Anda di halaman 1dari 9

Tatalaksana

Penatalaksanaan limfoma non hodgkin bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe
limfoma (jenis histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum
pasien. Tatalaksana yang dipaparkan berikut ini adalah tatalaksana secara umum pada subtipe
limfoma yang sering ditemukan. Pasien yang menjalani terapi kemoterapi perlu dirawat
dalam ruang isolasi untuk menghindari infeksi pada fase anaplasia kemoterapi (ESMO, 2020)

Tabel Stadium Ann Arbor (Ramadas et al., 2017)

European Partnership for Action Against Cancer (EPAAC) dan The European Society
for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN menyatakan bahwa pasien kanker perlu
dilakukan skrining gizi untuk mendeteksi gangguan nutrisi, asupan nutrisi, penurunan berat
badan, dan indeks makssa tubuh sedini mungkin sejak pasien didiagnosis kanker. Pada pasien
yang mengalami hasil skrining abnormal, perlu dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif
asupan nutrisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistemik (Donohue et al., 2011)

Berikut tatalaksana limfoma non hodgkin berdasarkan subtipe:

Limfoma Sel-B dan Sel-T Prekursor


Limfoma limfoblastik dapat berasal dari prekursor sel-B maupun sel-T. Pada jenis
limfoma ini, tatalaksana diberikan sesuai dengan regimen pada pengobatan leukemia
limfoblastik akut. Kedua jenis neoplasma ini cenderung progresif dan memiliki
kecenderungan persebaran ke sistem saraf pusat (Armitage et al., 2017).

Diffuse Large B-Cell Lymphoma (DLBCL)

Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) adalah subtipe limfoma non hodgkin tersering.
Kemajuan manajemen DLBCL terpenting dalam dua dekade terakhir adalah penambahan
rituximab pada kemoterapi mengandung antrasiklin, yang meningkatkan hasil pengobatan
secara signifikan. Regimen tersebut terdiri dari: siklofosfamid, doxorubicin, vincristine,
prednisone, dan rituximab (CHOP-R). Regimen diberikan setiap 3 minggu. Regimen lainnya
yang juga dilaporkan adalah doxorubicin, siklofosfamid, vindesine, bleomycin, prednison,
dan rituximab (ACVBP-R) lebih baik dari CHOP-R pada pasien usia muda. Penggunaan
regimen etoposide, prednison, vincristine, siklofosfamid, doxorubicin, dan rituximab
(EPOCH-R) lebih baik dibanding CHOP-R (masih dalam uji klinis fase 2) (Armitage et al.,
2017).
DLBCL dibagi menjadi dua subtipe, germinal center B-cell like (GCB) dan non-
GCB/activated B-cell like (ABC). Namun, penggunaan gene expression profiling (GEP)
masih sulit diaplikasikan, sehingga international prognostic index (IPI) masih memiliki peran
penting dalam menentukan prognosis.Positron emission tomography (PET)
direkomendasikan untuk staging awal dan restaging setelah terapi sistemik, namun tidak
direkomendasikan untuk restaging interim, modifikasi tatalaksana, serta pemeriksaan tindak
lanjut rutin. Berikut adalah rekomendasi tatalaksana DLBCL berdasarkan usia pasien, skor
IPI, ada/tidaknya bulky disease, dan komorbiditas (Bruce et al., 2013):
 Pasien usia muda dengan skor IPI low atau low-intermediate, tanpa bulky disease :
regimen R-CHOP 21 sebanyak 6 kali
 Pasien usia muda dengan skor IPI low atau low-intermediate, dengan bulky disease  :
regimen R-CHOP 21 sebanyak 6 kali dengan radioterapi pada lokasi bulky disease,
atau regimen R-ACVBP
 Pasien usia muda dengan skor IPI high-intermediate atau high : regimen R-CHOP21
mungkin tidak cukup, dapat diberikan regimen lain seperti R-CHOEP14, R-ACVBP,
konsolidasi dengan high dose therapy (HDT) ditambah autologous stem cell
transplant (ASCT)
 Pasien lansia (>60 tahun) dengan kondisi sehat : regimen yang diberikan adalah R-
CHOP21 sebanyak 8 siklus, atau R-CHOP14 sebanyak 6 siklus dengan 8 siklus
rituximab (R-CHOP 14 x 6 dengan 8R)

 Pada pasien lansia dengan complete response (CR) setelah 4 siklus R-CHOP21,


cukup diberikan 6 siklus
 Pasien lansia >80 tahun tanpa disfungsi jantung, regimen yang diberikan adalah R-
miniCHOP21 (reduced dose regimen) sebanyak 6 siklus
 Pasien lansia dengan disfungsi jantung dapat diberikan substitusi dengan adriamycin,
seperti etoposide, dengan regimen R-C(X)OP21 sebanyak 6 siklus atau pengobatan
paliatif

Tatalaksana DLBCL relaps/resisten:

 Pasien usia muda : rituximab dan regimen berbasis platinum (contoh: cisplatin)
sebagai regimen salvage
 Pasien kemosensitif: konsolidasi remisi dengan HDT dan ASCT (Bruce et al., 2013)

Limfoma Folikuler (FL)


Limfoma folikuler (FL) merupakan limfoma non hodgkin kedua paling sering. Limfoma
folikuler dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan jumlah transformasi sel pada tumor
berdasarkan WHO. [23] Beberapa rekomendasi untuk tatalaksana FL adalah sebagai berikut:

 Pasien stadium Ia dan Iia terbatas: radioterapi (RT) lokal, dengan dosis 24 Gy dalam
12 fraksi.

 Pasien asimtomatik, stadium lanjut (III/IV): dilakukan observasi (watchful waiting)


untuk menunda efek samping kemoterapi. Pengobatan dimulai bila ada tanda dan
gejala karena limfoma, yaitu:
 Gejala B

 Keterlibatan organ simtomatik atau mengancam nyawa

 Asites atau efusi pleura berat akibat limfoma

 Progresi limfoma yang cepat

Tanpa gejala-gejala berikut, tatalaksana juga diberikan pada kondisi:


 Bulky disease (lebih dari 3 nodus dengan diameter >3 cm atau nodus terbesar >7 cm)
 Peningkatan LDH atau β2-mikroglobulin

 Pasien simtomatik, stadium lanjut (III/IV): Rituximab dengan regimen CVP


(siklofosfamid, vincristine, prednisone), CHOP, bendamustine, chlorambucil, atau
lainnya. Untuk menghindari efek samping kemoterapi, dapat diberikan rituximab saja
 Terapi rumatan dengan rituximab dapat diberikan untuk memperpanjang remisi
dengan efek samping yang minimal

 Pasien dengan relaps (kedua atau seterusnya): high dose therapy (HDT) dan


transplantasi allogeneic dengan reduced intensity conditioning (RIC) (Bruce et al.,
2013)
Marginal Zone Lymphoma (MZL)
Marginal zone lymphoma (MZL) dibagi menjadi limfoma mucosa associated
lymphoid tissue (MALT), nodal marginal zone lymphoma (NMZL), dan splenic marginal
zone lymphoma (SMZL). Pasien dengan limfoma MALT umumnya terinfeksi Helicobacter
pylori, sehingga eradikasi infeksi akan menyebabkan remisi klinis. Namun, adanya
translokasi t(11;18) merupakan prediktor gagal remisi dan relaps. Pasien dengan NMZL
ditatalaksana dengan kemoterapi, antibodi monoklonal, atau kombinasi. Pasien dengan
SMZL dapat ditatalaksana dengan rituximab atau splenektomi.
MZL lokal terutama direpresentasikan oleh MZL ekstranodal tipe MALT, namun
dapat terjadi kasus diseminata (25%). Penatalaksanaan limfoma MALT bergantung pada
infeksi H. pylori, stadium, dan respon terapi eradikasi H. pylori.
Tatalaksana MZL lokal adalah sebagai berikut:

 Limfoma MALT gaster, pylori positif, stadium I-II: terapi eradikasi H. pylori, tanpa


memperhitungkan stadium atau derajat histologis. Regimen erdikasi: PPI
+ clarithromycin-based triple therapy dengan amoxicillin atau metronidazole 10-14
hari Hasil terapi H. pylori diperiksa dengan urea breath test 6 minggu setelah
eradikasi, dan 2 minggu setelah penghentian proton pump inhibitor (PPI)
 Limfoma MALT non-gaster, pasien dengan keterlibatan gaster yang gagal
eradikasi pylori: involved field radiotherapy pada stadium lokal, kemoterapi,
imunoterapi, atau kombinasi
 Pada kasus penyakit persisten stabil atau relaps secara histologis, direkomendasikan
kebijakan watch-and-wait
MZL diseminata, termasuk SMZL dan NMZL umumnya mendapatkan tatalaksana
kemoterapi, antibodi monoklonal, atau kombinasi.

 NMZL: tidak ada terapi spesifik, namun umumnya terjadi diseminasi. Tatalaksana
sesuai prinsip pada limfoma folikuler (FL). Pada stadium lanjut, imunokemoterapi
merupakan terapi pilihan

 SMZL: tatalaksana dilakukan pada: splenomegali progresif atau menimbulkan nyeri;


1 dari klinis berikut: sitopenia progresif/simtomatik, Hb <10 g/L, platelet <80.000/µl,
neutrofil <1.000/µl

 Penyakit diseminata, gejala konstitusional, dan/atau tanda transformasi high-


grade  pada pasien tanpa komorbid: tatalaksana imunokemoterapi
 NMZL/SMZL dengan hepatitis kronik terkait HCV: terapi antivirus dengan pegylated
interferon  dan ribavirin
SMZL memiliki presentasi klinis yang berbeda, sehingga diperlukan adanya kriteria respon
terhadap terapi, yaitu:

Respons Komplit

 resolusi organomegali (diameter longitudinal limpa <13 cm)

 Hb >12 g/dL, platelet >100 x 109/l dan neutrofil >1,5 x 109 /l


 Tidak ada bukti sel B klonal yang bersirkulasi dengan pemeriksaan flow
cytometry (FC)
 Tidak ada bukti infiltrasi bone marrow dengan pemeriksaan imunohistokimia
 Tambahan: Pemeriksaan direct  antiglobulin (DAT) negatif dan PET scan
Respons Parsial:

 Regresi ≥50% pada seluruh manifestasi penyakit yang dapat diukur

 Tidak ada lokasi baru penyakit

 Perbaikan dari sitopenia

 Penurunan infiltrasi dan perbaikan cadangan hemopoietik pada biopsi sumsum tulang

Tidak Ada Respons:


 <10% perbaikan pada manifestasi penyakit

Progresi:

 >50% manifestasi yang dapat diukur dari titik nadir

Relaps:

 Munculnya kembali manifestasi penyakit yang dapat diukur[24]

Limfoma Sel Mantel (MCL)


Limfoma sel mantel (MCL) memiliki karakteristik translokasi kromosom 11 dan 14
yang menyebabkan ekspresi siklin D1 berlebihan. Tatalaksana limfoma sel mantel
menggunakan kemoimunoterapi. Regimen R-CHOP sebenarnya tidak cukup sebagai
tatalaksana. Pemeriksaan Ki67 direkomendasikan secara rutin sebagai indikator prognostik.
Sebagian besar pasien dengan MCL mengalami progresi yang agresif, namun sebagian kecil
pasien memiliki progresi yang indolen. Manajemen pada pasien dengan tumor yang indolen
belum dapat direkomendasikan secara definitif, dikarenakan tidak adanya marker yang dapat
memprediksi sifat indolen. Prediksi prognosis pada limfoma sel mantel seperti pada DLBCL
dan FL, yaitu menggunakan MCL international prognostic index (MIPI) (Ansel et al., 2015;
Armitage et al., 2017)
Rekomendasi tatalaksana MCL sebagai berikut:

 Pasien usia muda dengan MCL: rituximab diberikan pada induksi regimen kemoterapi
MCL dengan regimen R-Hyper-CVAD
(rituximab, hyperfractionated  cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin,
dexamethasone), bergantian dengan R-MC (rituximab, methotrexate, cytarabine)
 Pasien usia muda dengan MCL: R-FC (rituximab, fludarabine, siklofosfamid) atau R-
CHOP
 Transplantasi autologous stem cell perlu dilakukan sebagai terapi lini pertama,
dengan total body irradiation (TBI) sebagai regimen conditioning
 Pasien dengan relaps tingkat lanjut: Temsirolimus (inhibitor mTOR) 75 mg sebagai
monoterapi, bortezomib 1,3 mg/m2 per dosis, dan lenalidomide dengan dosis
berdasarkan fungsi ginjal
 Penggunaan allogeneic stem cell transplant tidak direkomendasikan pada MCL,
namun dapat dipertimbangkan pada pasien fit yang mengalami relaps atau refrakter
setelah pengobatan yang sesuai (ESMO, 2020)
Limfoma Sel-T Perifer (PTCL)
Limfoma sel-T perifer mencakup 15% dari kasus limfoma. PTCL dibagi menjadi 2
kelompok klinis: limfoma sel-T kulit (mycosis fungoides, sindroma Sézary) dan PTCL
sistemik. Kelompok PTCL terbagi menjadi beberapa tipe, dengan perbedaan prognosis,
seperti limfoma sel-T angioimmunoblastic (AITL), anaplastic large-cell limfoma, dan yang
tidak dapat dikategorikan yaitu PTCL-NOS. Limfoma sel-T kulit dapat ditatalaksana secara
topikal, dan PTCL menggunakan kemoterapi kombinasi. Prediksi prognosis menggunakan
skor IPI pada PTCL (Ansel et al., 2015)
Rekomendasi tatalaksana PTCL adalah sebagai berikut:

 Seluruh tipe TCL, kecuali NK/TCL dan tipe nasal: Regimen berbasis antrasiklin,
seperti CHOP/CHOEP.

 NK/TCL, tipe nasal: L=asparaginase dan radioterapi lokal (nasofaringeal)

 TCL dengan prognostik buruk (IPI atau PIT ≥2) yang bersifat kemosensitif perlu
mendapatkan autologous stem cell transplant (ASCT)
 Pasien dengan TCL relaps: terapi lini kedua yang mengandung platinum, gemcitabine
 ASCT dapat dipertimbangkan pada TCL-NOS relaps/refrakter, anaplastic lymphoma
kinase negative (ALK-negatif) ALCL dan AITL
 Allogeneic-SCT merupakan satu-satunya terapi kuratif pada pasien dengan TCL
relaps/refrakter (TCL-NOS, AICL, ALK-negatif, dan AITL)
 Pasien refrakter juga dapat dilibatkan pada studi klinis fase I atau II(ESMO, 2O2O)

Pembedahan
Pembedahan bukan merupakan tatalaksana yang sering digunakan pada limfoma non
hodgkin, mempertimbangkan kemanjuran kemoterapi, radioterapi, dan transplantasi stem cell.
Pembedahan mungkin berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis radiologis dengan biopsi,
mengurangi keluhan dari organ yang terlibat (Armitage et al., 2017)

Edukasi
KOMPLIKASI
Berikut komplikasi yang paling sering muncul pada pasien Limfoma non hodgkin
diantaranya (Dehgani et al., 2015):
 Lymphadenopathy terutama cervical lymphadenopathy
 Cytopenias seperti neutropenia, anemia dan thrombocytopenia sekunder karena
infiltrasi bone marrow
 Autoimmune hemolytic anemia
 Disseminated intravascular coagulation (DIC)
 Gangguan jantung sekunder akibatefusi pericardial masif
 Cardiac arrhythmias sekuder e.c cardiac metastases
 Gangguan pernapasan sekunder e.c efusi pleura
 Superior vena cava (SVC) syndrome sekunder e.c large mediastinal tumor
 Kompresi medula spinalis sekunder e.c metastasis vertebrae
 Lymphocytosis pada fase leukemi penyakit

Dehghani M, Haddadi S, Vojdani R .2015 . "Signs, Symptoms and Complications of Non-


Hodgkin's Lymphoma According to Grade and Stage in South Iran". Asian Pac J
Cancer Prev. 16 (8): 3551–7. PMID 25921177.Donohue C, Ryan A, Reynolds J.
Cancer cachexia: mechanisms and clinical implications. Gastroenterol Res Pr. Epub
ahead of print 2011. DOI: 10.155/2011/601434.

Ansell SM. Non-Hodgkin Lymphoma: Diagnosis and Treatment. Mayo Clinic Proceedings.
2015 Aug 1;90(8):1152–63.

Armitage JO, Gascoyne RD, Lunning MA, Cavalli F. Non-Hodgkin lymphoma. The Lancet.
2017 Jul 15; 390(10091):298–310.

Bruce D. Cheson MD. Bone Marrow Biopsy for the Initial Staging of Patients With
Lymphoma: It’s Time to Eliminate This Procedure in Selected Patients [Internet].
Cancer Network. 2013 [cited 2021 Des 5]. Available from:
https://www.cancernetwork.com/leukemia-lymphoma/bone-marrow-biopsy-initial-
staging-patients-lymphoma-its-time-eliminate-procedure-selected-patients

Marginal Zone Lymphoma, Mantle Cell Lymphoma, Peripheral T-cell Lymphoma | ESMO
[Internet]. [cited 2021 Des 5].

Hematology-Oncology Therapy, 2e | AccessHemOnc | McGraw-Hill Medical [Internet].


[cited 2021 Des 5]. Available from: https://hemonc.mhmedical.com/book.aspx?
bookID=1611

Ramadas, A., Jose, Renju, Varma, Beena et al. 2017. Cervical lymphadenopathy: Unwinding
the hidden truth. Dental Research Journal vol 14. doi:10.4103/1735-3327.201136

Anda mungkin juga menyukai