 12 – 24 jam atau sembuh cepat setelah
mendapat penggantian cairan yang memadai. Apabila syok tidak dapat segera
diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis metabolik, perdarahan
saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis yang buruk
(DepKes RI, 2004). Menurut Wiradharma (2009) angka kematian kasus DBD
pada penderita yang tidak dirawat dan diobati segera mencapai 50%, tetapi angka
tersebut menurun sampai 5 % dengan tindakan yang cepat dan tepat, baik dalam
diagnosis maupun dalam penatalaksanaannya.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat, di Indonesia jumlah kasus DBD menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah, maupun luas wilayah yang
terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap
tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk (PSN), terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air
serta adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Mujida,
2009). Sedangkan menurut Khie Chen (2009) berbagai faktor kependudukan
berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak
terkendali, Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis, dan peningkatan sarana transportasi.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol
vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang
optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan
kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik
untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,
gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien (Chen, 2009).
4

Berdasarkan fenomena dan latar belakang diatas, maka kelompok kami


tertarik untuk membahas mengenai asuhan keperawatan kegawatan pada pasien
demam berdarah.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan kegawatan pada
pasien demam berdarah
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian demam berdarah dengue
b. Mengetahui penyebab demam berdarah dengue
c. Mengetahui patofisiologi demam berdarah dengue
d. Mengatahui pathogenesis demam berdarah dengue
e. Mengetahui klasifikasi demam berdarah dengue
f. Mengetahui manifestasi klinis demam berdarah dengue
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang demam berdarah dengue
h. Mengetahui penatalaksanaan demam berdarah dengue
i. Mengetahui asuhan keperawatan demam berdarag dengue

C. Manfaat
1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
keperawatan tentang kegawatan pada pasien dengan demam berdarah.
2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
yang diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan
kesehatan) kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien
demam berdarah.
5

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit DBD


1. Pengertian
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus
(arthropadborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes
albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus
dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam dangue maupun
demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes Albocpitus. (Soegijanto, 2004).

2. Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus
dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4
serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada
di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan
wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang
relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang
pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh
nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2
protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.

3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. (Gubler,
1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi
diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
6

hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler,
trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).

4. Patogenesis
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk
Aedes aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ
hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran
darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN
mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.
Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponenya. Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses
perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu
serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype tersebut
tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin
C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik
syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak
didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian
ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan
sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang
7

menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan


memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang
terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan
mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas
alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit,
sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis
tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa
pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.

Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih


merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada
DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan
secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah
ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan
dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena
8

antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini
terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu.
Virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain
9

virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte,


1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan factor
pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan
faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan mempercepat syok yang
terjadi (Suvatte, 1977).

5. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
10

b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

6. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung
2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil
dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3
dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan
hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38°-40° C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta
seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


11

b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti
ini juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan
perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar
termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga
2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009).
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun
nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan
ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan
pasien terlihat gelisah.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI)
2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
12

serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,


2012).

Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran,
Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
13

d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites
dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya
dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya
sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama
sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-
epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x
lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum
akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan
keras positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit
dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya
memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body
neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody
HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama
sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
14

4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)


Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih
negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam
darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac
Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan
uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap
serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.
Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari
darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama
dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh
penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody
dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,
2011).

8. Penatalaksanaan
a.Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara
yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam
berdarah. DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan
yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan
dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti
bak mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
15

3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat


menampung air hujan (M3).

Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari


gigitan nyamuk dengan cara: 
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang
sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos
(abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan
sekali dengan takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan peres) 
untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4
sendok makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat
diperoleh di puskesmas atau di apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk 
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi 
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3
kasus positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di
daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk.

Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya


mengalami demam tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh
kekurangan cairan karena penguapan, apalagi bila gejala yang
menyertai adalah muntah atau intake tidak adekuat (tidak mau minum),
akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama yang
dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan
minum 2 liter/hari (kira – kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15
menit. Minuman yang diberikan sesuai selera misalnya air putih, air
teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit, shoft drink, dapat juga
diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini. Untuk
mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan
16

jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6


kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit,
tapi butuh kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah
sebagai berikut (WHO, 1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari
(lebih banyak lebih baik)
2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.
Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak
lebih dari 4 kali sehari. Jangan
memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat
menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion
tambahan ( pocari sweet )
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk
meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam
kuantitas yang banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus
berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari

Jenis minuman yang di rekomendasikan bagi penderita DBD


merupakan sebagian dari obat demam berdarah yang dimaksudkan
untuk menghindari pasien dari kekurangan cairan, antara lain :
a) Jus Buah
Untuk mengatasi kekurangan cairan karena demam
berdarah dapat memberikan banyak cairan berupa air jus. Tidak
selalu harus jus jambu biji, bisa memberikan jus buah lain
17

seperti jus pepaya, jeruk, atau jus mangga. Dengan kadar air
dalam buah berhitung tinggi antara 65 sampai 92 persen,
sehingga bisa mensuplai atau menutupi kekurangan cairan
akibat merembesnya plasma darah keluar dari pembuluh.
b) Air Kelapa Muda
Air kelapa muda banyak megandung mineral kalium,
sodium, klorida, dan magnesium. Zat-zat ini adalah elektrolit
yang dibutuhkan tubuh untuk membantu mengatasi ancaman
syok pada kondisi kekurangan cairan. Selain kalium, juga
mengandung gula, vitamin B dan C dan protein. Komposisi
gula dan mineral yang terdapat dalam air ini begitu sempurna,
sehingga memiliki keseimbangan yang mirip dengan cairan
tubuh manusia.
c) Air Heksagonal
Air heksagonal merupakan air yang banyak mengandung
oksigen, air telah banyak dikembangkan untuk membantu
metabolisme tubuh sehingga bisa menjaga stamina dan
vitalitas, termasuk bagi yang menderita demam berdarah.
d) Alang-Alang
Dalam kandungan Alang-alang terdapat manitol, glukosa,
sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin,
fernenol, simiarenol, anemonin, asam kersik, damar, dan logam
alkali. Dilihat dari kandungan-kandungan tersebut, alang-alang
bersifat antipiretik (menurunkan panas), diuretik (meluruhkan
kemih), hemostatik (menghentikan perdarahan), dan
menghilangkan haus.

Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam


maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan
kehilangan cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga
dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus diberikan obat
penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun
18

panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang
berasal dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan
diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh karena dapat merangsang
lambung sehingga akan memperberat bila terdapat perdarahan
lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam
terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak
menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat
kejang demam disamping obat penurun panas dapat diberikan obat anti
kejang (IDAI, 2009).
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan
baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan
baik maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada
saat terjadi perdarahan hebat penderita akan tampak sangat kesakitan,
tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak
sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan
kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah
sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa
haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah
atau penurunan jumlah trombosit
19

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk


membantu dalam menangani penyakit demam berdarah. Dinas
Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan apabila ada penderita yang
terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan
Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat
bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.
Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet
bagi kader kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam
berdarah dengue memberikan gambaran bahwa setelah diberikan
penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet terjadi perubahan
yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang
penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana
yang dapat dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan
kesehatan.

b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat


Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran
klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma
dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan
20

awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari


peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan
garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume
plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien
DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D,
C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (DepKes
RI, 2005).

1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri
perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk
pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat
demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang
dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi
21

yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan


oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
Tabel 1
Dosisi Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500
mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang


mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat
suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan
cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai
suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang
tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
22

plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan


harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan
cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan
tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes
RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus
smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi
dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus
perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan
plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada
tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005).
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 – 8 %)
Berat Badan waktu masuk Jumlah cairan Ml/kg berat
RS ( kg ) badan per hari
<7 220
23

7-11 165
12-18 132
>18 88

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan


tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama (DepKes RI, 2005).

2) Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki
kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm
Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam
seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB
(DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20
ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30
menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai
berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan
kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid
(dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada
24

saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid


dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit
tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi
bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes
RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda
vital telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan
segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala
pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam
atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah
yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan
dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
25

c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai
pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak
diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit (DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk
pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga
26

dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti


waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen
degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI,
2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-
hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali
sampai keadaan klinis pasien stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk
menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa


penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan
tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus
dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi,
pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka
pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).
27

Alur Tersangka DBD

Tersangka DBD

Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan

Pasien tidak dapat minum


Pasien
9. masih dapat minum
Beri
10.Minum banyak 1-2 liter/ hari
atau
11.1 swndok makan tiap 5 menit
Jenis minum: air putih, teh manis,
12. Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
jus buah, susu, oralit
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi nadi perifer HT naik dan / atau trombosit turun
Ujur diuresis
Awasi perdarahan
Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 6-
12 jam
Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik
Nafsu makan membaik, secara klinis
tampak perbaikan
Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL
3 hari setelah syock teratasi, tidak
dijumpai distress nafas

Gambar: Alur Tersangaka DBD (Sumber: DepKes RI, 2005)


28

Penatalaksanaan DBD Derajat I dan II


Cairan Awal

RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl +


D5 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital / nilai Ht dan


Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi13.
kuat Distress pernapasan
Tekadan
14. Darah stabil Frekuensi nadi meningkat
Diuresis Cukup HT tetap tinggi / naik
HT turun (2x pemeriksaan) Tekanan nadi < 20 mmHg
Diuresis kurang/tidak ada

Tetesan dikurangi 5 Tanda vital memburuk


ml/kgBB/jam Ht meningkat
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kg BB/jam
Perbaikan

Evaluasi 12-24 jam


Perbaikan
Sesuaikan tetesan
3 ml/kg BB/jam
Tanda vital tidak stabil

Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup

Koloid 20-30 ml/kgBB/


Tranfusi darah segar 10
ml/kgBB
Indikasi tranfusi:
Syok belum teratasi
Perdarahan masif

Perbaikan

Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat I dan II (Sumber: DepKes RI, 2005)


29

Penatalaksanaan DBD Derajat II dan III

DBD Derajat III dan IV

Oksigenasi (O2 2-4 lt/mnt)


Penggantian volume plasma segera (cairan
kristaloid isotonis): RL/NaCl 0,9% 20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit apakah syock teratasi?


Syock teratasi:
Syock teratasi: Kesaaran menurun
Kesadaran membaik Tekanan nadi < 20 mmHg
Tekanan nadi > 20 mmHg Distress nafas/sianosis
Tidak sesak nafas/tidak Dingin
sianosis Periksa kadar gula
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1
ml/kgBB/jam
Lanjutkan cairan 15-20
ml/kgBB/jam
Tambahkan
koloid/plasma
Cairan & tetesan disesuaikan dekstran /FFP 10-20
10 ml/kgBB/jam (max 30 ml/kgBB)
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Hb stabil alam 2 x periksa Ht tetap tinggi/ meningkat
Ht menurun
Koloid 20 ml/kgBB

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak lebih 48 jam


Setelah syok teratasi

Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)
30

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian yang efektif pada DHF ataupun DSS di ruang IGD
didasarkan pada kemampuan analisis kritis perawat untuk
memprediksikan, mengenali dan menentukan dengan cepat pasien dengan
DSS atau potensial DSS sehingga dapat diberikan penanganan yang cepat
pula, karena keterlambatan resusitasi dapat meningkatkan resiko
mortalitas. Hal ini sangat didukung oleh pengetahuan perawat tentang hal-
hal yang harus dikaji pada pasien dengan DHF atau DSS, termasuk
manifestasi klinis yang mungkin muncul dalam setiap tahap dari penyakit
tersebut. Secara umum munculnya tanda dan gejala nyeri atau tenderness
pada abdomen, muntah terus menerus, akumulasi cairan misalnya efusi
pleura atai asites,perdarahan mukosa,penurunan kesadaran : letargi,
gelisah, pembesaran liver (≥2cm),peningkatan hematokrit dengan
penurunan jumlah platelet secara cepat merupakan indikator bahwa
diperlukan evaluai medis segera. CDC (Center Disease Control and
Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian untuk kegawatan pada
DHF yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010):

a. Riwayat demam
Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan
membantu prediksi kehilangan cairan, dan fase penyakit. Terdapat
perbedaan karakteristik demam pada :
 DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih
 DHF : 2-7 hari
 DSS :penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0°C menjadi
temperatur normal atau subnormal)
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi yang sempit (TD sistolik-TD diastolik <20mm
Hg) atau hipotensi berdasarkan tekanan darah sesuai usia.
31

c. Pemeriksaan fisik fokus dan manifestasi perdarahan


Kondisi pasien mulai kritis ketika didapatkan tanda-tanda manifestasi
klinis perdarahan atau tes torniquet positif disertai tanda munculnya
asites dan atau efusi pleura, kulitdan ekstremitas teraba dingin, basah,
kesadaran menurun (letargi atau gelisah),CRT>2 detik, oliguria, tanda-
tanda shock (Phanmeesuk & Suksin, 2009).
d. Pemeriksaan laboratorium
Untuk kewaspadaan ,didapatkannya leukopenia dengan onset baru
(WBC <5,000 cells/mm3) limfositosis danpeningkatan limfosit yang
bersifat atypical, mengindikasikan dalam 24 jam berikutnya pasien
potensial akan masuk dalam fase kritis. Sedangkan tanda-tandapasien
telah masuk fase kritis adalah ketika tanda dan gejalapada pengkajian
riwayat dan pemeriksaa fisik diatas disertaitemuan onset yang baru
dari hasil lab sebagai berikut (Phanmeesuk & Suksin, 2009):
1) Thrombocytopenia (≤100,000 cells per mm3)
2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit ≥20%diatas rata-rata
sesuai usia atau penurunan hematocrit ≥20% dari terapi cairan yang
diperlukan, hipoproteinemia, hipokolesterolemia

Deteksi dini menjadi sangat penting karena kesalahan dalam


mengenali tanda-tanda kritis dapat menyebabkan keterlambatan reusitasi
cepat yang dapat menyebabkan pasien masuk kedalam komplikasi atau
yang ditandai dengan perdarahan masif dan gangguan metabolisme seperti
hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis laktat, dan
hiponatremia (CDC). Sehingga monitor ketat oleh perawat terhadap
volume intravaskular, fungsi organ vital, dan respon pasien terhadap
treatment, jenis cairan yang masuk, serta kemungkinan sumber perdarahan
lainnya menjadi sangat penting. Maka, untuk keperluan tersebut maka
perawat sebagai petugas yang 24 jam didekat pasien memiliki peran yang
signifikan dalam efektifitas observasi tersebut (Phanmeesuk & Suksin,
2009).
32

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


a. Diagnosa Keperawatan : Resiko shock hipovolemik (kurangnya
volume cairan) berhubungan dengan peningkatan permeabilitas.
Ditandai dengan:perubahan status mental, penurunan tekanan
darah,peningkatan frekuensi nadi nadi, kulit/membran mukosa kering,
hematokrit meningkat, suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin
meningkat, kelemahan.
Kriteria hasil : keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa
tercapai, hidrasi adekuat.

Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat
perdarahan
2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan
pencegahan komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak
normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium,
kalium.agnesium, natrium dan fosfat dalam serum).
3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk
mengatur keseimbangan cairan
4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular
pada pasien yang mengalami penurunan volume.
5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat
intravena
6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi
jaringan pada pasien yang mengalami masalah volume
intravaskular yang berat

Aktifitas Keperawatan
1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang
tinggi
33

3) Pantau perdarahan
4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah
buruknya dehidrasi
5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.
6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
7) Pengelolaan cairan (NIC) :
a) Pantau status hidrasi
b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan
cairan
c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.

Pendidikan untuk pasien dan keluarga


1) Anjurkan pasien untuk melaporakan kepda perawat bila haus

Aktivitas kolaboratif :
1) laporkan dan catat keluaran (Output)
2) laporkan abnormalitas elektrolit
3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran

Aktifitas lain
1) bersihkan mulut secara teratur,
2) tentukan jumlah cairan dalam 24 jam
3) tingkatkan asupan orla, pasang kateter bila perlu
4) berikan cairan sesuai indikasi

b. Diagnosa keperawatan: Peningkatan suhu tubuh lebih dari normal


berhubungan dengan terjadinya viremia
Ditandai dengan : suhu tubuh llebih dari normal (36.5- 37 C), kulit
memerah (hiperemi), RR meningkat, kulit hangat, tachikardi
Kriteria Hasil: Suhu tubuh Normal (365-37 C), RR dan nadi Normal,
perubhan warna kulit tidak ada.Keadaan umum cukup
34

Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan dari lingkungan
2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu
tubuh dalam rentang normal
3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data
kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk menentukan serta
mencegah komplikasi

Aktivitas Keperawatan
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi
3) Pantau tkanan darah dan, nadi dan pernafasan,e
4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam
sesuai dengan kebutuhan denge pantau warna kulit dan suhu

Pendidikan untuk pasien dan keluarga


1) Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan
ynag diperlukan sesuai dengan kebutuhan

Aktifitas kolaboratif :
1) Berikan obatantipiretik sesuai dengan kebutuhan
2) Gunakan air jangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai
dengan kebutuhan
Aktifitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang yang berlebihn
2) Anjurkan asupan cairan oral
3) Gunakan selimut
4) Gunakna kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha
35

c. Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan tentang proses penyakit,


diet dan perawatan pasien DHF sehubungan dengan kurangnya
informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet,
perawatan meningkat sehingga klien/keluarga memperlihatkan
perilaku yang kooperatif.

Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan
pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya
pada klien.
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-
hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita
klien.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan
penjelasan.

C. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
Demam berdarah adalah masalah kesehatan yang serius karena hamper
tiap tahun selalu ada dan bahkan kadang-kadang meningkat tajam megarah
kekajadian luar biasa (KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue
dan ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Penyakit demam berdarah
dalam keadaan gawat memerlukan pertolongan segera dan semakin cepat
ditolong makin besar kemungkinan untuk sembuh kembali. Pada seting
prehospital masyarakat dan keluarga harus waspada terhadap tanda dan
gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Koordinasi dengan instansi terkait,
missal dinas kesehatan adalah penting dalam rangka pencegahan penularan
demam berdarah. Peran masyarakat sangat penting karena tanpa peran
36

serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk maka sebesar


apapun dana yang dikeluarkan dan sebagus apapun program pemerintah
tidak akan optimal dalam penanggulangan dan pemberantasan penyakit
demam berdarah. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang senantiasa
siap bila diperlukan. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak
pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari
fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

2. Saran
a. Diperlukan peran masyarakat dan pemerintah secara luas untuk
bersama-sama menjalankan program-program yang telah dibuat
dalam penanggulangan DBD.
b. Dibutuhkan peran serta perawat Puskesmas sebagai lini terdepan
dalam pencegahan DBD di lingkungan masyarakat dengan deteksi
dini dan peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat terkait DBD.
37

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, F.U. 2010. Manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Buletin


jendela epidemiologi. 2 (1): 1 – 3
Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose
Demam Berdarah Dengue. RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Barakah, V. F. 2012. Demam Berdarah tidak ada obatnya, Hanya andalkan cairan.
Detik Health. Retrieved from:
http://health.detik.com/read/2012/06/15/143241/1942274/763/ 18 April
2013
Brasier. A. R., Ju. H., Garcia. J., Spratt. H. M., Forshey. B. M., Helsey. E. S.
(2012). A three-component biomarker panel for prediction of dengue
hemorraghic fever. Am. J. Trop. Med. Hyg. 86(2): 341-348.
CDC (Centers for Disease and Prevention). (2010). Dengue Branch.Cañada
SanJuan,PuertoRico.From:http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.ht
ml diakses 20 April 2013
Danny, Wiradharma. 2009. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Jurnal
Kedokteran Trisakti., 18 (2): 78 – 79
DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Waspadalah penyakit demam berdarah dengue.
Retrieved from www.denpasarkota.go.id. 18 april 2013.

Gubler D.J., 1998. The Global Pandemic of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever


Current Status and Prospect for the Future. Dengue in Singapore. Technical
Monograph Series No. 2 WHO.
IDAI, 2009. Apa itu demam berdarah dengue.
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel. 18 April 2013
Khana M., Chaturvedi UC, Sharma MC, Panday VC, Mathur A., 1990. Increased
Capillary Permeability Mediated by A Dangue Virus Induced Limphokine.
Immunology Mart, 69;33:449-53
38

Khie Chen., Herdiman, T., Pohan., Robert., 2009. Diagnosis dan terapi cairan
pada demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 22. (1): 5 – 6
Kurane I, Ennis E Francis, 1992. Immunity and Immunopathologi in Dangue
Virus Infection. Seminar Imunology vol 4; 121-127.
Mujida, A.M., Ridwan, A. 2009. Pemetaan dan analisis kejadian demam
berdarah dengue di kaupaten bantaeng.
Phanmeesuk, Y., and Suksin, W. (2009). Nursing Care of Dengue Shock
Syndrome (Case study). Medical Journal of Srisake Surinam Buriram
Hospital Vol 24 No.2.
Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan
Baru di Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya.
Soewandoyo, E. 1997. Demam Berdarah Dangue pada Orang Dewasa. Gejala
Klinik dan Penatalaksanaannya. Folia Medika Indonesia XXXIII. Juli-
September.
Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in
Thailand. South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5.
Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam
Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.
Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K.
H. (2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue
fever develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective
cohort study. BMC Infectious Diseases.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intrevensi
NIC dan kriteria hasil NOC. EGC. Jakarta.
World Health Organization (WHO). (1999). Guidelines for treatment of dengue
fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi.

Anda mungkin juga menyukai