KELOMPOK DISKUSI 2
1. Arifna Fitriyanti
2. Chandra
3. Adinda Hari Utary
4. Fildzah Aisyah
5. Muhammad Irfan
6. Tiara Grhanesia Denashurya
7. Antony Halim
8. Meliani Fransiska Andita
9. Siti Hani Amiralevi
10. Nunung Agustia Rini
11. Egy Septiansyah
I11111005
I11112028
I11112072
I1011131010
I1011131014
I1011131016
I1011131029
I1011131031
I1011131048
I1011131080
I1011131088
Perempuan 22 tahun
Batuk
Agitasi
Inkoheren
Alergi kacang
Bradipneu
Takikardi
H.
I.
J.
K.
L.
M.
Hipertermi
SaO2 82%
Tekanan darah 80/62 mmHg
Sulit bernapas
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
AP.
AQ.
AR.
AS.
AT.
AU.
AV.
AW.
BAB II
AX.
PEMBAHASAN
2.1 Hipersensitivitas1
A. Hipersensitivitas Tipe I
AY.
Pada reaksi tipe 1, antigen (disebut juga alergen) yang membuat pejamu
peka terhadapnya dikenali oleh sel B. Sel ini kemudian dirangsang untuk
membuat antibodi IgE. IgE mengikat antigen yang berdekatan dengan
basofil atau sel mast oleh reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada selsel tersebut. Alergen yang menyerang biasanya memiliki valensi ganda
(banyak tempat pengikatan IgE), sehingga alergen tersebut benar-benar
berikatan dengan beberapa antibodi IgE secara bersamaan. Pengikatan ini
memicu terbentuknya jenjang sinyal yang menyebabkan degranulasi sel
mast dan basofil, serta pelepasan histamin, sitokin, kemokin, dan leukotrien.
Perantara ini, seperti halnya komplemen dan faktor kemotaktik eosinofil
yang teraktivasi, menyebabkan vasodilatasi perifer dan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi bengkak terlokalisasi dan edema.
Gejala-gejala bersifat spesifik bergantung pada di mana respons alergi
reaksi anafilaktik. Anafilaksis melibatkan respons cepat IgE sel mast setelah
pajanan ke suatu antigen dan individu sangat peka terhadapnya. Dapat
terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin sehingga tekanan
darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah sistemik selama reaksi
anafilaktik disebut syok anafilaksis. Karena histamin adalah konstruktor
kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksis juga menyebabkan
penutupan saluran napas. Gejala reaksi anafilaktik adalah gatal, kram
abdomen, kemerahan kulit, gangguan saluran cerna, dan kesulitan bernapas.
B. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
BA.
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang
antigen-antigen jaringan. Reaksi tipe II terjadi akbiat hilangnya toleransi diri
dan dianggap suatu reaksi otoimun. Sel-sel sasaran biasanya dihancurkan.
BB.
Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi-antigen menyebabkan
pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, edema interstisial, kerusakan
jaringan dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel-sel pejamu
oleh makrofag.1
BC.
Contoh penyakit otoimun tipe II adalah penyakit Grave, yang
ditandai oleh terjadinya pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid;
anemia hemolitik otoimun ketika antibodi dibentuk terhadap sel darah
merah; reaksi transfuse, yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap sel
darah donor; dan purpura trombositopenik otoimun, yaitu terjadi
pembentukan antibodi terhadap trombosit.1
C. Hipersensitivitas Tipe III
BD.
Hal ini terjadi sewaktu kompleks
antigen-antibodi
yang
khusus hanya dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen
dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast
dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi.2
B. Etiologi
BI.Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara
umum hipersensitivitas dibagi menjadi 4 golongan, yaitu hipersensitivitas
tipe 1, 2, 3, dan 4. Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme patologik
utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. Reaksi tipe
1, 2, 3 terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi sehingga
termasuk reaksi humoral, sedangkan tipe 4 termasuk reaksi seluler.
Hipersensitivitas tipe 1 terjadi karena adanya antigen lingkungan (allergen
luar) berinteraksi dengan respon antibodi (IgE), sehingga menyebabkan
penglepasan berbagai mediator oleh sel mastoid (mast cell) yang akan
mengakibatkan inflamasi.
BJ.
protein atau zat kimia yang terpapar secara kronik. Pemaparan antigen
sebelumnya secara alami merupakan faktor penting untuk menentukan
tingginya kadai IgE spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap antigen
tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopic terhadap antigen
bersangkutan. Hal ini penting terutama bila antigen lingkungan ini
merupakan zat yang berbahasa. Paparan pertama kali terhadap toksin
sengatan serangga biasanya terabaikan karena tidak menimbulkan gejala dan
individu tersebut belum memiliki IgE spesik terhadap toksin tersebut,
sengatan kedua oleh spesies yang sama dapat mengakibatkan keadaan fatal.3
BK.
BL.
BM. Sindr
Respon
BQ.oma
Anafilaksis
BR. Obat
Edema
sistemik
BS.
Serum
Meningkatkan
BT.
Bisa Makanan
permeabelitas
BU. Intravena
BV.
vaskuler
Edema laring
BX. Biduran
BY. Rambut
BZ.
akut (wheal-and-
binatang
kulit Sistemik
flare)
Gigitan
Masuk
CA. Peningkata
n aliran darah dan
permeabilitas
vaskuler lokal
CB. Alergi
serbuk bunga
CG. Asma
Inhalasi
CK. Inhalasi
CF.
Edem
pada
mukosa
nasal
CL.
Kontriksi
CI.
Serbuk sari
bronkus
CJ.
Feses tungau
Peningkatan
produksi
Inflamasi
saluran
CV.
Muntah
CM. Alergi
CN. Kacang-
makanan
kacangan Kerang
CW. Diare
CX. Pruritus
CP.
CY.
Susu
CQ. Telur
CU. Oral
mukus
Urticaria
Anafilaksis
CR. Ikan
CS.
Kedelai
CT.
Gandum
CZ.
C. Faktor resiko4
1. Riwayat keluarga
DA. Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk
mengembangkan respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah
terbentuk sejak dini pada masa gestasi. Berbagai regio kromosom
terkaitdengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada
kromosom 5, 6,11, 12, 13, dan 16. Berbagai lokus genetik
mempunyai hubungan dengan asma dan dermatitis atopi yaitu
5q31-33, 11q13 dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang
mengandung gen sitokin Il-3, IL-4, IL-5, Il-13 dan GM-CSF yang
diekspresikan oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor
genetik pada penyakit alergi.
2. Faktor lingkungan
DB.
terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat
terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.
Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah
adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan
berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil.
Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase
sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka
pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan
bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.2
DG.
memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit
atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen,
maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di
sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi
menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya
urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan
mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan
metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein
(sitokin and enzim).5
DH.
DI.
DJ.
DK.
DL.
kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat
dilihat bawha walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan
basofil dapat tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi
atopic serum yang mengandung IgE.5
E. Manifestasi klinis
DN.
sistemik atau reaksi lokal. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan
antigen. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak),
dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru yang diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema
laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan bagian atas. Selain itu, semua otot saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.6
DO.
atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan
bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak
dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada
gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan
respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh
utama pada syok anafilaktik.
2. Sistem sirkulasi
DS. Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari
gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan
sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi
merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi
sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga
banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi
hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi
gagal sirkulasi atau henti jantung.
3. Gangguan kulit
DT.
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan
nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
4. Gangguan gastrointestinal
DU. Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.7,8
DV.
DW.
F. Diagnosis
DX.
keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk
membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.9
DY.
secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam
(syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang
rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.9
EB.
EC.
ED.
kombinasinya.
EF.
Airway Problem :
a. Pembengkakan
jalan
nafas
seperti
tenggorokan
dan
lidah
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari
reaksi anafilaksis.
a. Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
b. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan
mukosa, atau
keduanya
c. Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
d. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.
e. Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan.10
G. Tatalaksana11
EJ.Tatalaksana pada hipersensitivitas dilakukan dengan berbagai
teknik seperti dibawah ini :
1. Hiposensitisasi
EK.
Hiposensitisasi (imunoterapi alergen sistemik) merupakan standar
perawatan individu yang terserang bisa serangga (hipersensitivitis yang
dimediasi IgE), dan memiliki hasil yang menguntungkan pada pasien
yang terpapar serbuk sari dan alergen seperti debu dan bulu kucing.
napas, dan selanjutnya meningkatkan respons bronkial. Agonis adrenergik, metilxanthin, dan komponen antikolinergik merupakan
obat utama yang digunakan.
EP.
c. Agonis -adrenergik
EQ.
Agonis -adrenergik (epinefrin, isoproterenol dan albuterol)
meningkatkan kadar cAMP dengan menstimulasi membran adenilat
siklase secara langsung, menghambat degranulasi sel mast dan basofil.
Epinefrin merupakan drug of choice dari terapi reaksi alergi berbahaya
seperti anafilaksis. Pasien yang berisiko mengalami reaksi anafilaksis
disarankan untuk selalu membawa alat injeksi yang bertujuan dalam
pemberian
dosis
terapi
epinefrin
jika
diperlukan.
Epinefrin
bronkodilator.
Ini
menyebabkan
peningkatan
fungsi
fosfodiesterase,
tipe I adalah dengan menghindari pemicu alergi. Jika dalam kasus ini pasien
b.
melepaskan
isinya
yang
berupa
granula
yang
antigen-antibodi
arakidonat
dari
merangsang
membran
sel
yang
degradasi
akan
asam
menghasilkan
setelah
degranulasi
yang
disebut
Newly
formed
mediators.
EY.
c.
permeabilitas
edema,
sekresi
kapiler
mukus
yang
dan
nantinya
vasodilatasi.
menyebabkan
bronchokonstriksi,
demikian
juga
dengan Leukotrien.9
EZ.
dalam
menit
saja.
Anafikasis
adalah
reaksi
FA.
ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan
mata berair. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edem jalan nafas, atau laring dengan dispneu,
batuk dan mengi. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edem
laring, dispneu berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.12
FB.
klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi
beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi
moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen;
serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.9
FF.
dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat
dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering
dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal
pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual,
pusing, lemas dan sakit perut. Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh
penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada
susunan saraf pusat.13
1.7 Penyebab hipotensi
FG.
Pada kasus terjadi pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast yang
diakibatkan adanya pajanan alergen. Ketika ada bahan alergen yang masuk
setelah pernah sebelumnya mengalami pajanan maka akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler dan dan
terjadinya reaksi inflamasi. Hal tersebutlah yang mendasari penyebab
terjadinya kekurangan suplai nutrisi akibat peningkatan permeabilitas
kapiler. Terjadinya syok merupakan suatu tanda bahwa tubuh sudah mulai
kesulitan dalam mengompensasi suplai nutrisi keseluruh jaringan, oleh
sebab jantung akan lebih berusaha memompa darah ke organ-organ vital
seperti otak, paru, hati, jantung dan ginjal serta meminimalisir suplai darah
ke organ-organ perifer. Pada kasus didapatkan data bahwa SaO2 sebesar
82%, hal itu menandakan pasien tersebut telah mengalami penurunan
saturasi oksigen yang seharusnya minimal adalah 95%. Penurunan saturasi
oksigen tersebut yang merupakan salah satu penyebab pasien berbicara
inkoheren karena sulit untuk berpikir, selain itu penyempitan jalan nafas
juga merupakan salah satu pasien sulit berbicara.13
1.9 Hubungan riwayat alergi pada keluarga dengan kasus
FJ. Dalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah
diketahui bahwa masyarakat pada negara-negara maju mempunyai
kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah besar terhadap paparan
bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi
oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus gen. Individu atopi
mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian
juga level eosinofilnya jika dibandingkan orang normal. Individu atopi
mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan
alergi serbuk bunga.
FK.
Faktor
genetik
dan
lingkungan
masing-masing
dan alergi secara moderat, karena hanya berlaku bagi individu dengan
genotip yang sensitif. Sedikitnya paparan mikrobia patogen telah dianggap
menjadi faktor meningkatnya kejadian alergi. Sampai saat ini hal tersebut
menjadi perhatian khusus sejak ide itu diperdebatkan mulai tahun 1989.
paling tepat saat ini untuk memprediksi penyakit atopi adalah skor nilai
atopi keluarga. Hubungan antara riwayat atopi keluarga dengan dermatitis
atopik memiliki sensitifitas 80% dan spesifitias 85% (p<0,01), dan dapat
digunakan sebagai identifikasi dini resiko alergi pada neonatus. Nilai atopi
keluarga diberikan kepada semua anggota keluarga dengan tanda-tanda
alergi seperti dermatitis/ eksim, diare, muntah, kolik, pilek, nafas berbunyi
dan asma. Nilai 2 diberikan kepada anggota keluarga yang dinyatakan oleh
dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan kepada anggota
keluarga yang diduga terkena alergi, dan nilai 0 diberikan kepada anggota
keluarga yang tanpa riwayat alergi apapun. Nilai atopi keluarga yang
diperoleh kemudian dijumlahkan dan dibagi menjadi 3 kelompok besar
yaitu nilai atopi 0, 1-3 dan 4-6. Nilai atopi keluarga 0 merupakan tingkat
risiko kecil (5-15%), nilai atopi 1-3 merupakan tingkat risiko sedang (2040%), dan nilai atopi 4-6 merupakan tingkat risiko tinggi (40-60%).14
1.10 Tatalaksana kegawatdaruratan pada kasus15
1.
Penderita tidur terlentang kaki naik 300
2. Pada penderita yang sadar:
3. Jaga ABC
4. Berikan adrenalin 0,3-0,5 mg SC/IM/IV
5. Boleh diulang 5-10 menit
6. Aminofilin 5 mg/kgBB 20 menit
7. Lanjutkan 0,4-0,9 mg/kgBB/jam
8. O2 100%
9. Kristaloid / koloid sesuai kebutuhan
10. Intubasi bila perlu.
1.11 Edukasi pada kasus dan pencegahan16
anafilaksis dapat memiliki gejala yang jauh lebih berat, oleh karena itu
setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh pengobatan yang
optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak
menggunakan obat -inhibitor, karena apabila terjadi reaksi anafilaktik,
pengobatan yang diberikan sulit. Sebaiknya diberikan obat subsitusi inhibiors.16
FR.Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan
untuk menghindari reaksi anafilaksis. Greenberger dkk memberikan
prednisolone dan antihistamin sebelum memberikan media kontras
pemeriksaan radiologic pada pasien yang beresiko. Tindakan desinsitasi
jangka pendek dengan penisilin. Desinsitasi jangka panjang diberikan
kepada pasien yang alergi terhadap sengatan tawon.16
FS. Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar
kejadian tersebut tidak terulang kembali. Sangat dianjurkan untuk lebih baik
melakukan tindakan berhati hati atau pencegahan, daripada menghadapi
reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya pasien
yang meninggal karena syok anafilaktik. 16
FT. Akan halnya dengan obat obat bsebagai penyebab anafilaksis,
tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya penisilin, berbagai macam
hormon, serum, dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada
beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan memberikan obat
kadang kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara tersebut juga bisa
mencetuskan anafilaksis 16
1.12 Interpretasi data tambahan17
FU.
FV.Hasil
FW.
Normal
FX.
pemeriksaa
FY.Hb
GC.
Eritr
Inter
pretasi
n
FZ.12 g/dL
GA.
GD.
3,5 juta
g/dL
al
GE. 3,6 5,0 GF.
7.000
juta sel/mm3
GI. 5.000 10.000 GJ. Normal
osit
GG. Leuk GH.
osit
GK. Tro
sel/mm3
GL. 350.000
mbosit
GO. Hitu
sel/mm3
GP.
ng Jenis
GQ.
Basofil
Eusinofil
Neutrofil
batang
Neutrofil
segmen
Monosit
Limfosit
12
16 GB.
sel/mm3
GM. 150.000
GN.
sel/mm3
GW.
al
HD.
0%
GX.
0 1%
HE.
GR.
9%
GY.
1 3%
GS.
0%
GZ.
maksimal
GT.
61%
GU.
5%
HA.
50 70%
GV.
25%
HB.
4 6%
HC.
25 35%
5%
Norm
Norm
Norm
al
HF.
Meni
ngkat
HG.
Norm
al
HH.
Norm
al
HI. Normal
HK.
Eusi
nofil
HO. IgE
total
HS.
HT.
HU.
HV.
HL.
390
sel/mm3
HP.35 g/dL
HM.
HJ. Normal
50 300 HN. Meni
sel/mm3
HQ. <20 g/dL
ngkat
HR. Meni
ngkat
HW.
HX.
HY.
HZ.
IA.
IB.
IC.
ID.
IE.
IF.
IG.
IH.
II.
IJ.
IK.
3.1 Kesimpulan
IL.
Wanita
22
hipersensitivitas tipe 1.
IM.
IN.
IO.
IP.
IQ.
IR.
IS.
IT.
IU.
IV.
IW.
IX.
IY.
IZ.
JA.
JB.
JC.
JD.
JE.
JF.
JG.
BAB III
PENUTUP
tahunmengalami
syok
anafilaktik
akibat
JH.
JI.
JJ.
JK.
JL.
JM.
JN.DAFTAR PUSTAKA
JO.
1. Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009
2. Kumar V, Cotran RS, Robbin SL. Robbin Basic Pathology 9 th edition. New
York: Elsevier Inc. 2013
3. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar
mikrobiologi kedoktera. Jakarta : penerbit binarupa aksara; 1993.
4. Wistiani. Faktor risiko alergi pada anak di RS Dr. Kariadi Semarang.
[Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2002.
5. Abbas, A.K., Litchman, A.H. Basic Immunology. Hypersensitivity
Disease. 2nd edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
6. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Ed. 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2004.
7. Koury SI, Herfel LU.
International
edition
Emergency
Medicine.Eds:
DE.
Anaphylactic
Reaction
and
Anesthesia
dalam
14. Siregar, Sjawitri P. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak Alergi Makanan
pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001.
15. Purwoko. Penatalaksanaa Syok Anafilaktik. Bagian Anastesiologi dan
Terapi Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta; 2016.
16. Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th Ed. Jilid III. Jakarta: Publishing Interna; 2014.
17. Chernecky CC and Berger BJ. Laboratory Test and Diagnostic Prosedures
5th edition. Saunders-Elsevier; 2008.