Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PATOLOGI

HIPERSENSITIVITAS

Dosen Pengampu:ANGERNANI TRIAS WULANDARI, S.Kep, Ners. M.Tr.Kep.

Di Susun Oleh:

1. Jumina Riski

2. Haykal Wahyu Alam

3. Nur Shofiatul Arifah

STIKES AR-RAHMA MANDIRI INDONESIA 2021/2022


I
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah S W T , Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta,berkat
ridho Nya, saya akhirnya mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"HIPERSENSITIVITAS”

Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami,
namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis tidak lupa pada kesempatan ini mengaturkan
terima kasih sedalam-dalamnya

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pasuruan, 20 Mei 2022

Penyusun

II
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR II

DAFTAR ISI .III

BAB I: PENDAHULUAN ...........1

1.1 Latar belakang .1

1.2 Rumusan masalah 3

1.3 Tujuan .3

BAB: PEMBAHASAN ..4

2.1 Definisi 4

2.2 Etiologi ...4

2.3 .Patofisiologi .5

D. Klasifikasi 5

E. Tanda dan Gejala .10

F. Pemeriksaan Fisik ..11

G. Pemeriksaan Penunjang ..11

H. Diagnostik ..12

I. Terapi ..12

J. Prognosis .14

BAB : PENUTUP ..15

Kesimpulan ..15

Daftar pustaka 16

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan


permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

1
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?

2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?

4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?

8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?

9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

10. Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?

1.3 Tujuan

Ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam mengenai
malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas serta
untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi dan Zat Gizi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh


seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan
yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

2.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,


enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.

2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.

4
2.3 .Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut
beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian

2.4 Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.


Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.

5
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu

. 2. Hipersensitifitas tipe II

. Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga


menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi
normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang
akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri,
virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten
akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing
tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.

6
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Patogenesis kompleks imun terdiri
dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun
karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum
(serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks
imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,

Diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu
lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa
contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan
spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat

(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada
daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu
awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

7
Tipe Waktu Histologi Atigen dan situs
reaksi

48-72 Eksim(Ekzim)
jam
Kontak Epidermal (senyawa
organik,jelatang atau poison ivy,
logam berat, dll

Tuberkulin 48-72 Pengerasan(indurasi)lokal Intraderm(tuberculin,lepromin.dll)


jam

Granuloma 21-28 Pengerasan Antigen persisten atau senyawa


hari asing dalam tubuh(tuberculosis,
kusta etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis Tipe

8
Tepi Mekanisme Imun Gangguan prototipe

1 Tepi Alergen mengikut silang Anafilaksi, beberapa

Anafilaksi Antibody IgE pelepasan Bentuk asma brachial


amino vasoaktif dan
mediator lain dari basophil
dan sel mast rektumen sel
radang lain

2 Antibody terhadap IgG dengan antigen pada Anemia hemolitik


antigen jaringan tertentu permukaan sel fagositosis autoimun ,eretroblast
sel target atau lisis sel osis fetalis , penyakit
target oleh komplemen atau Goodpasture,
sitotosisitas yang diperantai pemphigus vulgaris
oleh sel yang bergantung
antibodi atau
IgMbberikatan

3 Penyakit kompleks imun Kompleks antigen Reahsi Arthua, serum


–antibodi mengaaktifkan sickness, lupus
komplemen menarik eritematosus
perhatian nenutrofil sistemik, bentuk
menjadikan pelepasan tertentu
enzim lisosom, radikal glumerulonefritis,
bebas oksigen,dll akut

4 H ipersensivitas seluler Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,


(lambat) pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,
sitotoksisitas yang penolakan transplant
diperantai oleh sel T

9
2.5 Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,


trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:

1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain gejala sering
disertai pruritis

2. Demam

3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi

4. Limfadenopati

a. kejang perut, mual

b. neuritis optic

c. glomerulonephritis

d. sindrom lupus eritematosus sistemik

10
e. Gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi obat. Adapun

Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal

4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibi

2.6 Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya


urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan

3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).

2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.

3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar
IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.

11
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.

5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.

6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).

7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.

8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

2.8 Diagnostik

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic
disease dan sebagainya.

2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet,
sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish
related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus,
enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan
sebagainya.

3. Reaksi psikologi

2.9 Terapi

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1) Menghindari allergen

2) Terapi farmakologis

a. Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol,


bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin,
pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap
alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

12
b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih
efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan


analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak
mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut.
Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig

E. Mukosa.

3) Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E


atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil
pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin
dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi.

Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah
terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E
ragweed pada kadar berapapun

4) Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

13
2.10Prognosis

Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun
biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan
saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna
akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang.
Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara
bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang
menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak
periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai
dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hepersensitivitas adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang ketika jaringan


tubuh yang normal mengalami cedera/ terluka. Reaksi alergi disebabkan oleh allergen
yang bervariasi bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe 1), tipeII, tipe III dan
tipe IV.2. penyakit autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang
membuat badan menyerang jaringanya sendiri.

15
DAFTAR PUSTAKA
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-
hipersensitivitas.html http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.htm

16

Anda mungkin juga menyukai