Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

SKIZOFRENIA KATATONIK

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 26 Oktober – 11 November 2020

M. Rifqi Azrevi 04084821921049

Pembimbing:
dr. H.M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ(K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:


Skizofrenia katatonik

Oleh:
M. Rifqi Azrevi 04084821921049

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang periode 16 Oktober – 11 November 2020

Palembang, November 2020

dr. H.M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“Skizofrenia Katatonik” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
H.M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ(K) selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, November 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................III
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

BAB II STATUS PASIEN................................................................................. 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 21

BAB III ANALISIS KASUS............................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 47
BAB I
PENDAHULUAN

1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Ny. B
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Sudah nikah
Suku/Bangsa : Sumatera Selatan
Pendidikan : SD tidak tamat
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Ogan Komering Ilir
Datang ke RS : Selasa, 13 Oktober 2020
Cara ke RS : Diantar keluarga
Tempat Pemeriksaan : Poliklinik RSUD Ernaldi Bahar

B. ANAMNESIS
AUTOANAMNESIS DAN ALLOANAMNESIS
a. Keluhan utama
Pasien datang ke poliklinik RS Ernaldi Bahar karena tiga bulan
terakhir sering merasa cemas.
b. Riwayat perjalanan penyakit
± 5 tahun yang lalu, pasien mengeluhkan sering sesak. Pasien
berobat ke RS dan dilakukan tindakan catheterisasi namun tidak
ditemukan masalah. Diberikan obat pengencer darah. ± 4 tahun yang lalu
setelah beberapa kali berobat, pasien dikonsulkan ke bagian
psikosomatik. Lalu pasien datang ke dokter spesialis kejiwaan, dikatakan
pasien mengalami depresi akut. Pasien kontrol terakhir kali ± 3 tahun
yang lalu.

2
± 3 bulan yang lalu, pasien merasa sering cemas, pasien cemas
hingga sesak seperti tercekik dan berkeringat dingin. Cemas biasa
dirasakan saat pasien sedang sendiri di rumah. cemas juga dirasakan saat
pasien setelah melakukan aktivitas yang menyebabkan peningkatan
frekuensi napas. Pasien juga merasa cemas saat terjadi kejadian yang
tidak mengenakan. Kegiatan tidur, makan-minum, mandi serta MCK masih
biasa dan rutin pasien lakukan tanpa ada masalah. Pasien belum berobat.
± 1 minggu sebelum berobat, pasien mengeluh perasaan cemas yang
dialami semakin menjadi-jadi. Pasien mulai merasa cemas hampir setiap hari
sampai mengganggu aktivitas. Pasien merasa cemas akan terjadi hal yang buruk
pada dirinya seakan dirinya akan meninggal. Jika pasien cemas akan diikuti
berkeringat banyak, berebar, sesak, mual sampai merasa tercekik. Perasaan
cemas saat berada dikeramaian tidak ada. Perasaan cemas saat berada diluar
rumah tidak ada. Memikirkan suatu hal berulang kali dan melakukannya
berulang kali tidak ada. Perasaan cemas saat dirinya menjadi pusat perhatian
tidak ada. Pasien masih bersosialisasi dengan tetangga sekitar dan dengan
keluarga di rumah. Pasien mengaku tidak pernah mendengar bisikan-bisikan,
tidak pernah melihat bayangan-bayangan yang tidak nyata. Pasien tidak pernah
memiliki pikiran atau ide untuk mengakhiri hidupnya. Pasien berobat ke Poli
Jiwa RS. Ernaldi Bahar.

c. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat kejang : tidak ada
- Riwayat trauma : tidak ada
- Riwayat diabetes mellitus : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada
- Riwayat alergi : tidak ada
-
d. Riwayat pengobatan
Pasien belum pernah berobat.

3
e. Riwayat premorbid
- Pranatal dan perinatal : riwayat kehamilan ibu sehat

- Lahir : lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis

- Bayi : tumbuh kembang baik sesuai usianya

- Anak-anak : tumbuh kembang baik sesuai dengan anak


seusianya, sosialisasi baik
- Remaja : sosialisasi baik.

- Dewasa :, perilaku dan sosialisasi pasien baik.

f. Riwayat keluarga
- Pasien merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
- Anggota keluarga dengan gangguan jiwa disangkal.
- Riwayat pada keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
- Hubungan pasien dengan anggota keluarga lain cukup baik

Keterangan:
= Laki-laki
= Perempuan
= Pasien

g. Riwayat pendidikan
Pendidikan hanya sampai SD namun tidak tamat.

h. Riwayat pekerjaan

4
Pasien merupakan ibu rumah tangga.

i. Riwayat gaya hidup


- Riwayat minum alkohol (-), riwayat merokok (-)

j. Riwayat perkawinan
Pasien hanya menikah sekali 30 tahun yang lalu dan mempunyai 3 anak.

k. Keadaan sosial ekonomi


Pasien tinggal dirumah milik sendiri bersama suami dan anak-anaknya.
Suami pasien bekerja sebagai petani dengan penghasilan tidak menetap.
Sedangkan pasien hanya seorang ibu rumah tangga.

AUTOANAMNESIS
Wawancara dan observasi dilakukan pada Selasa, 13 Oktober 2020 pukul
10.00 WIB di Poliklinik RSUD Ernaldi Bahar Palembang. Pemeriksa dan pasien
berhadapan dengan posisi pasien duduk. Pasien memakai kerudung warna coklat,
berbaju tunik lengan panjang berwarna kuning, celana panjang berwarna merah.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasien memiliki
tingkat kesadaran compos mentis. Wawancara juga dilakukan dengan bantuan
alloanamnesis bersama anaknya.

Pemeriksa Pasien Interpretasi


(Psikopatologi)
“Selamat pagi pak. ”Iya” (Pasien membalas Penampilan: rapi
Saya Razan dan Syifa
sambil menatap pemeriksa) Compos mentis,
dokter muda disini.
Apakah ibu bersedia verbalisasi jelas dan
untuk diwawancara?”
cara bicara spontan
(Pemeriksa
tersenyum sambil dengan suara yang
menatap pasien)
kecil, ekspresi sesuai,
kontak psikis, fisik,
“Nama ibu siapa?” “Baidah” (pasien
mata dan verbal

5
menjawab sambil menatap adekuat
mata pemeriksa)
“Umurnya berapa “49 tahun” pasien Daya ingat baik
bu?”
menjawab sambil menatap
pemeriksa
“Ibu sudah menikah? “sudah 30 tahun” Daya ingat baik
Sudah berapa lama
bu?
“Pendidikan ibu “SD tapi tidak tamat” Daya ingat baik
sampai tingkat
pasien menjawab sambil
berapa?
menatap pemeriksa
“Ibu punya berapa “Ada 5” pasien menjawab Daya ingat baik
orang anak?”
sambil menatap pemeriksa
“Ibu pekerjaanya “ga bekerja dok cuma ibu Daya ingat baik
apa?”
rumah tangga” pasien
menjawab sambil menatap
pemeriksa
“3 bulan terakhir ini “Tidak dok” pasien Pekerjaan tidak
apakah pekerjaannya
menjawab sambil menatap terganggu
terganggu?”
pemeriksa
“Bagaimana “tidak ada masalah dok, Sosialisasi tidak
hubungan ibu dengan
saya masih bicara dengan terganggu
orang-orang di
sekitar?” tetangga, anak saya, suami
saya”
“Ibu datang ke sini “Anak saya dok” Orientasi orang baik
dengan siapa?”
(sambil menatap
pemeriksa)
“Apakah ibu tau “Tau dok, rumah sakit Orientasi tempat baik
tempat ini di mana?”
jiwa” pasien menjawab
sambil menatap mata

6
pemeriksa
“Sekarang pagi, siang “Siang” pasien menjawab Orientasi waktu baik
atau malem pak?”
dan menatap pemeriksa
“Ibu datang kesini “Saya sering merasa cemas, Discriminative insight
karena apa?”
sesak seperti tercekik dok” baik
“Kenapa ibu merasa “Ga tau dok, kadang saat Isi pikir menunjukkan
cemas? Apakah ada
saya sedang duduk bukti cemas
sesuatu yang terjadi?
perasaan cemas timbul,
Stressor tidak diketahui
kadang kalo saya sendirian
dengan jelas.
dirumah perasaan cemas itu
juga timbul dok”
“Saat ibu merasa “Rasanya tidak nyaman
cemas, apa yang ibu
dok, dada berdebar, sesak,
rasakan?”
serasa seperti tercekik,
seperti mau mati, bisa
sampai keringat dingin”
“Saat ibu merasa “Saya kadang berdzikir
cemas apa yang ibu
atau kalau ada yang
lakukan?”
menemani saya dipijit,
diusap-usap, sambil
mengatur napas hingga
tenang”
“Apakah ibu ada “Tidak ada dok” Pasien Persepsi baik,
dengar bisikan,
menjawab sambil menatap halusinasi tidak ada
terlihat bayang-
bayangan, mencium pemeriksa
bau bau atau merasa
ada yang merayap
tubuh ibu yang
menurut orang lain
tidak ada?
“Apakah ibu masih “Tidak ada” Pasien Keluhan lain dari segi
ada keluhan lain
menjawab sambil menatap fisik dan mental
selain cemas?

7
pemeriksa disangkal
“Apakah ibu “Tidak ada” sambil Waham dikejar tidak
merasakan ibu
menatap pemeriksa ada
dikejar?
“Apakah ibu “Tidak ada” Pemilikan pikiran baik
merasakan ada orang
lain yang masuk ke
pikiran ibu, ada yang
mengambil pikiran
ibu atau merasakan
pikiran ibu didengar
oleh semua orang?”
“Apakah ibu pernah “Tidak ada dok” Ide bunuh diri tidak ada
mempunyai ide untuk
menyakiti diri
sendiri?
“Apakah ibu pernah “Tidak ada dok” Ide membunuh orang
mempunyai ide atau
tidak ada
pikiran untuk
menyakiti orang lain”
“Apakah ibu “Tidak ada dok” Obsesi kompulsif tidak
memiliki pikiran atau
ada
melakukan tindakan
secara berulang-
ulang?”
“Bagaiman dengan “tidak ada keluhan dok, Gangguan tidur tidak
tidur ibu? Ada
nyaman saya kalau tidur” ada
keluhan?”
“Apakah ibu masih “masih dokter” Mood eutimik
suka melakukan hobi
ibu?”
“Gimana perasaan “Nyaman saja sekarang Mood eutimik
ibu sekarang”
perasaan saya dok”
“Apakah Ibu masih “Iya bisa” sambil menatap Gangguan fungsi
bisa merawat diri
pemeriksa aktivitas sehari-hari
sendiri seperti
makan, mandi? tidak ada
“Ibu sebelum ini “kalau cemas seperti ini Riwayat sebelumnya
pernah seperti ini?
rasanya belum pernah tidak ada
dokter”
“Apakah ibu ada “tahun 2014 dulu saya suka Riwayat penyakit
penyakit penyerta

8
lain seperti darah sesak dikatakan sakit dahulu ada
tinggi atau gula darah
jantung dok”
tinggi?”
“Mohon maap “Tidak ada dokter” Riwayat penggunaan
sebelumnya, apakah
alcohol dan Napza
ibu pernah konsumsi
alcohol, obat-obatan tidak ada
atau zat narkotika
seperti ganja, morfin,
sabu?
“Apakah ada “Sepertinya kakek saya Riwayat keluarga ada
keluarga ada yang
dokter”
punya keluhan yang
sama seperti ibu?”
“Ibu punya berapa “5 dok”
adek-beradek?
“Ibu anak ke “Anak pertama”
berapa?”
“Menurut ibu, apakah “Iya dokter, makanya saya Discrminative insight
ibu sedang sakit?”
berobat” baik
“Bagaimana ibu “Saya berharap bisa Discriminative
menilai masa depan
sembuh dokter” Judgement baik
ibu, kira kira seperti
apa?”
“Baiklah ibu, “Tidak ada, terima kasih
wawancaranya sudah
dokter.”
selesai. Terima kasih
sudah menjawab
pertanyaan kami.
Apakah ada yang
mau ditanyakan”

C. PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi nadi : 106 x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,70 C
Frekuensi napas : 26 x/menit

9
B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat syaraf kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
2) Gejala rangsang meningeal : tidak ada kelainan
3) Mata:
Gerakan : baik ke segala arah
Persepsi mata : baik, diplopia tidak ada, visus normal
Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor, Ø

3mm/3mm
Refleks cahaya : +/+
Refleks kornea : +/+
Pemeriksaan oftalmoskopi : tidak dilakukan
4) Motorik
Fungsi Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal
Kekuatan
5/5
Tonus Eutonik Eutonik Eutonik Eutonik
Klonus - - - -
Refleks + + + +
fisiologis
Refleks - - - -
patologis
5) Sensibilitas : normal
6) Susunan syaraf vegetatif : tidak ada kelainan
7) Fungsi luhur : tidak ada kelainan
8) Kelainan khusus : tidak ada

C. STATUS PSIKIATRIKUS
KEADAAN UMUM
Sensorium : Compos Mentis
Perhatian : Atensi bagus

10
Sikap : Kooperatif
Inisiatif : Baik
Tingkah laku motorik : Normoaktif
Ekspresi fasial : Cemas
Verbalisasi : Jelas
Cara bicara : spontan dengan volume suara yang besar
Kontak psikis : Ada
Kontak fisik : Ada
Kontak mata : Ada
Kontak verbal : Ada

KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)


a. Keadaan afektif
Afek : Sesuai
Mood : Eutimik

b. Hidup emosi
Stabilitas : stabil
Dalam-dangkal : dalam
Pengendalian : terkendali
Adekuat-Inadekuat : adekuat
Echt-unecht : echt
Skala diferensiasi : normal
Einfuhlung : bisa diraba rasakan
Arus emosi : normal

c. Keadaan dan fungsi intelektual


Daya ingat : Baik
Daya konsentrasi : Baik
Orientasi orang/waktu/tempat : Baik

11
Luas pengetahuan umum : Belum dapat dinilai
Discriminative judgement : Belum dapat dinilai
Discriminative insight : Baik
Dugaan taraf intelegensi : Belum dapat dinilai

d. Kelainan sensasi dan persepsi


Ilusi : tidak ada
Halusinasi : tidak ada

KEADAAN PROSES BERFIKIR


a. Arus pikiran
Flight of ideas : tidak ada
Inkoherensi : tidak ada
Sirkumstansial : tidak ada
Tangensial : tidak ada
Terhalang (blocking) : tidak ada
Terhambat (inhibition) : tidak ada
Perseverasi : tidak ada
Verbigerasi : tidak ada

b. Isi Pikiran
Waham : tidak ada
Pola Sentral : tidak ada
Fobia : tidak ada
Konfabulasi : tidak ada
Perasaan inferior : tidak ada
Kecurigaan : tidak ada
Rasa permusuhan : tidak ada
Perasaan berdosa : tidak ada
Hipokondria : tidak ada

12
Ide bunuh diri : tidak ada
Ide melukai diri : tidak ada
Lain-lain : tidak ada

c. Pemilikan pikiran
Obsesi : tidak ada
Alienasi : tidak ada

d. Bentuk pikiran
Autistik : tidak ada
Dereistik : tidak ada
Simbolik : Tidak ada
Paralogik : Tidak ada
Simetrik : Tidak ada
Konkritisasi : Tidak ada
Lain-lain
Neologisme : Tidak ada

e. Keadaan dorongan instinktual dan perbuatan


Hipobulia : tidak ada
Vagabondage : tidak ada
Katatonia : tidak ada
Kompulsi : tidak ada
Raptus/Impulsivitas : tidak ada
Mannerisme : tidak ada
Kegaduhan umum : tidak ada
Autisme : tidak ada
Deviasi seksual : tidak ada
Logore : tidak ada
Ekopraksi : tidak ada
Mutisme : tidak ada

13
Ekolalia : tidak ada

f. Kecemasan : Ada
g. Dekorum
Kebersihan : Cukup
Cara berpakaian : Cukup dan rapi
Sopan santun : cukup
h. Reality testing ability : RTA baik

D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan darah rutin : tidak dilakukan
c. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan
d. Pemeriksaan urin : tidak dilakukan
e. Pemeriksaan LCS : tidak dilakukan

E. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : F41.0 Gangguan Panik
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada kelainan
Aksis IV : Tidak ada
Aksis V : GAF scale saat ini 80-71

F. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
i. F41.0 Gangguan Panik
ii. F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh
iii. F40 Gangguan anxietas fobik

G. TERAPI

14
a. Farmakologis
- Lorazepam 2 mg 1x1/2
- Vortioxetine 5 mg 1x1/2 pc
- Diazepam 5 mg 1 x ½

b. Non farmakologis
 Suportif
- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam
menghadapi masalah.
- Memotivasi pasien agar makan dan minum yang cukup.
- Memotivasi pasien agar minum obat.
 Kognitif
- Menerangkan tentang gejala penyakit pasien terkait cara berpikir,
perasaan, sikap dalam menyikapi penyakit yang diderita.
 Keluarga dan Lingkungan
- Menjelaskan kepada keluarga mengenai keadaan pasien dan
memberikan dukungan kepada pasien.
 Religius
- Ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT.
- Memperbanyak ibadah seperti berdzikir, mengaji, dan puasa
sunnah.

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Serangan kecemasan akut yang intens disertai perasaan akan hal buruk yang akan
datang dikenal sebagai gangguan panik. Kecemasan itu ditandai oleh periode terpisah dari
ketakutan intens yang dapat bervariasi beberapa serangan selama satu hari menjadi hanya
beberapa serangan selama setahun. Pasien dengan gangguan panik memiliki dengan
sejumlah kondisi komorbid, paling sering agorafobia, yang mengacu pada rasa takut atau
kecemasan akan tempat-tempat yang mungkin sulit melarikan diri. 1
Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga dan
spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan bervariasi dari sejumlah
serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun. Setiap episode
berlangsung sekitar 15-30 menit, meskipun efek sisa dapat berlangsung lebih lama.
Serangan panik dapat terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap situasi
tertentu.10
Perlu diperhatikan bahwa serangan panik dapat terjadi pada gangguan anxietas
lain seperti pada fobia dan gangguan stres pascatrauma. Karena itu, perlu dengan teliti
membedakan ciri-ciri gangguan tersebut dengan gangguan panik. 1

3.2 Epidemiologi
Studi epidemiologis di negara barat melaporkan angka prevalensi seumur
hidup gangguan panik adalah 1.5 – 5 %, sedangkan serangan panik sebanyak 3-
5.6 %. Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat
menggambarkan jumlah pasien dengan serangan panik, namun para ahli
merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang berdatangan.1,8

Gangguan panik pada perempuan 2/3 lebih banyak daripada laki-laki. Pada
umumnya terjadi pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi pada usia berapapun. Sembilan puluh satu persen
pasien dengan gangguan panik dan 84 % dengan agorafobia berpontensi
mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya. Salah satu faktor yang
diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian
atau perpisahan yang baru terjadi. Lima belas sampai 30 % mengalami fobia
16
sosial, 2-20 % mengalami fobia spesifik, dan 15-30 % mengalami kecemasan,
hingga 30 % mengalami gangguan obsesif kompulsif. Gangguan panik dapat
timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood secara potensial
meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa didiagnosis
dengan atau tanpa agoraphobia.. Seringkali komorbiditas yang terjadi juga adalah
hipokondriasis, gangguan kepribadian dan gangguan terkait zat, serta penyakit
somatik seperti PPOK, IBS, migraine, dan meningkatkan frekuensi serangan
jantung.1,8,9

3.3 Etiologi
1. Faktor Biologis

Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah ditemukannya suatu


interpretasi bahwa gejala gangguan panik terkait dengan abnormalitas struktur dan
fungsi otak. Diperoleh data bahwa pada otak pasien dengan gangguan panik,
beberapa neurotransmiter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA
(Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem


perifer maupun sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus ditemukan
peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonom. Serangan panik merupakan
respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu
sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan hipokampus. Terdapat bukti
praklinis bahwa melemahnya tranmisi inhibisi lokal GABA di amigdala
basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis
mirip ansietas.

Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang


digunakan terbatas pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium laktat, dan
bikarbonat. Zat penginduksi panik neurokimia terutama memengaruhi reseptor
adrenergik, serotonergik, GABA di SSP secara langsung.

Pada studi pencitraan struktur otak, perubahan pada tampilan MRI juga
dilaporkan, yaitu adanya abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus temporalis

17
kanan dan kiri pasien. Pada positron emission tomography (PET), terlihat adanya
disregulasi aliran darah otak. Khususnya gangguan ansietas dan serangan panik
disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat menimbulkan gejala SSP seperti
pusing, yang dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia. 1,8

2. Faktor Genetik

Pada keturunan pertama pasien dengan gangguan panik dengan agorafobia


mempunyai risiko 4-8 kali mengalami serangan yang sama. Studi kembar yang
telah dilakukan saat ini umumnya melaporkan bahwa kedua kembar monozigot
lebih mudah terkena bersamaan daripada kembar dizigot.8

3. Faktor Psikososial

Jika ditinjau dari teori psikodinamik, analisis penelitian menyatakan bahwa pola
ansietas saat sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan orang tua yang tidak
mendukung, serta perasaan terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien,
rasa marah dan agresivitas sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan
gangguan panik, terdapat kesulitan mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi
yang terkait. Misalnya, pasien mempunyai harapan untuk balas dendam terhadap
orang tertentu.

Menurut teori kelekatan (attachment), pasien-pasien dengan gangguan


panik memiliki gaya kelekatan yang salah. Perpisahan atau kelekatan sering
dipandang sebagai hal yang menakutkan, antara lain kehilangan kebebasan
maupun kehilangan rasa aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam
keseharian pasien yang cenderung menghindari perpisahan, dan pada saat yang
bersamaan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens.1,8

3.4 Tanda dan Gejala


Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang.
Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala
otonomik, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering
dimulai selama 10 menit, kemudian gejala meningkat dengan cepat. Serangan
cemasnya disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan gangguan jantung,
18
yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti
tercekik.

Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya


menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut lagi (anticipatory
anxiety). Hal in sering membuat pasien mencari pertolongan ke RS terdekat.

Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang
sangat jelas diraskan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil
adalah spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan
peningkatan variasi pernapasan. Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang
tidak stabil bisa timbul tanpa terjadi serangan panik. Sebaliknya serangan panik
tidak selalu disertai pengukuran objektif dari hiperventilasi atau disfungsi
kardiovaskuler.

Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman
kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi.
Tanda fisik yang menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan berkeringat.
Serangan dapat berlangsung 20-30 menit, jarang lebih dari 1 jam.

Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan


bicara (gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi
dapat dialami saat serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut
mati karena masalah jantung atau pernapasan. Pasien sering merasa hampir-
hampir menjadi gila.

Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan menolak untuk


meninggalkan rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar. Pemeriksa harus
waspada terhadap tendensi bunuh diri. Gejala penyerta lainnya adalah depresi,
obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus waspada terhadap tendensi bunuh diri.1,8

3.5 Kriteria Diagnosis


PPDGJ IIIF41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)10

Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi dalam periode
kira-kira satu bulan.
19
a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;
b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya;
c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara
serangan-serangan panik (meskipun lazim terjadi ansietas antipatorik).

DSM V Gangguan Panik

DSM-5 menunjukkan kriteria dianostik dari gangguan panik sebagai berikut:

1) Serangan panik tidak terduga berulang. Serangan panik adalah sebuah


gelombang ketakutan yang sangat kuat akan ketidaknyamanan intens yang akan
mencapai puncaknya dalam hitungan menit, selama 4 menit (atau lebih).
Gejala-gejala yang terjadi:

a. Jantung berdetak lebih cepat

b. Berkeringat

c. Gemetaran

d. Sensasi sesak nafas atau rasa tercekik

e. Perasaan tersedak

f. Terasa nyeri di dada dan tidak nyaman

g. Mual atau sakit perut

h. Perasaan pusing atau pingsan

i. Menggigil atau sensasi panas

j. Sensasi geli

k. Perasaan tidak sadar

l. Takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”

m. Takut mati

2) Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari satu atau
kedua hal berikut:
20
a. Khawatir tentang panik tambahan atau konsekuensinya (Seperti, kehilangan
kontrol, mengalami serangan jantung, “menjadi gila”)

b. Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan


tersebut (contohnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan
panik, seperti menghindari latihan atau siatuasi yang tidak biasa.

Penjelasan tambahan

1. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat (pengobatan) atau
kondisi medis lainnya (misalnya, hipertiroidisme, gangguan kardiopulmoner)

2. Gangguan ini tidak dijelaskan dengan baik sebagaimental disfearedsocial


situation, seperti dalam gangguan kecemasan sosial, sebagai respon atas situasi
atau objek fobia tertentu, seperti dalam fobia spesifik; sebagai respon atas obsesi,
seperti pada obsessive-compulsive disorder; sebagai respon atas ingatan event
traumatik, seperti pada gangguan stress pasca-trauma; atau sebagai respon untuk
pemisahan dari attachment figure, seperti dalam separation anxiety disorder.

3.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding gangguan panik mencakup gangguan medis dan
beberapa gangguan jiwa lain.

Gangguan medis. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 91


% pasien dengan gangguan panik melaporkan adanya nyeri dada pada psikiater.
6,7
Bahkan seringkali datang ke unit gawat darurat dengan gejala mirip keadaan
berpotensi fatal, misalnya dokter berpikir tentang infark miokard. Anamnesis
medik lengkap dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Prosedur laboratorium
yang dilakukan mencakup hitung darah lengkap, urinalisis, uji tapis obat, dan
EKG. Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan,
kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik.1

Seringkali pasien dengan gangguan panik tidak mempercayai hasil


pemeriksaan jantung yang adalah normal. Ada suatu kecenderungan untuk
‘doctor shopping’ atau yang dikenal dengan sebutan gangguan somatoform,
seringkali pasien mulai melakukan pemeriksaan berulang sampai merasa yakin
21
bahwa tidak terjadi apa-apa pada jantungnya. Seringkali hal ini tidak dapat teratasi
jika gangguan panik yang mendasari belum teratasi. 1,12,13

Gangguan panik juga harus dibedakan dari sejumlah gangguan kejiwaan,


terutama gangguan kecemasan lainnya. Serangan panik terjadi pada banyak
gangguan kecemasan, termasuk fobia sosial dan spesifik, Kepanikan juga dapat
terjadi pada PTSD dan OCD. Kunci untuk mendiagnosis gangguan panik dengan
benar dan membedakan kondisi dari gangguan kecemasan lainnya melibatkan
dokumentasi kepanikan spontan yang berulang serangan di beberapa titik dalam
penyakit. Membedakan dari gangguan kecemasan menyeluruh juga bisa sulit.
Serangan panik ditandai dengan serangannya yang cepat (di dalam menit) dan
durasi pendek (biasanya kurang dari 10 hingga 15 menit), berbeda dengan
kecemasan yang berhubungan dengan gangguan kecemasan menyeluruh, yang
muncul dan menghilang lebih lambat. Namun, membuat perbedaan ini bisa jadi
sulit karena kecemasan serangan panik bisa lebih menyebar dan lebih lambat
untuk menghilang dari biasanya. Karena kecemasan sering terjadi bersamaan
dengan banyak gangguan kejiwaan lainnya, termasuk psikosis dan gangguan
afektif, membedakan antara gangguan panik dan banyak gangguan yang lain bisa
juga sulit.1

Terkadang sulit untuk membedakan antara gangguan panik dengan fobia


spesifik dan sosial, di sisi lain tangan. Beberapa pasien yang mengalami serangan
panik tunggal di kondisi spesifik (misalnya di Lift) dapat terus bertahan lama
menghindari kondisi tertentu, terlepas dari apakah mereka pernah mengalami
serangan panik lagi. Pasien-pasien ini memenuhi diagnostik kriteria untuk fobia
spesifik, dan dokter menilai diagnosis apa yang paling tepat. Contoh yang lain
misalnya, seseorang yang mengalami satu atau lebih serangan panik mungkin
takut berbicara di depan umum. Meski gambaran klinis hampir identik dengan
gambaran klinis dalam fobia sosial, diagnosis fobia sosial disingkirkan karena
menghindari situasi publik didasarkan pada ketakutan akan serangan panik
daripada takut berbicara di depan umum itu sendiri.1

22
3.7 Tatalaksana
Tatalaksana gangguan panik terdiri atas pemberian farmakoterapi dan
psikoterapi. Dari penelitian didapatkan bahwa bila hanya farmakoterapi saja atau
psikoterapi saja, maka angka kekambuhan akan lebih tinggi dibandingkan dengan
bila mendapat gabungan antara farmakoterapi dan psikoterapi.1,8

Farmakoterapi1,8,9,14

Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik,
yakni golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor), trisiklik, dan
MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan golongan benzodiazepin
hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam terapi gangguan panik.

1. SSRI
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam
rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu
serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari
yang terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan follow up
berikutnya.

Mekanisme Kerja SSRI


SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular
dengan cara menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel
presinaptik sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat
berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas
yang cukup baik terhadap transporter monoamin yang lain, seperti pada
transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah
terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki
desain obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target
biologi tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu
SSRI digunakan secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama
pengobatan antipanik.

23
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat
ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang
dikenal saat ini memiliki efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik.
Salah satunya, fluoksetin dalam salut memiliki masa paruh waktu yang panjang
sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu
waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawal yang dapat
terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.

Contoh Obat Golongan SSRI


Fluoksetin. Fluoksetin secara selektif menghambat reuptake seotonin
presinaptik, dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake
norepinefrin atau dopamine.
Paroksetin. Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara
kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan
memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.

Sertralin. Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi


yang lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoksamin. Fluvoksamin merupakan inhibitor selektif yang juga poten
pada reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-
adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih
sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.
Citalopram. Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi
selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik
obat ini lebih sedikit.
Escitalopram. Escitalopram merupakan enantiomer citalopram.
Mekanisme kerjanya mirip dengan citalopram.

Efek Samping SSRI

24
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh
mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang
timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8
minggu ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun
beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala,
tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat
badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh
diri dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.

2. Trisiklik/Tricyclic

Golongan trisiklikzat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk


mengatasi depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan
pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang
tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan
antidepresan lain yang terbaru.1,8
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya
cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan
makanan. Namun 35% penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena
efek samping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan
dosis kecil untuk menghindari amphetamine like stimulation. Biasanya
pengobatan dengan menggunakan trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-12
minggu untuk mencapai respon terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau
panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik
tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka
waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya
biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak pasien yang justru segera
menghentikan pengobatan meskipun efek terapinya belum tercapai.

Mekanisme Kerja Trisiklik

25
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI
(serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter
serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter
ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali
tidak bereaksi terhadap transporter dopamin sehingga efek samping akibat
peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat berkurang.1,9

Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga


bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and ),
5-HT2C 5-HT6, 5-HT7,
α1-adrenergic, and NMDAreceptors, dan sebagai agonists pada sigma receptors (σ1
and σ2), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya.
Trisiklik juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat
bereaksi dengan reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.

Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,


sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan sodium channel blocker dan calcium
channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan
kardiotoksik.

Contoh Obat Trisiklik

Imipramin (tofranil, tofranil-PM). Imipramine menghambat reuptake norepinefrin


dan serotonin pada neuron presinaptik.

Desipramin (Norpramin). Desipramin dapat meningkatkan konsentrasi


norepinefrin pada celah sinaptik SSP dengan cara menghambat reuptake-nya di
membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl
cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta adrenergik, dan regulasi reseptor
serotonin.

Clomipramine (Anafranil). Obat ini berefek langsung pada uptake


serotonin sedangakan pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini
diubah menjadi metabolitnya, desmethylclomipramine.
26
Efek Samping Trisiklik

Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang
berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering,
hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan
peningkatan temperatur tubuh.

Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit


tidur, akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang
rhabdomiolisis.
3. MAO Inhibitor

Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis


antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa
lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang
sudah resisten terhadap golongan trisiklik.

MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai


agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan
penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan
dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah


dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.

Cara Kerja MAOI


MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,
sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitter dan
meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan
MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine
and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine dan
sisa amina. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Obat MAOI

27
Phenelzine (Nardil). Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering
digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan melalui
superioritas yang jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk
mengatasi gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak
respon terhadap obat golongan trisklik atau obat antidepresi golongan kedua.
Tranylcypromine (Parnate). Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik
karena berikatan secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi
pemecahan monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.

Efek Samping MAOI

Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.


Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat
menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan
juga, maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang
dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.

Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis


hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin
menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini
norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran
norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan
bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis
hipertensi.

Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan


yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-
kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

4. Golongan Benzodiazepin

28
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat pilihan yang digunakan untuk
mengatasi serangan panik akut. Benzodiazepin digunakan hanya pada 4-6 minggu
pertama.
Cara Kerja Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA


(gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat
menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan
dapat mengakibatkan amnesia.

Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan long
acting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi
insomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi
gangguan panik.1,9

Contoh Obat Benzodiazepin

Lorazepam (Ativan). Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki


efek onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan
meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam
dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.

Clonazepam (Klonopin). Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter


inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang
sekitar 36 jam.

Alprazolam (Xanax, Xanax XR). Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk


manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada
beberapa bagian otak, termauk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak
ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena
tingkat ketergantungannya sangat tinggi.

29
Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol). Diazepam meruapakan salah
satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk
mengatasi serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin
biasanya berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di
antaranya adalah mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan
kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan,
terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan
kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.
Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan
terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat
timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera
makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk.
Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.1,8,9

5. Serotonine-Norepinephrine Reuptake Inhibitors


Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah
mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi
kepanikan.
Venlafaxine (Effexor, Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu
contoh obat inhibitor reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat
ini adalah menurunkan regulasi reseptor beta.

Interaksi Obat

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai interaksi obat yang
dapat terjadi.
Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) bila diberikan bersamaan
dengan haloperidol (phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan ekskresi dari
trisiklik sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya dapat terjadi

30
potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan
absorbsi dan lain-lain.
Obat trisiklik/SSRI bila diberikan bersamaan dengan CNS depressant
(alkohol, opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan
penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.
Obat trisklik/SSRI dan obat simpatomimetik (derivat amfetamin) bila
diberikan bersamaan dapat membahayakan kondisi jantung.
Obat trisiklik/SSRI dan MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena
dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan
trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4
minggu untuk wash out period.
Obat trisiklik bila diberikan bersama SSRI, dapat meningkatkan toksisitas
obat trisiklik.1, 8, 9, 14

Respons dan Durasi Farmakoterapi

Jika pasien gagal memberikan respons terhadap salah satu golongan obat,
golongan obat lain harus dicoba. Data terkini menyokong efektivitas venfalaxine.
Kombinasi SSRI atau obat trisiklik dan benzodiazepin atau SSRI dan litium atau
obat trisiklik dapat dicoba. Beberapa laporan kasus menunjukkan efektivitas
karbamazepin, valproat, dan calcium channel blocker yang mengesankan.
Buspiron dapat memiliki peran dalam memperkuat obat lain tetapi efektivitasnya
kecil.

Ketika efektif, terapi farmakologis umumnya harus diteruskan selama 8-12


bulan. Data menunjukkan bahwa gangguan panik adalah gangguan kronis yang
mungkin dapat terjadi seumur hidup dan akan kambuh jika terapi dihentikan
mendadak. Studi melaporkan bahwa 30-90 % yang mengalami keberhasilan terapi
mengalami kekambuhan ketika obatnya dihentikan.1, 8

Psikoterapi

31
 Terapi Relaksasi

Diberikan terhadap hampir semua individu yang mengalami gangguan panik,


kecuali yang bersangkutan menolak. Terapi ini bermanfaat meredakan secara
relatif cepat serangan panik dan menenangkan individu, namun itu dapat dicapai
bagi yang telah berlatih setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernapasan; dengan
cara menarik napas dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat;
mengendurkan seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif yang
diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing individu
melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung selama 20-30 menit
atau lebih lama lagi. Setelah itu individu diminta untuk melakukannya sendiri di
rumah setiap hari, sehingga apabila serangan panik muncul kembali, tubuh sudah
siap relaksasi.

Selain itu diberikan pula salah satu terapi kognitif perilaku atau psikoterapi
dinamik. Pemilihan jenis ini berdasarkan kondisi pasien saat itu, motivasi
individu, kepribadiannya, serta pertimbangan dokter yang melakukan.
Keberhasilan kedua jenis terapi ini bergantung atas motivasi pasien dan kesediaan
bekerja sama dengan terapis.1

 Terapi Kognitif Perilaku/Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode


restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti dari
terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran
otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang
berlebihan, seperti pada gangguan panik.

Pasien diajak untuk merekstrukturisasi kognitif, yaitu membentuk kembali


pola perilaku dan pikiran yang lebih rasional. Terapi biasanya berlangsung 30-45
menit. Pasien kemudian diberi pekerjaan rumah yang harus dibuat setiap hari,
antara lain membuat daftar pengalaman harian dalam menyikapi berbagai
peristiwa yang dialami baik mengecewakan, menyedihkan, atau menyenangkan.
Pekerjaan rumah ini akan dibahas pada kunjungan berikutnya. Biasanya terapi ini

32
memerlukan 10-15 kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih,
bergantung pada kondisi pasien yang mengalaminya.1, 8

Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi


pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat
mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik
dengan pemikiranpemikiran positif. Terapi relaksasi dan bernapas dapat
digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah
hypocapnia ketika serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat
dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter.

Namun salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy, dalam terapi
ini setiap pasien mengalami serangan, serangan tersebut diinduksi dalam
lingkungan yang terkontrol untuk memungkinkan pasien untuk menghadapi rasa
takutnya dan belajar menguasainya. Latihan seperti ini berlangsung selama satu
menit. Interoceptive theraphy terbukti berhasil pada 87% pasien harus dilakukan
dengan bantuan dokter di suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini
dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan panik
pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien
mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang
dapat dilakukan untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain2:

• Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi,


dan pandangan menjadi kabur
• Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat mengakibatkan rasa pusing
dan disorientasi
• Bernapas melalui pipet – ini dapat mengakibatkan sesak napas dan konstriksi
saluran napas
• Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang
ajal
• Menegangkan badan – untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada
Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit. Kuncinya
dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai
33
serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien
tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh
waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu. Pemaparan terhadap
stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar melalui pengalaman bahwa
semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak napas, pusing dan
pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika pasien mulai
menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus dan amygdala, yang
merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu
ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.

 Psikoterapi Dinamik

Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan hanya
dengan tujuan penghilangan gejala. Pada psikoterapi dinamik, biasanya pasien
akan lebih banyak berbicara dan dokter lebih banyak mendengarkan, kecuali pada
individu yang pendiam maka dokter yang lebih aktif. Terapi ini memerlukan
waktu panjang dapat berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Diperlukan
kesabaran keduabelah pihak dan kerja sama yang baik.8

 Aplikasi Relaksasi

Tujuan aplikasi relaksasi (misalnya Herbert Benson) adalah memberikan


pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melalui penggunaan
teknik standar relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai,
pasien memperlajari teknik yang dapat membantu mereka melewati serangan
panik.1, 8, 14

 Terapi Keluarga

Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah
dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan
pada edukasi dan dukungan sering bermanfaat.1, 8

 Psikoterapi Berorientasi Tilikan

34
Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas, situasi yang
dihindari, serta kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan apabila
berhasil.1,8

 Psikoterapi Kombinasi dan Farmakologi

Ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik,


psikoterapi dibutuhkan untuk mengurangi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Di
samping itu, intervensi terapeutik dibutuhkan untuk beberapa pasien yang
menolak obat dikarenakan stigma ‘sakit jiwa’, sehingga pasien dapat mengerti dan
menghilangkan resistensi terhadap farmakoterapi.1, 8

3.8 Prognosis1,8

Gangguan panik biasanya dimulai pada akhir masa remaja atau awal
dewasa, meskipun onset selama masa kanak-kanak, remaja awal, dan paruh baya
memang terjadi. Beberapa data mengimplikasikan peningkatan stressor
psikososial dengan timbulnya gangguan panik, meskipun tidak ada stresor
psikososial pasti dapat diidentifikasi dalam banyak kasus.

Gangguan panik, secara umum, adalah gangguan kronis perjalanannya


bervariasi. Studi follow-up jangka panjang yang tersedia tentang gangguan panik
sulit diinterpretasikan karena tidak terkontrol untuk efek pengobatan. Meski
demikian, sekitar 30 hingga 40 persen pasien tampaknya bebas gejala pada
follow-up jangka panjang, sekitar 50 persen mengalami gejala yang cukup ringan
tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan, dan sekitar 10 hingga
20 persen melanjutkan memiliki gejala yang signifikan.

Setelah satu atau dua serangan panik pertama, pasien mungkin relatif tidak
peduli dengan kondisi mereka; dengan serangan berulang, Namun, gejalanya
mungkin menjadi perhatian utama. Pasien mungkin mencoba merahasiakan
serangan panik dan karenanya menyebabkannya kekhawatiran keluarga dan teman
mereka tentang perubahan yang tidak dapat dijelaskan di tingkah laku. Frekuensi
dan tingkat keparahan serangan dapat berfluktuasi. Serangan panik bisa terjadi
35
beberapa kali dalam sehari atau kurang dari sekali sebulan. Asupan kafein atau
nikotin yang berlebihan dapat memperburuk keadaan gejalanya.

Depresi dapat memperumit gambaran gejala di mana saja dari 40 hingga 80


persen dari semua pasien, seperti yang diperkirakan oleh berbagai studi. Meskipun
pasien tidak cenderung berbicara tentang ide bunuh diri , mereka berisiko tinggi
untuk melakukan bunuh diri. Ketergantungan alkohol dan zat lainnya terjadi pada
sekitar 20 sampai 40 persen dari semua pasien, dan OCD juga bisa berkembang.
Keluarga interaksi dan kinerja di sekolah dan di tempat kerja secara umum
menderita. Pasien dengan gejala dan fungsi premorbid yang baik durasi singkat
cenderung memiliki prognosis yang baik.

3.9 Coping Mechanisms15

Coping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah,


menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang
mengancam. Secara umum, koping dibagi menjadi koping reaktif (reaksi
mengikuti stresor) dan koping proaktif (bertujuan untuk menetralkan penyebab
stres di masa depan). Sedangkan mekanisme koping ada dua macam :

 Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu


dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang
bersifat positif, rasional, dan konstruktif.
 Mekanisme koping maladaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang
bersifat negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaiakan
masalah secara tuntas.
Macam-macam koping yang berbeda ini terkait dengan input serotonergik
dan dopaminergik dari korteks prefrontal medial dan nukleus accumbens.
Neuropeptida vasopresin dan oksitosin juga memiliki implikasi penting terhadap
gaya koping.

Skala yang paling umum digunakan untuk mengukur jenis mekanisme


koping adalah COPE (Coping Orientation to Problems Experienced), Ways of
36
Coping Questionnaire, Coping Strategies Questionnaire, Coping Inventory for
Stressful Situations, Religious-COPE, dan Coping Response Inventory.

BAB IV
ANALISIS KASUS
37
Penilaian diagnosis pada pasien dinilai secara multiaksial menurut
PPDGJ III yaitu:
1) Aksis I
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan perasaan cemas yang
bermakna serta menimbulkan suatu distress (penderitaan) dan disability (hendaya)
dalam pekerjaan dan kehidupan sosial pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien ini mengalami gangguan jiwa. Hal ini sesuai dengan definisi gangguan
jiwa menurut World Health Organization (WHO) dimana didapatkan suatu
kelompok gejala atau perilaku yang secara klinis ditemukan bermakna dan disertai
dengan distress dan yang berkaitan dengan disfungsi/hendaya.
Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamnesis psikiatri dan
pemeriksaan fisik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi, trauma, sakit berat,
penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini dapat menjadi dasar untuk
menyingkirkan diagnosis gangguan mental organik (F.0). Selain itu, pasien juga
tidak pernah meminum alkohol ataupun obatobatan terlarang lainnya sehingga
dapat menyingkirkan diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
zat psikoaktif (F.1).
Berdasarkan anamnesis juga tidak didapatkan gangguan dalam
kemampuan menilai realitas yang bermanifestasi sebagai terganggunya kesadaran
diri (awarness), daya nilai norma sosial (judgement) dan terganggunya daya
tilikan diri (insight). Selain itu tidak dapatkan isi pikiran pasien yang bergema
dalam dirinya, isi pikirannya dimasukin atau diambil dari luar dan isi pikirannya
tersiar. Selain itu juga tidak didapatkan adanya waham baik waham dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu, dipengaruhi, waham dirinya tidak berdaya dan
pasrah dan pengalaman menerima mukjizat. Selain itu juga pasien tidak
didapatkan adanya halusinasi baik itu auditorik maupun visual. Hal ini dapat
menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis skizofrenia, skizotipal dan
gangguan waham.
Pada pasien juga tidak didapatkan gangguan suasana perasaan baik berupa
afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas
38
fisik dan mental. Selain itu pasien tidak didapatkan gejala depresi baik gejala
utama maupun gejala tambahan. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan
diagnosis gangguan suasana perasaan (F.3)
Pada pasien didapatkan perasaan dadanya berdebar, sesak, tercekik,
keringat dingin, dan rasa takut meninggal. Dimana perasaan kecemasan ini timbul
secara episodik dan pada keadaan yang secara objektif tidak ada bahaya. Pada
pasien ini sudah memeneuhi kriteria diagnosis panik menurut DSM V merupakan
suatu periode diskret rasa takut atau ketidaknyamanan yang intens dengan tiba-
tiba muncul 4 gejala dari 13 gejala dan mencapai puncaknya dalam 10 menit.
Sehingga pada pasien telah memenuhi kriteria panik menurut DSM V karena telah
memenuhi 5 kriteria.
PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. Pada pasien ini tidak ditemukan
gejala agorafobia, fobia sosial maupun fobia khas. Karena menurut pasien episode
kecemasannya ini dapat terjadi pada saat apapun, tidak terbatas pada kecemasan
pada saat di tempat terbuka ataupun di luar lingkungan keluarga. Sehingga dapat
disingkirkan gangguan ansietas fobik. Menurut PPDGJ-III kriteria diagnosis
gangguan panik, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat
dalam masa kira-kira satu bulan pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif
tidak ada bahaya, tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya (unpredictable situation), dengan keadaan yang relatif dari
gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan panik (meskipun
demikian umumnya dapat terjadi juga “anxietas antipsikotik” yaitu anxietas yang
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.
Pada status mental didapatkan selama wawancara pasien merasa gelisah.
Mood pasien cemas dengan afek terbatas dan serasi. Tidak ada gangguan persepsi.
Pada isi pikir terdapat cemas dan takut sehingga diagnosis untuk aksis I adalah
Gangguan panik (Ansietas Paroksismal Episodik) [F.41.0]. Diferensial diagnosis
pada kasus ini juga dapat disingkirkan yaitu diagnosis gangguan cemas
menyeluruh (F41.1). Hal ini dikarenakan tidak ditemukan ansietas yang
berlangsung setiap hari untuk beberapa bulan yang tidak terbatas atau hanya
39
menonjol pada keadaan tertentu saja. Karena pada pasien ini keluhan dirasakan
hampir setiap minggu yang hilang timbul.
2) Aksis II
Aksis II tidak ada diagnosis karena pada autoanamnesa dan aloanamnesis
tidak didapatkan gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak remaja.
Pasien tidak menyelesaikan pendidikan SMA karena terkendala biaya, bukan
karena kesulitan dalam belajar. Hal ini dapat menyingkirkan diagnosis retardasi
mental
3) Aksis III
Tidak ada kelainan
4) Aksis IV

5) Aksis V
Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam
kehidupannya menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF).
Pada saat dilakukan wawancara, adalah GAF 60-51 (gejala sedang,atau kesulitan
sedang dalam fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah). Hal ini ditandai dengan
pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri disertai gejala yang
ringan. Skor terendah adalah GAF 50-41 (gejala berat (serious) dan disabilitas
berat) karena saat wawancara pasien mengaku pernah mengalami beberapa kali
serangan gejala berat hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pengobatan yang dilakukan kepada pasien ini adalah dengan dua jenis
pengobatan. Pengobatan psikoterapi dan juga dengan pengobatan farmakoterapi.
Farmakoterapi dilakukan dengan pemberian 2 macam obat yaitu
antidepresan berupa Vortioxetine 5 mg 1x1/2 yang termasuk golongan SSRI dan
antianxietas golongan benzodiazepine berupa lorazepam 2 mg 1x1/2 dan
diazepam 5 mg 1 x ½. SSRI merupakan terapi pilihan utama dan efektif pada
gangguan panik. Benzodiazepine memliki aksi cepat pada serangan panik.
Pengobatan psikoterapi secara umum dapat berupa psikoterapi dari
keluarga yaitu bantuan keluarga baik dorongan, dukungan dan perhatian kepada
pasien, mengingatkan pasien untuk meminum obat dan pentingnya untuk rutin
40
minum obat, pendekatan edukatif supaya terjadi perbaikan pada kondisi pasien.
Selain itu, terapi yang dapat diberikan adalah psikoterapidalam bentuk Cognitive
Behavioral Therapy (CBT). Terdapat beberapa metode CBT, beberapa
diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan
terapi interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam
memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat
menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.

41
DAFTAR PUSTAKA
1. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder . In: Kaplan & Sadock's
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 11th Ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2015. Sec.9.2. p. 392-98.
2. Milrod, Leon, Busch, et al. A Randomized Controlled Clinical Trial of
Psychoanalytic Psychotherapy for Panic Disorder. Am J Psychiatry. 2007; 164 :
265-272.
3. Martin, Andres, Volkmar FR. Lewis’s Child and Adolescent Psychiatry : A
Comphrehensive Textbook. 4th Edition Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
4. Taylor CT, Pollack MH, LeBeau RT, Simon NM. Anxiety Disorder : Panic,
Social Anxiey, and Generalized Anxiety in Massachusetts General Hospital
Comprehensive Clinical Psychiatry, Mosby Inc. 2008; p : 429-433.
5. Katon WJ. Panic Disoder in The New England Journal of Medicine, June 1.
2006; p: 2360-2367.
6. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney Jr LM. editors. Current Medical Diagnosis
& Treatment. McGraw-Hill; 2008.
7. Katzung BG. editor. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi 10. McGraw-Hill;
2006.
8. Kusumadewi I, Elvira S. Gangguan panik. Dalam: Buku ajar psikiatri.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2013. h. 258-63.
9. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June
2011]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-
overview.
10. Departemen Kesehatan RI. PPDGJ III. Cetakan Pertama. 1993.h. 173-4,
178-9.
11. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC: APA; copyright 2000.
12. Katerndahl D. Chest Pain and Its Importance in Patients with Panic
Disorder: AnUpdated Literature Review. Primary Care Companion. J
Clinical Psychiatry 2008:10(5). Available
fromhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629063/.
13. Katherndahl D. Panic & plaques: Panic disorder and coronary artery
disease in patients with chest pain. Medscape Multispeciality. J Am Board
Fam Med. 2004:17(2). Available from
http://www.medscape.com/viewarticle/474286_4.
14. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited
on June 2011]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1.
15. Algorani EB & Gupta V. Coping Mechanisms. Updated on July 2020. [Cited on
Oktober 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559031/.

33

Anda mungkin juga menyukai