Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ILMU PENYAKIT TROPIS

Oleh :

INDAH SAFITRI
NIM : 194110295
Tingkat : 2A

Dosen MK : dr. Winanda, MARS

PRODI D3 KEBIDANAN PADANG


JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa hambatan. Dengan selesainya
makalah ini disusun, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang
Terhormat Dosen Pembimbing saya serta kepada seemua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini.walaupun makalah ini telah selesai,namun karena keterbatasan
kemampuan dan literatur yang saya miliki,sehingga makalah ini jauh dari sempurna,sehingga
besar harapan saya untuk menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif.
Saya mengucapkan selamat membaca semoga makalah ini ada manfaatnya bagi
pembaca pada umumnya dan ilmu pengetahuan khususnya. Terimakasih.

Padang, 22 Fenruari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTA
R..................................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.........................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................1
C. TUJUAN...............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian.............................................................................................................................2
B. Etiologi..................................................................................................................................2
C. Patofisiologi..........................................................................................................................2
D. Patogenesis...........................................................................................................................3
E. Gangguan Hemostasis Pada Demam Berdarah Dengue..................................................4
F. Manifestasi Klinis ...............................................................................................................5
G.Diagnosis...............................................................................................................................6
H. Diagnosis banding...............................................................................................................7
I. Komplikasi.............................................................................................................................7
J. Prognosis...............................................................................................................................8
K.Pencegahan...........................................................................................................................8
L.Dampak Infeksi Virus Dengue Pada Kehamilan...............................................................9
M.Penatalaksanaan DBD.........................................................................................................9
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN..................................................................................................................10
B SARAN................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

ii
ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama
dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan
Jogjakarta (1972). Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua
setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus
meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973) menjadi 8,65 (1983) dan mencapai angka
tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000 penduduk dengan penderita sebanyak
57.573 orang, dengan 1.527 orang penderita dilaporkan meninggal dari 201 daerah tingkat II.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari
darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat
berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei virologis penderita DBD
telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun
1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat
ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang berdominasi adalah virus dengue
serotipe DEN-2 atau DEN-3
Laporan kepustakaan mengenai demam berdarah dengue dalam kehamilan dan
persalinan masih sangat sedikit. Penelitian di Haiti dan Republik Dominika melaporkan
bahwa setengah dari semua anak yang telah mencapai usia 2 tahun di negara tersebut
mempunyai antibodi terhadap dengue. Pada saat periode non epidemik, surveilens di
Republik Dominika terhadap darah dari 54 ibu hamil dan darah tali pusat bayi yang
dilahirkannya menunjukkan bahwa attack rate adalah 6%. Dilaporkan pula bahwa kadar
antibodi di dalam darah tali pusat lebih tinggi daripada di dalam darah ibu. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam kehamilan telah terjadi imunisasi pasif transplasental.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Deman Berdarah Dangue Pada Kehamilan?

C.TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Deman Berdarah Dangue Pada Kehamilan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus dengan empat manifestasi klinis utama
berupa demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan pada kasus yang berat
ditandai dengan kegagalan sirkulasi. Pasien dengan keadaan ini dapat berkembang menjadi
syok hipovolemik karena adanya kebocoran plasma, yang dikenal dengan Dengue Shock
Syndrome (DSS) yang berakibat fatal.

B.Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut.

C.Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme menurun
lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan post-mortem
meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.
Tidak terjadi lesi destruktif yang nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa
perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika
penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diarborbsi dengan cepat,
menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia, dan kelainan koagulasi.
Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan
trombositopenia, dan banyak di antaranya penderita menunjukkan hasil pemeriksaan
koagulasi yang abnormal.

2
D.Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah,
virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-
komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan
virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan reaksi silang pada uji serologis. Hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan
uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe virus
DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotip virus tersebut, tetapi tidak ada proteksi silang terhadap serotipe virus yang lain.
Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory) atau hipotesis immune enchancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog, mempunyai risiko yang lebih besar
untuk menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan faktor reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antibody dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-43 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang
dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.

3
E. Gangguan Hemostasis Pada Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue dapat asimtomatik atau disertai manifestasi klinis berupa
demam tidak terdiferensiasi, demam dengue atau demam berdarah dengue. Demam
Berdarah Dengue (DBD) merupakan manifestasi infeksi virus dengue yang berat yang
ditandai dengan terjadinya perembesan plasma dan gangguan hemostasis sehingga
berpotensi menimbulkan syok (Dengue Shock Syndrome). Gangguan hemostasis pada
demam berdarah dengue dapat berupa vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi
trombosit, koagulopati dan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID).
Proses imunopatologi yang terjadi pada demam berdarah dengue melibatkan sistem
imunitas humoral dan selular. Hipotesis secondary heterologous infection oleh Halstead
menyatakan reaksi antibodi terhadap virus dari infeksi sebelumnya akan mempermudah
infeksi virus terhadap monosit dan makrofag (antibody dependent enhancement).
Disamping hipotesis tersebut diketahui pula peran komplemen, limfosit T dan berbagai
mediator seperti TNF-a, IL-2, IL-6, IFN-g, PAF, C3a, C5a dan histamin yang
menyebabkan disfungsi endotel, perembesan plasma, renjatan, gangguan koagulasi dan
manifestasi perdarahan  Peran IL-18 terhadap diferensiasi sel T menjadi T-helper 1
diperkirakan juga berperan dalam patogenesis demam berdarah dengue.
Vaskulopati bermanifestasi sebagai uji 1 touniquet yang positif dan petekie yang
terjadi pada awal demam sebelum terjadinya, trombositopenia. Gangguan vaskular yang
terjadi berupa infiltrasi dinding vaskular oleh limfosit fagosit mononuklear, deposit IgM,
komplemen dan fibrinogen. Vaskulopati terjadi sebagai akibat pengaruh virus secara
langsung saat awal infeksi atau sebagai akibat reaksi imunologis yang terjadi saat
konvalesen.
Trombositopenia dengan jumlah trombosit  100.000/ mm3 terjadi pada hari ke 3-7
demam dan kembali meningkat pada hari ke 8-9. Jumlah trombosit pada syok (DSS) pada
umumnya  50.000/mm3 dengan rata-rata 20.000/mm3. Perdarahan umumnya tidak
terjadi walaupun jumlah trombosit  20.000/mm3 kecuali pada keadaan syok
berkepanjangan (prolonged  shock). Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui
mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam
darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan frogmen C3g, karena
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer.  Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar B-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi
trombosit.
Koagulopati terjadi pada berbagai infeksi virus dan bakteri termasuk infeksi virus
dengue. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue derajat III dan IV. Terjadi pemanjangan masa
protombin (PT), masa tromboplasin parsial teraktivasi (APTT), penurunan fibrinogen dan
peningkatan D-Dimer atau FDP, serta penurunan berbagai faktor koagulasi (11, V, VII,
VIII, IX, X dan XII). Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue seperti juga pada
sepsis diperkirakan melalui jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui, aktivasi kontak (kalikrein C1-

4
inhibitor complex). Aktivitas antitrombin III pada demam berdarah dengue menurun
terutama pada DSS dan berkorelasi dengan PT, APTT, kadar albumin dan fibrinogen.
Proses koagulopati yang berlangsung di luar batas kompensasi menyebabkan terjadinya
penumpukan fibrin, KID dan kegagalan organ multipel.
Bagaimana pengaruh gangguan hemostasis/koagulasi terhadap risiko perdarahan dan
mortalitas pada pasien DBD dan DSS, kiranya masih memerlukan penelitian lebih lanjut;
walaupun pada DBD derajat I pada umumnya dapat membaik tanpa memerlukan intervensi
terapi. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa gangguan hemostasis pada demam
berdarah dengue merupakan proses kompleks yang melibatkan fungsi vaskuler, trombosit
dan koagulasi dan terkait dengan keadaan klinis dan derajat penyakit.

F.Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang lebih
berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
1.Demam Berdarah Dengue (DBD)
Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang,
sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan
dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk
pilek. Nyeri epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri di daerah perut yang
bersifat umum, biasa ditemukan. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam
terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple leed)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase
awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan
saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Keadaan hepatomegali juga
dapat ditemukan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan
suhu yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam
berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
DBD dibedakan dari DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum,
atau hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan
pemberian cairan.
Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:
Derajat I :Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi   perdarahan
ialah uji tourniquet.
Derajat II :Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau            
perdarahan lain.
Derajat III :Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat  dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang), atau   hipotensi,
ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.
Derajat IV  :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

5
G. Diagnosis
100Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan
perjalanan penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah
kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui
dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu,
trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalui dijumpai.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria klinis:
1. Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
a. Uji tourniquet positif
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis dan atau melena
3.Pembesaran hati
4.Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris adalah:
1. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau


peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura
dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia
dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya
trombositopenia mendukung diagnosis DBD.
Diagnosis Laboratoris
Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium
dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan
tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu:

1. Uji hemaglutinasi inhibisi

Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering
dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.

2. Uji komplemen

Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga
pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).

3. Uji neutralisasi

6
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.
Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI
antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8
tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak
dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa

Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini
mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.

5. IgG Elisa

Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.

H. Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu
ditelit infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti
bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya.
Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD. Biasanya pada
morbili ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan
selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut
dan leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan,
kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar.
Perdarahan di kulit seperti petekie dan kimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis, meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien
tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu
jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear. Pemeriksaan laju endap
darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat tanda rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.
Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP),
leukemia pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala
yang mirip DBD. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai
diagnosis.
Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, faktor
predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.
Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip
sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestasi perdarahan, tetapi
tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran.

I. Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan

7
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskular diseminata (KID).
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan pemberian
cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan,
biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih
terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila
cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto
dada.
J. Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau DSS
mortalitasnya cukup tinggi.

K. Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling
memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah diberantas karena
sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum
100 meter. Tetapi karena vektor terbesar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan
total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.

Terdapat 2 cara pemberantasan vektor:


1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah
malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk
membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan
(thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat
digunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar/ruangan,
misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Cara penggunaan temephos
(abate) ialah dengan pasir abate (sand granules) ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes,
yaitu bejana tempat penampungan air bersih. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1
gram Abate SG 1 % per 10 liter air.
2. Tanpa insektisida
Caranya adalah:
a. Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1x seminggu
(perkembangan telur ke nyamuk   lamanya 7-10 hari.
b. Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda
lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Isolasi pasien agar pasien tidak digigit vektor untuk ditularkan kepada orang lain sulit
dilaksanakan lebih awal dari perawatan di rumah sakit karena kesulitan praktis. Mencegah
gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok maupun pemakaian kelambu memang
dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis. Imunisasi maupun
pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf
penelitian.

8
L. Dampak Infeksi Virus Dengue Pada Kehamilan
Wanita hamil harus berhati-hati pada infeksi virus dengue, karena infeksi yang
terjadi mungkin dapat mempengaruhi janin. Demam dengue pada wanita hamil tidak
menyebabkan abnormalitas pada janin tetapi dapat berisiko terjadi kematian janin. Janin
yang dilahirkan dapat menderita kegagalan multiorgan pada saat lahir.
Ada beberapa laporan kasus transmisi  vertikal virus dengue. Salah satunya pada
wanita Thailand dengan sakit panas yang melahirkan bayinya melalui seksio sesarea.
Meski virus dengue tidak dapat diisolasi dari si ibu, namun data serologi menunjukkan
dengue sebagai penyebab panas pada ibu tersebut. Bayi yang dilahirkan menderita pireksia
pada umur 6 hari dan hal ini mungkin dikarenakan si bayi mendapat infeksi virus dengue
dari ibunya, meskipun ada kemungkinan si bayi digigit nyamuk pada umur 1 atau 2 hari.
Selain itu, pada kasus yang lain dilaporkan bayi yang dilahirkan dari seorang wanita yang
menderita DBD pada waktu hamil menderita panas pada umur 48 jam. Bayi ini menderita
panas selama 2 hari, hepatomegali, trombositopenia, dan efusi pleura. Dengan
menggunakan PCR (polymerase chain reaction) terdeteksi virus dengue tipe 1 di
serumnya.

M. Penatalaksanaan DBD
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk DD dan DBD karena infeksi virus ini
adalah self limited. Pengobatan dengue fever tanpa komplikasi mencakup terapi suportif
dan meliputi penghilangan rasa nyeri, penurunan temperatur tubuh, tirah baring, dan
pemberian cairan.
Pada beberapa kasus yang meragukan diperlukan observasi dan pemeriksaan lanjut
dan penderita dapat dirawat di rumah sakit apabila:
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan
2. DBD dengan perdarahan masih dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan:

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam berdarah adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis yang
mirip dengan malaria. Demam berdarah oleh nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai dengan
munculnya demam secara tiba-tiba disertai dengan sakit kepala berat, sakit pada sendi dan
otot (myalgia dan atfhralgia) dan ruam. Penyebab demam berdarah menunjukkan demam
yang lebih tinggi, satu perdarahan (trombositopenia) dan nemokonsentrasi sejumlah kasus
bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pengobatannya adalah terapi suportif dan alternatif lain seperti meminum jus jambu
biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik. Dengan penderita
yang banyak, dinas kesehatan mengaku telah mengalokasikan dana sebesar Rp. 3,3 milyar
untuk keluarga miskin.
B. Saran
Sebaiknya pemerintahh lebih memperhatikan kebersihan lingkungan agar tidak
menimbulkan beberapa penyakit dan penyakit yang cepat terjangkit pada diri manusia
apabila tidak menjaga lingkungan dengan baik yaitu penyakit demam berdarah.
Pada zaman sekarang ini seseorang sangat mudah terkena penyakit, maka dari itu
diperlukan perhatian yang ketat untuk masalah lingkungan bersih oleh pemerintah. Kami
harapkan agar pembaca memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses dari:


http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/012-23.pdf
2. Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999
3. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis
Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999
4. Prawirohardjo S. Penyakit Menular. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 567-560
5. Sumarmo S.P.S. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis.
Hipokrates. Jakarta, 1999: 177-205

11

Anda mungkin juga menyukai