Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN DISKUSI

MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI


PEMICU 3

KELOMPOK DISKUSI 2
1. Arifna Fitriyanti
2. Chandra
3. Adinda Hari Utary
4. Fildzah Aisyah
5. Muhammad Irfan
6. Tiara Grhanesia Denashurya
7. Antony Halim
8. Meliani Fransiska Andita
9. Siti Hani Amiralevi
10. Nunung Agustia Rini
11. Egy Septiansyah

I11111005
I11112028
I11112072
I1011131010
I1011131014
I1011131016
I1011131029
I1011131031
I1011131048
I1011131080
I1011131088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu

Nn. T, 22 tahun, dibawa ke IGD oleh teman-temannya karena


sebelumnya ia tiba-tiba mengalami perubahantingkat kesadaran dan
kesulitan dalam berbicara saat acara ulang tahun. Teman-temannya mulai
menyadari ada sesuatu yang salah ketika Nn.T mulai tampak terbatuk-batuk,
agitatif dan inkoheren.
Tanda-tanda vital saat masuk IGD : TD 80/62 mmHg, napas 8x/menit
(tampak kepayahan), nadi 120x/menit, suhu 39,2 oC, SaO2 82%. Pasien mash
sadar tapi tampakbingung dan kesulitan bicara. Dari anamnesis, diketahui
bahwa sebelumnya ia makan beberapa kue yang diduga mengandung
kacang, tapi mereka tidak pernah mengetahui apakah ia memiliki riwayat
alergi kacang sebelumnya.
Setelah dilakukan penanganan emergensi, kondisi Nn.T sekarang
stabil, tapi masih merasa agak sulit bernapas dan kurang enak badan,
sehingga untuk sementara ia dirawat diruang observasi. Ia mengatakan ia
memiliki riwayat alergi kacang, tapi tidak menyangka jika kue yang
dimakannya dapat memicu reaksi. Ia beranggapan jika makan sedikit kacang
tidak akan berefek karena dahulu ia hanya mangalami keluhan alergi ringan.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1.3 Kata kunci
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Perempuan 22 tahun
Batuk
Agitasi
Inkoheren
Alergi kacang
Bradipneu
Takikardi

H.
I.
J.
K.
L.
M.

Hipertermi
SaO2 82%
Tekanan darah 80/62 mmHg
Sulit bernapas

1.4 Rumusan Masalah


N.
Wanita 22 tahun memiliki riwayat alergi kacang dan setelah makan
kacang mengalami penurunan kesadaran, gelisah, batuk, dan sesak napas
disertai tanda-tanda syok secara tiba-tiba.
1.5 Analisis Masalah
O.
Wanita 20 tahun
Riwayat alergi (+)
P.
Q.
IgE
R.
Aktifasi
CD4+,
Th2
S.
T.
U.
V.
Sel mast
W.
X.
Y.
Mediator inflamasi
Z.
AA.
AB.
Vasodilatasi vaskuler
AC.
Kontraksi otot polos
AD.
AE.
Inflamasi
AF.
AG.
Syok anafilaksis
AH.
AI.
AJ.
AK.
Hipersensitivitas tipe 1
AL.
AM.
AN.
Tata laksana kegawatdaruratan
1.6 Hipotesis
AO.
Wanita 22 tahun mengalami syok anafilaksis yang disebabkan oleh
hipersensitivitas
tipe 1 dengan
alergen berupa kacang.
Pemeriksaan
penunjang
1.7 Pertanyaan Diskusi
A. Jelaskan mengenai perbedaan hipersensitifitas
Tata laksana
B. Hipersensitifitas
tipe 1lanjutan
1. Definisi
2. EtiologiEdukasi
3. Faktor resiko
4. Patofisiologi
5. Manifestasi klinis
6. Diagnosis
7. Tatalaksana
8. Edukasi

C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.

Jelaskan mengenai syok anafilaksis


Jelaskan penyebab takikardi pada kasus
Jelaskan penyebab bradipneu pada kasus
Jelaskan penyebab gelisah pada kasus
Jelaskan penyebab berbicara inkoheren pada kasus
Jelaskan penyebab hipotensi pada kasus
Hubungan riwayat alergi pada kasus
Hubungan riwayat alergi pada keluarga dengan kasus
Tatalaksana kegawatdaruratan pada kasus
Edukasi pada kasus dan pencegahan

AP.
AQ.
AR.
AS.
AT.
AU.
AV.
AW.
BAB II
AX.
PEMBAHASAN
2.1 Hipersensitivitas1
A. Hipersensitivitas Tipe I
AY.

Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE.

Pada reaksi tipe 1, antigen (disebut juga alergen) yang membuat pejamu
peka terhadapnya dikenali oleh sel B. Sel ini kemudian dirangsang untuk
membuat antibodi IgE. IgE mengikat antigen yang berdekatan dengan
basofil atau sel mast oleh reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada selsel tersebut. Alergen yang menyerang biasanya memiliki valensi ganda
(banyak tempat pengikatan IgE), sehingga alergen tersebut benar-benar
berikatan dengan beberapa antibodi IgE secara bersamaan. Pengikatan ini
memicu terbentuknya jenjang sinyal yang menyebabkan degranulasi sel
mast dan basofil, serta pelepasan histamin, sitokin, kemokin, dan leukotrien.
Perantara ini, seperti halnya komplemen dan faktor kemotaktik eosinofil
yang teraktivasi, menyebabkan vasodilatasi perifer dan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi bengkak terlokalisasi dan edema.
Gejala-gejala bersifat spesifik bergantung pada di mana respons alergi

tersebut berlangsung. Pengikatan antigen di saluran hidung menyebabkan


rinittis alergi disertai kongesti hidung dan peradangan jaringan, sementara
pengikatan antigen di saluran cerna mungkin menimbulkan diare atau
muntah.1
AZ.

Suatu reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang parah adalah

reaksi anafilaktik. Anafilaksis melibatkan respons cepat IgE sel mast setelah
pajanan ke suatu antigen dan individu sangat peka terhadapnya. Dapat
terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin sehingga tekanan
darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah sistemik selama reaksi
anafilaktik disebut syok anafilaksis. Karena histamin adalah konstruktor
kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksis juga menyebabkan
penutupan saluran napas. Gejala reaksi anafilaktik adalah gatal, kram
abdomen, kemerahan kulit, gangguan saluran cerna, dan kesulitan bernapas.
B. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
BA.
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang
antigen-antigen jaringan. Reaksi tipe II terjadi akbiat hilangnya toleransi diri
dan dianggap suatu reaksi otoimun. Sel-sel sasaran biasanya dihancurkan.
BB.
Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi-antigen menyebabkan
pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, edema interstisial, kerusakan
jaringan dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel-sel pejamu
oleh makrofag.1
BC.
Contoh penyakit otoimun tipe II adalah penyakit Grave, yang
ditandai oleh terjadinya pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid;
anemia hemolitik otoimun ketika antibodi dibentuk terhadap sel darah
merah; reaksi transfuse, yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap sel
darah donor; dan purpura trombositopenik otoimun, yaitu terjadi
pembentukan antibodi terhadap trombosit.1
C. Hipersensitivitas Tipe III
BD.
Hal ini terjadi sewaktu kompleks

antigen-antibodi

yang

bersirkulasi dalam darah mengendap di pembuluh darah atau jaringan


sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap di dalam jaringan kapilernya. Pada sebagian kasus, antigen

asing dapat melekat ke jaringan, menyebabkan terbentuknya kompleks


antigen antibodi di tempat tersebut.1
BE.
Reaksi tipe II mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel
mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler di tempat terjadinya
reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim
sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut.
BF.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe III adalah penyakit

serum (serum sickness), ketika terbentuk antibodi terhadap darah asing,


sering sebagai respons terhadap penggunaan obat intravena. Kompleks
antigen-antibodi mengendap di sistem pembuluh, sendi, dan ginjal. Pada
glomerulonefritis, terbentuk kompleks antigen-antibodi sebagai respons
terhadap suatu infeksi, sering oleh bakteri streptokokus, dan mengendap di
kapiler glomerulus ginjal. Pada lupus eritematosus sistemik, terbentuk
kompleks antigen-antibodi terhadap kolagen dan DNA sel dan mengendap
di berbagai tempat di seluruh tubuh.
D. Hipersensitivitas Tipe IV
BG.
Pada reaksi yang diperantarai oleh sel T ini, terjadi pengaktifan sel
T sitotoksik (CD8) atau sel T helper (CD4), oleh suatu antigen sehingga
terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai
oleh sel sitotoksik sering dibangkitkan oleh sel yang terinfeksi virus dan
dapat menyebabkan kerusakan jaringan luas. Reaksi yang diperantarai oleh
sel CD4 bersifat lambat, memerlukan waktu 24 sampai 72 jam untuk
terbentuknya. Sel tersebut ditandai dengan pembentukan sitokin proinflamatori yang merangsang fagositosis makrofag dan meningkatkan
pembengkakan atau edema.1 Contoh penyakit yang disebabkan oleh reaksi
tipe IV adalah tiroiditis otoimun (hashimoto).1
2.2 Hipersensitivitas Tipe 1
A. Definisi
BH.

Merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat (secara

khusus hanya dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen

dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast
dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi.2
B. Etiologi
BI.Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara
umum hipersensitivitas dibagi menjadi 4 golongan, yaitu hipersensitivitas
tipe 1, 2, 3, dan 4. Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme patologik
utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. Reaksi tipe
1, 2, 3 terjadi karena interaksi antara antigen dengan antibodi sehingga
termasuk reaksi humoral, sedangkan tipe 4 termasuk reaksi seluler.
Hipersensitivitas tipe 1 terjadi karena adanya antigen lingkungan (allergen
luar) berinteraksi dengan respon antibodi (IgE), sehingga menyebabkan
penglepasan berbagai mediator oleh sel mastoid (mast cell) yang akan
mengakibatkan inflamasi.
BJ.

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah

protein atau zat kimia yang terpapar secara kronik. Pemaparan antigen
sebelumnya secara alami merupakan faktor penting untuk menentukan
tingginya kadai IgE spesifik. Secara umum paparan ulang terhadap antigen
tertentu diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopic terhadap antigen
bersangkutan. Hal ini penting terutama bila antigen lingkungan ini
merupakan zat yang berbahasa. Paparan pertama kali terhadap toksin
sengatan serangga biasanya terabaikan karena tidak menimbulkan gejala dan
individu tersebut belum memiliki IgE spesik terhadap toksin tersebut,
sengatan kedua oleh spesies yang sama dapat mengakibatkan keadaan fatal.3
BK.
BL.

BM. Sindr

Reaksi alergi yang dimediasi IgE3


BN. Alergen
BO. Rute masuk BP.

Respon

BQ.oma
Anafilaksis

BR. Obat

Edema

sistemik

BS.

Serum

Meningkatkan

BT.

Bisa Makanan

permeabelitas

BU. Intravena

BV.

vaskuler
Edema laring

BX. Biduran

BY. Rambut

BZ.

akut (wheal-and-

binatang

kulit Sistemik

flare)

serangga Tes alergi

Gigitan

Masuk

CA. Peningkata
n aliran darah dan
permeabilitas
vaskuler lokal

CB. Alergi

CC. Serbuk bunga CE.

serbuk bunga

CD. Feses tungau

CG. Asma

CH. Bulu kucing

Inhalasi

CK. Inhalasi

CF.

Edem

pada

mukosa
nasal
CL.
Kontriksi

CI.

Serbuk sari

bronkus

CJ.

Feses tungau

Peningkatan
produksi

Inflamasi
saluran
CV.
Muntah

CM. Alergi

CN. Kacang-

makanan

kacangan Kerang

CW. Diare

CO. Kacang tanah

CX. Pruritus

CP.

CY.

Susu

CQ. Telur

CU. Oral

mukus

Urticaria

Anafilaksis

CR. Ikan
CS.

Kedelai

CT.

Gandum

CZ.
C. Faktor resiko4
1. Riwayat keluarga
DA. Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk
mengembangkan respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah
terbentuk sejak dini pada masa gestasi. Berbagai regio kromosom
terkaitdengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada
kromosom 5, 6,11, 12, 13, dan 16. Berbagai lokus genetik
mempunyai hubungan dengan asma dan dermatitis atopi yaitu
5q31-33, 11q13 dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang
mengandung gen sitokin Il-3, IL-4, IL-5, Il-13 dan GM-CSF yang
diekspresikan oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor
genetik pada penyakit alergi.
2. Faktor lingkungan

DB.

Faktor lingkungan adalah faktor yang cukup banyak

mempengaruhi timbulnya penyakit alergi. Adanya alergen dalam


lingkungan seperti debu, tungau, serpihan kulit binatang
peliharaan, jamur, kecoa dapat meningkatkan resiko asma pada
anak da orang dewasa. Polusi udara secara langsung juga dapat
meningkatkan resiko inflamasi pada hidung, efek secara langsung
dengan peningkatan produksi mukus dan secara tidak langsung
memepengaruhi kerja Th-2.
DC.
3. Faktor regulasi sitokin
DD. Jika respon imun terganggu maka aktifitas sel Th-2
terganggu sehingga reaksi hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi
lebih mudah.
4. Faktor dietatik
DE.
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kekambuhan dermatitis atopik pada bayi dan anak, terutama
makanan yang banyak mengandung protein seperti telur ayam,
susu sapi, ikan laut, dan kacang-kacangan.4
D. Patofisiologi2,5
DF.

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang

terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat
terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.
Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah
adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan
berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil.
Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase
sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka
pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan
bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.2
DG.

Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk

memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit
atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen,

maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di
sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi
menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya
urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan
mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan
metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein
(sitokin and enzim).5
DH.
DI.

DJ.

Gambar 1. Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe 12

DK.
DL.

Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet

Activator Factor), yang menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan


histamin, heparin, dan amina vasoaktif. Eosinofil dapat melepaskan
berbagai enzim hidrolitik yang dapat menyebabkan kematian sel, serta

mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan


prostaglandin-E, walaupun belum diketahui peran pasti dari eosinofil. 5
DM.

Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan

kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat
dilihat bawha walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan
basofil dapat tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi
atopic serum yang mengandung IgE.5
E. Manifestasi klinis
DN.

Reaksi hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan

sistemik atau reaksi lokal. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan
antigen. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak),
dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru yang diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema
laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan bagian atas. Selain itu, semua otot saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.6
DO.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada

tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak,


menyebabkan urtikaria), traktur gastrointestinal (ingesti, menyebabkan
diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi.6
DP.

Manifestasi klinis sesuai dengan mediator yang dilepaskan pada

reaksi hipersensitivitas tipe 1:2


1. Histamin: permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan
meningkatkan sekresi mukus.
2. Adenosin: bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit
3. Leoktrin: meningkatkan permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos
bronkus

4. Prostaglandin D2: bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi


mukus.
5. Faktor pengaktivasi trombosit: agregasi trombosit, pelepasan histamin,
bronkospasme
6. Sitokin yang diprosuksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6):
merekrut dan mengaktivasi sel radang, sel radang nantinya dapat
menyebabkan kerusakan epitel setempat.2
DQ.

Gejala klinik suatu reaksi anafilakis dilihat dari beberapa sistem

yang terganggu :7,8


1. Sistem pernafasan
DR.

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat

atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan
bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak
dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada
gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan
respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh
utama pada syok anafilaktik.
2. Sistem sirkulasi
DS. Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari
gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan
sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi
merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi
sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga
banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi
hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi
gagal sirkulasi atau henti jantung.
3. Gangguan kulit

Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi

DT.

anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan
nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit
berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk
kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.
4. Gangguan gastrointestinal
DU. Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.7,8
DV.
DW.

F. Diagnosis
DX.

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai

keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk
membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.9
DY.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit

(beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan


mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah
satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah
atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).9
DZ.

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi

secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa

kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,


kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten
(misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).9
EA.

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah

terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam
(syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang
rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.9
EB.

EC.
ED.

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 10:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala


a. Pasien terlihat baik atau tidak baik
b. Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset
c. Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena
akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung
disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
d. Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
EE.

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau

kombinasinya.
EF.

Airway Problem :

a. Pembengkakan

jalan

nafas

seperti

tenggorokan

dan

lidah

membengkak (faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan


dan merasa tenggorokan tertutup.
b. Suara Hoarse
c. Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.

EG. Breathing Problems :


a.
b.
c.
d.
e.
f.

Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


Wheezing
Pasien menjadi lelah
Kebingungan karena hipoksia
Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
Respiratory arrest

EH. Circulation problem


a. Tanda syok, pucat, berkeringat.
b. Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
c. Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
d. Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
e. Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
f. Cardiac arrest.10
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
EI.

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari

reaksi anafilaksis.
a. Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
b. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan

mukosa, atau

keduanya
c. Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
d. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.
e. Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan.10
G. Tatalaksana11
EJ.Tatalaksana pada hipersensitivitas dilakukan dengan berbagai
teknik seperti dibawah ini :
1. Hiposensitisasi
EK.
Hiposensitisasi (imunoterapi alergen sistemik) merupakan standar
perawatan individu yang terserang bisa serangga (hipersensitivitis yang
dimediasi IgE), dan memiliki hasil yang menguntungkan pada pasien
yang terpapar serbuk sari dan alergen seperti debu dan bulu kucing.

Hiposensitisasi didapatkan dengan injeksi subkutan dari antigen


pensensitisasi, memulai pada tingkat nanogram, dan meningkatkan
dosisnya per minggu. Ini akan menginduksi produksi dari inhibitor
antibodi IgG, dan meningkatkan jumalh sel regulator yang menghentikan
produksi antibodi IgE, yang tampak pada kadar IgE dalam serum. Karena
kedua efek tersebut berjalan secara simultan, keduanya saling berkolerasi
dalam menurunkan gejala alergi. Secara konsepnya, inhibitor antibodi
IgG pada vaskular sistemik dan kompartemen interstisial harusnya
memiliki efek protektif dengan mengkombinasikannya dengan antigen
sebelum mencapai sel yang terikat IgE. Faktanya, peningkatan kondisi
klinis yang signifikan berkolerasi lebih baik dengan penghambat IgG
daripada pengurangan antigen spesifik IgE.11
2. Antibodi Monoklonal Anti-IgE
EL. Omalizumab (Xolair) merupakan antibodi monoklonal pada
manusia yang telah berhasil digunakan sebagai terapi asma kronik yang
tidak responsif terhadap terapi konvensional. Pasien yang diterapi dengan
antibodi ini menunjukkan pengurangan jumlah reseptor FceRI pada
basofil dan sel mast, sama seperti kadar IgE pada serum.
3. Terapi Obat-obatan
EM.
Beberapa jenis obat digunakan untuk terapi atau pencegahan reaksi
hipersensitivitas tipe I. Beberapa menghambat atau mengurangi
pelepasan mediator oleh sel mast atau basofil; yang lain menghambat
atau membalikkan efek mediator.11
a. Terapi Reaksi Alergi Terlokalisasi
EN.
Reaksi alergi terlokalisasi (rhinitis musiman, rhinitis akibat
tumbuhan dan urtikaria) respon terhadap komponen antihistamin,
yang akan berkompetisi dengan histamin saat pengikatannya dengan
reseptor tipe 1 pada sel target, sama seperti antagonis LT yang
memblok efek LT. Reaksi sistemik selalu membutuhkan pengukuran
yang intensif, terutama pemberian epinefrin.
b. Terapi Asma Alergik
EO.
Asma bronkial menimbulkan permasalahan terapi yang
kompleks. Terapi saat ini berdasarkan pemahaman awalawal serangan
bronkokostriktif yang diikuti dengan inflamasi progresif pada jalan

napas, dan selanjutnya meningkatkan respons bronkial. Agonis adrenergik, metilxanthin, dan komponen antikolinergik merupakan
obat utama yang digunakan.
EP.
c. Agonis -adrenergik
EQ.
Agonis -adrenergik (epinefrin, isoproterenol dan albuterol)
meningkatkan kadar cAMP dengan menstimulasi membran adenilat
siklase secara langsung, menghambat degranulasi sel mast dan basofil.
Epinefrin merupakan drug of choice dari terapi reaksi alergi berbahaya
seperti anafilaksis. Pasien yang berisiko mengalami reaksi anafilaksis
disarankan untuk selalu membawa alat injeksi yang bertujuan dalam
pemberian

dosis

terapi

epinefrin

jika

diperlukan.

Epinefrin

menyebabkan vasokonstriksi dengan peningkatan denyut jantung,


sebagai

bronkodilator.

Ini

menyebabkan

peningkatan

fungsi

kardiovaskular dan respiratori. Namun, penggunaan epinefrin maupun


Agonis -adrenergik lain pada asma alergik dibatasi karena komponen
tersebut tidak mempengaruhi eusinofil, jadi ketika pasien memiliki
inflamasi eosinofilik bronkial yang signifikan, pemberian Agonis adrenergik kurang memberikan dampak.11
d. Metilxanthin
ER.
Metilxanthin (teofilin, dll) menghambat

fosfodiesterase,

menyebabkan peningkatan kadar cAMP intraseluler yang persisten,


yang mana akan menghambat pelepasan histamin.11
e. Obat-obatan antikolinergik
ES.
Kebanyakan agen kolinergik, meningkatkan kadar intraseluler dari
siklik GMP, yang akan meningkatkan efek terhadap pelepasan
mediator. Penggunaannya harus dihindari pada pasien asma karena
dapat memperburuk gejala. Oleh karena itu, obat antikolinergik yang
menghambat tonus kolinergik vagal akan bermanfaat, meskipun tidak
seefisien Agonis -adrenergik sebagai bronkodilator.11
H. Edukasi
ET.

Edukasi yang bisa diberikan pada pasien dengan hipersensitivitas

tipe I adalah dengan menghindari pemicu alergi. Jika dalam kasus ini pasien

alergi terhadap kacang, maka disarankan kepada pasien untuk tidak


mengkonsumsi kacang.1
1.3 Syok anafilaksis9,12
EU.

Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai

hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi


alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi
imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya
sudah tersensitisasi.
EV.

Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang

terjadi tanpa melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan


gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai anafilaksis. Anafilaksis
dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
EW.

a. Fase Sensitisasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk

pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada


permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini
kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Sel mast)
dan basofil.
EX.

b.

Fase Aktivasi Yaitu waktu selama terjadinya

pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Sel mast dan


Basofil

melepaskan

isinya

yang

berupa

granula

yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain


masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama

tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi


segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan

antigen-antibodi

arakidonat

dari

merangsang

membran

sel

yang

degradasi
akan

asam

menghasilkan

Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa


waktu

setelah

degranulasi

yang

disebut

Newly

formed

mediators.
EY.

Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon yang

c.

kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas sel


mast atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan
menyebabkan

permeabilitas
edema,

sekresi

kapiler
mukus

yang
dan

nantinya
vasodilatasi.

Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin


menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor
(PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang
dihasilkan

menyebabkan

bronchokonstriksi,

demikian

juga

dengan Leukotrien.9
EZ.

dalam

Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi


beberapa

menit

saja.

Anafikasis

adalah

reaksi

hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang


cepat, ditimbulakan igE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast
dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai
mediator. Reaksi dapat dipicu berbagai alergen seperti makanan
(asal laut, kacang kacangan), obat atau sengatan serangga dan
juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada
2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat
diidentifikasi.9

FA.

Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis dibagi dalam derajat

ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan
mata berair. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edem jalan nafas, atau laring dengan dispneu,
batuk dan mengi. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edem
laring, dispneu berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.12
FB.

1.4 Penyebab takikardi


FC.

Takikardi pada kasus terkait dengan hipersensitivitas tipe 1 yang

telah menjadi syok anafilaktik. Pada keadaan syok anafilaksis, permeabilitas


kapiler akan meningkat dan terjadi vasodilatasi akibat adanya pelepasan
mediator-mediator inflamasi oleh sel mast. Peningkatan permeabilitas
kapiler dan vasodilatasi akan memicu jantung untuk meningkatkan pompa
(cardiacoutput) agar dapat mengompensasi nutrisi seperti oksigen ke organorgan vital.9
1.5 Penyebab bradipneu
FD.

Histamin merupakan mediator utama yang dilepaskan oleh sel

mast, berperan terhadap timbulnya respon segera setelah terpapar oleh


alergen. Di dalam tubuh histamin sebagian besar disimpan dalam lisosom
sel mast dan basofil dalam bentuk granul, di dalam granul histamin terikat
pada proteoglikan. Manifestasi klinik karena pengaruh histamin terjadi
akibat interaksi histamin dengan reseptornya, yaitu reseptor H1, H2, H3.
Reseptor H1 ditemukan terutama pada otot polos saluran nafas dan sistem
vaskular. Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan kontraksi bronkus
dan otot polos, peningkatan permeabilitas vaskular, vasokonstriksi
pulmoner, pening-katan cGMP intraseluler, dan meningkatkan sekresi

mukosa hidung/ hipersekresi kelenjar. Keadaan ini mengakibatkan


terjadinya kongesti nasal, rinore, dan bersin akibat rangsangan pada reseptor
iritan mukosa hidung. Histamin juga menarik eosinofil dan netrofil untuk
bergerak ke arah yang sesuai dengan konsentrasi gradient/ kemotaksis.9,13
1.6 Penyebab gelisah
FE.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara

klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi
beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi
moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen;
serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.9
FF.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen

dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat
dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering
dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal
pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual,
pusing, lemas dan sakit perut. Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh
penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada
susunan saraf pusat.13
1.7 Penyebab hipotensi
FG.

Hipotensi adalah satu diantara gejala dari syok anafikatik yang

disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe 1. Syok anafilaktik merupakan


salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah
yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.9,10
FH.

Hipotensi dan syok dapat terjadi sebagai akibat dari kehilangan

volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Hipotensi


merupaka gejala dari gangguan pada sirkulasi darah dan sistem

kardiovaskular, yang juga menyebabkan takikardia, pucat, keringat dingin,


tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang
menyebabkan terjadinya edema, dan aritmia.13
1.8 Penyebab berbicara inkoheren
FI.

Pada kasus terjadi pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast yang

diakibatkan adanya pajanan alergen. Ketika ada bahan alergen yang masuk
setelah pernah sebelumnya mengalami pajanan maka akan menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler dan dan
terjadinya reaksi inflamasi. Hal tersebutlah yang mendasari penyebab
terjadinya kekurangan suplai nutrisi akibat peningkatan permeabilitas
kapiler. Terjadinya syok merupakan suatu tanda bahwa tubuh sudah mulai
kesulitan dalam mengompensasi suplai nutrisi keseluruh jaringan, oleh
sebab jantung akan lebih berusaha memompa darah ke organ-organ vital
seperti otak, paru, hati, jantung dan ginjal serta meminimalisir suplai darah
ke organ-organ perifer. Pada kasus didapatkan data bahwa SaO2 sebesar
82%, hal itu menandakan pasien tersebut telah mengalami penurunan
saturasi oksigen yang seharusnya minimal adalah 95%. Penurunan saturasi
oksigen tersebut yang merupakan salah satu penyebab pasien berbicara
inkoheren karena sulit untuk berpikir, selain itu penyempitan jalan nafas
juga merupakan salah satu pasien sulit berbicara.13
1.9 Hubungan riwayat alergi pada keluarga dengan kasus
FJ. Dalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah
diketahui bahwa masyarakat pada negara-negara maju mempunyai
kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah besar terhadap paparan
bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi
oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus gen. Individu atopi
mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian
juga level eosinofilnya jika dibandingkan orang normal. Individu atopi
mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan
alergi serbuk bunga.

FK.

Faktor

genetik

dan

lingkungan

masing-masing

berkontribusi 50% pada kejadian penyakit alergi seperti asma. Umumnya


setiap etnik mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap suatu penyakit.
Beberapa bagian kromosom yang berasosiasi dengan alergi atau asma juga
berasosiasi dengan penyakit inflamsi psoriasis dan penyakit autoimun.
FL.Terdapat bagian cluster gen berpautan kuat yang mengkode sitokin
yang diperlukan untuk meningkatkan respon TH2, yaitu gen yang
diperlukan untuk melakukan class switching pada pembentukan IgE,
pertahanan hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Kelompok gen ini
meliputi gen yang mengode pembentukan IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan
GM-CSF (granulocyte-macrophage colony stimulating factor). Dalam hal
tertentu, variasi genetik pada bagian promotor gen pengkode IL-4
berasosiasi dengan peningkatan IgE pada suatu individu. Variant promoter
menyebabkan peningkatan ekspresi gen reporter pada model eksperimen
dan telah dibuktikan pada sistem in vivo pada peningkatan level IL-4.
FM.

Gen set kedua pada kromosom 5 adalah famili TIM (pada

sel T, domain imunoglobulin dan domain mucin) yang mengode protein


permukaan pada sel T. Pada mencit protein Tim-3 secara spesifik
diekspresikan pada sel TH1 dan mengurangi respon TH1, sedangkan Tim-2
dan juga Tim-1 lebih cenderung diekspresikan TH2 dan berfungsi
mengurangi respon TH2. Mencit yang mempunyai perbedaan varian gen
TIM mempunyai perbedaan dalam hal kepekaan terhadap reaksi alergen
maupun produksi IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Pada manusia variasi gen TIM
berhubungan dengan kepekaan respon saluran pernafasan terhadap bahanbahan irritant. Dalam hal ini otot polos bronkus dari individu tertentu akan
mengalami kontraksi sebagaimana yang terlihat pada asma.
FN.

Faktor genetik dapat menjelaskan hubungan antara polusi

dan alergi secara moderat, karena hanya berlaku bagi individu dengan
genotip yang sensitif. Sedikitnya paparan mikrobia patogen telah dianggap
menjadi faktor meningkatnya kejadian alergi. Sampai saat ini hal tersebut
menjadi perhatian khusus sejak ide itu diperdebatkan mulai tahun 1989.

Aktivitas enzimatis beberapa alergen memungkinkan substansi tersebut


melakukan penetrasi menembus epitel yang berlaku sebagai penghalang.
Saluran pernafasan dilindungi oleh sel epitel yang berfungsi sebagai
penghalang masuknya substansi yang tidak diinginkan. Sel epitel tersebut
berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sangat kuat (tight junction).
Dengan rusaknya protein occludin maka rusak pula fungsi sel epitelium
sebagai barrier.
FO.

Para peneliti dalam mengambil kesimpulan bahwa metode yang

paling tepat saat ini untuk memprediksi penyakit atopi adalah skor nilai
atopi keluarga. Hubungan antara riwayat atopi keluarga dengan dermatitis
atopik memiliki sensitifitas 80% dan spesifitias 85% (p<0,01), dan dapat
digunakan sebagai identifikasi dini resiko alergi pada neonatus. Nilai atopi
keluarga diberikan kepada semua anggota keluarga dengan tanda-tanda
alergi seperti dermatitis/ eksim, diare, muntah, kolik, pilek, nafas berbunyi
dan asma. Nilai 2 diberikan kepada anggota keluarga yang dinyatakan oleh
dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan kepada anggota
keluarga yang diduga terkena alergi, dan nilai 0 diberikan kepada anggota
keluarga yang tanpa riwayat alergi apapun. Nilai atopi keluarga yang
diperoleh kemudian dijumlahkan dan dibagi menjadi 3 kelompok besar
yaitu nilai atopi 0, 1-3 dan 4-6. Nilai atopi keluarga 0 merupakan tingkat
risiko kecil (5-15%), nilai atopi 1-3 merupakan tingkat risiko sedang (2040%), dan nilai atopi 4-6 merupakan tingkat risiko tinggi (40-60%).14
1.10 Tatalaksana kegawatdaruratan pada kasus15
1.
Penderita tidur terlentang kaki naik 300
2. Pada penderita yang sadar:
3. Jaga ABC
4. Berikan adrenalin 0,3-0,5 mg SC/IM/IV
5. Boleh diulang 5-10 menit
6. Aminofilin 5 mg/kgBB 20 menit
7. Lanjutkan 0,4-0,9 mg/kgBB/jam
8. O2 100%
9. Kristaloid / koloid sesuai kebutuhan
10. Intubasi bila perlu.
1.11 Edukasi pada kasus dan pencegahan16

FP. Pasien yang pernah mengalami reaksi anfilaksis mempunyai resiko


untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama.
Pasien harus dikenali, diberi peringatan dan bila perlu diberi tanda
peringatan pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang pasien
diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun. Hal ini
terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada
sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.16
FQ.

Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan

anafilaksis dapat memiliki gejala yang jauh lebih berat, oleh karena itu
setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh pengobatan yang
optimal. Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak
menggunakan obat -inhibitor, karena apabila terjadi reaksi anafilaktik,
pengobatan yang diberikan sulit. Sebaiknya diberikan obat subsitusi inhibiors.16
FR.Pada beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan
untuk menghindari reaksi anafilaksis. Greenberger dkk memberikan
prednisolone dan antihistamin sebelum memberikan media kontras
pemeriksaan radiologic pada pasien yang beresiko. Tindakan desinsitasi
jangka pendek dengan penisilin. Desinsitasi jangka panjang diberikan
kepada pasien yang alergi terhadap sengatan tawon.16
FS. Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar
kejadian tersebut tidak terulang kembali. Sangat dianjurkan untuk lebih baik
melakukan tindakan berhati hati atau pencegahan, daripada menghadapi
reaksi anafilaksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya pasien
yang meninggal karena syok anafilaktik. 16
FT. Akan halnya dengan obat obat bsebagai penyebab anafilaksis,
tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya penisilin, berbagai macam
hormon, serum, dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada
beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan memberikan obat

kadang kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara tersebut juga bisa
mencetuskan anafilaksis 16
1.12 Interpretasi data tambahan17
FU.

FV.Hasil

FW.

Normal

FX.

pemeriksaa
FY.Hb
GC.

Eritr

Inter

pretasi

n
FZ.12 g/dL

GA.

GD.

3,5 juta

g/dL
al
GE. 3,6 5,0 GF.

7.000

juta sel/mm3
GI. 5.000 10.000 GJ. Normal

osit
GG. Leuk GH.
osit
GK. Tro

sel/mm3
GL. 350.000

mbosit
GO. Hitu

sel/mm3
GP.

ng Jenis

GQ.

Basofil
Eusinofil
Neutrofil

batang
Neutrofil

segmen
Monosit
Limfosit

12

16 GB.

sel/mm3
GM. 150.000

GN.

sel/mm3
GW.

al
HD.

0%

GX.

0 1%

HE.

GR.

9%

GY.

1 3%

GS.

0%

GZ.

maksimal

GT.

61%

GU.

5%

HA.

50 70%

GV.

25%

HB.

4 6%

HC.

25 35%

5%

Norm

Norm

Norm

al
HF.

Meni

ngkat
HG.

Norm

al
HH.

Norm

al
HI. Normal

HK.

Eusi

nofil
HO. IgE
total
HS.
HT.
HU.
HV.

HL.

390

sel/mm3
HP.35 g/dL

HM.

HJ. Normal
50 300 HN. Meni

sel/mm3
HQ. <20 g/dL

ngkat
HR. Meni
ngkat

HW.
HX.
HY.
HZ.
IA.
IB.
IC.
ID.
IE.
IF.
IG.
IH.
II.
IJ.
IK.
3.1 Kesimpulan
IL.
Wanita

22

hipersensitivitas tipe 1.
IM.
IN.
IO.
IP.
IQ.
IR.
IS.
IT.
IU.
IV.
IW.
IX.
IY.
IZ.
JA.
JB.
JC.
JD.
JE.
JF.
JG.

BAB III
PENUTUP

tahunmengalami

syok

anafilaktik

akibat

JH.
JI.
JJ.
JK.
JL.
JM.
JN.DAFTAR PUSTAKA
JO.
1. Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009
2. Kumar V, Cotran RS, Robbin SL. Robbin Basic Pathology 9 th edition. New
York: Elsevier Inc. 2013
3. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar
mikrobiologi kedoktera. Jakarta : penerbit binarupa aksara; 1993.
4. Wistiani. Faktor risiko alergi pada anak di RS Dr. Kariadi Semarang.
[Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2002.
5. Abbas, A.K., Litchman, A.H. Basic Immunology. Hypersensitivity
Disease. 2nd edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
6. Baratawidjaja KG. Imunologi Dasar. Ed. 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2004.
7. Koury SI, Herfel LU.
International

Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:

edition

Emergency

Medicine.Eds:

Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto;


2000.
8. Martin. In: Fundamentals Anatomy and Physiology. 5th; 2000.
9. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Australia: Margaret
and Fremantle Hospitals; 2006.
10. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment
of anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January
2008.
11. Finn AA, Virella G. Medical Immunology. Sixth Edition. New York:
Informa Healthcare; 2007.
12. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis.
Allergy Clinical Immunology. Australia: Hobart; 2004.
13. Longecker,

DE.

Anaphylactic

Anesthesiology. Chapter 88; 2008.

Reaction

and

Anesthesia

dalam

14. Siregar, Sjawitri P. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak Alergi Makanan
pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001.
15. Purwoko. Penatalaksanaa Syok Anafilaktik. Bagian Anastesiologi dan
Terapi Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta; 2016.
16. Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th Ed. Jilid III. Jakarta: Publishing Interna; 2014.
17. Chernecky CC and Berger BJ. Laboratory Test and Diagnostic Prosedures
5th edition. Saunders-Elsevier; 2008.

Anda mungkin juga menyukai