Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2021


UNIVERSITAS PATTIMURA

INTOLERANSI LAKTOSA

Oleh :
Natasya Fitri (2019-84-020)

Pembimbing
dr. Sri Wahyuni Djoko,Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan cinta kasih-Nya kelompok dapat menyelesaikan referat guna
penyelesaian tugas kepaniteraan klinik pada bagian penyakit saraf dengan judul
“Intoleransi Laktosa”
Dalam penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak yang telah terlibat untuk
penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. dr. Sri Wahyuni Djoko,Sp.A selaku dokter spesialis pembimbing referat, yang
membimbing penulisan referat ini sampai selesai.
2. Orangtua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu
persatu.
kelompok menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat
diwaktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Juli 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………... i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... . 1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. ASI dan Susu Sapi ......................................................................................... 3
2.2. Laktosa dan Laktase ...................................................................................... 5
2.3. Malabsrobsi .................................................................................................... 7
2.4. Inteloransi Laktosa ........................................................................................ 8
2.3.1 Defenisi ................................................................................................. 8
2.3.2.Klasifikasi ............................................................................................. 9
2.3.3.Patofisiologi .......................................................................................... 10
2.3.4 Manisfestasi Klinis ................................................................................ 11
2.3.5 Penegakan Diagnosis ............................................................................ 14
2.3.6 Diagnosis Banding................................................................................. 20
2.3.7 Tatalaksan .............................................................................................. .22
BAB III PENUTUP

Kesimpulan ....................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intoleransi laktosa dan alergi susu sapi seringkali ditafsirkan sama, sehingga
sering digunakan secara terbalik, yang membingungkan masyarakat umum dan
praktisi klinis. Seringkali kesalahan diagnosa intoleransi laktosa terjadi karena
gejalanya yang tumpang tindih dengan penyakit lainnya, yaitu diare dan kembung.
Walaupun kelainan ini biasanya tidak berbahaya, tetapi dapat menyebabkan gejala
yang cukup mengganggu, sehingga penderitanya berulang kali mengunjungi dokter.
Intoleransi laktosa adalah bentuk intoleransi karbohidrat yang paling sering, dan
terjadi pada semua golongan umur.
Laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia, merupakan
disakarida yang terdiri dari gabungan monosakarida: glukosa dan galaktosa. Laktosa
hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui melalui reaksi antara
glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose synthetase.3 Kadar
laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI
mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4%. Singa laut
merupakan satu-satunya mammalia yang tidak mengandung laktosa dalam air
susunya, juga enzim untuk pemecahan laktosa (laktase).
Intoleransi laktosa adalah suatu sindrome klinis yang terjadi akibat tidak
terhidrolisisnya laktosa karena defisiensi laktase yang ditandai dengan gejala
kembung, nyeri perut, flatuen, muntah, kemerahan pada anus dan diare. Produksi
laktase yang rendah sering dijumpai pada anak usia diatas 5 tahun yaitu 3% di daerah
Eropa Utara, sedangkan di daerah Asia Timur meningkat menjadi 80% . Di antara
populasi Asia-Amerika, Afrika-Amerika, penduduk asli (native) Amerika, Indian,
diperkirakan 50%-100% mengalami intoleransi laktosa, lebih besar jika dibandingkan
dengan orang Kaukasia yang sekitar 15%. Secara keseluruhan 25% masyarakat

4
Amerika dan 75% populasi dunia mengalami intoleransi laktosa. Penelitian di Manado
mendapatkan angka intoleransi laktosa sebesar 63,2% pada anak diare, di Jakarta
23,1%, sedangkan angka intoleransi laktosa sebesar 40% pada anak diare lanjut. 4
Secara global, diperkirakan 65-75% penduduk dunia mengalami defisiensi laktase
primer dan sangat sering pada orang Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Prevalensi
intoleransi laktosa bervariasi di antara suku bangsa, berkisar 5% di bagian Eropa
Utara, 70% di bagian Utara Italia dan Turki dan hampir 100% di sebagian populasi
Asia Tenggara.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASI dan Susu Sapi

ASI merupakan cairan khusus yang dihasilkan dalam payudara sang ibu dan
mempunyai peranan yang tidak bisa dipenuhi oleh makanan pengganti seperti susu
formula maupun makanan padat seperti biskuit bayi dan buah-buahan. ASI
mengandung semua kebutuhan bayi baru lahir yang sangat penting untuk pertumbuhan
dan juga untuk pencegahan penyakit. Di dalam ASI terkandung zat imun
(Immunoglobulin A dan imunoglobulin lainnya, C3, C4, laktoperoksidase,
laktopferin) dan komponen pertumbuhan yang tidak dapat ditemukan dan digantikan
oleh susu formula maupun makanan pengganti.1
Sistem imunitas bayi sampai berusia 6 bulan masih belum sempurna dan dalam
proses penyempurnaan, sehingga zat imun tersebut yang diberikan dari sang ibu ke
buah hati melalui ASI akan sangat dibutuhkan. Zat ini berfungsi untuk mencegah
penyakit sampai level tertentu, sehingga risiko bayi terjangkit penyakit akan
berkurang. Keuntungan lain menyusui adalah ASI lebih mudah dicerna dibandingkan
susu formula. Saluran cerna dikatakan sehat apabila organ tersebut dapat menjalankan
fungsinya secara optimal. Proses pematangan saluran cerna distimulasi oleh ASI.1,2
Di dalam ASI banyak terkandung oligosakarida 5-8 g yang tidak ditemukan
pada susu sapi (atau sangat sedikit sekali). Oligosakarida dapat menstimulasi
pertumbuhan dan aktivitas bakteri Bifidobacteria (bakteri baik) di dalam saluran
cerna. Saluran cerna bayi yang mendapat ASI mengandung banyak bakteri
Bifidobacteria dan Lactobacillus, oranisme yang merugikan dan banyak dilaporkan
mempunyai efek terhadap peningkatan sistem imun (kekebalan) tubuh. Suasana asam
yang terbentuk akibat masukan ASI merupakan sinyal bagi pembentukan SlgA dan
mukus pada permukaan saluran cerna. Peningkatan kadar SlgA berkorelasi dengan
peningkatan sistem pertahanan saluran cerna terhadap infeksi, sedangkan mukus yang

6
melapisi permukaan saluran cerna berfungsi sebagai barrier agar mikroorganisme
tidak dapat masuk ke aliran darah. ASI mengandung sekitar 70 g / L (7%) laktosa
yang menyediakan sekitar 30-40% kalori untuk neonatus. Komposisi ASI juga
bervariasi dari awal hingga akhir menyusui. Foremilk (ASI awal) adalah ASI bening
yang diproduksi pada awal penyusuan, serta banyak mengandung laktosa dan protein.
Hanmilk (ASI akhir) adalah ASI yang lebih putih pekat, diproduksi pada akhir
penyusunan, banyak mengandung lemak yang sangat diperlukan sebagai sumber
tenaga dan pembentukan otak.1

Tabel 2.1 : Kandungan ASI1


Sedangkan, Susu sapi merupakan cairan dari kelenjar susu (mammary gland)
yang diperoleh dengan cara pemerahan sapi selama masa laktasi. Secara kimiawi susu
tersusun atas dua komponen utama, yaitu air yang berjumlah sekitar 87% dan bahan
padat yang berjumlah sekitar 13%. Pada bahan padat susu terdapat berbagai senyawa
kimia, baik yang tergolong senyawa zat gizi makro (makronutrien) seperti lemak,
protein 6 dan karbohidrat, maupun senyawa zat gizi mikro (mikro nutrien) seperti
vitamin dan mineral serta beberapa senyawa lainnya.2

7
Tabel 2.2 : Kandungan Susu Sapi2

2.2 Laktosa dan Laktase


Laktosa merupakan sumber energi yang memasok hampir setengah
keseluruhan kalori susu (35 – 45%). Di samping itu laktosa juga penting untuk
absorpsi kalsium. Namun studi klinis menunjukkan, mineralisasi tulang bayi
yang mendapat formula susu sapi (mengandung laktosa) maupun formula
kedelai (karbohidratnya terdiri dari polimer glukosa), tidak ada perbedaan.
Laktosa merupakan gula utama yang terdapat dalam susu. Laktosa tidak terdapat dalam
tanaman melainkan hanya dijumpai pada susu hewan dan susu ibu. Dengan gambaran,
susu sapi mengandung 4- 6% laktosa sedangkan Air Susu Ibu atau disingkat ASI
mengandung 5- 8% laktosa.3,4
Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa dan
galaktosa yang mempunyai rumus kimia C12H22O11. Galaktosa yang merupakan
hasil hidrolisa laktosa, merupakan senyawa yang penting untuk pembentukan
serebrosida. Serebrosida ini penting untuk perkembangan dan fungsi otak.
Galaktosa ini juga dapat dibentuk oleh tubuh (di hati) dari bahan lain (glukosa). 4

Gambar 2.1 : susunan kimia laktosa3

Enzim laktase merupakan kelas enzim β-galactosidase sehingga mempunyai


aktivitas glukosidase dan glukosicaramidase. Laktase memiliki dua sisi aktif yaitu
untuk memecah glukosa dan memecah pholorizin dan glikolipid. Gen pengkode
laktase ditemukan pada kromosom 2 berekpresi pada enterosit usus halus dan sangat

8
sedikit pada kolon selama perkembangan janin. Karbohidrat yang dimakan diserap
dalam bentuk monosakarida (glukosa, galaktosa dan fruktosa). Karena itu laktosa
harus dihidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa agar proses absorpsi dapat
berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase, suatu enzim yang terdapat di
brush border mukosa usus halus.3

Gambar : Cara kerja Laktase3


Enzim lain yang terdapat di brush border adalah sukrase, maltase dan
glukoamilase. Laktase dijumpai pada bagian luar brush border dan di antara semua
disakaridase, laktase yang paling sedikit. Bila ada kerusakan mukosa (serangan
gastroenteritis), enzim laktase yang selalu mendapat gangguan (defisiensi laktase
sekunder) dan hal ini yang paling sering dijumpai. Laktase akan kembali normal
kalau mukosa usus mengalami penyembuhan, namun memerlukan waktu.3
Pada janin aktifitas laktase mulai pada minggu 35- 38 meningkat sampai 70 %
dari bayi lahir aterm. Karena itu defisiensi laktase primer dijumpai pada bayi
prematur sehubungan dengan perkembangan usus yang immatur (developmental
lactase deficiency). Congenital lactase deficiency pada bayi baru lahir, merupakan
keadaan yang jarang dijumpai. Penyakit ini diturunkan secara autosomal recessive.3
Aktifitas laktase ini menurun secara nyata sejak umur 2 – 5 tahun (late onset
lactase deficiency) walau laktosa terus diberikan. Ini menandakan laktase bukan
enzim adaptif. Pada beberapa ras , terutama orang kulit putih di Eropa Utara,
beberapa suku nomaden di Afrika, aktifitas laktase pada manusia dewasa tetap
tinggi (persistence of lactase activity).3

9
2.3 Sindrom Malabsorbsi
Sndrom malabsorbsi ialah penyakit yang berhubungan dengan gangguan pencernaan
(maldigesti) dan atau gangguan penyerapan (malabsorbsi) bahan makanan yang dimakan. Dengan
demikian sindrom malabsorbsi dapat Berupa gangguan absorbsi (a). Karbohidrat. (b). Lemak. (c).
Protein. Pada anak yang sering dijumpai adalah malabsorbsi karbohidrat, khususnya
malabsorbsi laktosa (intoleransilaktosa) dan malabsorbsi lemak, walaupun demikian
berbagai sindrom malabsorbsi dapat terjadipada berbagai golongan umur.5
2.3.1 Malabsorbsi Lemak (Steatorrhea/Fatty Stool)
Di alam, bentuk trigliserida asam lemak umumnya mengandung atom C lebih dari 14,
seperti asam palmitat, asam stearat, asam oleat dan asam linoleat bentuk ini disebut LCT (Long
ChainTriglycerides). Disebut MCT (Medium Chain Tryglycerides) adalah trigliserida
dengan atom C612.
Gangguan absorbsi lemak (LCT) dapat terjadi pada keadaan :5
1. Lipase tidak ada atau kurang.
2. Conjugated bile salts tidak ada atau kurang
3. Mukosa usus halus (vili) atrofi atau rusak.
4. Gangguan sistem limfe usus.
Steatorea atau bertambahnya lemak dalam tinja merupakan suatu conditio sine qua non
untuk diagnosis malabsorbsi lemak.Prosedur yang paling sederhana ialah pemeriksaan tinja
makroskopis dan mikroskopis. Tanda-tanda makroskopis tinja yang karakteristik tinja berlemak ialah
lembek, tidak berbentuk (nonformed stool), berwarna coklat muda sampai kuning, kelihatan
berminyak.5

2.3.2 Malabsrobsi Protein (Infant Dietary Protein Intolerance)


Intoleransi protein makanan adalah sindrom klinis ketidakmampuan untuk
mencerna protein dengan baik dan oleh karena itu, nutrisi dari protein tidak dapat
diserap oleh tubuh. Secara klinis, ini tampaknya menjadi fenomena sementara dengan
durasi variabel pada anak-anak. Penyebab-nya sendiri dibagi menjadi penyebab
congenital yaitu :6

10
1. Cystic fibrosis
2. Sachwan-diamond syndrome
3. Enterokinase defisiensi
Dan penyebab yang didapat (Acuired) yaitu ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan rusaknya permukaan mukosa usus seperti extensive viral enteritis, milk
allergy enterophaty, dan celiac disease. Gejala jika terjadi malabsorosi protein adalah :
1. Masalah kulit, rambut dan kuku.
2. Kehilangan massa otot.
3. Meningkatnya risiko patah tulang.
4. Resiko infeksi.
5. Hati berlemak
6. Dapat menghambat pertumbuhan tubuh yang tepat pada anak-anak
2.3.3 Malabsorbsi Karbohidrat (Intoleransi Laktosa)
Karbohidrat dapat dibagi dalam monosakarida (glukosa,galaktosa, dan
fruktosa), disakarida (Laktosa, sukrosa dan maltose), serta polisakarida
(glikogen, amilum). Pada anak malabsrobsi karbohidrat yang sering dijumpai
adalah malabsrobsi laktosa.(Dibahas lebih lanjut pada 2.4)6
2.3.4 Shwachman-Diamond syndrome (SDS)
Shwachman-diamond syndrome adalah sindrom yang mempengaruhi banyak
bagian tubuh, terutama sumsum tulang, pankreas, dan sistem rangka. Sindrom
Shwachman-Diamond dapat disebabkan oleh gen SBDS, DNAJC21, EFL1, atau
SRP54 yang tidak bekerja dengan benar. Ini dapat diwariskan baik dalam pola
autosom resesif atau autosom dominan. Diagnosis SDS didasarkan pada gejala, tes
darah, dan tes genetik. Perawatan mungkin termasuk suplemen enzim dan vitamin,
transfusi darah, faktor perangsang koloni-granulosit (G-CSF), dan transplantasi sel
induk hematopoietik.7
Tanda dan gejala paling umum pada orang dengan sindrom Shwachman-Diamond
(SDS).7

11
1. Ketidakmampuan mencerna makanan karena kekurangan enzim pencernaan
2. Anemia
3. Sel darah putih rendah (neutropenia)
4. Trombosit rendah (trombositopenia)
5. Infeksi yang sering
6. Perawakan pendek
7. Kelainan tulang rusuk dan / atau tulang belakang
8. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

2.4 Intoleransi Laktosa


2.4.1 Defenisi
Intoleransi laktosa adalah suatu sindrome klinis yang terjadi akibat tidak
terhidrolisisnya laktosa karena defisiensi laktase yang ditandai dengan gejala
kembung, nyeri perut, flatuen, muntah. Atau Intoleransi laktosa adalah
ketidakmampuan tubuh untuk mencerna laktosa, yang merupakan gula dominan
dalam susu, dalam jumlah yang signifikan. Tidak semua orang yang menderita
defiensi laktase memiliki gejala, namun mereka yang memiliki gejala baru dapat
disebut sebagai penderita intoleransi laktosa.5,6
2.4.2 Klasifikasi
Defisiensi laktase dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu defisiensi laktase
primer dan defisiensi laktase sekunder. Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer
yaitu: 5,7
1. Defisiensi laktase developmental
Defisiensi laktase yang terdapat pada bayi prematur usia kehamilan 26-32
minggu. Kelainan ini diakibatkan karena fungsi brushborder di usus halus belum
maksimal.
2. Defisiensi laktase kongenital
Kelainan ini terjadi karna tidak didapatkan enzim laktase pada brush border epitel
usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup.

12
3. Defisiensi lactase genetik
Defisiensi laktase yang timbul secara perlahan sejak anak berusia 2-5 tahun
hingga dewasa. Kelainan ini banyak ditemukan pada ras yang tidak mengonsumsi
susu secara rutin dan diturunkan secara genetik dari autosomal resesif.
Defisiensi laktase sekunder disebabkan oleh penyakit gastrointestinal yang
mengakibatkan kerusakan mukosa usus halus seperti malnutrisi, infeksi saluran cerna
dan lain-lainnya. Defisiensi laktase sekunder bersifat sementara dan akan hilang bila
penyakit penyebabnya disembuhkan. Obat obatan tertentu dapat menjadi pemicu
defisiensi laktase sekunder seperti kinamisin, neomisin, dan metotreksat.5,7

2.4.3 Patofisiologi
Defisiensi laktase kongenital sangat jarang terjadi karena laktosa adalah
gula utama di dalam ASI, dan bayi memiliki laktase dalam jumlah yang cukup
untuk mencerna laktosa. Intoleransi laktosa kongenital diturunkan pada kromosom
autosomal resesif. Pada kasus ini, ujung villi mukosa intestinal tidak memproduksi
laktase sama sekali. Konsumsi laktosa, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun,
tidak dapat ditoleransi oleh usus dan bahkan berbahaya bagi bayi karena
menyebabkan diare yang berkelanjutan menjadi dehidrasi. Intoleransi laktosa tipe ini
biasanya tampak pada minggu pertama kehidupan bayi.8,9
Intoleransi laktosa primer adalah jenis intoleransi karbohidrat yang paling
banyak didapati dan dapat terjadi pada semua kelompok usia. Intoleransi laktosa
primer terjadi karena rendahnya kadar laktase, biasanya mulai terjadi setelah masa
kanak-kanak. Umumnya, aktivitas laktase menurun dengan inisiasi makanan
pendamping ASI. Gejala klinis menjadi nyata saat remaja. Defisiensi laktase ini
terjadi akibat mekanisme yang melibatkan perubahan sesuai perkembangan gen
yang mengatur laktase.5,8,9
Defisiensi laktase sekunder adalah kondisi defisiensi laktase akbat infeksi
(baik viral, bakterial, maupun parasitik), penyakit yang lain, atau terapi, yang
menyebabkan destruksi epitel mukosa usus diamana laktase biasanya aktif.

13
Penyebab tersebut antara lain gastroenteritis akut, Giardiasis, Ascariasis, penyakit
Crohn, celiac sprue,tropical sprue,enteritis akibat radiasi, diabetik gastropati, HIV
enteropati, kwashiorkor, kemoterapi, dan gastrinoma. Kondisi seperti ini
memerlukan manipulasi diet atau mengistirahatkan usus pada beberapa kasus
tertentu.5,8,9
Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak ada
penyerapan oleh mukosa usus halus. Disakarida ini merupakan bahan osmotik yang
akan menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding dengan jumlah laktosa
yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan rasa
mual, muntah dan peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang meninggi
menyebabkan waktu transit usus makin pendek sehingga mengurangi kesempatan
untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan air/elektrolit yang tidak diserap meninggalkan
usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini akan difermentasi oleh flora normal
menjadi gas (CO2, H2 dan CH4), asam lemak rantai pendek (butirat, propional dan
asetat) dan asam laktat.8,9
Pembentukan gas menyebabkan perut kembung dan sakit perut.Pembentukan gas
hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di udara pernafasan. Ini yang menjadi dasar
uji hidrogen pernafasan. Pembentukan asam lemak rantai pendek tadi diperlukan oleh
tubuh karena asam lemak ini dapat digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu
pembentukan asam lemak rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu
absorpsi air/elektrolit dan motilitas kolon.3,8
Lebih kurang 70 % dari nutrisi kolon berasal dari intraluminal, Karena itu secara
fisiologis, dalam keadaan normal dijumpai malabsorpsi laktosa/karbohidrat. Sedangkan
penyerapan asam laktat oleh kolonosit menyebabkan asidosis metabolik. Air/elektrolit
yang sampai di kolon dan hasil fermentasi tadi diserap oleh kolonosit (colonic salvage).
Bila colonic salvage dilewati, maka asam laktat banyak dijumpai di tinja yang akan
menyebabkan penurunan pH tinja. Demikian juga bila air/elektrolit dan laktosa yang
sampai ke kolon melewati colonic salvage, maka akan menyebabkan kadar air tinja

14
meningkat (diare osmotik) dan bahan-bahan reduksi (laktosa) dijumpai dalam tinja.3,8

Gambar 3.1 : Patofisiologi Intoleransi Laktosa10

Gambar 3.2 : Patofisiologi Intoleransi Lakstosa3

15
2.4.4 Manisfestasi Klinis

Gejala intoleransi laktosa cenderung terjadi antara 30 menit hingga 2 jam


setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung laktosa. Gejala
yang timbul antara lain kembung, kram, flatus, nyeri perut, mual, dan diare.
Laktosa yang tidak tercerna akan menumpuk di kolon, kemudian oleh koloni
bakteri di kolon akan difermentasikan, dan menghasilkan gas hidrogen. Laktosa
yang tidak diabsorpsi akan menyebabkan efek osmotik intralumen yang
menimbulkan diare. Fermentasi bakteri kolon mengakibatkan feses menjadi cair,
asam, berbusa, dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum). Gejala
yang timbul pada umumnya ringan, tidak spesifik, dan berbeda antar individu.
Gejala yang persisten dan lebih parah dapat mengindikasikan penyakit yang lain.
Perubahan faktor fisiologis dan psikologis juga dapat memberikan gejala yang
serupa. Tingkat keparahan gejala bervariasi, tergantung dari jumlah laktosa yang
dikonsumsi, kondisi saat laktosa dikonsumsi, kemampuan mentoleransi laktosa,
usia, dan etnis atau ras. Perkembangan gejala intoleransi laktosa berhubungan
dengan jumlah laktosa yang dikonsumsi dalam diet, kecepatan pengosongan
lambung, waktu transit di usus halus, serta kompensasi kolon dengan produksi
asam lemak rantai pendek dari laktosa yang tidak diabsorpsi.5,9

2.4.5 Penegakan Diagnosis

Diagnosis intoleransi laktosa dibuat dengan mempertimbangkan riwayat


makan, tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada
riwayat makan didapati bahwa penderita sebelumnya mengkonsumsi laktosa
yang ada dalam makanan atau minumannya, dan kemudian timbul gejala yang timbul
antara 30 menit hingga 2 jam kemudian. Karakteristik feses yang timbul adalah
encer dan disertai flatus, yang timbul beberapa jam setelah konsumsi laktosa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut yang makin parah bila perut ditekan.
Selain itu juga terdapat peningkatan suara peristaltik usus pada auskultasi.9,10

16
Cara termudah mendiagnosis intoleransi laktosa adalah dengan melakukan
eliminasi diet yang mengandung laktosa. Gejala akan timbul kembali apabila
diberikan kembali diet yang mengandung laktosa. Diagnosis intoleransi laktosa
ditetapkan berdasarkan kombinasi dari penemuan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
intoleransi laktosa, yaitu :9
1. Analisis tinja
Cara ini merupakan uji diagnostik yang paling sederhana dan dapat digunakan
sebagai uji tapis. Prinsipnya adalah ditemukan asam dan bahan pereduksi dalam
tinja setelah minum atau makan yang mengandung laktosa. Ada 3 macam metode
yang digunakan, yaitu: 9
a. Metode Clinitest: Metode clinitest bersifat kualitatif karena ion H dan gula
dipengaruhi oleh kandungan air dalam tinja.15 Prinsip kerja metode ini
berdasarkan terjadinya reduksi ion cupri (CUSO4 ).
b. Kromatografi tinja: Pemeriksaan ini menggunakan kertas kromatografi
untuk mengidentifikasi adanya gula dalam tinja.
c. pH tinja: Pada intoleransi laktosa, tinja bersifat asam dengan pH kurang
dari 6 dimana terdapat bahan pereduksi lebih dari 0,5%.7
2. Uji Toleransi Glukosa
Pada keadaan fisiologis, enzim laktase mengubah laktosa dalam sistem
pencernaan menjadi glukosa dan galaktosa yang dapat diabsorpsi ke pembuluh
darah; hati akan mengubah galaktosa menjadi glukosa, selanjutnya akan masuk ke
dalam sistem pembuluh darah, hal ini dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan TTL metode darah kapiler lebih disukai karena rasa nyeri yang lebih
minimal dan pelaksanaanya lebih sederhana, tetapi Duncan A menyatakan bahwa,
83% laboratorium di United Kingdom menggunakan sampel darah vena.
Diagnosis intoleransi laktosa dapat ditegakkan jika kadar glukosa darah 1.1
mmol/L). TTL memiliki nilai spesifisitas 96% dan sensitivitas 94%. 13

17
Pada pemeriksaan TTL pasien minum 50 gram laktosa yang dilarutkan dalam
air. Sampel darah kapiler diambil pada menit ke-5, 0, 15, 30, 45, dan 60 untuk
menilai konsentrasi glukosa plasma. Rata-rata nilai menit ke-5 dan 0 menit
merupakan nilai sebelum uji konsentrasi glukosa. Glukosa diukur menggunakan
Hemocure 201 yang telah dikalibrasi. Peningkatan glukosa plasma >1.4 mmol/L
menandakan intoleransi laktosa. Pencernaan laktosa secara fisiologis akan
meningkatkan kadar glukosa darah; jika setelah konsumsi laktosa tidak terjadi
peningkatan kadar glukosa darah, artinya ada intoleransi laktosa yang terjadi
karena kegagalan enzim laktase mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa
yang dapat diabsorpsi ke pembuluh darah. Proses fisiologis enzim laktase
mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa akan terhambat jika pasien
mengalami gangguan pencernaan berat seperti infeksi kolon, dan dapat
menghasilkan positif palsu.13
3. Ekskresi galaktosa pada urin
Sebagian besar (88-94%) galaktosa yang terbentuk dari hasil hidrolisis laktosa
di dalam usus halus akan di bersihkan di dalam hati dan diekskresi melalui urin.
Reabsorpsi galaktosa di tubulus ginjal jauh lebih sedikit dibanding glukosa,
sehingga ekskresi galaktosa di urin hampir sempurna. Dengan memberikan minum
larutan laktosa sebesar 2 g/kg berat badan dapat diukur kadar galaktosa di dalam
urin. Diagnosis malabsorpsi laktosa ditegakkan bila ditemukan kadar galaktosa di
dalam urin sebesar 0,9 mmol/ L atau kurang.13
4. Tes Napas Hidrogen (TNH)
Tes napas hidrogen paling sering dilakukan, dan sebagai gold standard untuk
mendiagnosis intoleransi laktosa. Pemeriksaan TNH adalah bagian dari proses
fisiologis tubuh manusia dalam keadaan berpuasa. Di kolon terdapat sangat
banyak bakteri anaerobik yang dapat menghasilkan gas hidrogen dalam jumlah
besar. Hidrogen juga dihasilkan pada metabolisme anaerobik. 13,15

18
Dasar metode ini adalah mengukur kadar gas hidrogen hasil fermentasi laktosa
oleh flora kolon yang dikeluarkan melalui udara napas. Makin banyak hidrogen
yang terukur berarti makin banyak laktosa yang difermentasikan, membuktikan
makin banyak laktosa yang tidak diabsorpsi di usus halus. Kadar hidrogen di
alveolus akan meningkat signifikan dalam 1 atau 2 jam (bergantung waktu transit
usus). Bacterial overgrowth (retrograd ke dalam usus halus) bisa menghasilkan
positif palsu. Negatif palsu pada 5-15% karena beberapa flora metanogenik
mengubah hidrogen menjadi gas methan; dapat dihindari dengan pemeriksaan gas
methan yang bercampur dengan gas hydrogen.13,15
Setelah dipuasakan selama 4-6 jam, pasien diberi larutan laktosa sebanyak
2g/kgbb. (maksium 50 g) dalam 300 ml air putih dalam konsentrasi 20% atau 10%
Pemerikaan TNH sulit dilakukan pada bayi, sebaiknya dilakukan tes melalui
sampel pH faecal dan faecal reducing substances. Tes pH faecal merupakan
marker pemeriksaan non-spesifik. Faecal reducing substances merupakan
pemeriksaan yang simpel dan non-spesifik untuk mendeteksi laktosa, glukosa, dan
fruktosa; jika dilakukan sesudah >3 jam dari pengambilan sampel, dapat negatif
palsu. Sampel udara TNH napas diambil setiap 30 menit sejak puasa, selama 2
jam. Konsentrasi gas hidrogen diukur menggunakan gas kromatografi atau
laktometer. Diagnosis intoleransi laktosa ditegakkan bila terdapat kenaikan kadar
hidrogen sama atau lebih dari 20 ppm. Sampel yang diambil adalah 4 sampel
napas saat pasien berpuasa. Dua hari sebelum TNH, pasien harus menghindari
makanan atau minuman, obatobatan atau suplemen yang tinggi serat.13,15

19
Gambar 3.5 : gambaran pemeriksaan TNH13

Gambar 3.6 : Gambaran hasil pemeriksaan TNH13

Gambar 3.7 : Gambaran hasil normal pada TNH/ negative intoleransi laktosa 13

20
Diagnosis positif intoleransi laktosa jika terjadi peningkatan di atas 20 ppm
pada lebih dari 60 menit atau dengan gejala klinis rasa mual, sakit perut, kembung dan
sering flatus. puncak nilai puncak kadar hidrogen tertinggi (50 ppm) terjadi pada
menit ke-90 dan 120 setelah dimulainya TNH. 13

Gambar 3.8 : Gambaran hasil positif pada TNH13


5. Tes Gen LCTC>T-13910
Lactase-phlorizin hydrolase (LCT), merupakan nama lain dari enzim
laktase yang berfungsi memecah laktosa menjadi monosakarida glukosa dan
galaktosa yang mudah diserap. Defisiensi LCT disebabkan penurunan aktivitas
LCT di vili usus halus, menyebabkan kaskade simtom intoleransi laktosa. Cara
pemeriksaan tingkat gen LCT harus melalui biopsi usus halus untuk mengukur
secara langsung aktivitas LCT. Gen LCT berukuran 20 kb berlokasi pada
kromosom 2. Teridentifikasinya variasi alel polimorfisme LCT C>T-13910 pada
gen lokus laktase dihubungkan dengan hipolaktase. Pada penderita intoleransi
laktosa terjadi polimorfisme pada posisi LCT C>T-13910. Usus halus normal
memiliki petanda gen T/T13910, sedangkan pada pasien intoleransi laktosa
memiliki petanda gen abnormal C/C13910 disebut abnormal karena memiliki daya
ikat yang lemah terhadap Oct-1 transcription factor yang dapat mempengaruhi
sekresi enzim laktosa.13

21
Patofisologi genetical lactase deficiency tingkat gen masih belum jelas,
namun lemahnya daya ikat petanda gen abnormal alel C/C-13910 dengan Oct-1
transcription factor menyebabkan adanya kelainan intoleransi laktosa tipe
Genetical lactase deficiency. Variasi daya ikat genotip C>T-13910 terhadap Oct-1
transcription factor menunjukkan kelainan elemen yang menentukan faktor
transkripsi pada regulasi sekresi enzim laktase di sel intestinal. Begitu pentingnya
ekspresi Oct-1 transcription factor yang berperan sebagai pengendalian enzim
tingkat gen oleh alel T/T-13910 (gen normal).13

Gambar 3.9 : Algoritma diagnosis13


3.5.7 Diagnosis Banding
1. Alergi susu sapi
Alergi susu sapi (ASS) dan intoleransi susu sapi seringkali ditafsirkan
sama, sehingga sering digunakan secara terbalik, yang membingungkan
masyarakat umum dan praktisi klinis.Seringkali kesalahan diagnosa intoleransi
laktosa terjadi karena gejalanya yang tumpang tindih dengan penyakit lainnya,
yaitu diare dan kembung. ASS adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi ini dapat terjadi segera atau lambat. Protein susu
sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada anak.

22
Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat
merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi terdiri 2 fraksi yaitu
casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu berbentuk kental (milky) dan
merupakan 76% sampai 86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat
dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu
α, αδ , β , κ dan γ. Beberapa alergen diketahui memiliki enzim protease untuk
meningkatkan daya penetrasi ke dalam jaringan dan menginduksi terjadinya
respon imunologis.25 Alergen penting yang terkandung di susu sapi adalah α-
laktalbumin, β-laktoglobulin dan αs-kasein.15,16

Tabel 3.1 : Perbedaan Alergi susu sapi dan intoleransi laktosa16

Gejala ASS pada umumnya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Dua
puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7 hari dan
68% setelah 1 bulan.Berbagai manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi terdapat 3
sistem organ tubuh yang paling sering terkena yaitu kulit, sistem saluran napas, dan
saluran cerna.16. - Gejala klinis yang dapat terjadi pada ketiga sistem tersebut
adalah :16
 Kulit: urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik
 Saluran napas: hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang dan asma

23
 Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar berdarah
 Gejala sistemik: syok
2. Chorn’s Disease
Penyakit Crohn adalah kondisi peradangan kronik, terus menerus, yang dapat
memengaruhi saluran cerna di semua bagian dari mulut sampai anus. 1 Penyakit
Crohn adalah peradangan kronis dari dinding usus yang biasanya melibatkan
bagian bawah dari usus kecil, bagian atas dari usus besar, atau keduanya tetapi
dapat memengaruhi setiap bagian dari saluran cerna. Sampai saat ini belum
diketahui etiologi penyakit Chron yang pasti. Banyak mediator inflamasi yang
telah diidentifikasi pada penyakit Crohn. Mediator-mediator tersebut memiliki
peran penting pada patologi dan karakteristik klinis penyakit ini. Sitokin yang
dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai rangsangan antigenik,
berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda, kemudian menghasilkan efek-
efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Penyakit Crohn ditandai oleh meningkatnya
rekrutmen dan retensi makrofag efektor, neutrofil, dan sel T ke dalam bagian
intestinal yang terinflamasi; sel-sel ini akan diaktivasi dan mengeluarkan sitokin
proinflamasi. Beberapa faktor lingkungan seperti perokok aktif, infeksi perut pada
bayi, keadaan sosioekonomi yang baik, serta hidup di negara maju daripada negara
berkembang ternyata juga dapat meningkatkan kejadian penyakit ini. Gejala yang
khusus untuk penyakit Crohn meliputi nafsu makan berkurang, penurunan berat
badan yang tidak disengaja, anemia, iritasi mata dan kulit dan kemerahan,
kelelahan, demam, nyeri atau nyeri pada persendian lebih jarang, tinja berdarah.
Sedangkan gejala yang menyerupai intoleransi laktosa adalah nyeri perut, diare.17

2.6.8 Tatalaksana
Manajemen kasus intoleransi laktosa cukup mudah, dan memerlukan
perubahan pola makan. Gejala intoleransi laktosa dapat dihilangkan dengan
mengurangi konsumsi makanan yang mengandung laktosa. Bayi yang lahir
dengan intoleransi laktosa sebaiknya tidak diberi makanan yang mengandung

24
laktosa. Anak-anak dan orang dewasa yang menderita intoleransi laktosa tidak perlu
menghindari makanan yang mengandung laktosa sepenuhnya, tergantung dari
kemampuan tiap individu untuk mentoleransi laktosa. Banyak penderita juga mampu
mentoleransi laktosa dengan mengkonsumsi produk susu dalam porsi kecil.5,9,14
1. Produk Bebas Laktosa dan Pengurangan Laktosa Penghindaran semua produk susu
Pada pasien dengan intoleransi laktosa tidak lagi dianjurkan untuk
menghindari produk dengan laktosa. Kebanyakan orangdengan intoleransi laktosa
dapat mentolerir hingga 12-15 gram laktosa per hari. Strategi untuk meningkatkan
toleransi makanan yang mengandung laktosa dengan tujuan meningkatkan
kecukupan gizi, menghindari defisiensi dan memperbaiki gejala. Orang dengan
intoleransi laktosa harus didorong untuk membatasi daripada menghindari laktosa
dengan tujuan memasukkan beberapa makanan olahan susu ke dalam makanan dan
untuk mendapatkan keuntungan dari nutrisi terkait dan ketersediaan hayati yang
lebih tinggi.14
2. Pengganti Non-Susu dan Perbandingan Nutrisi Inheren dengan Produk Susu
Konsumsi pengganti non-susu telah meningkat dan industri makanan
merespons dengan membuat produk ini lebih banyak tersedia di rak supermarket.
Produk-produk ini terutama berasal dari tumbuhan, seperti kedelai, beras, rami,
oat, kelapa, almond, dan kacang-kacangan lainnya. Mereka dapat diperkuat
dengan satu atau lebih zat berikut: kalsium, vitamin D, A, B12 dan Riboflavin atau
tidak sama sekali. Sampai saat ini, minuman kedelai empat lapis menempati urutan
kedua setelah susu sapi, secara nutrisi tetapi, seperti yang terlihat dari tabel, ada
minuman non-susu baru di blok yang disebut "susu nabati non-susu" atau "susu
kacang". Itu terbuat dari protein terisolasi kacang kuning fl kami. Ini melebihi susu
susu dalam protein dan kandungan kalsium, tetapi ketersediaan hayati masih
belum diketahui. Tidak semua minuman nabati dibuat menurut standar yang sama,
dan versi yang diperkuat akan menambahkan nutrisi dalam jumlah yang mirip

25
dengan yang ditemukan dalam susu, seperti kalsium, vitamin D, A, B12, dan
riboflavin.14
Produk susu yang dapat ditoleransi lebih baik oleh penderita intoleransi
laktosa adalah produk susu dengan bentuk padat atau semi padat, seperti keju
dan yogurt atau produk susu yang telah dikultur dengan bakteri. Bentuk produk
susu seperti ini mudah ditoleransi karena pengosongan lambung lebih lambat
pada makanan jenis ini daripada susu cair, dan kadar laktosanya lebih rendah.
Susu dan produk susu yang banyak mengandung laktosa juga kaya akan
kalsium. Oleh karena itu, penderita intoleransi laktosa yang membatasi
konsumsi susu dan produknya juga rawan defisiensi kalsium. Karena kalsium
sangat penting bagi pertumbuhan tulang, anak-anak dapat mengalami
gangguan pertumbuhan dan mineralisasi tulang sebagai akibat dari defisiensi
kalsium jika tidak mendapat asupan kalsium dalam jumlah yang cukup. Oleh
karena itu suplementasi kalsium diperlukan pada penderita intoleransi laktosa
yang membatasi konsumsi susu dan produknya, terutama anak-anak.
Sedangkan orang dewasa yang membatasi konsumsi susu dan produknya rentan
menderita osteoporosis karena defisiensi kalsium. Restriksi intik kalsium yang
berlebihan, yang tidak disadari akibat restriksi susu dan produknya,
menyebabkan beberapa masalah serius seperti berkurangnya massa tulang,
kecenderungan untuk mengalami osteopenia, dan meningkatnya resiko
osteoporosis serta patah tulang. Sumber kalsium, fosfor dan magnesium selain
susu adalah susu soya, yogurt soya, tahu, ikan laut dan produk laut lainnya,
biji-bijian, kacang-kacangan sayuran dengan warna hijau tua, jeruk, dan
14
beberapa buah lainnya.

26
Tabel 3.2 : Kandungan laktosa pada berbagai makanan9
3. Probiotik
β-galaktosidase bacterial berpotensi berguna untuk pencernaan kelebihan
laktosa usus dan dengan demikian menghindari gejala klasik LI. Banyak
bakterinya adalah penghasil asam laktat dan memenuhi syarat sebagai probiotik.
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup, bila diberikan dalam
jumlah yang cukup, yang memberikan manfaat kesehatan. Probiotik dapat
diberikan secara alami sebagai bagian dari fermentasi susu dan produk susu seperti
yogurt, kefir, leben, dan lain-lain. Probiotik dapat ditambahkan ke dalamnya atau
diberikan secara terpisah dari makanan lain. Yogurt diproduksi melalui fermentasi
oleh bakteri penghasil asam laktat. Organisme tradisional adalah L. bulgaricus dan
Strepthermophiles biasanya dalam jumlah 108 unit pembentuk koloni/mL. Bakteri
lain dengan sifat probiotik, seperti strain lactobacilli dan bifidobacteria lainnya,
dapat ditambahkan untuk menghasilkan yogurt probiotik. Bakteri ini memiliki β-
galactosidase (bakteri laktase) yang menghidrolisis laktosa dan menurunkan pH
yogurt. Selain itu, telah ditemukan bahwa pencernaan bakteri laktosa berlanjut di
usus halus. Hal ini menghasilkan lebih sedikit kekuatan osmotik yang diinduksi
laktosa yang mengarah ke waktu transit orocecal yang lama, serta lebih sedikit gas
dan nyeri perut.14
4. Enzim Oral Eksogen
Laktase yang diproduksi sebagian besar dari jamur atau ragi dapat digunakan
sebelum atau ditambahkan ke makanan olahan susu untuk membantu pencernaan
laktosa. Enzim tersedia dalam bentuk gel, cairan, kapsul atau tablet. Sebuah
penelitian yang diterbitkan sekitar 20 tahun lalu membandingkan tiga sediaan
laktase (2–4 kapsul atau tablet atau gel) dengan 3000 dan 6000 IU. β-

27
galaktosidase untuk susu yang mengandung 20 atau 50 g laktosa. Dalam kasus
susu, yang mengandung 20 g hidrogen napas laktosa, gejala berkurang secara
signifikan. Tidak ada perubahan signifikan yang dicatat dengan salah satu sediaan
untuk 50 g beban laktosa. Dalam studi yang lebih baru, dua tablet laktase yang
mengandung 7500 IU digunakan untuk menguji hasil 25 g laktosa dalam air
(laktosa setara dengan 500 mL susu). Hasilnya bervariasi pada 96 peserta yang
semuanya kekurangan laktase secara genetik. Sekitar 22% menjadi negatif, sekitar
18% ada penurunan yang signifikan dalam hidrogen napas yang diuji tetapi
sisanya tidak ada perbedaan yang signifikan dari baseline.14

28
BAB III
KESIMPULAN

Intoleransi laktosa adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat tidak
terhidrolisisnya laktosa karena defisiensi laktase yang ditandai dengan gejala
kembung, nyeri perut, flatuen, muntah. Defisiensi laktase dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder. Terdapat 3
bentuk defisiensi laktase primer yaitu Defisiensi laktase developmental, Defisiensi
laktase kongenital , Defisiensi lactase genetic dan Defisiensi laktase sekunder
disebabkan oleh penyakit gastrointestinal yang mengakibatkan kerusakan mukosa usus
halus. Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak ada
penyerapan oleh mukosa usus halus. Disakarida ini merupakan bahan osmotik yang
akan menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding dengan jumlah laktosa
yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan rasa
mual, muntah dan peningkatan peristaltik. Diagnosis intoleransi laktosa dibuat
dengan mempertimbangkan riwayat makan, tanda dan gejala, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Cara termudah mendiagnosis intoleransi laktosa adalah
dengan melakukan eliminasi diet yang mengandung laktosa. Gejala akan timbul
kembali apabila diberikan kembali diet yang mengandung laktosa, sedangkan gold
standar pemeriksaan intoleransi laktosa adalah tes nafas hydrogen (TNH). Intoleransi
harus dibedakan dengan alergi susu sapi yang sering disalhartikan menjadi sama dan
juga harus dibedakan dengan penyakit lain dengan gejala hamper sama seperti chorn
disease. Manajemen kasus intoleransi laktosa cukup mudah, dan memerlukan
perubahan pola makan. Gejala intoleransi laktosa dapat dihilangkan dengan
mengurangi konsumsi makanan yang mengandung laktosa atau mengganti dengan
produk dengan selain susu.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Widiawati A, Arum P. Kandungan Gizi Asi (Air Susu Ibu) Pada Berbagai Suhu
Dan Lama Penyimpanan Breast Milk Nutrient Content In Different Storage
Temperature And Duration. Progam Studi Gizi Klinik Jurusan Kesehatan
Politeknik Negeri Jember; Jawa Timur: 2018. Available from :
https://www.researchgate.net/publication/328418142_kandungan_gizi_asi_air_sus
u_ibu_pada_berbagai_suhu_dan_lama_penyimpanan_breast_milk_nutrient_conten
t_in_different_storage_temperature_and_duration
2. Hasna F, Imani M. Alergi Susu Sapi pada Anak. Universitas Diponogoro: 2017.
Available from : http://eprints.undip.ac.id/55194/3
3. Sinuhaji BA. Intoleransi Laktosa. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 6 (4): 2006.
[cited 9 April 2021]. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/15641/mkn-des2006-
%20(8).pdf?sequence=1
4. Buku Dasar Gizi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Andalas. 2020.
Available from :
http://repo.unand.ac.id/38178/1/Buku%20Ajar%20Dasar%20Ilmu%20Gizi%20Ke
sehatan%20Masyarakat.pdf
5. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. IDAI. Jilid 1: 2009.
6. Belethrie C, Zufarox T. Malabsorption Syndrome. NCBI Journal. [cited 13 april
2021]. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553106/
7. Kujippers T, Nannenber E, Alders M. Congenital Aplastic Anemia Caused by
Mutations in the SBDS Gene: A Rare Presentation of Shwachman-Diamond
Syndrome. Pdiatrics APP publications. [cited 13 april 2021]. Available from :
https://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/114/3/e387.full.pdf?downl
oad=true
8. Saputra AG, Intoleransi Laktosa: Variasi Pemeriksaan Penunjang Dan
Tatalaksana; Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan. Vol 6 (2): 2019. [cited 9

30
April 2021]. Avaialable from :
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/kesehatan/article/view/2260
9. Yohmi E, Boediarso E, Hegar B. Intoleransi Laktosa pada Anak dengan Nyeri
Perut Berulang. Sari Pediatri; Vol 2 (4); 2001. [cited 9 April 2021]. Available from
: https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/1015
10. Wicaksono AM. Intoleransi Laktosa. Mandala of Health; Vol 7 (1): 2014 [cited 9
April 2021]. Available from : https://docplayer.info/46727106-Intoleransi-laktosa-
madya-ardi-wicaksono-1.html
11. Panuganti KK, Malik TF. Lactose Intolerance. NCBI Bookshelf: 2018. [cited 9
April 2021]. Available from :
https://www.researchgate.net/publication/328653981_Lactose_Intolerance
12. Description of Primary Lactose Intolerance and Congenital Alactasia.
https://sites.google.com/site/lactoseintolerancemtwn9156283/1
13. Febyan, Wijaya SH, Ho S. Hudyono J. Berbagai Pemeriksaan Penunjang Terkini
untuk Diagnosis Intoleransi Laktosa. J. KedoktMeditek; Vol 22 (60): 2016. [cited
8 April 2021]. Available from :
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/download/1444/1569
14. Ishayek N, Szialgy A. Lactose Intolerance, Dairy Avoidance, and Treatment
Options. Nutrients; 2018. [cited 8 April 2021]. Available from :
http://www.mdpi.com/journal/nutrients
15. Siragar S, Zakuidin M. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata laksana Alergi Susu
Sapi. Sari Pediatri; Vol 7(4): 2006. cited 8 April 2021]. Available from :
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/841
16. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. IDAI; Ed 2: 2008.
17. Salwan H, Deny SY. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2016. Avaialable
from: https://media.neliti.com/media/publications/181788-ID-inflammatory-
bowel-disease-pada-anak.pdf.

31

Anda mungkin juga menyukai