Alamat Korespodensi
Franzeska Marchitia Dinar Pusparani
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510.
email : franzeskadinar@yahoo.co.id
Pendahuluan
Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder
(MPD) yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi,
sehingga pada apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri
granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai
granulosit.1 LGK terutama dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan
insiden puncak pada dekade keempat dan kelima kehidupan.2,3 LGK merupakan 15% dari
semua jenis leukemia.3
LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu
dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi
antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR
pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph
Page | 1
menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang
memiliki aktivitas tirosin kinase berlebih.4 Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat
dengan pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph
tidak tampak dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat
tampak dengan teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau
polymerase chain reaction (PCR). LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki klinis sama
seperti LGK Ph-positif. Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan yang didapat pada sel
punca hematopoietic, kelainan dapat terlihat pada kedua jalur baik myeloid (granulositik,
eritroid, dan megakariositik) dan limfoid (sel B dan T). Pada LGK, jumlah leukosit dapat
meningkat demikian rupa (biasanya berjumlah 50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak
berwarna keabu-abuan.
Anamnesis
Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :
1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.
2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Sifat demam
Batuk
Riwayat pengobatan
Pekerjaan pasien
Page | 2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda
vital yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan
fisik secara umum, dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta
ditemukan conjungtiva anemis yang menunjukkan adanya anemia.
Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan
Schuffner untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa
ditemukan hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya
hematopoiesis ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa.2
Splenomegali ringan hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik,
sedangkan hepatomegali hanya sesekali ditemui.5 Splenomegali yang menetap, meskipun
telah diterapi, merupakan suatu tanda akselerasi penyakit.5 Limfadenopati dan myeloid
sarcoma tidak biasa dijumpai, kecuali pada akhir perjalanan penyakit.5 Bila ditemui adanya
limfadenopati dan myeloid sarcoma, maka prognosisnya adalah dubia ad malam.
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun.1 Jumlah leukosit
biasanya >50.000/mm3.3,4 Persentasi eosinofil atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meningkat antara 500.000-600.000/mm3, tetapi dapat juga normal atau trombositopeni. Nilai
hematokrit antara 25-35%.4
Page | 3
flushing.1,5 Aktivitas leukocyte alkaline phosphatase (LAP) hampir selalu rendah bahkan
mungkin turun sampai 0.4,5
Pada fase akselerasi, terjadi peningkatan derajat anemia yang ditandai dengan
penurunan kadar Hb oleh karena adanya pendarahan atau efek terapi, sel blast dalam darah
dan sumsum tulang antara 10 dan 20%, basofil darah dan sumsum tulang 20%, atau
trombosit <100.000/mm3.5
Fase krisis blast ditentukan sebagai leukemia akut dengan kadar blast dalam darah
atau sumsum tulang 20% . Mungkin ditemukan neutrofil hiposegmented (Pelger-Huet
anomaly). Sel blast bisa diklasifikasikan sebagai myeloid, cytochemical, dan immunologic
features.5
Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi
Fase LGK
Morfologi Sel
Fase awal
Fase kronik
Leukosit 50.000-500.000
Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel keseluruhan. Sebagian besar <5%
Basofil +, bentuk kerdil
Trombosit sering >400.000
Fase akselerasi
dominasi precursor granulositik yang berada dalam proses maturasi. Meningkatnya jumlah
megakariosit, sering disertai oleh bentuk-bentuk displatik, juga sering dijumpai, sementara
progenitor eritroid biasanya berjumlah normal atau berkurang. Temuan khas adalah adanya
histiosit dengan sitoplasma keriput hijau-biru tersebar.2 Persentasi sel blast sumsum tulang
umumnya normal atau sedikit meningkat.5 Megakariosit juga tampak lebih banyak.1 Pada
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis, meskipun hal
ini jarang terlihat.
Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang
Fase LGK
Morfologi Sel
Fase awal
Fase kronik
Fase akselerasi
Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif dengan PAS
Basofil muda +
Eritrosit
Trombopoesis direduksi
Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen In Situ
Hybridization) yang lebih akurat.1 Pada LGK, ditemukan kromosom Philadelphia yang
merupakan translokasi t(9; 22) (q34; q11). Semula, translokasi ini dikenal oleh keberadaan
Page | 5
pemendekan kromosom 22 (22q-), yaitu kromosom Ph yang muncul dari timbal balik t(9;
22).3,5 Beberapa pasien mungkin memiliki translokasi kompleks (dikenal sebagai variant
translocations) yang melibatkan tiga, empat, atau lima kromosom (biasanya meliputi
kromosom 9 dan 22). Semua pasien harus memiliki bukti translokasi molekuler atau oleh
sitogenetik atau FISH untuk menegakkan diagnosis LGK.5
Gambar di atas menunjukkan kromosom 9 dan kromosom 22 pada orang normal (kiri)
dan penderita LGK (kanan). Warna hijau menunjukkan probe ABL, sedangkan warna merah
adalah probe BCR. Pada kromosom normal (kiri), probe ABL dan probe BCR telah
dihibridisasi ke kromosom metaphase dan nucleus interfase yang dipersiapkan dari sel darah
perifer orang normal. Oleh karena pembentukan pasangan sister chromatids selama mitosis,
sinyal-sinyal kromosom metaphase dapat terlihat sebagai titik tunggal atau sepasang titik
yang terlihat berdekatan. Dua pasang sinyal merah dan dua sinyal hijau terlihat di kromosom
metaphase, sementara dua sinyal merah dan dua sinyal hijau terdapat di nucleus interfase,
masing-masing menunjukkan salinan ABL dan BCR yang terpisah normal.2
Sebaliknya, pada kromosom yang mengalami translokasi (kanan), kromosom
metaphase dan nucleus interfase yang diperoleh dari sel sumsum tulang pasien LGK
memperlihatkan satu sinyal ABL normal, satu sinyal BCR normal, dan satu sinyal kuning
abnormal yang tercipta oleh tumpang-tindih sebuah sinyal BCR dan sebuah sinyal ABL.
Temuan ini menunjukkan adanya gen fusi BSCR-ABL.2
Page | 6
Laboratorium lain
Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena pemecahan
purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH (Laktat
Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar
vitamin B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat.
Granulositosis berlebih menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu
protein pengikat vitamin B12. Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat
vitamin B12 lebih banyak untuk meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena
granulopoesis lebih besar daripada eritropoesis, maka eritropoesis terhambat, sehingga terjadi
anemia.
Diagnosis Banding
Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM)
MMM merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan
substansi kolagen berlebih dalam sumsum tulang. Kelainan merupakan kelainan stem sel
hematopoesis klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), di
mana adanya hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran yang mencolok. MMM
menyerang golongan umur menengah dan tua, rata-rata umur 60 tahun, pria dan wanita
memiliki kemungkinan yang sama.1
Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimtomatis. Diagnosis ditegakkan dengan
adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidentil terdapat splenomegali.
Gejala klinis pada umumnya adalah kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%),
sindrom hipermetabolik (5-20% pasien), pendarahan dan memar, kadang terdapat massa
dalam perut, gout, dan kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tidak jelas, dan nyeri
substernal kadang diketemukan.1
Tabel 3. Kelainan Klinis untuk Diagnosis Pasien dengan Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid1
Sangat sering ditemukan (>50% kasus)
Splenomegali, hepatomegali, fatique, anemia, leukositosis, trombositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus)
Page | 7
Asimtomatik, penurunan berat badan, keringat malam, perdarahan, nyeri splenik, leukositopenia, trombositopenia
Kurang sering ditemukan (<10% kasus)
Edema perifer, hipertensi portal, limfadenopati, ikterik, gout
hematopoesis inefektif atau keduanya. Enzim alkali fosfatase serum meningkat yang
menunjukkan keterlibatan tulang. Kadar albumin, kolesterol, dan lipoprotein menurun. Dapat
terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis yang merupakan refleksi
dengan peningkatan massa neutrofil.1
Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk menegakkan MMM. Kriteria yang harus ada
untuk membuat diagnosis MMM, antara lain fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi
hyperplasia sumsum tulang, dan hematopoesis ekstramedular. Pada pemeriksaan patologi,
ada osteosklerosis akibat fibrosis sumsum tulang, terutama pada kerangka aksial dan
proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula
menghilang. Hematopoesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali. Hepar juga
dapat terlibat dengan adanya hepatomegali. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi
ekstramedular daripada dalam sumsum tulang. Hematopoesis ekstramedular ada tendensi
indeks mitosis rendah, sel imatur, dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis
medulare.1
Reaksi Leukemoid
Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel darah
putih matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip dengan leukemia
kronis, proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan penyakit primer sumsum
tulang dan biasanya sekunder terhadap penyakit lain. Granulosit paling sering terlibat, tetapi
monositosis yang mencolok dapat terjadi pada tuberkulosis, sedangkan limfositosis
leukemoid pernah dilaporkan pada tuberculosis, batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.6
Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas
dengan atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah,
keracunan logam berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai ginjal atau
hati, dan ketoasidosis diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis atau dari
kemoterapi mungkin memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih menyerupai
proliferasi pada leukemia, tetapi leukopoesis dengan kecepatan seperti ini jarang menetapkan
lebih dari seminggu.6
Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas,
pembedaan dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat timbul
Page | 9
bersama dengan penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat timbul bersamasama, dan masing-masing memperparah yang lain. Apabila penyakit yang primer tidak jelas,
gambarannya mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang membedakan reaksi leukemoid
dengan LGK diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.6
Granulasi toksik / = 0
Terdapat trombositopenia
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja kasus tersebut adalah leukemia granulosit kronis (LGK) tahap akhir
fase kronis; berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva anemis, sclera non
ikterik, dan splenomegali (Schuffner 3). Pada pemeriksaan laboratorium didapat data Hb: 9,
Ht: 35%, Leukosit: 100.000/mL, trombosit: 25.000/mL. Pada apus darah didapat retikulosit
4%, eritrosit mikrositik hipokrom, sel blast 10%, hitung jenis 1 / 1 / 0 / 73 / 22 / 1 / 2,
metamielosit 10.
Diagnosis LGK ditegakkan oleh adanya anemia, splenomegali (biasanya massif),
leukositosis berat (terutama mielosit, metamielosit, dan neutrofil), dan yang terpenting adalah
identifikasi ekspansi klonal stem cell hematopoietik yang memproses translokasi resiprokal
antara kromosom 9 dan 22.
Page | 10
Etiologi
Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak
ditemukan bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada
era pra-imatinib, rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan
Nagasaki yang selamat mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK
10.000/L dalam 6,3 tahun. Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi
LGK.5
Patofisiologi
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel
induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini selain proliferasinya berlebih juga
dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal karena gen BCR-ABL juga antiapoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang
akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.1
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih
belum diketahui secara pasti. Diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli
berpendapat akibat mutasi spontan. Diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan
pembentukan gen hibrid BCR-ABL BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABLBCR pada kromosom 9.1
Page | 11
Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis
suatu protein yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABLBCR tidak diketahui.1
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya.
Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11,
akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, sehingga protein yang dihasilkan juga berbeda
berat molekulnya.1
Karyotipik
Istilah Klinik
BCR-JAK
LGK atipik
BCR-PDGFRB
LGK atipik
BCR-FGFR1
BCR-FGFR1
BCR-PDGFRA
LGK atipik
ABL-TEL
LGK atipik
Del(4)(q12)
FIP1L1-PDGFRA
LGK hipereosinofilia
Jadi sebenarnya, gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua
pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom
tambahan. Hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas
ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17
i(17)q. Dengan kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen lain yang berperan dalam
patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16,
dan gen Rb.1
Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb
atau di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (Mbcr), kemudian gen BCR-ABL akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD,
selanjutnya ditulis p210BCR-ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang
dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190.
Ditemukan juga variasi patahan ini pada 3 gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan
Page | 12
terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro-bcr (-bcr). Tiga variasi
letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor, minor, dan mikro ternyata berhubungan dengan
gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr
berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis
yang prominen, sedangkan patahan di -bcr berhubungan dengan neutrofilia dan/atau
trombositosis.1
Pada gambar 3, tampak bahwa p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis
dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini memiliki kemampuan untuk
oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui
domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel,
berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon
apoptosis.1
Selanjutnya, fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam
sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang yang bersifat onkogenik, seperti
tampak pada gambar 4 di bawah ini. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi
dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan
juga proses apoptosis.1
Page | 13
Pada LGK, berbagai turunan myeloid, sel limfoid B dan mungkin sel limfoid T
mengekspresikan protein fusi BCR-ABL yang menunjukkan bahwa sasaran transformasi
adalah sel tunas pluripoten. Oleh sebab yang belum diketahui, efek BCR-ABL kinase yang
terus menerus aktif pada awal LGK, terutama tampak pada progenitor granulositik dan
dengan derajat yang lebih ringan, pada progenitor megakariositik.2
LGK secara alami berkembang lambat, bahkan tanpa pengobatan sekalipun, pasien
dapat diharapkan bertahan hidup 3 tahun. Setelah suatu periode yang bervariasi (sekitar 3
tahun), sekitar 50% pasien masuk ke fase akselerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan
anemia dan trombositopeni, serta kadang-kadang eosinofilia darah tepi yang mencolok.
Kelainan sitogenik klonal lain, misalnya trisomi 8, isokromosom 17q, atau duplikasi Ph juga
dapat ditemukan. Dalam 6-12 bulan, fase percepatan berakhir dengan gambaran mirip dengan
leukemia akut (krisis blas). Di lain pihak, pada 50% sisanya krisis blas timbul secara
mendadak tanpa diselingi oleh fase percepatan. Pada 70% krisis blas, blas memperlihatkan
gambaran morfologi dan sitokimia mieloblas, sementara pada kebanyakan dari sisanya, blas
mengandung enzim TdT dan mengekspresikan penanda-penanda turunan B dini seperti CD
10 dan CD19. Meskipun jarang, blas dapat mirip dengan sel T prekursor.
Page | 14
Epidemiologi
Kejadian LGK mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak
setelah leukemia limfositik kronik (LLK). Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang,
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian
juga di Rusia setelah reactor Chernobil meledak.1
Insiden LGK adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun dan insiden pada pria lebih
tinggi daripada wanita. Insiden LGK meningkat lambat sesuai pertambahan usia sampai
pertengahan usia 40 tahun akan meningkat cepat. Insiden LGK pada wanita agak menurun
(1,8%) antara tahun 1994 dan 2006 dibandingkan tahun 1975-1994.5
Manifestasi Klinis
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase
akselerasi, dan fase krisis blas. Umumnya, saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien
masih dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan,
misalnya saat persiapan pra-operasi ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh perut terasa penuh atau cepat kenyang oleh
karena adanya splenomegali yang mendesak gaster. Kadang timbul nyeri mendadak seperti
diremas di perut kanan atas bila telah terjadi infark limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik,
seperti cepat lelah, lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, dan keringat malam. Penurunan
berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan
gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Hiperurikemia yang hebat
dapat mencetuskan nyeri yang hebat. Memar, epistaksis, dan pendarahan dari berbagai tempat
bisa terjadi oleh karena fungsi trombosit yang abnormal.
Keluhan
Frekuensi (%)
Splenomegali
95
Lemah
80
Page | 15
Penurunan BB
60
Hepatomegali
50
Keringat malam
45
Cepat kenyang
40
Perdarahan/purpura
35
30
Demam
10
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan
hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi antara lain: leukositosis
yang sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%,
promielosit >30%, dan trombosit <100.000. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa
yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah
berat, timbul ptekie atau ekimosis bila disertai demam, biasanya ada infeksi. Diagnosis LGK
pada fase akselerasi menurut WHO, antara lain:
Blas 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/atau dari sumsum tulang berinti
Fase krisis blas merupakan suatu perburukan dari tahap akselerasi mieloproliferatif.
Terjadi pada 80% pasien LGK. Fase ini ditandai dengan jumlah sel blas yang semakin
meningkat, adanya perdarahan, sepsis, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala klinik
pada fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per
mm3 maka penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini
dibedakan dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya
Ph-2 kromosom.
Page | 16
Sumsum tulang: mieloblas dan promielosit 30. Pada 20% kasus, sel blas
adalah limfoblas
Diagnosis klinis LGK fase krisis blas menurut WHO, antara lain:
Blas >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti
Focus besar atau cluster sel blas dalam biopsy sumsum tulang
Penatalaksanaan
Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan
gejala klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu
hilangnya Ph+ klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan
konvensional. Walaupun demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan
tersebut memungkinkan, tujuan terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah
mengembalikan ke fase kronik.
Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun
kebanyakan kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat
tunggal tersebut akan terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi
menjadi normal tetapi hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph+ di sumsum tulang tetap
terjadi. Untuk menurunkan kadar asam urat serum, allopurinol dapat diberikan. Transfusi
trombosit dan eritrosit perlu dilakukan bila terdapat anemia dan trombositopenia yang berat.
Page | 17
Hydroxyurea
Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada LGK. Hidroksiurea
lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih
berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti
busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru.
Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Bila
leukosit >300.000, dosis boleh ditingkatkan sampai maksimal 2,5g/hari. Penggunaan
dihentikan sementara bila leukosit <8.000 atau trombosit <100.000. Interaksi obat dapat
terjadi
bila
digunakan
bersamaan
dengan
5-Fluorourasil
(5-FU),
menyebabkan
neurotoksisitas.
Selama menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan terhadap Hb, leukosit,
trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar.
Busulfan
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari peroral, dapat
ditingkatkan hingga 12mg/hari. Pemakaian dihentikan bila leukosit antara 10.000 20.000,
dan dimulai kembali setelah leukosit >50.000. bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya
pemberian busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.
Obat ini tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,
siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan
menurunkan efeknya. Efek samping busulfan adalah fibrosis paru dan supresi sumsum tulang
yang berkepanjangan.
Imatinib mesylate
Merupakan antibody monoclonal yang dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein
gabungan BCR-ABL1 untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dengan cara bersaing pada
ikatan ATP. Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan LGK fase kronis.
Dosis 400mg/hari diberikan setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila
tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon
Page | 18
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yaitu Hb menjadi rendah dan/atau
leukosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan
apabila terjadi neutropeni berat (<500/mm3) atau trombositopeni berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
diberikan langsung 800mg/hari (400mg b.i.d).
Imatinib tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Efek samping berupa reaksi
hipersensitivitas dapat timbul, walaupun sangat jarang. Interaksi obat dengan ketokonazol,
simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat.
Imatinib sangat efektif dalam menurunkan jumlah sel tumor di sumsum tulang dan
harus dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan pemeriksaan
PCR terhadap adanya transkripsi BCR-ABL di sumsum tulang atau darah tepi. Penilaian
terhadap respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara teratur 3 6 bulan untuk
menilai sitogenik metaphase. Respon sitogenik sempurna atau CCyR (complete cytogenetic
response) ditentukan berdasarkan tidak terdapatnya metaphase Ph-positif di sumsum tulang,
dan apabila CCyR tercapai, maka pemantauan dilanjutkan dengan perhitungan BCR-ABL
dalam darah pada rentang waktu tertentu. Respons optimal LGK terhadap imatinib adalah
sebagai berikut:3
Respon hematologi komplit (hitung darah tepi normal) dan setidaknya terdapat respon
sitogenetik minimal (cytogenetic response/CyR) (Ph+ <95%) dalam 3 bulan
Respons molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3log pada transkripsi BCRABL dalam 18 bulan (misalnya mencapai 0,1% atau lebih sedikit dari kadar sebelum
pengobatan)
Page | 19
Kehilangan respon komplit yang sebelumnya pernah dicapai baik hematologi atau
sitogenetik.
Page | 20
imatinib. Baik nilotinib maupun dasatinib sekarang telah diuji banding dengan imatinib
sebagai lini pertama pengobatan LGK dan hasilnya, ternyata obat ini lebih unggul.
Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCRABL negatif. Kekambuhan LGK setelah transplantasi merupakan masalah serius, namun
infus leukosit memiliki efektivitas tinggi pada LGK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis
dini dengan pemeriksaan transkripsi BCR-ABL.3
Komplikasi
Transformasi akut (20% atau lebih blas di sumsum tulang) dapat terjadi cepat dalam
beberapa hari atau minggu. Pada umumnya, pasien mempunyai fase akselerasi bersama
dengan anemia, trombositopenia, dan peningkatan basofil, eosinofil, atau sel blas di darah
tepi dan sumsum tulang. Limpa dapat membesar meskipun hitung darah tepi terkontrol dan
sumsum tulang dapat menjadi fibrosis. Pasien dapat berada dalam fase ini selama beberapa
bulan, fase penyakit yang lebih mudah dikontrol daripada saat fase kronik. Pada kedua fase,
akselerasi maupun akut, abnormalitas kromosom baru sering muncul. Pada sekitar seperlima
kasus, transformasi akut menjadi limfoblastik. Pada sebagian besar kasus, transformasi yang
terjadi adalah menjadi leukemia myeloid akut (LMA) atau tipe campuran. Tipe tersebut lebih
sulit untuk diobati dan ketahanan hidup jarang melebihi beberapa bulan. Imatinib sangat
berguna dalam transformasi blastik, tetapi resistensi terhadap pengobatan biasa terjadi dalam
beberapa minggu.
Masalah metabolik dapat terjadi akibat cepatnya sitolisis yang akan mengakibatkan
terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan asam-basa dan bisa berakhir pada renal failure.
Peningkatan ekstrim dari leukosit dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada
beberapa organ, khususnya otak, paru, retina, dan penis. Perbandingan leukosit dan eritrosit
yang tidak seimbang menyebabkan peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi
leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan dengan leukosit
lain.
Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada LGK dapat
mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami
epistaksis, pendarahan dari gusi, dan ptechiae. Trombositopenia yang ekstrim dapat
menyebabkan pendarahan masif yang bisa berakhir pada kematian.
Page | 22
Pada suatu fase LGK di mana terjadi trombositosis, risiko terjadinya clotting yang
berlebihan (excess clotting) menjadi meningkat. Trombositopoesis yang tidak terkendali akan
menghasilkan trombosit dalam jumlah besar yang berpotensi membentuk bekuan dalam
jumlah besar pula. Bekuan yang terbentuk dapat menjadi thrombus yang menyumbat
pembuluh darah, terutama kapiler, sehingga besar kemungkinan untuk terjadi infark jaringan.
Aktivitas hematopoesis extramedular yang berlebihan menyebabkan akumulasi
produk sel darah dalam jumlah yang sangat besar pada limpa dan hati, sehingga timbul
splenohepatomegali. Jika limpa dan hati sudah tidak lagi memiliki kapasitas untuk
menampung produk hematopoesis, dapat terjadi ruptur hepar atau ruptur limpa.
Pasien LGK rentan terkena berbagai macam infeksi karena leukosit yang diproduksi
adalah sel abnormal, tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Selain itu, pengobatan
LGK juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun
tidak efektif.
Leukemia meningeal pada LGK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang
dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan
hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralisis saraf pusat dan oedem
papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukanna sel blas pada cairan serebrospinal.
Gagal sumsum tulang atau bone marrow failure dapat terjadi khususnya oleh karena
penurunan produksi sel darah merah dan trombosit, yaitu berupa:
Lemah, sesak nafas, takikardi karena hipoksia yang disebabkan oleh anemia
berat. Anemia berat dapat berakhir pada heart failure oleh karena takikardi
yang persisten.
Page | 23
Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini, dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan
hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrourea dan interferon, median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun.
Imatinib mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup
belum dapat ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih
berlangsung.1
Faktor faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain:1
Pasien: lanjut usia, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan BB, demam, dan keringat malam.
Hasil klinis pasien LGK bervariasi. Pada era pra-imatinib, kematian diperkirakan pada
10% pasien dalam 2 tahun dan sekitar 20% dalam lebih dari 2 tahun, serta median
kelangsungan hidup 4 tahun. Oleh karena itu, dikembangkan beberapa model prognostik.
yang mengidentifikasi kelompok risiko yang berbeda pada LGK. Prognostik yang paling
banyak digunakan adalah sistem staging yang berasal dari analisa multivariasi faktor
prognostik.5
Indeks Sokal mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah
trombosit, usia, dan evolusi klonal sitogenik sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem
ini dikembangkan berdasarkan pengobatan kemoterapi.5
Sistem Hasford dikembangkan berdasarkan pengobatan interferon (IFN-), yang
mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah platelet, usia, dan
persentase eosinofil dan basofil sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini dibedakan
dari sistem sokal oleh pengabaian evolusi klonal dan penggabungan persentase eosinofil dan
Page | 24
basofil. Ketika diaplikasikan pada suatu data yang melibatkan 272 pasien yang telah diterapi
dengan IFN-, sistem Hasford lebih baik daripada skor Sokal dalam memprediksi survival
time. Sistem Hasford mengidentifikasi lebih banyak pasien berisiko rendah, tetapi hanya
tersisa sejumlah kecil kasus pada kelompok berisiko tinggi. Hasil awal menunjukkan bahwa
kedua sistem tersebut berlaku untuk pasien yang telah diterapi oleh imatinib.
Pencegahan
Tidak ada pencegahan spesifik pada LGK mengingat leukemia merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh mutasi genetik atau suatu proses degenerasi. Upaya yang
dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya mutasi genetik lebih dini. Menerapkan gaya
hidup sehat dan proteksi diri terhadap bahan-bahan karsinogenik merupakan cara terbaik.
Kesimpulan
Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat
kronik dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena
terjadinya resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas
adanya kromosom Philadelphia. Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang
digunakan dalam penentuan terapi, yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kromosom Ph pada pemeriksaan
kromosom. Pada fase akselerasi, bisa ditemukan adanya abnormalitas kromosom lain selain
Ph.
Page | 25
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. ed 4. Jakarta: FKUI; 2006.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC;
2007.
3. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. ed 6. Jakarta: EGC; 2013.
4. Kiswari R. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons
principles of internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.
6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11.
Jakarta: EGC; 2004.
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: FK Ukrida; 2009.
Page | 26