Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Shelli Faradiana, Sp.A, M.Kes
2023
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Alergi susu sapi (ASS) merupakan reaksi yang tidak diinginkan yang
diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi
biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E (IgE). Namun demikian ASS dapat juga diakibatkan
oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses
gabungan antara keduanya.3
B. Epidemiologi
Alergi Susu Sapi merupakan salah satu alergi makanan yang paling
sering pada anak. Insiden alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi
terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif. Diperkirakan terjadi pada 2-3% anak dibawah 5
tahun. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan
insiden sebesar 1.5-6% anak dan prevalensinya meningkat pada beberapa
dekade terakhir, sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul
sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya
sedikit (0.1- 1%) yang bermanifestasi klinis berat.2,3
Alergi susu sapi pada kejadian dermatitis atopik ditemukan bahkan
hingga 60%. Alergi susu sapi dan dermatitis atopic merupakan salah satu
manifestasi alergi yang paling banyak ditemukan pada tahun pertama
kehidupan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya manifestasi alergi lain
pada masa selanjutnya.4
C. Etiologi
Alergi susu sapi merupakan reaksi yang merugikan terhadap makanan
yang mekanismenya bergantung pada sistem kekebalan tubuh. Dikatakan
bahwa protein susu yang paling bersifat alergenik adalah dari golongan
kasein, alfalaktalbumin, beta-laktoglobulin, dan albumin serum sapi yang
dapat menyebabkan reaksi alergi yang diperantarai maupun tidak
2
diperantarai oleh IgE. Beberapa predisposisi genetik yang berpengaruh
antara lain adalah kematangan dari mukosa usus, pengenalan pada susu sapi
yang terlalu dini pada bayi.4
D. Patofisiologi
1. Peran Imunoglobulin E (IgE)
Kegagalan tumbuh untuk dapat mentoleransi suatu makanan akan
merangsang proses immunoglobulin E (IgE), yang mempunyai reseptor
pada sel mast, basofil, makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan
trombosit. Ikatan IgE dan alergen makanan akan menyebabkan
pelepasan mediator histamine, prostaglandin dan leukotriene. Pelepasan
mediator ini akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi, kontraksi otot
polos, dan sekresi mukus yang akan menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada kondisi yang bersamaan, sel mast yang
aktif akan melepaskan sitokin yang turut berperan dalam reaksi ini. Bila
alergen dikonsumsi berulang kali, sel mononuklear akan dirangsang
untuk melepaskan histamin.5
3
2. Peran Non Imunoglobulin E (Non-IgE)
Banyak yang melaporkan bahwa mekanisme imun yang lain
(selain reaksi hipersensitivitas tipe I) dapat sebagai penyebab alergi
makanan, namun bukti secara ilmiah sangatlah terbatas. Dilaporkan
bahwa penelitian membuktikan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV
juga ikut berperan, tetapi bukti yang pasti masih belum pasti juga.5
E. Klasifikasi
Alergi susu sapi (ASS) dapat diklasifikasikan berdasarkan:4
1. Berdasarkan Perantara
a. IgE Mediated
Merupakan ASS yang diperantarai oleh IgE. Gejala yang
timbul biasanya dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah
mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat
timbul dapat berupa urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis
atopik, muntah, nyeri perut, diare,rinokonjungtivitis, bronkospasme,
dan anafilaksis. ASS jenis ini didukung dengan kadar IgE susu sapi
yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE spesifik/IgE
RAST).
4
b. Non-IgE Mediated
Merupakan ASS yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi
diperantarai oleh IgG. Gejala klinis yang timbul biasanya dalam
kurun waktu yang lebih lambat (>1 jam) setelah mengkonsumsi
protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain
yaitu allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, anemia, dan gagal pertumbuhan.
5
− Edema Laring akut atau obstruksi bronkus dengan kesulitan
bernapas.
− Syok anafilaksis
F. Penegakan Diagnosis
a. Kulit
6
eksaserbasi. Urtikaria akut dan angioedema akibat dari protein susu
sapi sering terjadi. Urtikaria merupakan reaksi vaskular pada kulit
yang ditandai dengan adanya edema setempat yang cepat timbul
dan menghilang perlahan. Sedangkan Angioedema merupakan
reaksi menyerupai urtikaria, yang terjadi pada lapisan kulit lebih
dalam dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan.
Misalnya tangan anak tiba – tiba menjadi bengkak dan gatal atau
bibir anak menjadi bengkak setelah meminum susu.4
b. Saluran Cerna
Alergi terhadap makanan, salah satunya adalah protein
susu sapi dapat memberikan gejala sistemik saluran cerna seperti
gatal dan bengkak pada bibir, mukosa oral (oral allergy syndrome),
dan faring, nausea, muntah, diare, Buang Air Besar (BAB)
berdarah, distensi, peningkatan frekuensi flatus, kolik infantil, dan
konstipasi. Dari suatu penelitian mengatakan bahwa dari 18 pasien
yang mengalami ASS, 5 diantaranya mengalami diare. Pada pasien
dengan gastroenteritis eosinofilik, akan terdapat gejala berupa
nausea, muntah, gagal tumbuh, dan peningkatan eosinophil darah
tepid an pada biopsi saluran cerna akan tampak adanya tumpukan
infiltrasi sel eosinophil, dengan disertai intoleran berbagai makanan
dan peningkatan kadar IgE disertai rhinitis dan asma alergik.4
c. Saluran Napas
Pasien asma yang disebabkan oleh alergi makanan sering
terjadi pada anak usia muda dan sebagian besar didahului oleh
dermatitis atopik. Gejala pada saluran napas dapat berupa mengi,
batuk, rinitis dan sesak. Dari suatu penelitian mendapatkan bahwa
batuk kronik berulang ditemukan pada 13 dari 18 anak dengan
AAS.4
2. Pemeriksaan Penunjang
a. IgE Spesifik
7
1) Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)
8
dengan manifestasi klinis alergi ringan hingga sedang diberikan susu
formula terhidrolisat ekstensif, sedangkan bayi dengan gejala alergi
berat diberikan susu formula berbasis asam amino. Diet eliminasi
dilakukan selama 2 hingga 4 minggu tergantung berat ringannya
gejala. Diet eliminasi dapat dilakukan hingga 4 minggu bila terdapat
gejala ASS berat disertai gejala saluran cerna yaitu kolitis alergi.
Pada pasien dengan riwayat alergi berat, pemeriksaan ini dilakukan
dalam pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit atau klinik.
Anak dengan uji tusuk kulit dan uji RAST negatif mempunyai risiko
rendah mengalami reaksi akut berat saat dilakukannya uji provokasi.
3,4
G. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding yang perlu disingkirkan adalah kelainan
metabolisme bawaan, kelainan anatomi, coeliac disease, insufisiensi enzim
9
pankreas (cystic fibrosis), intoleransi laktosa, keganasan dan infeksi. Keadaan
yang menyulitkan adalah bila terdapat 2 keadaan/penyakit yang terjadi
bersamaan. Anak dengan penyakit refluks gastroesofageal juga alergi terhadap
susu sapi sebesar 15-20%.6
H. Tatalaksana
Bagan 2.1 Tatalaksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan ASI Ekslusif
10
Bagan 2.2 Tatalaksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula
Adapun tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien dengan diagnosis
Alergi Susu Sapi sebagai berikut:
1. Nutrisi
a. Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari
(complete avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus
memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh
kembang bayi/anak.7
b. Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat
melanjutkan pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi
dan produk turunannya pada makanan sehari-hari. ASI tetap
11
merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan alergi susu sapi.
Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui
yang membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.7
c. Bayi yang mengonsumsi susu formula:7
1) Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi
adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang
tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/ anak dengan
diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar
ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susu tersebut
mempunyai peptida dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu
yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat
ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu
terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.
2) Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang
dianjurkan pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau
sedang. Apabila anak dengan alergi susu sapi dengan gejala
klinis ringan atau sedang tidak mengalami perbaikan dengan
susu terhidrolisat ekstensif, maka dapat diganti menjadi formula
asam amino. Pada anak dengan alergi susu sapi dengan gejala
klinis berat dianjurkan untuk mengonsum formula asam amino.
3) Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif
atau formula asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12
bulan, atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu uji provokasi
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak
sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila
gejala timbul kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali
selama 6 bulan dan seterusnya.
d. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau
terdapat kendala biaya, maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan
susu formula yang mengandung isolat protein kedelai dengan
12
penjelasan kepada orang tua kemungkinan adanya reaksi silang
alergi terhadap protein kedelai pada bayi. Secara keseluruhan angka
kejadian alergi protein kedelai pada bayi berkisar 10-20% dengan
proporsi 25% pada bayi dibawah 6 bulan dan 5% pada bayi diatas 6
bulan. Mengenai efek samping, dari beberapa kajian ilmiah terkini
menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat bahwa susu
formula dengan isolate protein kedelai memberikan dampak negatif
terhadap pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme tulang,
sistem reproduksi, sistem imun, maupun fungsi neurologi pada
anak.7
e. Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu
menghindari adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit
bayi.7
f. Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena
berisiko terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu
domba dan sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di bawah
usia 1 tahun kecuali telah dibuat menjadi susu formula bayi. Saat ini
belum tersedia susu formula berbahan dasar susu mamalia selain
sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat pula adanya risiko
terjadinya reaksi silang.7
2. Medikamentosa
a. Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang
terjadi.3
b. Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua
dapat digunakan dalam penanganan alergi (Cetrizin 0,25mg/kgBB/kali
via oral tiap 12 jam (usia >2 tahun tiap 24 jam) selama 3-7 hari, Ranitidin
1mg/kgBB/kali via oral tiap 8 jam selama 3-7 hari, CTM
0,25mg/kgBB/kali via oral tiap 8 jam atau hidroksizin
0,5-2mg/kgBB/kali tiap 8 jam selama 3-7 hari bila masih dikeluhkan
gatal setelah pemberian. 3
13
c. Pada anak dengan manifestasi klinis angioedema dapat diberikan
tambahan metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari via oral tiap 8-12 jam selama
3-7 hari. 3
d. Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau
dengan alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang
berat, epinefrin harus dipersiapkan.3
e. Pemberian nebulisasi salbutamol (dosis 0,1 ml/kgBB/kali dalam NaCl
0,9%) tiap 8 jam selama 3-7 hari jika masih terdengar wheezing setelah
pemberian epinefrin. 3
I. Komplikasi
Pada pasien dengan ASS yang tidak ditangani dengan tepat dan cepat,
maka dapat menyebabkan kondisi hipersensitivitas yang berat, dapat
menyebabkan kerusakan dari mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit, ensefalopati, kolitis ulseratif kronis, anemia defisiensi besi,
obstruksi bronkus, syok anafilaksis, dan gangguan pertumbuhan.8
J. Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada
tahun ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat
hingga 50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal
dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas.8
14
BAB III
KESIMPULAN
Tatalaksana pada pasien alergi susu sapi harus dilakukan secepat mungkin
diagnosis ditegakkan untuk menghindari risiko gagal tumbuh. Pada bayi yang
mendapat ASI, pemberian ASI dapat dilanjutkan dengan eliminasi susu sapi dan
produk turunannya pada diet ibu sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6
bulan.7
Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar subtitusi susu
formula yang dianjurkan adalah susu formula hipoalergenik sebagai pilihan
utama, terhidrosilat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau
sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat).7
Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu dilakukan
penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI). Jika
susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya,
maka formula kedelai dapat diberikan dengan penjelasan kepada orangtua
mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai.7
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmi P. Peran Nutrisi Bagi Tumbuh dan Kembang Anak Usia Dini. Pus J
UIN Ar-Raniry (Universitas Islam Negeri). 2020;15:274–82.
2. Juffrie M, Darmawan I. Panduan Praktek Pediatrik. UGM PRESS; 2018.
3. Sumadiono, dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. IDAI; 2014.
4. Wiartika IG, Purnamawati IA. Tinjauan Pustaka: Alergi Susu Sapi. Ganesha
Medicina. 2023 May 12;3(1):29-40.
5. Da Silva PHF, Oliveira VCD, Perin LM. Cow’s milk protein allergy and
lactose intolerance. Raw Milk: Balance Between Hazards and Benefits.
Elsevier Inc.; 2018. 295– 309.
6. Firmansyah, Agus, dkk. Practical Management in Pediatrics. IDAI Jakarta;
2014
7. Rahmi P. Peran Nutrisi Bagi Tumbuh dan Kembang Anak Usia Dini. Pus J
UIN Ar-Raniry (Universitas Islam Negeri). 2020;15:274–82.
8. Sánchez-Valverde F, Etayo V, Gil F, Aznal E, Martínez D, Amézqueta A, et
al. Factors Associated with the Development of Immune Tolerance in
Children with Cow’s Milk Allergy. Int Arch Allergy Immunol.
2019;179(4):290–6.
9. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician
2008;54:1258- 64.
16