HIPERSENSITIVITAS
Di Susun Oleh:
1. Jumina Riski
Segala puji bagi Allah S W T , Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta,berkat
ridho Nya, saya akhirnya mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"HIPERSENSITIVITAS”
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami,
namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis tidak lupa pada kesempatan ini mengaturkan
terima kasih sedalam-dalamnya
Penyusun
II
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR II
1.3 Tujuan .3
2.1 Definisi 4
2.3 .Patofisiologi .5
D. Klasifikasi 5
H. Diagnostik ..12
I. Terapi ..12
J. Prognosis .14
Kesimpulan ..15
Daftar pustaka 16
III
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
1
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam mengenai
malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas serta
untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi dan Zat Gizi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
1. Faktor Internal
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
4
2.3 .Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut
beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian
2.4 Klasifikasi
1. Hipersensitifitas tipe I
5
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu
. 2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang
akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri,
virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten
akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing
tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
6
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Patogenesis kompleks imun terdiri
dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun
karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum
(serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks
imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
Diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu
lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa
contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan
spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada
daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu
awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
7
Tipe Waktu Histologi Atigen dan situs
reaksi
48-72 Eksim(Ekzim)
jam
Kontak Epidermal (senyawa
organik,jelatang atau poison ivy,
logam berat, dll
8
Tepi Mekanisme Imun Gangguan prototipe
9
2.5 Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain gejala sering
disertai pruritis
2. Demam
4. Limfadenopati
b. neuritis optic
c. glomerulonephritis
10
e. Gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi obat. Adapun
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar
IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
11
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
2.8 Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic
disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet,
sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish
related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus,
enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan
sebagainya.
3. Reaksi psikologi
2.9 Terapi
1) Menghindari allergen
2) Terapi farmakologis
a. Adrenergik
12
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih
efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig
E. Mukosa.
3) Imunoterapi
Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah
terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E
ragweed pada kadar berapapun
4) Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
13
2.10Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun
biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan
saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna
akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang.
Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara
bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang
menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak
periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai
dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-
hipersensitivitas.html http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.htm
16