Anda di halaman 1dari 33

Referat

Dispepsia Fungsional

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang

Oleh:

Rony Wiranto, S.Ked


04084821921005

Pembimbing:
dr. M. Ali Apriansyah, Sp.PD, K.Psi

BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Dispepsia Fungsional

Oleh:
Rony Wiranto, S.Ked 04084821921005

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 2 Juni – 6 Juli 2020.

Palembang, Juni 2020

dr. M. Ali Apriansyah, Sp.PD, K.Psi

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul "Dispepsia Fungsional". Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. M. Ali Apriansyah, Sp.PD, K.Psi, selaku pembimbing
yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi banyak orang dan dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Palembang, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2
I. Brain-Gut Axis…………….................................................................................2
a. Anatomi dan Fisiologi Traktus Gastrointestinal....................................... 2
b. Regulasi dan Axis Traktus Gastrointestinal..............................................6
II. Dispepsia Fungsional...........................................................................................12
a. Definisi..................................................................................................... 12
b. Epidemiologi.............................................................................................12
c. Etiologi dan Faktor Risiko........................................................................13
d. Klasifikasi.................................................................................................14
e. Patofisiologi..............................................................................................14
f. Manifestasi Klinis.....................................................................................17
g. Penegakan Diagnosis................................................................................17
h. Penatalaksanaan........................................................................................23
i. Komplikasi................................................................................................27
j. Prognosis...................................................................................................27
BAB III KESIMPULAN................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan istilah yang gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an.
Istilah dipepsia digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat keluhan
atau kumpulan gejala (yang mengacu pada suatu sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di daerah epigastrium, tepatnya berada di antara umbilikus dan processus
xiphoideus, disertai mual, muntah, kembung, mudah kenyang, rasa penuh di perut, dan
sendawa1,2. Keluhan dispesia tersebut tidak selalu terdapat pada tiap pasien, dan bahkan pada
satu pasien keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya3.
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai pada praktek
klinis sehari-hari. Diperkirakan terdapat hampir 30% kasus dispepsia pada praktek umum.
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, baik
penyakit yang berlokasi di lambung, diluar lambung, maupun dampak manifestasi sekunder
dari suatu penyakit sistemik1,3. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu
kandung empedu) dan kelompok dimana sarana penujang diagnosis yang konvensional atau
baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan
patologik struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata lain, kelompok tersebut disebut
dengan gangguan fungsional atau dispepsia fungsional1.
Berdasarkan penelitian, pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Angka prevalensi dispepsia di
dunia bervariasi, namun umumnya hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis,
sementara itu sisanya mengobati diri sendiri dengan obat bebas yang beredar luas di pasaran.
Angka insiden dispepsia di Indonesia diperkirakan sampai 10% dimana kasus baru yang
datang pada pelayanan kesehatan lini pertama sebesar 5-7%1,4. Dispepsia merupakan keluhan
umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, referat ini
bertujuan untuk membahas dispepsia fungsional dimuali dari definisi, etiopatogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, hingga prognosisnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Brain-Gut Axis
a. Anatomi dan Fisiologi Traktus Gastointestinal
Traktus gastrointestinal merupakan sistem organ multiseluler yang terdapat pada
tubuh manusia. Secara umum, traktus gastrointestinal berfungsi untuk menerima,
mengolah, dan mengubah makanan menjadi bentuk energi yang dibutuhkan bagi
tubuh. Pola-pola traktus gastrointestinal yang bervariasi pada individu disebabkan
oleh karena integrasi dari jaringan-jaringan multipel dan tipe sel yang ada5.

Gambar 1. Traktus gastrointestinal6

Traktus gastrointestinal menyusun sistem pencernaan, berupa saluran kontinu


sepanjang tubuh dengan beberapa organ aksesoris, seperti kandung empedu dan
pankreas. Traktus gastrointestinal mengandung beberapa organ yang tersusun secara

2
konstituen dan memiliki bentuk yang bervariasi. Segmen traktus gastrointestinal
memiliki berbagai variasi, baik dari segi morfologi maupun otot penyusunnya.
Sfingter yang ada pada traktus gastrointestinal berfungsi untuk memisahkan traktus
menjadi beberapa kompartemen5. Secara umum traktus gastrointestinal melakukan
empat fungsi dasar pencernaan, yaitu: Motilitas yang merupakan gerakan kontraksi
otot yang mencampur dan mendorong maju isi saluran cerna; Sekresi yang berfungsi
untuk mengeluarkan enzim dan zat penting lainnya ke dalam lumen untuk proses
pencernaan; Pencernaan, dimana terjadi penguraian biokimiawi struktur kompleks
menjadi satuan kecil yang dapat diserap; serta Penyerapan, keadaan dimana unit-unit
kecil makanan dipindahkan dari lumen saluran cerna ke pembuluh darah atau limfe7.
Dinding traktus gastrointestinal umumnya mengandung empat lapisan utama,
yaitu:
 Mukosa
Mukosa merupakan lapisan paling dalam di permukaan luminal saluran cerna.
Bagian ini terdiri dari 3 lapis, yaitu:
 Membran mukosa: komponen primer lapisan mukosa berupa lapisan epitel
sebelah dalam, berfungsi sebagai permukaan protektif. Selain itu, lapisan ini
mengalami modifikasi pada beberapa bagian tertentu untuk menjalankan
fungsi sekresi dan absorpsi
 Lamina propia: lapisan tengah tipis jaringan ikat tempat epitel berada, yang
mengandung GALT (Gut-associated lymphoid tissue), yang penting dalam
sisem pertahanan terhadap bakteri penyebab penyakit
 Muskularis mukosa: lapisan otot polos yang jarang, dan merupakan lapisan
mukosa terluar yang terletak di samping submukosa7.
 Submukosa
Submukosa merupakan lapisan tebal jaringan ikat yang menentukan daya
regang dan elastisitas traktus gastrointestinal. Bagian ini mengandung banyak
pembuluh darah dan limfe, juga anyaman saraf yang disebut dengan pleksus
submukosa (pleksus meissner)7.

3
Gambar 2. Lapisan penyusun traktus gastrointestinal7

 Muskularis eksterna
Lapisan ini merupakan lapisan selubung otot polos utama traktus
gastrointestinal. Bagian ini terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan sirkular dalam
dan lapisan longitudinal luar. Serat di lapisan otot polos dalam mengelilingi
saluran, sehingga kontraksi serat ini mengurangi garis tengah lumen. Serat di
lapisan otot polos luar berjalan longitudinal di sepanjang saluran, sehingga
kontraksinya menyebabkan saluran memendek. Lapisan ini mengandung
anyaman saraf lain yang disebut dengan pleksus mienterikus (pleksus auerbach)7.
 Serosa
Lapisan serosa merupakan lapisan paling luar yang menutupi traktus
gastrointestinal. Bagian ini mengeluarkan cairan encer licin (cairan serosa) yang
melumasi dan mencegah gesekan antara organ-organ pencernaan dan viscera di
sekitarnya7.

Traktus gastrointestinal dimulai dari organ mulut yang merupakan suatu rongga
terbuka, yang berperan sebagai tempat masuknya makanan dan air. Pengecapan
dirasakan oleh reseptor perasa yang terdapat di permukaan lidah. Makanan yang
masuk ke dalam mulut kemudian dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan

4
dikunyah oleh gigi belakang (molar), menjadi bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah
protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar
dan berlanjut secara otomatis8.
Makanan kemudian diteruskan menuju ke tenggorokan (faring) dan masuk ke
kerongkongan (esofagus), dimana akan terjadi gerakan peristaltis yang
menghantarkan makanan menuju ke lambung (gaster). Lambung akan memulai
penampungan makanan serta menyediakan makanan ke duodenum dengan jumlah
sedikit secara teratur. Cairan asam lambung mengandung enzim pepsin yang
memecah protein menjadi pepton dan protease. Asam lambung juga bersifat
antibakteri. Molekul sederhana seperti besi, alkohol, dan glukosa dapat diabsorbsi
dari lambung8.
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Usus halus terdiri dari tiga
bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus
penyerapan (ileum)8.
Sementara makanan diabsorpsi di usus, zat yang tidak diabsorpsi akan diteruskan
menuju usus besar (kolon), yang dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Zat sisa yang
tidak diserap akan diteruskan menuju rektum, yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh
dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar.
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika
defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana

5
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang
lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi8.

b. Regulasi dan Axis Traktus Gastointestinal


Motilitas dan sekresi traktus gastrointestinal diatur secara cermat untuk
memaksimalkan pencernaan dan penyerapan makanan yang masuk. Terdapat empat
faktor berperan dalam mengatur fungsi sistem, yaitu:
 Fungsi otonom otot polos
Sel pada traktus gastrointestinal hampir sama seperti sel-sel otot jantung yang
dapat tereksitasi sendiri, sebagian dari sel-sel otot polosnya merupakan sel
pemacu (pacemaker) yang memiliki potensial membran ritmik spontan yang
bervariasi. Jenis utama aktivitas listrik spontan di otot polos pencernaan adalah
potensial gelombang lambat, yang juga dinamai Basic Elecnical Rhythm (BER),
yang merupakan irama listrik dasar saluran cerna7.

Gambar 3. Sel pemacu pada traktus gastrointestinal8

Sel pemacu tersebut yang mirip sel otot namun tidak berkontraksi dikenal
sebagai sel interstisium Cajal. Sel tersebut merupakan pemacu yang memicu

6
aktivitas gelombang lambat siklik dan terletak di batas antara lapisan otot polos
longitudinal dan sirkular. Gelombang lambat namun tidak cukup kuat untuk
secara langsung memicu kontraksi tersebut, merupakan fluktuasi aksi potensial
yang membawa membran mendekati atau menjauhi potensial ambang.
Mekanisme tersebut dipengaruhi oleh pelepasan Ca2+ dari retikulum endoplasma
sel dan penyerapan Ca2+ oleh mitokondria sel interstisium Cajal. Jika gelombang
tersebut mencapai ambang depolarisasi maka setiap puncak terpicu potensial aksi
sehingga terjadi siklus kontraksi secara ritmik dan berirama7.

 Pleksus saraf intrinsik


Pleksus saraf intrinsik traktus gastrointestinal memiliki dua anyaman utama
serat saraf, yaitu: pleksus submukosa dan pleksus mienterikus. Pleksus tersebut
masing-masing terdapat di dinding saluran cerna dan berjalan di sepanjang
saluran cerna. Tidak seperti sistem tubuh yang lain, saluran cerna memiliki sistem
saraf intramuralnya (di dalam dinding) sendiri. Gabungan dari kedua pleksus
tersebut dikenal dengan sistem saraf enterik7.
Pleksus intrinsik memengaruhi semua aspek aktivitas traktus gastrointestinal.
Pleksus ini mengandung berbagai jenis neuron, sebagian adalah neuron sensorik
yang memiliki reseptor yang berespons terhadap rangsangan lokal tertentu di
saluran cerna. Neuron lokal lain mempersarafi sel otot polos serta kelenjar
eksokrin dan endoktrin saluran cerna untuk secara lansung memengaruhi motilitas
dan sekresi hormon dan enzim pencernaan. Sama seperti susunan saraf pusat,
neuron-neuron sistem saraf enteric dihubungkan oleh suatu antarneuron. Sebagian
dari neuron motorik bersifat eksitatorik dan sebagian inhibitorik. Sebagai contoh,
neuron yang mengeluarkan asetilkolin sebagai neurotransmitter mendorong
kontraksi otot polos saluran cerna, sementara neurotransmiter nitrat oksida dan
vasoactive intestinal peptide (peptida usus vasoaktif) bekerja bersama untuk
menyebabkan relaksasi. Anyaman saraf intrinsik ini terutama mengoordinasikan
aktivitas lokal di dalam saluran cerna. Sebagai gambaran, jika sepotong besar
makanan terganjal di esofagus maka pleksus-pleksus intrinsik mengoordinasikan

7
respons lokal untuk mendorong maju makanan. Aktivitas saraf intrinsik
selanjutnya dapat dipengaruhi oleh saraf ekstrinsik7.

Gambar 4. Sistem saraf enterik traktus gastrointestinal8

 Saraf Ekstrinsik
Saraf ekstrinsik adalah serat-serat saraf dari kedua cabang sistem saraf
otonom, yaitu saraf simpatis dan parasimpatis yang berasal dari luar saluran cerna
dan mempersarafi berbagai organ pencernaan. Saraf otonom memengaruhi
motilitas dan sekresi saluran cerna dengan memodifikasi aktivitas yang sedang
berlangsung di pleksus intrinsik, mengubah tingkat sekresi hormon pencernaan,
atau pada beberapa kasus bekerja langsung pada otot polos dan kelenjar7.
Secara umum, saraf simpatis dan parasimpatis yang menuju ke suatu jaringan
menimbulkan efek berlawanan di jaringan tersebut. Sistem simpatis, yang
mendominasi pada situasi "fight-or-flight", cenderung menghambat atau
memperlambat kontraksi dan sekresi saluran cerna. Efek ini sesuai apabila
melihat bahwa proses pencernaan bukan prioritas tertinggi ketika tubuh
menghadapi suatu keadaan gawat. Sementara itu, sistem saraf parasimpatis
bekerja sebaliknya dengan mendominasi pada situasi "rest-or-digest", saat
berbagai aktivitas pemeliharaan umum misalnya pencernaan dapat berlangsung
optimal. Karena itu, serat saraf parasimparis yang mempersarafi saluran cerna,

8
yang datang terutama melalui saraf vagus, cenderung meningkatkan motilitas otot
polos dan mendorong sekresi enzim dan hormon pencernaan. Beberapa tanda
khas saraf parasimpatis pada saluran cerna adalah bahwa serat saraf pasca
ganglionnya (post-ganglion) sebenarnya adalah bagian dari pleksus saraf
intrinsik. Serat-serat tersebut merupakan neuron penghasil asetilkolin di dalam
pleksus. Karena itu, asetilkolin dilepaskan sebagai respons terhadap refleks lokal
yang seluruhnya dikoordinasikan oleh pleksus intrinsik serta regulasi dari refleks
vagal, yang bekerja melalui pleksus intrinsik7.
Selain diaktifkan selama lepas muatan simpatis atau parasimpatis secara
keseluruhan, saraf otonom, khususnya saraf vagus, dapat secara tersendiri
diaktifkan untuk hanya memodifikasi aktivitas pencernaan. Salah satu tujuan
utama pengaktifan spesifik persarafan ekstrinsik adalah untuk memadukan
aktivitas antar berbagai bagian saluran cerna. Sebagai contoh, tindakan
mengunyah makanan secara refleks meningkatkan tidak hanya sekresi liur tetapi
juga sekresi lambung, pankreas, dan hati melalui refleks vagus sebagai antisipasi
kedatangan makanan7.

Gambar 5. Saraf ekstrinsik traktus gastrointestinal8


 Hormon Pencernaan

9
Mukosa bagian tertentu dari traktus gastrointestinal memiliki sel-sel kelenjar
endokrin yang, pada stimulasi tertentu akan mengeluarkan hormon ke dalam
darah. Hormon-hormon pencernaan ini dibawa oleh darah menuju ke bagian-
bagian lain saluran cerna, tempat hormon tersebut menimbulkan efek, baik
eksitatorik atau inhibitorik pada otot polos dan kelenjar eksokrin. Setelah diteliti,
didaptkan bahwa banyak dari hormon-hormon yang sama juga dibebaskan dari
neuron di otak, yang bekerja sebagai neurotransmiter dan neuromodulator.
Selama perkembangan masa mudigah, sel-sel tertentu pada jaringan saraf yang
sedang berkembang bermigrasi ke sistem pencernaan, tempat sel-sel tersebut
menjadi sel endokrin7.

Gambar 6. Mekanisme hormonal dalam memengaruhi traktus gastrointestinal8

Dinding saluran cerna mengandung tiga jenis reseptor sensorik yang berespons
terhadap perubahan lokal di saluran cerna, yaitu:
 Kemoreseptor, yang peka terhadap komponen kimiawi di dalam lumen
 Mekanoreseptor, suatu reseptor tekanan yang peka terhadap peregangan atau
tegangan di dinding
 Osmoreseptor, yang peka terhadap osmolaritas isi lumen.

10
Perangsangan terhadap reseptor-reseptor ini memicu refleks saraf atau sekresi
hormon, di mana keduanya mengubah tingkat aktivitas di sel efektor sistem
pencernaan. Sel-sel efektor ini mencakup sel otot polos (untuk memodifikasi
motilitas), sel kelenjar eksokrin (untuk mengontrol sekresi getah pencernaan), dan sel
kelenjar endokrin (untuk mengubah sekresi hormon pencernaan). Pengaktifan
reseptor dapat menimbulkan dua jenis refleks saraf, yaitu7:
 Refleks Pendek
Refleks ini terjadi ketika jaringan saraf intrinsik memengaruhi motilitas lokal atau
sekresi sebagai respons terhadap stimulasi lokal spesifik, maka semua elemen
refleks terletak di dalam dinding saluran cerna itu sendiri, oleh karena itu disebut
refleks pendek.7
 Refleks Panjang
Refleks ini terjadi karena aktivitas saraf otonom ekstrinsik yang dapat berjalan di
atas kontrol lokal untuk memodifikasi respons otot polos dan kelenjar, baik untuk
menghubungkan aktivitas antara berbagai bagian saluran cerna atau untuk
memodifikasi aktivitas sistem pencernaan sebagai respons terhadap pengaruh
eksternal. Karena refleks otonom mencakup jalur-jalur panjang antara susunan
saraf pusat dan sistem pencernaan maka refleks-refleks tersebut dikenal sebagai
refleks panjang7.

Gambar 7. Jalur brain-gut axis dalam mengontrol aktivitas traktus gastrointestinal7

11
II. Dispepsia Fungsional
a. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa negara Yunani, yaitu ‘dys’ yang berarti buruk dan
‘pepsis’ yang artinya pencernaan1. Terdapat berbagai definisi tentang dispepsia.
Istilah dispepsia non-ulkus pertama kali dikenalkan oleh Thompson pada tahun
1984, untuk menggambarkan keadaan kronis berupa rasa tidak nyaman pada daerah
epigastrium yang sering berhubungan dengan makanan. Gejalanya tampak seperti
ulkus namun dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya ulkus. Sementara itu
Lagarde dan Spiro pada tahun 1984 menyebutnya sebagai dispepsia fungsional
untuk keluhan tidak enak pada daerah perut bagian atas yang bersifat intermiten,
sementara pemeriksaan tidak didapatkan kelainan organis4.
Salah satunya kriteria yang dapat dipakai adalah kriteria Roma IV, yang
merupakan kriteria terbaru dan diterbitkan pada tahun 2016 2,9. Menurut kriteria
Roma IV, dispepsia fungsional atau dapat juga disebut dengan irritable stomach
syndrome adalah munculnya gejala dan keluhan dispepsia ketika pemeriksaan
diagnostik rutin, termasuk endoskopi, tidak mampu mengidentifikasi adanya
abnormalitas, baik secara struktural maupun biokimia 9.

b. Epidemiologi
Dispepsia fungsional merupakan salah satu penyakit fungsional yang sering
ditemukan pada praktek klinis, dengan kisaran kasus sebesar 10-20%. Dispepsia
fungsional menyebabkan gejala pada traktus gastrointestinal 2. Dispepsia fungsional
memiliki prevalensi yang bervariasi di seluruh dunia, dimana prevalensi tertinggi
ditemukan di negara-negara barat (10-40%)10. Dispepsia fungsional menyerang 29%
pekerja kantor dari total populasi di Amerika Serikat. Sementara itu, di Benua Eropa
sebanyak 20.6% populasi mengalami gejala nyeri epigastrium 11. Pada negara-negara
di Asia, prevalensinya berkisar 5-30%10. Dispepsia fungsional di Indonesia dilaporkan
memiliki tingkat prevalensi sebesar 10% dari total kunjungan ke sarana layanan
primer1,4.
Prevalensi dispepsia fungsional meningkat secara signifikan terhadap peningkatan
usia seseorang. Selain itu, faktor demografi lain seperti tingkat sosioekonomi dan

12
tingkat urbanisasi dikatakan tidak berhubungan secara signifikan dalam prevalensi
gejala dispepsia11. Dispepsia fungsional ditemukan lebih sering pada wanita
dibandingkan pria. Hal tersebut dikatakan berhubungan dengan perbedaan
karakteristik kromosom seks yang berkaitan dengan fungsi gastrointestinal, seperti
misalnya perbedaan hormonal dan pain signaling10.

c. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dari dispepsia fungsional telah diteliti selama dua dekade terakhir. Tidak
terbukti sampai sekarang bahwa dispepsia fungsional hanya disebabkan oleh satu
faktor saja, oleh karena itu dispesia fungsional bersifat multifaktorial. Beberapa
kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, dan psikologis pada setiap individu
membuat keluhan-keluhan yang muncul pada sindrom dispepsia bervariasi 11. Faktor
psikis/emosi juga memegang peranan penting, baik untuk timbulnya gangguan
maupun pengaruh terhadap perjalanan penyakitnya4. Selain itu, dikatakan bahwa
interaksi otak-sistem pencernaan juga terlibat dalam pembentukan penyakit ini11.
Nyeri abdomen dilaporkan berhubungan dengan gen tertentu pada pembentukan
penyakit dispepsia fungsional. Beberapa studi mengungkapkan adanya gangguan
transduksi sinyal pada dispepsia fungsional yang berkaitan dengan polimorfisme
GNβ3-TT genotype dan CCK-A receptor CC genotype2. Faktor dalam tiap individu
seperti motilitas traktus gastrointestinal, keadaan hipersensitivitas viseral, intoleransi
makanan, dan sekresi asam lambung juga memengaruhi terjadinya dispepsia
fungsional11.
Selain faktor genetik dan faktor individu, faktor lingkungan dan agen infeksius
dikatakan juga dapat memicu terjadinya dispepsia fungsional. Peran bakteri
Helicobacter pylori dalam memengaruhi terjadinya dispepsia fungsional telah diteliti
lebih lanjut. H. pylori dilaporkan dapat memicu proses inflamasi 2,11. Keadaan post-
infeksi juga merupakan risiko terjadinya dispesia fungsional. Bakteri Salmonella
gastroenteritis ditemukan secara signifikan tidak hanya pada kasus IBS, namun juga
pada kasus dispepsia setelah satu tahun follow-up infeksi akut bakteri tersebut11.
Faktor psikologis seperti adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus

13
stres sentral. Selain itu, kecemasan dan depresi dilaporkan juga menjadi faktor risiko
meningkatkan kejadian dispepsia fungsional12. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di RSCM mengatakan bahwa adapun hal-hal di kehidupan sehari-hari yang
berhubungan erat dengan dispepsia fungsional yaitu: masalah pada anak (30%),
masalah hubungan antar manusia (27%), persoalan suami/istri dalam pernikahan
(23%), serta masalah dalam pekerjaan (21%)4.

d. Klasifikasi
Kriteria Roma IV terbaru membagi dispepsia fungsional menjadi dua subgrup
berdasarkan gejala kardinal yang muncul pada pasien, yaitu:
 Epigastric Pain Syndrome (EPS), dimana gejalanya yang mendominasi ialah
nyeri daerah epigastrik (epigastric pain) atau sensasi seperti terbakar (burning).
Subgrup ini diperkirakan mencapai 30% dari kasus dispepsia fungsional.
 Postprandial Distress Syndrome (PDS), dimana gejalanya yang mendominasi
ialah rasa penuh, begah, atau kenyang. Subgrup ini diperkirakan mencapai 70%
dari kasus dispepsia fungsional2,3,9.

Gambar 8. Klasifikasi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria Roma IV2

e. Patofisiologi
Dispepsia fungsional merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Beberapa
kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, dan psikologis/psikis pada setiap individu
membuat keluhan-keluhan yang muncul pada sindrom dispepsia dapat bervariasi 11.

14
Brain-gut axis merupakan jalur axis berupa interaksi antara otak dan sistem
pencernaan yang dikatakan berperan penting dalam proses awal patogenesis penyakit
ini4.
Faktor predileksi berupa faktor genetik seperti polimorfisme GNβ3-TT genotype
dan CCK-A receptor CC genotype2, juga dapat meningkatkan risiko penyakit dispesia
fungsional terjadi. Interaksi brain-gut axis memulai patogenesis penyakit ini, yang
dapat dipicu oleh suatu stressor/rangsangan psikis/emosi. Rangsangan psikis/emosi
tersebut secara fisiologi dapat memengaruhi regulasi dan axis traktus gastrointestinal.
Mula-mula, rangsangan tersebut muncul pada korteks serebri, yang memang
strukturnya bekerja sebagai fungsi luhur manusia.
Rangsangan dari korteks serebri akan memengaruhi brain-gut axis, baik melalui
kerja hipotalamus anterior yang kemudian memengaruhi nervus vagus yang
merupakan saraf ekstrinsik bagi regulasi traktus gastrointestinal. Saraf ekstrinsik akan
bekerja memengaruhi pleksus saraf intrinsik, sehingga terjadi perubahan aktivitas
traktus gastrointestinal4. Perubahan aktivitas tersebut ditandai dengan terjadinya
peningkatan asam lambung, dismotilitas lambung, serta inflamasi berupa gastritis dan
duodenitis kronis yang diyakini bahwa faktor agen infeksius yaitu Helicobacter pylori
juga berperan dalam patogenesis ini4,11. Selain itu. dilaporkan bahwa brain-gut axis
juga mengakibatkan perubahan komposisi dan fungsi akibat terganggunya
permeabilitas traktus gastrointestinal, sehingga mengakibatkan antigen bakteri
mampu mempenetrasi ke dalam lapisan epitel dan menstimulasi respon imun di
lapisan mukosa13. Rangsangan pada korteks serebri juga dapat memengaruhi traktus
gastrointestinal melalui mekanisme neurohormonal, dimana rangsangan yang sampai
pada hipotalamus anterior hingga hipofisis anterior akan menghasilkan kortikotropin.
Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal dan kemudian menghasilkan
hormon-hormon adrenal yang merangsang sekresi asam lambung. Selain itu, depresi
dan kecemasan juga memengaruhi traktus gastrointestinal dan mengakibatkan
perubahan sekresi asam lambung hingga menurunkan ambang rangsang nyeri4.
Perubahan aktivitas traktus gastrointestinal pada pasien mengakibatkan timbulnya
berbagai keluhan yang tidak selalu berdasarkan adanya kelainan organik. Dengan kata
lain, keluhan tersebut adalah manifestasi somatis dari kelainan psikis yang ada pada

15
pasien, seperti depresi dan kecemasan. Keluhan yang akan timbul akibat perubahan
aktivitas traktus gastrointestinal ialah nyeri epigastrium, yang dapat dipicu oleh
peningkatan sekresi asam lambung maupun dismotilitas lambung, hingga rasa penuh,
kenyang, dan tidak nyaman4.

Gambar 9. Patofisiologi dispepsia fungsional13


f. Manifestasi Klinis

16
Dispepsia fungsional dapat memiliki jenis keluhan yang bervariasi, baik secara
kuantitas maupun kualitasnya pada setiap pasien. Kriteria Rome IV membantu untuk
menentukan subtipe juga gejala dominan mana yang terdapat pada pasien dispepsia
fungsional.
 Apabila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada
malam hari dapat dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe Epigastric Pain
Syndrome (EPS).
 Apabila kembung, mual, hingga cepat kenyang merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan, maka dapat dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe
Postprandial Distress Syndrome (PDS)1.

g. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, maupun pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Anamnesis yang akurat ialah dapat memperoleh gambaran keluhan yang terjadi,
karakteristik keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau
manifestasi gangguan sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk
menginterpretasikan keluhan antara dokter dan pasien yang dihadapinya. Pada
anamnesis, beberapa hal yang perlu ditanyakan ialah14:
o Identitas dan pekerjaan
o Umur
o Jenis kelamin
o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan
o Riwayat penyakit sekarang
o Riwayat penyakit dahulu
o Riwayat keluarga
o Riwayat sosial
o Riwayat obat yang sudah digunakan

17
Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang dapat
terjadi, yaitu:
Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal

Selain itu, perlu juga menentukan apakah nyeri bersifat akut atau kronik. Pada
nyeri kronik banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam
menentukan diagnosis. Kualitas dan intensitas nyeri yang dialami pasien juga dapat
diidentifikasi. Kualitas dan intensitas nyeri dapat digambarkan dengan beberapa skala
seperti VAS Score hingga NPRS. Pada dasarnya, keluhan juga harus dibedakan
apakah nyeri bersifat kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat
tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas pada
esofagitis, atau nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis14.

 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari
pasien, dimana dokter kemudian mendapatkan gambaran penyakit yang diderita
pasien tersebut, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk
mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga tindakan terapi/penatalaksanaan dapat
diberikan secara optimal. Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik
adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi1,14.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi untuk mengidentifikasi apakah ada kelainan intra abdomen atau intra
lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai
dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis. Perhatikan tanda-tanda spesifik yang
muncul pada pasien sehingga dapat dijadikan acuan untuk menegakkan diagnosis
kerja. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium berfungsi untuk
mengidentifikasi apakah pasien mengalami infeksi (leukositosis), atau keluhan pasien

18
merupakan suatu manifestasi klinis penyakit seperti pankreatitis (amilase, lipase)
hingga keganasan saluran cerna (CEA, CA19-9, AFP)1,14.
Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi apakah terdapat kelainan
padat intra abdomen, misalnya adanya batu kandung empedu, kolesistis, sirosis hati
dan sebagainya. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan
dugaan adanya obstruksi, muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah
berlangsung lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat
mengarah pada gangguan organik, terutama keganasan, sehingga memerlukan
eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi
dengan akurat adanya kelainan struktural/ organik intra lumen saluran cerna bagian
atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta dapat disertai
pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai memperoleh
gambaran histopatologinya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi apakah
ada kuman Helicobacter pylori1,14.
Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah
pemeriksaan untuk mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini
terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/stenotis/obstruktif
dimana skop endoskopi tidak dapat melewatinya. Pada umumnya pemeriksaan fisik
dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak spesifik karena dalam aplikasi
klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan gambaran yang tepat dalam
rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab penyakit. Tetapi
pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang
disertai alarm symptoms1,14.

 Diagnosis Kerja
Diagnosis dispepsia fungsional memerlukan teknik anamnesis yang cermat, sebab
tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan
penderita. Dalam mendiagnosis dispesia fungsional, terdapat konsesus yang dapat

19
dijadikan sebagai acuan, yaitu Kriteria Roma IV (2016), yang khusus membicarakan
tentang kelainan gastrointestinal fungsional. Kriteria Roma IV langsung membagi
dispepsia fungsional menjadi dua subgrup. Adapun kriteria diagnosis dispesia
fungsional ialah3:
 Postprandial distress syndrome (PDS)
 Adanya keluhan berupa rasa kembung, penuh, atau kekenyangan yang berat
sehingga berakibat pada aktivitas atau menghabiskan makanan dengan ukuran
yang biasa dikonsumsi
 Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural (termasuk didalamnya
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menjelaskan
penyebab keluhan tersebut.
 Keluhan terjadi dalam jangka waktu 3 hari tiap minggu atau lebih selama 3
bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan3.
 Epigastic pain syndrome (PDS)
 Adanya keluhan berupa nyeri di daerah epigastrium (nyeri epigastrik) atau
sensasi terbakar
 Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural (termasuk didalamnya
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menjelaskan
penyebab keluhan tersebut.
 Keluhan terjadi dalam jangka waktu 1 hari atau lebih tiap minggu selama 3
bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan3.

Kriteria tersebut memiliki batasan waktu tertentu yang ditujukan untuk


meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme
penanganan dispepsia, bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat
badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang persisten, maka merupakan petunjuk
awal kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya1.

20
 Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding yang dapat dipikirkan pada kasus dispepsia fungsional
adalah:
1. Dispepsia organik, yang meliputi:
 Gastritis
: Pada kasus ini, infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan
penyebab gastritis yang sangat penting. Kebanyakan gastritis tanpa gejala.
Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa keluhan yang tidak khas.
Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas
dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-
keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-
keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberasilan
pengobatan. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan untun menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Gambaran endoskopi yang dapat
dijumpai adalah adanya eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion,
perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain
menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan
proses yang mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif mukosa
lambung. Perubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel,
hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel
limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel
parietal. Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan
kuman Helicobacter pylori14.
 Gastropati
: Gastopati yang disebabkan oleh refluks empedu dan OAINS sering disebut
sebagai gastropati kimiawi atau gastropati reaktif atau gastritis tipe C.
Terdapat 3 kategori pasien gastropati kimiawi, yaitu: adanya refluks empedu
setelah gastroktomi parsial, refluks empedu sebagai bagian dari sindrom
dismotilitas gastrointestinal dan riwayat penggunaan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS ) kronik14.

21
2. Tukak peptik/Ulkus peptikum
: Penyakit tukak peptik, yaitu tukak lambung (TL) dan tukak duodenum (TD)
merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam
kelompok umur diatas 45 tahun. Secara anatomis, suatu tukak adalah hilangnya
epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≤ 5mm yang dapat
diamati secara endoskopis atau radiologis. Pada tukak duodenum rasa sakit timbul
waktu pasien merasa lapar, rasa sakit membangunkan pasien tengah malam, rasa
sakit hilang setelah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief/
HPFR). Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, berbeda dengan tukak
duodenum yang merasa enak setelah makan, rasa sakit tukak gaster sebelah kiri
dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah perut. Rasa sakit bermula
pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini
kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi
berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. Muntah kadang timbul pada tukak
peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric
outlet). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction
melalui terbentuknya fibrosis/edema serta spasme14.

3. Gastroesofageal reflux disease (GERD)


: Penyakit refluks gastro esofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas.
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heart-burn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. GERD
juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan
sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/
NCPP), suara serak, larinigitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma. Gejala GERD biasanya perlahan-lahan, sangat jarang
terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Pada

22
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas yang merupakan gold standard
untuk diagnosis GERD ialah ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut
sebagai non-erosive reflux disease (NERD)14.

h. Penatalaksanaan
 Pendekatan umum
Prinsip pengobatan dispepsia fungsional ialah hendaknya dilakukan melalui
pendekatan psikosomatis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial,
dan lingkungan. Beberapa keluhan dispepsia dapat juga diatasi dengan pemberian
obat-obatan4. Secara umum, pengobatan dispepsia terbagi atas:
- Medikamentosa
Oleh karena gejala gangguan dispepsia fungsional bervariasi,
penatalaksanaan medikamentosa disesuaikan tergantung dari keluhan dan
gejala dominan pada pasien. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kepuasan
pasien berobat4. Adapun beberapa obat yang dianjurkan dalam tatalaksana
dispepsia fungsional adalah:
 Antasida
: Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita
dispepsia. Antasida merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan
asam lambung dengan menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH
lambung ≤ 4 dan merupakan suatu basa lemah14.
 Penyekat H2 reseptor/antagonis reseptor histamin-H2
: Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak
tersamar ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal
memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebagian lagi
berhasil. Secara meta-analisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas
plasebo. Masalah pokok adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan
juga kemungkinan masuknya kasus penyakit refluks gastroesofageal.

23
Umumnya manfaatnya dapat digunakan untuk menghilangakn rasa nyeri ulu
hati1.
 Penghambat pompa proton (PPI)
: Obat ini memiliki respons yang baik, terlihat pada pasien dengan dispepsia
fungsional tipe ulkus. Obat ini paling efektif menekan sekresi asam lambung
dan merupakan suatu obat yang membutuhkan suasana asam sehingga harus
diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi bersama H2-
reseptor antagonis dan antasida1,14.
 Sitoproteksi
: Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang
mengemukakan adanya manfaat yang dapat dinilai1.
 Prokinetik
: Obat yang termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis
reseptor dopamin D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak
melewati sawar otak 0 dan cisapride 9 agonis reseptor 5-HT4). Dalam
berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan cisapride mempunyai
efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri
epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual1. Metoklopramid
yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas
studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya. Cisapride
tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat
dibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia
lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya
pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga
pemakaiannya berada dalam pengawasan1.
 Obat lain – lain
: Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia
fungsional, membuat peran obat-obatan yang bermanfaat dalam
menghilangkan persepsi nyeri juga dapat digunakan. Dalam beberapa
penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat

24
menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen. Kappa-opioid
agonist (fedotoxine) dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam
studi pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan
pada dispepsia fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih
dipertanyakan. Obat golongan agonist 5-HT1 (sumatriptan dan busipiron)
dapat memperbaiki akomodasi lambung dan memperbaiki rasa keluhan
cepat kenyang setelah makan1.

- Non-medikamentosa
Selain terapi medikamentosa, penatalaksanaan non-medikamentosa yang
paling penting ialah edukasi kepada pasien. Dokter dapat menjelaskan dan
meyakinkan pasien (reassurance) mengenai penyakitnya. Dokter harus dapat
meyakinkan pasien bahwa gejala yang dirasakan sudah umum terjasi dan tidak
akan membahayakan jiwa. Perhatian penuh dan empati dokter dalam
menanggapi keluhan yang disampaikan pasien, akan sangat besar pengaruhnya
terhadap hubungan dan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Hal
tersebut dapat membuat kepercayaan pasien akan muncul dan membantu
pasien dalam melatih mekanisme adaptasi/coping terhadap gejala yang
dialaminya4.
Selain itu, dokter dapat memberitahu pasien tentang perlunya terapi
dietetik kepada pasien, berupa perubahan pola makan menjadi sesuai dengan
anjuran dan aturan, disesuaikan dengan kondisi individu. Walaupun memang
belum ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara
bermakna. Prinsip dasar atau edukasi lainnya yang dapat diberikan ialah
menghindari makanan pencetus serangan yang dapat merangsang timbulnya
keluhan, seperti makanan pedas, asam, tinggi lemak, kopi sebaiknya dipakai
sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan sampai
menurunkan/mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat
kenyang, dapat dianjurkan untuk makan dalam bentuk porsi kecil tapi sering
dan rendah lemak1,14. Selain itu, beberapa edukasi dan anjuran yang dapat
diberikan ialah:

25
- Atur pola makan
- Olahraga teratur
- Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi
lambung (coklat, keju, dll.)
- Hindari makanan yang terlalu pedas
- Hindari minuman dengan kadar kafein tinggi, alkohol, serta kurangi merokok
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
- Kelola stress psikologi dengan efisien14.

Dalam beberapa dekade terakhir, terapi perilaku atau psikoterapi dikatakan


dapat mengatasi atau mengurangi stres dan konflik psikososialnya. Pasien
sering tidak memahami bahwa yang menjadi sebabnya adalah faktor di luar
fisik yaitu faktor psikososial. Pengobatan psikologi dan terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioural therapy), hipnosis, dan psikoterapi merupakan
pengobatan yang aman, efektif, dan bertahan lama. Terdapat banyak
keuntungan yang diperlihatkan apabila menangani gangguan fungsional
saluran cerna dengan terapi psikologis. Hal terpenting dalam pengobatan ini
adalah terhindarnya pasien dari adiksi obat-obatan, efek samping penggunaan
obat, hingga biaya pengobatan yang mahal4.

Gambar 10. Algoritma tatalaksana gangguan fungsional saluran cerna4

26
i. Komplikasi
Kondisi dispepsia fungsional dikelompokkan sebagai salah satu manifestasi klinis
somatisasi, dimana kondisi tersebut tidak berkaitan dengan peningkatan mortalitas
pasien. Namun, hal itu dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pasien, baik
secara fisik maupun mental sehingga pasien mengalami distres dan penurunan
kualitas hidup. Sekitar 10-20% pasien juga mengeluh kehidupan sosialnya terganggu,
harus lebih banyak mengunjungi fasilitas klinik, dan kualitas hidupnya memburuk10.

j. Prognosis
Dispepsia fungsional dilaporkan sering mengalami keadaan relaps dan remisi.
Beberapa studi populasi menunjukkan bahwa saat dilakukan follow-up, sebanyak 15-
20% pasien mengeluh keluhannya tidak membaik, sementara 50% pasien membaik
dan mengalami resolusi sempurna. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa
dispepsia fungsional berhubungan dengan mortalitas, namun justru berkaitan dengan
penurunan kualitas hidup10.
Terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian bagi klinisi dalam menatalaksana
gangguan fungsional saluran cerna, yaitu:
 Adanya faktor pencetus yang baru (seperti efek samping obat, perubahan diet,
gangguan/penyakit lain yang bersamaan munculnya)
 Ketakutan baru akan penyakit serius (seperti adanya kematian dalam keluarga)
 Komorbiditas psikologi dan psikiatri (ketergantungan obat, depresi, kecemasan)
 Ketidaksanggupan untuk tidak bekerja secara tiba-tiba (seperti bertambahnya rasa
tak mampu)
 Gangguan/kelainan yang tersembunyi (seperti penggunaan obat narkotika)
 Meskipun pasien mengalami gangguan fungsional, klinisi tetap harus waspada4.

27
BAB III
KESIMPULAN

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau


kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati,
kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah.
Dispepsia fungsional merupakan dispepsia dimana sarana penujang diagnosis yang
konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan
adanya gangguan patologik struktural atau biokimiawi1.
Dispepsia fungsional diperkirakan sering ditemukan pada praktek klinis, dengan
kisaran kasus sebesar 10-20%2. Dispepsia fungsional memiliki prevalensi yang bervariasi
di seluruh dunia10. Terdapat beberapa etiologi dan faktor risiko yang dapat menyebabkan
terjadinya dispepsia fungsional, diantaranya adalah faktor genetik, faktor lingkungan
seperti agen infeksius bakteri Helicobacter pylori maupun faktor psikologis/psikis
individu yang bersangkutan, seperti adanya depresi atau kecemasan11,12.
Berdasarkan kriteria Roma IV terbaru, dispepsia fungsional terbagi menjadi dua
subgrup berdasarkan gejala kardinal pasien, yaitu Epigastric Pain Syndrome (EPS),
dimana gejalanya yang mendominasi ialah nyeri daerah epigastrik (epigastric pain) atau
sensasi seperti terbakar (burning), sementara Postprandial Distress Syndrome (PDS),
dimana gejalanya yang mendominasi ialah rasa penuh, begah, atau kenyang2,3,9.
Diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan berdasarkan keluhan pasien
yang didapatkan dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dapat membantu menyingkirkan penyebab organik/biokimiawi9.
Terdapat beberapa tatalaksana dispepsia fungsional yang dapat diberikan. Secara
umum, tatalaksana menekankan pendekatan psikosomatis sebagai prinsip utama dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan 4. Tatalaksana lainnya
seperti obat-obatan diberikan sesuai dengan keluhan yang dialami pasien. Kondisi
dispepsia fungsional yang tidak dapat ditangani dengan baik dan menimbulkan gejala
yang persisten dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien, baik secara fisik
maupun mental10.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharmika Djojodiningrat. 2006. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; hal 529-33.
2. Madisch, A., Andresen, V., Enck, P., Labenz, J., Frieling, T., dan Schemann, M. 2018.
The Diagnosis and Treatment of Functional Dyspepsia. Dtsch Arztebl Int; 115(13):
222–232.
3. Talley, N.J., Goodsall, T., dan Potter, M. 2017. Functional dyspepsia. Aust Prescr;
40(6): 209–213.
4. Mudjaddid, E. 2006. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4.
Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:hal 475.
5. Liao, D.H., Zhao, J.B., dan Gregersen, H. 2009. Gastrointestinal tract modelling in
health and disease. World J Gastroenterol; 15(2): 169–176.
6. Chennai, T. 2020. Anatomy of the gastrointestinal tract. Brainkart; 3 (2): 28.
7. Sherwood, L.Z., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-8. Jakarta: EGC;
hal 595-677.
8. Keshav, S. 2004. The Gastrointestinal System at a Glance. Edisi ke-1. Victoria:
Blackwell Science Ltd; hal 40-44.
9. Schmulson, M.J. dan Drossma, D.A. 2017. What is new in Rome IV. J
Neurogastroenterol Motil; 23(2): 151-163.
10. Francis, P., dan Zavala, S.R. 2020. Functional dyspepsia. StatPearls Publishing; 16(2).
11. Brun, R. dan Kuo, B. 2010. Functional dyspepsia. Therap Adv Gastroenterol; 3(3): 145-
164.
12. Talley, N.J. 2017. Functional dyspepsia: advances in diagnosis and therapy. Gut Liver;
349-357.
13. Carabotti, M., Scirocco, A., Maselli, M.A. dan Severi, C. 2015. The gut-brain axis:
interactions between enteric microbiota, central and enteric nervous system. Ann
Gastroenterol; 28(2): 203-209.
14. Isselbacher, Braunwald dkk. Dalam: Harrison: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-13. Jakarta: EGC; hal 1532-43.

29

Anda mungkin juga menyukai