Anda di halaman 1dari 10

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 9 Juli 2018

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI

LAPORAN TUTORIAL MODUL 2


BLOK IMUNOLOGI
“SKENARIO 2”

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 12 PBL

DEWI DHARMA PUTRI ALIM (11020170005)


ANDI ANITA NUR FADHILAH RAHMAN (11020170027)
FITRAH PUTRA IRWAN (11020170050)
AMALIAH FILDZAH ASILAH HIDAYAT (11020170067)
PRYANTAMA SAPUTRA TUNA (11020170082)
NUR SAKINAH SAHRO (11020170097)
TRI DINI HARIANTI (11020170116)
ANDI NAILAH (11020170130)
NADYA VIDELIA WIJAYA (11020170142)
NOVITA ANGRIANI (11020170169)

TUTOR: dr. Yusriani Mangarengi, M.Kes

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan
tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna memacu kami menciptakan karya-
karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama kepada:
1. Dr. Sri Julyani selaku Sekretaris Blok Imunologi
2. Dr. Yusriani Mangarengi selaku tutor
3. Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam
menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan dan pengorbanan
dengan limpahan rahmat dari-Nya. Aamiin yaa Robbal A’lamiin.

Makassar, 8 Juli 2018

Kelompok 12
 SKENARIO 2 :
Seorang laki-laki berusia 25 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan adanya papul
merah disertai gatal disela jari tangan dan kaki, sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan
terutama malam hari. Sejak 3 bulan sebelumnya pasien menderita berak-berak encer dan
penurunan berat badan lebih 10 kg. Kadang-kadang demam. Penderita juga mengeluh batuk
berlendir, disertai darah dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisis ditemukan luka pada alat
kelamin yang nyeri tapi tidak gatal dan sudah berulang. Mulai timbul berupa bentul berair,
kemudian pecah dan membentuk luka. Ditemukan juga bercak putih pada lidah penderita.
Tato pada beberapa bagian tubuh penderita, dan pembesaran kelenjar di ketiak dan lipat
paha. Pada batang dan glands penis ditemukan beberapa ulkus yang dangkal dan nyeri pada
penekanan. Tanda vital dalam batas normal.

 KATA SULIT DAN KALIMAT SULIT

KATA SULIT:
1. Papul: penonjolan diatas kulit berisi cairan
2. Ulkus: cekungan

KALIMAT SULIT:
1. Laki-laki berusia 25 tahun
2. Papul merah disertai gatal disela jari tangan dan kaki, sejak 2 minggu
3. Gatal dirasakan terutama malam hari
4. 3 bulan sebelumnya pasien menderita berak-berak encer dan penurunan berat badan lebih
10 kg
5. Kadang-kadang demam
6. Batuk berlendir, disertai darah dan sesak napas
7. Luka pada alat kelamin yang nyeri tapi tidak gatal dan sudah berulang
8. Timbul berupa bentul berair, kemudian pecah dan membentuk luka
9. Bercak putih pada lidah penderita
10. pembesaran kelenjar di ketiak dan lipat paha
11. Pada batang dan glands penis ditemukan beberapa ulkus yang dangkal dan nyeri pada
penekanan
12. Tanda vital dalam batas normal

 PERTANYAAN PENTING
1. Apa yang dimaksud dengan imunodifisiensi?
2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis kelainan imunodifisiensi?
3. Bagaimana mekanisme antigen dan antibodi pada skenario?
4. Apa organ-organ yang berperan pada skenario?
5. Bagaimana imunopatogenesisnya?
6. Perubahan apa saja yang terjadi pada sistem imun pasien jika dilihat dari gejala yang
dialami?
7. Apakah pembesaran kelenjar pada ketiak dan lipatan paha merupakan respon imun?
8. Mengapa tanda vital dalam batas normal?
9. Penatalaksanaan imunologis pada kasus?
10. Pemeriksaan penunjang?

 PEMBAHASAN

1. Imunodefisiensi adalah fungsi sistem imun yang menurun atau tidak berfungsi dengan
baik. Fungsi masing-masing komponen sistem imun humoral maupun seluler atau
keduanya dapat terganggu baiok oleh sebab congenital maupun sebab yang didapat .
Keadaan imunodefisiensi dapat terjadi disebabkan oleh berbagai hal, antara lain akibat
infeksi (AIDS, virus mononucleosis, rubella, dan campak), penggunaan obat (steroid,
penyinaran, kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit
hematologik (limfoma/hodkin, leukemia, mieloma, neutropenia, anemia aplastik, anemia
sel sabit), penyakit metabolik (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik,
diabetes mellitus, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, spienektomi,
anestesi), lupus eritematosus sistemik, dan hepatitis kronis. Berbagai mikroorganisme
(kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam
tubuh penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenisitas
rendah, dalam keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai
penyakit. Oleh karena itu, penderita yang imunodefisiensi mempunyai risiko yang lebih
tinggi terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri maupun secara nasokomial
dibanding dengan yang tidak imunodefisiensi

2. Jenis-jenis munodefisiensi terbagi menjadi dua yaitu :

 Imunodeferensial kongenital atau primer pada umumnya disebabkan oleh kelainan


respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen
atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit. Penyakit dimana terjadi kelainan
pada fungsi pembunuh dari sel darah putih

 Imunodefisiensi didapat atau sekunder terjadi akibat hilangnya sistem imun yang
sebelumnya efektif, yang mencakup setiap gangguan yang menunjukkan
hilangnya imunokmpetensi sebagai akibat kondisi lain. Klasifikasi luasnya
mencakup imunodefesiensi akibat stress, proses penuaan, obat imunosupresif,
infeksi sistemik, kanker , malnutrisi, penyakit ginjal, dan terapi radiasi. Kondisi
ini dapat menimbulkan kehilangan imunglobulin, ketidakadekuatan sintesis
imunoglobulin, kehilangan limfosit spesifik yang bertanggung jawab terhadap
imunitas seluler, kehilangan sel inflamasi fagositik, atau kombinasi dari semua
ini. Meskipun penurunan keefektifan sistem imun sering tidak mengancam hidup,
ini sering mengakibatkan penurunan kemampuan organisme untuk melawan
respons inflamasi atau imun. Karenanya, kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri,
virus (misal, HIV), fungi atau lainnya meningkat.

3. Bagaimana mekanisme antigen dan antibodi pada skenario?

Interaksi antara HIV dan respons imun pejamu berlangsung sangat kompleks, dan
berbagai penelitian dapat disimpulkan, bahwa jaringan limfoid merupakan lokasi utama
terjadinya proses imunopatologi. Organ limfoid adalah reservoir utama HIV, dan
monosit serta makrofag merupakan target pertama dan berperan penting dalam proses
imunopatogenesis infeksi HIV.
Infeksi HIV dapat berlangsung kronik persisten sebagai akibat gabungan dari sifat
karakteristik HIV dan respons sistem imun yang tidak efektif, dimana HIV dapat
berintegrasi dengan genom sel pejamu, HIV mempunyai kemampuan untuk mngubah
struktur sehingga tidak dikenal oleh respons imun dan kegagalan respons imun selluler
intrinsic dari penyakitnya sendiri. Setelah terjadi infeksi, virus baru yang diproduksi akan
berinterkasi dengan sel-sel tertentu yang mengekspresikan reseptor CD4, termasuk sel
dendritik plasmasitoid (pDC). Hipotesis stimulasi kronik sel T yang meningkatkan
aktivasi respons imun akan berakhir pada malfungsi, ekshausi dan kematian sel.
Adanya aktifasi imun kronik menyebabkan berkurangnya sel limfosit T CD4+ sehingga
terjadi gangguan respons imun dan progresivitas penyakit. Peningkatan ekspresi berbagai
penanda inflamasi seperti HLA-DR, CD38 dan Ki67 pada sel limfosit T CD4 dan T CD 8
menunjukkan bahwa subset sel limfosit ini secara kronik terangsang oleh virus HIV.
Terjadi pula produksi interferon (IFN)-α dan IFN-β oleh plasmacytoid dendritic cells
(pDC) melalu induksi Toll-like receptor (TLR), yang mempunyai efek stimulasi imun
dan efek anti virus, termasuk terhadap HIV.7 Pada stadium awal infeksi HIV terjadi
stimulasi imun bawaan melalui aktifasi pDC sehinggan dapat meningkatkan respons
imun adaptif. Infeksi HIV yang berlangsung kronik akan menyebabkan terjadinya
respons aktivasi imun kronik yang menimbulkan gangguan fungsi sel limfosit T. Respons
yang tidak seimbang ini mempunyai dua konsekuensi berupa deplesi jumlah sel T yang
progresif karena terjadi disregulasi produksi sitokin pro-apoptosis dan hilangnya fungsi
sel T secara progresif karena mekanisme supresi imun yang berkaitan dengan imunitas
bawaan.
Model ini menunjukkan bahwa paparan berkelanjutan terhadap replikasi virus akan
menimbulkan gangguan imunologis yang tidak reversible sehingga strategi menekan
respons imun mungkin memberikan nilai tambah disamping terapi antivirus. Data awal
menunjukkan kemungkinan ini memang benar demikian adanya. Sejalan dengan ini kita
juga melihat respons klinis terhadap terapi antivirus sering kurang efektif apabila
pengobatan dimulai pada penyakit stadium lanjut.
Peranan sel Tregulator dalam progresifitas penyakit masih sukar dipahami dimana hasil
penilitian belum konsisten. Karena dapat menekan aktifasi sel T, mungkin sel T reg
bermanfaat untuk menekan aktifasi imun yang berlebihan sehinggan menurunkan
bystander apoptosis; atau mungkin sel Treg merupakan kerugian karena menekan
respons imun adaptif sel T dan menghalangi klirens virus. Dengan pengetahuan yang
lebih rinci mengenai imunopatogenesis terjadinya defisiensi imun pada infeksi HIV akan
dapat membantu upaya pencarian obat dan vaksin HIV.
4. Partikel-partikel virus HIV yang akan memulaI proses infeksi biasanya terdapat di dalam
darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar melalui sejumlah cara. Cara
yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan
transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi.
Viral load ialah perkiraan jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita.
Apabila virus ditularkan pada inang yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia
transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel
yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih
dahulu dikenai oleh virus, bisa CD4+sel T dan manosit di dalam darah atau CD4+ sel T
dan makrofag pada jaringan mukosa.7,9,10
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada limfosit-T
CD4+ atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus ditransmisikan secara
seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target selular pertama virus adalah
sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel
servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening
setempat. Sel dendritik ini kemudian berfusi dengan limfosit CD4+ yang akan bermigrasi
kedalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu
beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan
menyebar secara hematogen dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus
limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan
mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring
melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam nodus limfatikus dan
kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan l
imfosit CD4+ yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat
berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 7,9,10
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke
jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan
setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini dihubungkan
dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan
awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat
oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap
terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang
diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi
HIV dan berkembang menjadi AIDS.7,9,10
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan
lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan
dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan
melepaskan HIV ke CD4+ sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari
setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi
pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat
ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat
disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis
maupun simtomatis. Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan
menyebabkan infeksi sel T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.9
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh efek
sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai
infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga
akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan
apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati.7
Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang
dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit
dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4+ sel T
di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4+ sel T
tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh
dapat cepat menghasilkan CD4+ sel T baru untuk menggantikan CD4+ sel T yang rusak.
Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4+ sel T di organ limfoid telah terinfeksi.
Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang
menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4+ sel T di jaringan limfoid dan
sirkulasi.9,11
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain
dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan
kerusakan jaringan l imfoid semak in menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir
pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan
sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4+ sel T dalam darah turun di
bawah 200 sel/mm3 (normal 1.500 sel/mm3). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai
macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS ensefalopati). Oleh karena
CD4+ sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai
macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa
penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi.

5. Bagaimana imunopatogenesisnya?
Dari skenario, bisa kita lihat bahwa tanda dan gejala menunjukkan adanya
imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. HIV terutama menginfeksi limfosit CD4
atau T helper (Th). Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas
tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler
maupun respon imun humoral. Jadi, akibat HIV akan menyebabkan hampir keseluruhan
respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal. Pada mulanya sistem imun dapat
mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan
menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi
sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan gejala
penyakit yang akan mengakibatkan terganggunya fungsi imunitas seluler, di samping
imunitas humoral karena gangguan sel T helper untuk mengaktivasi sel limfosit B.
Infeksi HIV terjadi melalui 3 jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa
genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi
vertikal dari ibu ke janin. Sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang
teraktivasi akan merangsang sel B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. HIV
menyebabkan terjadi stimulus limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik. Reseptor
utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor
CD4 saja ternyata tidak cukup. Diperkirakan ada reseptor untuk HIV, yaitu Fc reseptor
untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan
koresepetor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus ke dalam sel. HIV baik yang
virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan menuju kelenjar limfe
regional dan merangsang respons imun seluler maupun humoral. Mobilisasi limfosit ke
kelenjar ini justru menyebabkan makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Dalam
beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi serta
menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistem imun.

Anda mungkin juga menyukai