Anda di halaman 1dari 7

BAB III

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 53 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 22 Februari 2022 pukul 17.30 WIB
dengan:
 Leukemia Granulositik Kronis Fase Kronik
 Anemia Normositik Normokrom ec Supresi Sel Leukemia
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis leukemia granulositik kronik ditegakkan pada pasien karena
memiliki keluhan perut terasa semakin membesar sejak 1 tahun sebelum masuk RS,
penurunan berat badan sejak 3 bulan yang lalu. Berat badan turun sebanyak ±10 kg,
penurunan nafsu makan sejak 2 bulan yang lalu. Lemah letih sejak 2 minggu yang
lalu. Tampak pucat sejak 1 bulan yang lalu. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya
splenomegali. Pada hasil laboratorium didapatkan leukositosis. Pada pemeriksaan
darah tepi didapatkan gambaran seri granulopoitik seperti blast, promielosit,
metamielosit, mielosit, basofil, eosinofil, neutrofil batang dan neutrofil segmen. Pada
hasil BMP ditemukan myeloblast 20 % dan ditemukannya semua tahap pematangan.
Pada hasil laboratorium didapatkan leukositosis. Pada pemeriksaan SST (BMP)
didapatkan aktifitas granulopoitik meningkat, seperti mieloblast (8%), promielosit
(2,5%), metamielosit (3%), mielosit (4,5%), basofil (5%), eosinofil (4%),
ditemukannya semua tahap pematangan dan megakariosit. Berdasarkan National
Comprehensive Cancer Network (NCCN), pasien dikategorikan ke dalam LGK fase
kronik.
Menurut The European Treatment and Outcome Study (EUTOS) insiden LGK
yang paling banyak ditemukan adalah LGK fase kronik sejumlah 90-95% sedangkan
fase akselerasi sejumlah 3.5%.14,15 Splenomegali, penurunan berat badan, penurunan
nafsu makan merupakan gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada pasien
LGK. Splenomegali berhubungan dengan hematopoiesis ekstramedular pada penyakit
mieloproliferatif yang berujung pada hiperplasia jaringan lien. 13 Splenomegali
merupakan temuan klinis paling sering pada kasus LGK yaitu sekitar 40%-50%
kasus.14 Pada pasien ini didapatkan ukuran lien S4 (18cm) dengan Sokal skor 1,8.
Konfirmasi diagnosis LGK diperoleh dengan teridentifikasinya kromosom
Philadelpia atau fusi gen BCR-ABL dalam sel darah perifer atau Bone marrow.
Sesuai NCCN 2021 pemeriksaan gen BCR-ABL merupakan pemeriksaan yang
termasuk dalam alur diagnostik LGK. Menurut penelitian oleh Gede (2015),
didapatkan hasil LGK dengan Ph (+) yaitu 84,3%. 16 Kromosom Ph terbentuk dari
translokasi resiprokal antara lengan panjang gen ABL1 kromosom 9 dengan gen BCR
kromosom 22 lengan panjang dan umumnya ditulis sebagai t(9;22) (q34;q11)17. Fusi
Gen hibrid yang terjadi membentuk 3 varian transkrip gen yang berbeda-beda
tergantung pada tempat pemotongan daerah BCR.18
1) Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau
daerah e13 -e14 pada ekson 2 gen ABL. Fusi dari Bcr exon b2 atau b3 dengan Abl
exon a2 akan membentuk 2 transkrip utama, yaitu b2a2 atau b3a2 yang
diterjemahkan sebagai protein dengan berat 210 kD atau disebut sebagai p210.
2) Minor break cluster (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54, 4-kb atau fusi
e1a2 merupakan bentuk CML yang cukup jarang dan akan menyintesis protein
dengan berat molekul 190 kD (p190). Secara klinis laboratorium didapatkan
monositosis yang prominen (Verma et al., 2009).
3) Micro break cluster (micro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara exon e19 dan
e20b yang membentuk transkrip mRNA e19aq2 yang disebut sebagai protein p230
Bcr-Abl. Transkrip tersebut cukup jarang, dengan gambaran klinis berupa
netrofilia dan atau trombositosis.
Secara klinik ketiga bentuk patahan tersebut umumnya memberikan
manifestasi yang berbeda. CML yang terjadi akibat transkrip yang terbentuk karena
patahan pada M-Bcr berkaitan dengan manifestasi berupa trombositopenia, patahan
pada μ-Bcr yang sering memberi manifestasi klinik berupa trombositosis dan
netrofilia. Sedangkan patahan pada m-bcr sering timbul monositosis. 17Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh penulis tahun 2012 di Surabaya, didapatkan bahwa
transkrip b3a2 menunjukkan kadar leukosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kedua jenis transkrip lainnya.19
Insiden transkrip BCR-ABL1 meningkat sesuai umur pada orang normal.
Sebagian besar pasien (95%) memiliki subtipe transkrip BCR-ABL1 yang khas adalah
e13a2 (b2a2), e14a2 (b3a2) atau ekspresi keduanya secara bersamaan. Subtipe
transkrip lain yang jarang adalah e1a2, e2a2, e6a2, e19a2, e1a3, e13a3 dan e14a3
(Gong et al, 2017). Subtipe transkrip yang berbeda akan mengkode fusi protein
dengan ukuran yang berbeda dan dapat menyebabkan fenotipe penyakit yang berbeda.
Transkrip e13a2 dan e14a2 mengkode protein P210 BCR-ABL1, walaupun dengan
ukuran yang sedikit berbeda. Pasien dengan transkrip e14a2 memiliki jumlah
trombosit yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan transkrip e13a2.
Pasien dengan transkrip e19a2, yang mengkode protein P230, sering didapatkan
maturasi neutrofilik yang menonjol atau trombositosis, sedangkan pasien dengan
transkrip e1a2, yang mengkode protein P190, sering menimbulkan monositosis, tidak
adanya basofilia dan kecenderungan untuk berkembang ke fase krisis blastik deret
limfoid.13,14
Pada pasien ini, terdeteksi transkrip BCR ABL dalam bentuk fusi b3a2 atau
e14a2 dgn pengkode protein b210. Oleh karenanya sesuai dengan temuan terjadinya
peningkatan trombosit (trombositosis) pada pasien.
Sekitar 50% pasien yang terdiagnosis CML di Amerika Serikat menunjukkan
gejala klinik, dan sering diketahui pada waktu pemeriksaan fisik dan darah secara
rutin. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, selalu berubah sesuai dengan fase
penyakit, yaitu fase kronik (CP), fase akselerasi (AP), dan krisis blastik (BP).
Sebagian besar (90%-95%) pasien CML berada dalam fase kronik (CP-CML).19
Pasien ini masuk dalam kategori fase kronik. Dimana fase kronik ini
didapatkan pada sebagian besar pasien (90%-95%). Tanda dan gejala umum dari CP-
CML akibat dari anemia dan splenomegaly berupa kelelahan, penurunan berat badan,
rasa tidak enak, rasa kenyang, dan terasa penuh di kuadran kiri atas (Bintoro, 2015).
Beberapa pasien (<5%) mengalami gejala klinik akibat lekostasis, yaitu priapismus
(Allué López et al., 2004) yang pada umumnya sering apabila lekosit melebihi
250.000/μL. Splenomegali atau hepatomegali didapatkan pada 46%-76% kasus.
Splenomegali bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang lebih dari 10 cm di
bawah tepi bawah tulang iga. Ukuran limpa ini nampaknya berkorelasi dengan jumlah
lekosit dalam darah.14
Pada fase akselerasi penyakit makin progresif yang ditandai dengan leukosit
makin meningkat, limpa makin membesar. Berdasarkan kriteria dari M.D Anderson
Centre, fase akselerasi bila: blast di perifer ≥ 15%, dan promielosit di perifer ≥ 30%,
basofil di perifer ≥ 20%, trombositopenia (<10 x 109/L bukan akibat dari efek
samping dengan terapi). Fase ini secara klinis menunjukkan respons hematologi atau
respons molekuler makin menurun dan cenderung ke arah krisis blastik (Baccarani et
al., 2013). Oleh karenanya pasien yang masih dalam fase kronis seperti pada pasien
ini, kemungkinan akan menunjukkan respons hematologi dan respons molekuler yang
baik.
Untuk menentukan prognosis sebelum memulai terapi pasien CML fase kronik
dengan TKI direkomendasikan menggunakan sistem skor Sokal, Hasford atau
EUTOS. Tiga sistem prognosis ini berdasarkan data klinis dan hematologi sederhana.
Pada JNCCN (2021) pemberian terapi pada LGK mempertimbangkan skor risiko dari
skor Sokal. Pada pasien ini telah dilakukan penentuan prognosis dengan
menggunakan sistem skor sokal dengan nilai skor 1,8.
Sistem penilaian skor Sokal membagi pasien menjadi 3 kelompok risiko, yaitu
risiko rendah, menengah, dan tinggi. Skor Sokal menilai usia pasien, ukuran limpa,
jumlah trombosit, dan persentasi blast pada darah tepi. Pasien dengan risiko rendah
dapat diberikan tirosin kinase inhibitor generasi pertama, sedangkan pasien dengan
risiko menengah atau tinggi mendapatkan tirosin kinase inhibitor generasi kedua.
Pasien ini diterapi dengan menggunakan TKI yaitu Imatinib. 1x 400mg.
Tyrosine kinase berperan penting dalam modulasi sinyal faktor pertumbuhan. Bentuk
aktif dari enzim ini dapat menyebabkan peningkatan proliferasi dan pertumbuhan sel
tumor, menginduksi efek anti-apoptotis, dan mempromosikan angiogenesis dan
metastasis.
Pada pasien CML, dengan adanya gen BCR-ABL, tyrosine kinase yang
konstitutif menyebabkan terjadinya transformasi selular sebagai patogenesis dari
timbulnya CML. Dengan demikian BCR-ABL merupakan sasaran yang ideal sebagai
target molekuler untuk pengobatan CML, dan Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI)
merupakan terapi yang efektif dan selektif untuk CML dengan BCR ABL yang
positif.
Imatinib merupakan TKI generasi pertama yang digunakan untuk pengobatan
CML fase kronik. Imatinib merupakan turunan pirimidin2-fenil amino yang berfungsi
sebagai inhibitor spesifik enzim tyrosine kinase. Imatinib bekerja spesifik pada
domain tyrosine kinase di ABL (proto-onkogen Abelson), kit-c, dan PDGF-R.
Imatinib bekerja dengan mengikat tempat pengikatan ATP dari BCR-ABL,
menguncinya dalam konformasi tertutup atau self-inhibited. Imatinib cukup selektif
terhadap BCR-ABL. Imatinib juga menghambat protein ABL dari sel-sel non-kanker,
namun sel-sel ini biasanya memiliki tirosin kinase berlebihan, yang
memungkinkannya terus berfungsi bahkan jika ABL tyrosine kinase dihambat. 18
Pada tahun 2001 FDA memberikan izin imatinib digunakan sebagai
pengobatan CML fase kronik lini pertama. Imatinib tergolong antibodi monoklonal
yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-
ABL. Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral. Untuk
fase kronik, dosis 400 mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600
mg/ hari bila tidak mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau
pernah mencapai respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik,
yakni Hb menjadi rendah dan/atau lekosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah
trombosit.
Dalam penelitian terbaru oleh Abdul Ali Wajid, et al.(2018) penulis
menyimpulkan bahwa, 60,15% pasien CML pada fase kronis yang diobati dengan
Imatinib 400mg/hari mencapai respon molekuler dini (early molecular response/
EMR). Dalam analisis multivariat hubungan yang signifikan hanya ditemukan dengan
ukuran limpa (P-nilai <0,001). Oleh karenanya Ukuran limpa saat diagnosis adalah
satu-satunya faktor signifikan yang terkait dengan pencapaian EMR.20
Pada pasien ini menunjukkan adanya perubahan ukuran splen. Splenomegaly
mulai mengecil dengan pemantauan pemeriksaan fisik pada pasien. Ukuran splen
berubah dari 21cm menjadi 14cm yaitu pada perabaan dari S4 berubah menjadi S2.
Pasien memperlihatkan adanya respons EMR (Early Molecular Response) yang salah
satunya ditandai dengan pengecilan ukuran splen.

Daftar Pustaka
1. Fadjari, H. Sukrisman, L. Leukemia Granulositik Kronik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar IlmuPenyakit
Dalam Edisi Keenam. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014.
2. Trela E, Glowacki S, Błasiak J. Therapy of chronic myeloid leukemia: twilight of
the imatinib era?. ISRN Oncol [Internet]. 2014 [cited 2021]. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24634785/
3. Darji AA, Bharadia DP. Chronic myelogenous leukemia: a review and update of
current and future therapy. Int J. Pharm Sci [Internet]. 2016; 8(7): 35-46 [cited
2021]. Available from :
https://innovareacademics.in/journals/index.php/ijpps/article/view/12124/5609
4. Belkhair J, Raissi A, Elyahyaoui H, Ameur MA, Chakour M. Atypical chronic
myeloid leukemia BCR-ABL1 negatif: a case report and literature review.
Leukemia Research Report [Internet]. 2019 [cited 2021]. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6551503/
5. Höglund M, Sandin F, Simonsson B. Epidemiology of chronic myeloid
leukaemia: an update. Ann Hematol [Internet]. 2015 [cited 2021]. Available
from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25814090/
6. American Cancer Society. Chronic Myeloid Leukemia. Key Statistics for Chronic
Myeloid Leukemia. 2022 [cited 2021]. Available from :
https://www.cancer.org/cancer/chronic-myeloid-leukemia/about/statistics.
7. Mulansari A. Prediksi respons terapi leukemia granulositik kronis: skor mana
yang lebih baik?. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2019;6(4).
8. Radich JP, Gotlib J, Shah NP, Deininger M, Hobbs G, Smith BD, et al. Chronic
myeloid leukemia. National Comprehensive Cancer Network [Internet]. 2018
[cited 2021]. Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30181422/
9. Tanto C, Liwang F , Hanifiati I, Pradipta EA.editors. Kapita Selekta Kedokteran
Ed IV Jilid II, Jakarta: Media Aesculapius .2014;

10. Baccarani M, Castagnetti F, Gugliotta G, Palandri F, Rosti G. Treatment


recommendations for chronic myeloid leukemia. Mediterr J Hematol Infect Dis
[Internet]. 2014;6 [cited 2021]. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24455114/
11. Supandiman I, Fadjari H. Anemia pada penyakit kronis dalam: Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014; 2642-5.
12. Mandell LA, Wunderink. Harrison’s Principles of Internal MedicineIn: Harrison
TR, editors. Clinical Syndrome Community Acquired Infection. 20 ed. United
State: Mc Graw Hill Education; 2018. P. 908-11
13. Bonifacio M, Stagno F, Scaffidi L, Krampera M, Di Raimondo F. Management of
Chronic Myeloid Leukemia in Advanced Phase. Front Oncol [Interner].
2019;9:1132 [cited 2021]. Abvailable from :
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fonc.2019.01132/full
14. Jabbour, EJ. Kanterjian, H. CME Informastion : Chronic myeloid leukemia : 2018
update on diagnsosis, monitoring, and management. American Journal of
Hematology [Internet]. 2018. Vol 89(5) ; 547-556 [cited 2021]. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29411417/
15. Juliawan AG, Rena AR, Suega K. Karakteristik Pasien Leukemia Mieloid Kronik Di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2014-2015. Denpasar : FK
Udayana; 2014.
16. Bintoro UY. 2017. Why is it BCR Translocated & Integrated with abl?What are
the Consquences? The 3rd International Scientific Meeting of Hematology.
Oncology, Thrombosis and Transplantation in Indonesia (ISMI-HOTTI) 2017.
Hotel Grand Sheraton. Gandaria City. Jakarta Selatan, 24-26 November 2017.
17. Faderl S, Talpaz M, et al. 1999. The Biologyof Chronic Mieloid Leukemia. N Eng
J Med, 341 (3):164-72.
18. Prayogo AA, and Bintoro UY. 2013. Profile of BCR-ABL Transcript Level Based
on Sokal Prognostic Score in Chronic Myeloid Leukemia Patients Treated with
Imatinib. Acta Med Indones, 45(2):107-13.
19. Hochhaus, Saussele S, Rosti G., Mahon F.-X. Janssen J.J.W.M, Hjorth-Hansen J,
J. Richter and C.Buske. 2017. Chronic Myeloid Leukaemia: ESMO Clinical
Practice Guidelines. Ann Oncol., 28(suppl 4):iv41-iv51.
20. Abdul Ali Wajid, Mansoor Zeeshan, Faisal Mehmood*, Imtenan Sharif,
Muhammad Umair, Aamira Ali. Early molecular response with imatinib therapy
in chronic myeloid leukemia and its association with baseline white blood cell
count and spleen size. Pak Armed Forces Med J 2018; 68 (5): 1199-1204.

Anda mungkin juga menyukai