Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER MARET 2023


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

SKIN PRICK TEST

Oleh:

Ahmad Al Muhtadi Billah


105501103421

Pembimbing:
dr. Alifah Alwi, Sp.THT-KL.

(Dibawakan Dalam Rangka Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Ahmad Al Muhtadi Billah
NIM : 105501103421
Judul : Skin Prick Test

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2023


Pembimbing

dr. Alifah Alwi, Sp.THT-KL.

KATA PENGANTAR
ii
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
senantiasa tercurahkan atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassallam, karena beliaulah sebagai
suritauladan yang membimbing manusia menuju surga. Alhamdulillah
berkat hidayah dan pertolongan-Nya sehingga dapat menyelesaikan
Referat dengan judul “Skin Prick Test”.
Referat ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Secara
khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
mendalam kepada dr. Alifah Alwi, Sp. THT-KL. selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam
membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan
tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna
adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan
dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi
manfaat kepada semua orang.

Makassar, Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................5

A. Reaksi Alergi................................................................................................5

B. Definisi.......................................................................................................12

C. Tujuan Pemeriksaan...................................................................................13

D. Kelebihan...................................................................................................13

E. Indikasi.......................................................................................................13

F. Kontraindikasi............................................................................................15

G. Prosedur......................................................................................................15

H. Interpretasi..................................................................................................18

BAB III PENUTUP..............................................................................................22

Kesimpulan.....................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Skin prick testing (SPT) adalah metode yang dapat diandalkan untuk
mendiagnosis penyakit alergi IgE-mediated pada pasien dengan
rhinoconjunctivitis, asma, urtikaria, anapilaksis, eksim atopic dan diduga
alergi makanan dan obat-obatan. Metode memberikan bukti untuk sensitisasi
dan dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis dari alergi tipe I. metode
yang minimal invasif, murah, hasil segera tersedia dan ketika dilakukan oleh
tenaga kesehatan terlatih. Sejak publikasi pertama tentang SPT oleh
Helmtraud Ebruster pada tahun 1959, yang ekstensif meneliti tes
diagnostik ini, telah digunakan sebagai alat diagnostic primer untuk
mendeteksi reaksi tipe I hipersensitivitas. Meski prinsip SPT masih
banyak menyerupai metode asli yang dijelaskan, beragam interpretasi dan
modifikasi telah menyebabkan berkurangnya komparatif ketika hasil SPT
dilaporkan. Di selain itu, berbagai jenis ekstrak yang digunakan dalam
berbagai negara membuat perbandingan data menjadi sulit.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. REAKSI ALERGI
1. Definisi Alergi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah
menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara
global. Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri
berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali
dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis
toleransi oleh individu normal.1
2. Etiologi Alergi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada
umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut
alergen. Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya
penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin,
sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi
yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti
rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria
Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi.
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat
menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloilpolilisin. 1

Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran
tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi
sehingga timbul manifestasi alergi.1,6
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan
dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan
lain selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi
0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan
makanan yang masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran
pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna
oleh enzim pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.
3. Epidemiologi Alergi
Alergi adalah penyebab utama morbiditas pada anak-anak dan orang
dewasa di bawah usia 40 tahun. Insidensi penyakit alergi terus meningkat
selama beberapa dekade terakhir, seperti yang didokumentasikan oleh banyak
studi epidemiologi yang diterbitkan, dan sekarang alergi dan asma
memengaruhi lebih dari 30% populasi. Menariknya, peningkatan insiden
diamati sebagian besar di negara-negara di mana sebelumnya alergi relatif
jarang terjadi. Faktor lingkungan, termasuk kondisi perumahan, lingkungan
kerja, polusi bahan kimia dan kebiasaan makan, memiliki dampak yang
5
signifikan terhadap peningkatan kejadian alergi. Diperkirakan saat ini setiap
sepertiga penduduk Eropa menderita alergi.
Studi epidemiologi telah mengkonfirmasi bahwa asma dan alergi
menimpa lebih dari 30% orang di seluruh dunia. Negara-negara di mana asma
jarang terjadi sekarang ditandai dengan meningkatnya insiden dan
prevalensinya. Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara
global, sekitar 235 juta orang menderita asma.
Sementara itu, diperkirakan secara global, rinitis alergi mempengaruhi
10-30% populasi. Meningkatnya kejadian penyakit alergi, termasuk rinitis
alergi, yang diamati dalam beberapa tahun terakhir, telah mendorong sejumlah
penelitian untuk memperkirakan skala tren ini.
4. Klasifikasi Reaksi Alergi

6
Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat
kelas. Alergi sering disamakan dengan hipersensitif tipe I.5,7

7
5. Patofisiologi Reaksi Alergi

8
a) Mediator alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang
termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan
basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, newly
synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.6,7
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik
terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel
mast.Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang
terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan
sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio
cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini
akan menyebabkan pelepasan mediator lain. 6,7
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan
dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan
vaskular ini menyebabkan respon wheal- flare (triple respons dari Lewis)
dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan
9
angioderma. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi
mukosa lambung dan bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka
aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan
hipermotilitas. 6,7
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan
tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F
menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas
kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan
dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis
(ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke
daerah tempat reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan
menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin. Plateletes
Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan
permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang
akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan
kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama dan hebat.
Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit
dan dilepaskan waktu agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan
kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar. 6,7
b) Fase sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya
kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan
dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells (APCs) di dalam
endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe
sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah
proliferasi sel Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel
B) untuk memproduksi Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1
tidak cukup kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk
mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-
4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE.
IgE akan menempel pada reseptor IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel
mast, basofil dan eosinofil. 6,7

10
c) Fase Reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan
mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke
lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin-
sitokin yang menimbulkan gejala klinis. 6,7
d) Fase Reaksi Lambat
Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan puncaknya
setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti
basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan
alergen. Sel-sel tersebut akan mengeluarkan substansi inflamasi spesifik
yang menyebabkan aktivitas imun berkepanjangan serta kerusakan jaringan .
6,7

6. Faktor Resiko Alergi

Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa
faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada
bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola
diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui,
penggunaan antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur,
bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya
hewan peliharaan.7
11
7. Manifestasi Klinis Alergi
Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target
yang terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering
dijumpai pada bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis
berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama
pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini
adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan
terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok
sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu.7
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan
nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan
bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis. 7
Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan
dengan gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi
sistemik dapat terjadi syok anafilaksis.
Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan
presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan mata berair, hiperemia
konjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok mata. Gejala
muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada hubungannya dengan infeksi. 7
B. DEFINISI
Skin prick testing (SPT) adalah salah satu metode utama dari tes kulit
untuk alergi yang dimediasi IgE. Hal ini dipraktekkan secara luas,
membawa risiko yang sangat rendah (tetapi tidak dapat diabaikan) efek
samping yang serius untuk pasien dan memberikan informasi berkualitas
tinggi ketika dilakukan secara optimal dan ditafsirkan dengan benar. (Juga
disebut tes kulit tusukan atau PST).2
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang
banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang
terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan
keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan
dan wheal/bentol pada kulit tersebut.

12
C. TUJUAN PEMERIKSAAN
Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga di
kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.3
D. KELEBIHAN SKIN PRICK TEST
Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain :
1. Karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil
jika dibandingkan dengan zat pembawa berupa air.
2. Mudah dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu.
3. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal
4. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume
yang masuk ke kulit sangat kecil.
5. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes
ini mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.
E. INDIKASI
Skin Prick Test diindikasikan jika dicurigai alergi tipe I (tipe langsung),
berdasarkan riwayat medis dan gejala klinis, mereka dapat mengidentifikasi
sensitivitas terhadap inhalan, makanan, obat-obatan atau alergen pekerjaan. SPT
dengan demikian memberikan obyektif konfirmasi sensitivitas, sedangkan
relevansi semacam itu kepekaan terhadap alergen harus selalu ditafsirkan dengan
hati- hati dalam terang sejarah klinis sehingga tepat saran tentang langkah-
langkah penghindaran dapat diberikan dan, bila perlu, alergen yang tepat
diresepkan imunoterapi spesifik (SIT).1
Indikasi lain dari Skin Prick Test adalah untuk menyaring predisposisi untuk
mengembangkan penyakit atopik, yang dapat dilakukan dengan sejumlah alergen
terbatas, atau untuk mengidentifikasi semua peka subyek dalam populasi tertentu.
SPT juga bisa digunakan distudi epidemiologi untuk menentukan tren dalam
sensitisasi tingkat atau perbedaan regional dan untuk membantu
menstandardisasi alergen ekstrak. SPT digunakan untuk menguji orang
dewasa dan anak-anak sejak lahir dan seterusnya. Pengujian berulang
mungkin diperlukan untuk mendeteksi sensitisasi baru, terutama pada

13
anak- anak, kapan gejala berubah, atau jika alergen lingkungan baru
tersangka.1,2
1. Indikasi Absolut
 Kondisi berikut ini adalah indikasi yang diterima secara umum untuk tes
tusuk kulit alergi:
 Rhinitis / rhinokonjungtivitis / rinosinusitis / konjungtivitis alergi;
 Asma
 Dermatitis atopic
 Reaksi makanan seperti yang dimanifestasikan oleh
reaksi anafilaksis, urtikaria akut segera, atau semburan akut eksim
Diduga alergi lateks
 Kondisi di mana IgE spesifik dianggap cenderung memainkan peran
patogenik (misalnya kasus urtikaria kronis yang dipilih jika riwayat
menunjukkan penyebab alergi eksogen)
 Gangguan yang lebih jarang seperti aspergillosis bronkopulmoner alergik,
esofagitis eosinofilik atau gastroenteritis eosinofilik.
Pilihan alergen yang diuji akan bervariasi sesuai dengan kondisi mana
yang sedang diperiksa dan pola paparan alergen.2
2. Indikasi Relatif
Pengujian tusukan kulit tidak secara rutin ditunjukkan dalam penyelidikan:
 Ruam nonspesifik tanpa karakteristik alergi / atopic
 urtikaria kronis dengan tidak adanya fitur alergi pada sejarah
 Intoleransi makanan tanpa fitur alergi (misalnya sindrom iritasi usus)
 Penilaian efektivitas imunoterapi allergen
 Kelelahan kronis tanpa fitur alergi
 Sakit kepala migrain / gangguan perilaku
 Reaksi terhadap iritasi pernapasan (asap, asap, parfum, dll.)
 Skrining untuk alergi tanpa adanya gejala (mis. Riwayat keluarga alergi).
Tes tusukan kulit biasanya tidak tepat untuk diagnosis reaktivitas
terhadap zat berat molekul rendah seperti aditif makanan, efek samping
non-alergi terhadap obat-obatan (dengan beberapa pengecualian), iritasi
14
pernapasan, dan sebagian besar pekerjaan.2
F. KONTRA INDIKASI
Kondisi yang kontraindikasi / hindari tes tusuk kulit:
 Kondisi dermatologis yang menyimpang - tes harus dilakukan pada
kulit yang sehat normal
 dermatografi yang parah
 Kerjasama subjek yang buruk
 Subjek tidak dapat menghentikan antihistamin/obat lain yang
mengganggu.
Kontraindikasi / tindakan pencegahan relatif:
 Kontraindikasi dalam praktik non-spesialis untuk alasan keamanan
 Asma berat / tidak stabil yang terus-menerus
 Kehamilan (karena risiko kecil anafilaksis dengan hipotensi
dan kontraksi uterus)
 Pasien pengguna beta-blocker.
G. PROSEDUR SKIN PRICK TEST
1. Persyaratan untuk prosedur uji tusukan kulit
a. Alergen yang telah distandarisasi (makanan, hirup, dan obat tersangka
dalam vehikulum cairan)
b. Jarum 25–27G/lancet sesuai jumlah alergen
c. Kontrol positif (histamin klorhidrat 10 mg/ml)
d. Kontrol negatif (Larutan NaCl 0,9% atau vehikulum yang digunakan pada
alergen)
e. Perlengkapan kedaruratan medik:
1) Tempat tidur
2) Oksigen
3) Set infus
4) Cairan NaCl 0.9% 500 cc
15
5) Spuit 1 cc dan 3 cc
6) Adrenalin/epinefrin injeksi
7) Kortison/kortikosteroid parenteral lain
Hentikan obat-obat antihistamin, seperti setirizin, loratadin,
feksofenadin, ebastin, mizolastin, desloratadin, dan levosetirizin selama 3
hari. Ketotifen dihentikan selama 15 hari. Obat yang dapat memberi hasil
positif palsu: morfin, kodein, aspirin, β blocker, tetrasiklin. Obat yang dapat
memberi hasil negatif palsu: epinefrin, efedrin, aminofilin, kortikosteroid
lebih dari 10 mg prednison perhari.9
2. Tempat aplikasi
Umumnya tempat yang paling nyaman dan sering digunakan
adalah permukaan volar lengan bawah atau lengan luar bagian luar,
dan bagian belakang. Reaksi terhadap alergen (tetapi tidak histamin)
lebih besar rata-rata di punggung daripada lengan, lebih besar pada
bagian bawah daripada punggung atas, dan di lengan atas bagian atas
dibandingkan dengan pergelangan tangan. Di hadapan kontrol yang
tepat, perbedaan ini tidak boleh signifikan secara klinis tetapi karena
beberapa reaksi kecil dapat mendekati ambang positif, satu penelitian
menunjukkan jumlah reaksi positif yang sedikit lebih besar di bagian
belakang. Namun signifikansi klinis ini tidak diselidiki. Umumnya
disarankan untuk melakukan tes lebih dari 5 cm dari pergelangan
tangan dan 3 cm dari fossa antecubital. 2
Uji ekstrak harus disimpan pada + 2 ° C - + 8 ° C bila tidak
digunakan menjaga stabilitas. Histamin dihidroklorida (10 mg /
ml atau 0,1%) dapat digunakan sebagai kontrol positif dan
pengencer, seperti yang digunakan dalam ekstrak uji, sebagai kontrol
negatif. Untuk sindrom alergi oral yang disebabkan oleh makanan
tertentu, mentah makanan, yaitu, buah-buahan dan sayuran segar
sebaiknya digunakan. Kulit buah atau sayuran ditusuk dan kemudian
kulit pasien alergi, untuk menentukan kulit uji reaktivitas.1,4

16
Gambar 2.3 Pendekatan untuk Pengujian Tusuk Kulit.
3. Metode
Hal ini diinginkan tetapi tidak penting untuk membersihkan
tempat kulit dengan alkohol sebelum pengujian tusukan kulit (ini
mungkin kontraindikasi pada kasus kulit kering ekstrim dan
eksim). Posisi untuk tusukan kulit harus ditandai dengan angka
pada kulit untuk mengidentifikasi alergen, dan pricks harus
dibuat berbatasan langsung dengan angka untuk menghindari
kebingungan antara alergen. Tes tusukan kulit harus setidaknya 2
cm untuk menghindari reaksi yang tumpang tindih dan hasil
positif palsu. Jika multi-tes digunakan, orientasi perangkat harus
ditandai dan tanda yang digunakan untuk membedakan lebih dari
satu perangkat. 2
Jatuhkan lalu tusuk - Setetes alergen akan dioleskan dari
botol penetes ke kulit sebelum menusuk kulit. Tetes di ujung pipet
dapat disentuh pada kulit untuk mentransfer cairan tetapi ujung
pipet yang sebenarnya tidak boleh menyentuh kulit. Pada pasien
kooperatif atau jika sejumlah kecil alergen digunakan, semua
17
tetes dapat disimpan sebelum mulai menusuk. Dalam kasus lain,
mungkin lebih baik untuk menyimpan sekelompok tetes dan
menusuk mereka, lalu kelompok lain.
Dalam beberapa kasus, misalnya anak-anak dengan
kerja sama yang buruk, mungkin lebih praktis untuk
menyetorkan setiap tetes dan menusuk setiap tetes dengan segera.
Sangat penting untuk tidak membiarkan ekstrak tersebut lari ke
situs tusukan berikutnya. Pada pasien dengan eksim yang
menggunakan pelembab, drop dapat meratakan atau berlari lebih
mudah pada kulit. Dimana banyak alergen yang digunakan
mungkin perlu untuk mempertimbangkan waktu bahwa tindakan
pertama dilakukan dibandingkan dengan yang terakhir, ketika
memutuskan waktu yang tepat untuk membaca hasil. Banyak
praktisi meninggalkan tetesan di kulit sampai tes siap untuk
dibaca tetapi ini mungkin tidak diperlukan; larutan tes dapat
dihapus dari kulit setelah menusuk tanpa mengorbankan hasil
akhirnya. 2
Celupkan tusukan - Ekstrak alergen ditempatkan ke dalam
sumur kecil di nampan multi-well. Penetes (Duotip,
Stallerpoint, Multitest) dicelupkan ke dalam ekstrak alergen,
ditarik, dan kemudian diterapkan pada kulit dengan tekanan kuat.
Dengan Duotip beberapa penganjur memutar lancet untuk sedikit
memotong dua ujung ke kulit dan memungkinkan lebih banyak
alergen untuk menembus.2
H. INTERPRETASI SKIN PRICK TES
Reaksi terhadap kontrol positif histamin berada pada ukuran
maksimumnya sekitar 10 menit sedangkan reaksi alergen mencapai
maksimum sekitar 15 menit. Dalam prakteknya, wheal histamin biasanya
masih terlihat pada 15 menit dan ini direkomendasikan sebagai waktu
optimal untuk membaca hasil tes kulit. Kadang-kadang respon alergen
terus membesar hingga sekitar 20 menit. Secara keseluruhan, hasil
histamin harus dibaca pada 10-15 menit setelah tusukan kulit, dan alergen
pada 15-20 menit. Jika tes dibiarkan selama lebih dari 20 menit, respon
histamin dan alergen dapat berkurang atau hilang, dan jika tidak diukur
tepat waktu karena beberapa penundaan, tes mungkin perlu diulang.2

18
Mengukur diameter bentol yang terjadi dengan menggunakan planimeter.
Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya bentol yang
mempunyai ukuran diameter > 9 mm diatas control negative.
Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of
Northern (Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol
yang timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif
larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut :
 Negative (-): apabila sama dengan control negative
 +1 (ringan) : apabila bentol lebih besar dari control negative dan atau
terdapat eritema
 +2 (sedang): apabila bentol lebih kecil dari kontrol positif tetapi
lebih besar dari kontrol negatif
 +3 (kuat): apabila bentol sama besar dengan kontrol positif

 +4 (sangat kuat): apabila bentol lebih besar dari kontrol positif


Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001)
seperti dikutip Rusmono sebagai berikut :1,3
-0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
Tes kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu karena
tehnik yang salah atau faktor material/bahan ekstrak alergennya yang kurang
baik.

Jika Histamin ( kontrol positif ) tidak menunjukkan gambaran wheal/


bentol atau flare/hiperemis maka interpretasi harus dipertanyakan, Apakah
karena sedang mengkonsumsi obat-obat anti alergi berupa anti histamin atau
steroid. Obat seperti tricyclic antidepresan, phenothiazines adalah sejenis anti
histamin juga. 4
Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi alergen
19
yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi, penyakit-
penyakit tertentu, penurunan reaktivitas kulit pada bayi dan orang tua, teknik
cukitan yang salah (tidak ada cukitan atau cukitan yang lemah ).1 Ritme harian
juga mempengaruhi reaktifitas tes kulit. Bentol terhadap histamin atau alergen
mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada pagi hari, tetapi
perbedaan ini sangat minimal. 4
Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan, reaksi
penyangatan (enhancement) non spesifik dari reaksi kuat alergen yang
berdekatan, atau perdarahan akibat cukitan yang terlalu dalam.
Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan
penekanan saja bisa menimbulkan wheal/bentol dan flare/kemerahan. Dalam
rangka mengetahui ada tidaknya dermografisme ini maka kita menggunakan
larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan garam memberikan reaksi
positif maka dermografisme.
Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap alergen
tersebut, namun tidak selalu menggambarkan semakin beratnya gejala klinis
yang ditimbulkan. Pada reaksi positif biasanya rasa gatal masih berlanjut 30-
60 menit setelah tes. 4
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya
dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk
alergen makanan seringkali negatif palsu.
Kesalahan yang Sering terjadi pada Skin Prick Test
 Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
 terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive.
 Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit
kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.
 Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes. 4
Hasil tes kulit negatif, tindakan yang perlu dilakukan adalah:
 Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes
 Periksa adakah penyebab hasil negatif palsu
Observasi penderita selama adanya paparan allergen yang tinggi

20
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan
untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan
memiliki sensitivitas yang tinggi, mudah murah dan cepat.
Skin Prick Test (SPT) merupakan suatu pemeriksaan yang dapat
bertindak sebagai suatu gold standard dalam mendiagnosis sensititasi IgE
untuk pasien alergi.
Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa
reaksi alergi yang memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang.
Pemberian oral antihistamain dan kortikosteroid bisa dilberikan apabila terjadi
reaksi yang tidak diinginkan tersebut.
Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan
kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen.
Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif palsu.
Pentingnya pemahaman test alergi mengenai indikasi, teknik dan
interpretasinya dapat meningkatkan kemampuan kita dalam menerangkan
pasien dan melakukan terapi selanjutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Heinzerling et all. 2013. The Skin Prick Test- Europe Standards.


Clinical and Translational Allergy. Journal Europe
Vol.3(3).Europe. Pp 1-10.
2. William Smith. 2016. Skin Prick Testing. Australasian Society of
Clinical Immunology and Allergy. Autralasian. Pp 1-39.
3. The Indirect Costs Of Allergic Disease. STRÓŻEK, , et al., et al. 3,
Wrsaw : Nofer Institute of Occupational Medicine, 2019, International
Journal of Occupational Medicine and Environmental Health, Vol. 32.
4. S Afr Pract. 2013. A Guide to Performing Skin-prick Testing in
Practice: Tips and Tricks of The Trade. CPD Article Vol.55(5).
Pp.415-419.
5. Windy KB. Erupsi Obat Alergik. In: Widaty S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2016.p.190–
95.
6. Sri AS, Retno WS. Dermatitis Kontak. In: Widaty S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2016.p.157–67.
7. Abbas AK; Lichtman AH; Pillai H. Cellular and
Molecular Immunology 6th Edition. 2014. Philadelphia: Elsevier. p.
231-246
8. Ian H. Coulson, Emma C. Benton and Stephanie Ogden.2016.
Diagnosis of Skin Disease, dalam Rook’s Textbook of
Dermatology. Garsington Road,Oxford. Ed.9, chapter 4, Pp. 4.23
9. Widaty, , et al. Paduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. 1st. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin Seluruh Indonesia, 2017. pp. 282-288.
10. Rusmono N. Diagnosis Rinitis Alergi secra invivo dan invitro. Dalam :
Kursus dan Pelatihan Alergi dan Imunologi. Konas XIII Perhati – KL.
Bali. 2003 ; 56-60

22

Anda mungkin juga menyukai