Anda di halaman 1dari 11

Leukemia Granulositik Kronik

Urai Fanny Andrini


102016001
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06, Jakarta 11510

Abstrak

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang ditandai oleh proliferasi
sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Leukemia kronik
merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada dewasa dan lanjut usia. Secara umum leukemia kronik
diklasifikasikan atas Leukemia Granulositik Kronik (LGK) dan Leukemia Limfositik Kronik (LLK).
Gambaran eritrosit sebagian besar normositik anisositosis. Sedangkan gambaran sumsum tulang hiperseluler,
penekanan eritropoetik, mielopoetik hiperaktif, dan trombopoetik dalam batas normal. Leukemia limfositik
kronik yang terdiri dari kasus menunjukkan gambaran laboratorium berupa anemia sedang, leukositosis,
trombositopenia, gambaran eritrosit nomokrom anisositosis, peningkatan jumlah leukosit, peningkatan jumlah
limfosit, presentasi smudge cell, dan ditemukan presentasi blast pada darah tepi, tetapi selularitas tidak dapat
dinilai.
Kata kunci: leukemia kronik, darah tepi

Abstract
Leukemia is a malignancy of blood cells originating from the bone marrow characterized by the proliferation
of white blood cells, with the manifestation of abnormal cells in peripheral blood. Chronic leukemia is
leukemia which is most common in adults and the elderly. In general, chronic leukemia is classified as
chronic granulocytic leukemia (LGK) and chronic lymphocytic leukemia (LLK). Most erythrocytes are
normocytic anisocytosis. Whereas the hyperelellular bone marrow picture, erythropoetic suppression,
hyperactive myelopoetic and thrombopoetic within normal limits. Chronic lymphocytic leukemia consisting of
cases showing laboratory features in the form of moderate anemia, leukocytosis, thrombocytopenia, images of
nomochrome anisocytosis erythrocytes, increased leukocyte count, increased lymphocyte count, smudge cell
presentation, and blast presentation on peripheral blood, but cellularity cannot be assessed.
Keywords: chronic leukemia, peripheral blood

Pendahuluan

Leukimia granulostik kronik (LGK) merupakan lekuimia yang pertama ditemukan serta diketahui
patogenesisnya tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada
pasien LGK, yaitu 22q atau hilangnya sebagian besar lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini dikenal
sebagai kromosom Philadelphia. Selanjutnya di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph
terbentuk adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22 lazimnya ditulis t(9;22)
(q34;q11), pada tahun 1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata
didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9(9q34), yakni ABL (abelson)
dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan
kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan
proliferasi pada LGK.1
Anamnesis

Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien.
Hasil anamnesis bersifat subjektif. Penjelasan perihal keluhan utama pasien dan berapa lamanya.
Anamnesis pada kasus lemas atau lelah kronis ini dapat dilakukan secara autoanamnesis dengan
pasien. Tanyakan pada pasien lelah seperti apa yang dimaksud, kapan pertama kali terjadi, dan
dugaan pemicu gejala. Apakah lelah sepanjang waktu, sesak sehabis melakukan aktivitas berat yang
menguras tenaga atau pikiran yang jenuh. Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.1
Adakah gejala fisik lain yang mengarahkan diagnosis ke penyakit fisik organik, seperti:
demam, penurunan berat badan, cepat kenyah dan begah serta hilangnya nafsu makan (anoreksia),
pucat (anemis), keringat malam, nyeri perut spesifik termasuk onsetnya gejala. Untuk menyingkirkan
kemungkinan dugaan adanya gangguan sistem urogenital, tanyakan apakah ada nyeri saat berkemih.1
Selanjutnya pertanyaan pelengkap lainnya seperti riwayat penyakit dahulu (RPD). Apakah
penyakitnya ini hilang timbul atau menetap dan pengobatan apa yang telah dilakukan untuk
mengurangi gejala-gejala tersebut. Adakah riwayat penyakit lain (seperti TBC) atau masalah
psikologis dalam hidupnya (untuk menyingkirkan diagnosis penyakit psikiatrik). Penting untuk
ditanyakan pula riwayat keluarga, riwayat merokok atau terpapar radiasi, dan kondisi social yang
lengkap termasuk konsumsi makanan sehari-hari.1,3

Pemeriksaan Fisik
Langkah selanjutnya untuk mengetahui apakah informasi bersifat konfirmatif atau tidak,
perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan klinis pasien. Pemeriksaan fisik meliputi tingkat kesadaran
pasien (tampak sakit ringan atau berat, compos mentis/apati/somnolen/sopor/koma) dan TTV (T,
HR, RR, dan BP).1
Selanjutnya inspeksi bagian kulit pasien apakah ada memar atau tanda-tanda pendarahan
(ptekiae, ekimosis, purpura). Pasien dengan keluhan lelah kronis wajib dilakukan pemeriksaan mata
(khususnya konjungtiva dan sclera) sebab kuat dugaan pasien mengalami anemia, sekaligus untuk
menyingkirkan differensial diagnosis kearah infeksi hepatobilier (sclera ikterik). Mungkin juga
terdapat pendarahan retina pada pemeriksaan funduskopi. Setiap pasien dengan keluhan
hipermetabolisme atau gangguan pada saluran pencernaan baik hanya perasaan tidak enak di perut,
nyeri, dan demam dilakukan palpasi hati dan limpa untuk mengetahui apakah ada pembesaran atau
tidak.3,4

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan hematologi rutin, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun yang
menunjukkan adanya anemia ringan (Hb<11g/dl pada 1/3 pasien), leukositosis berat antara 20-
60.000/µL. Persentasi eosinofil dan basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-
600.000/µL, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopeni walaupun jarang. Sering juga
ditemukan hiperurikemia akibat peningkatan pertukaran sel dan dapat dicetuskan oleh terapi
ototoksik. LDH meningkat sebagai akibat increased ineffective turn over of hemopoietic cells. Dapat
ditemukan juga peningkatan mencolok kadar dan kapasitas daya ikat vitamin B 12 serum karena
peningkatan pembentukan transkobalamin I oleh granulosit.2,5

Sediaan Apus Darah Tepi mampu membedakan antara reaksi leukemoid dengan LGK. Pada
LGK, eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri
granulosit dengan pergeseran ke kiri, termasuk peningkatan promielosit, mielosit dan metamielosit.
Persentasi eosinofil dan atau basofil juga meningkat. Skor Leukosit Alkali Fosfatase (LAP) netrofil
rendah atau nol.2,5
Pada sediaan apus sumsum tulang terlihat adanya peningkatan kedapatan tulang (hiperseluler)
akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid terhadap eritroid pun juga meningkat.
Aktivitas eritropoiesis menurun. Trombopoiesis bervariasi (biasanya menurun), megakaryosit
tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami
fibrosis. Sumsum tulang dan limpa mungkin mengandung fagosit yang berisi glikolipid mirip sel
Gaucher atau histiosit laut biru akibat peningkatan pertukaran glukoserebrosida dan sfingolipid yang
mirip dengan penampakan pada ALL.2,5

Gambar1. Gambaran Histiosit Laut-Biru dan sel Pseudo-Gaucher


(Sumber: Greer JP, et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 12th edition, 2009)
Karyotipik dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini
digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi
gen fusi BCR-ABL kromosom Philadelphia (Ph) ditemukan pada LGK adalah +8, +9, +19, +21,
i(17). Sementara dengan pemriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat terdeteksi penyakit
residual minimal pada LGK dengan adanya mRNA hybrid produksi BCL-ABR. Penggunaan teknik
ini juga dapat mengkonfirmasi diagnosis pada pasien yang tidak jelas apakah memiliki kromosom Ph
atau tidak.2,5,6

Gambar2. Kariotipe Philadelphia saat Metaphase (pembelahan) dan Interfase (diam)


(Sumber: Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 6, 2013)

Diagnosis Kerja
Manifestasi klinis yang dijumpai dari hasil anamnesis adalah rasa lemas, demam dan keringat
malam, juga sering merasa cepat kenyang dan begah membuat kita memikirkan adanya infeksi atau
keganasan. Namun riwayat batuk, nyeri berkemih, dan paparan radioaktif disangkal semakin
mengarahkan diagnosis kearah adanya keganasan darah. Belum lagi ditambah dengan adanya
anemia, splenomegali, leukositosis, dan sel blas mengarahkan diagnosis kearah Leukimia
Granulositik Kronik (LGK) dengan diagnosis banding terdekatnya adalah reaksi leukemoid akibat
suatu infeksi.
Diagnosis LGK bergantung pada hubungan mielopoiesis yang meningkat mencolok,
splenomegali dan adanya kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus darah tepi dan sumsum tulang
dapat menegakkan diagnosis dalam fase yang sesuai. Terkadang diperlukan juga pemeriksaan
konfirmasi seperti kajian sitogenik dengan adanya kromosom Philadelphia t(9,22) pada 98% kasus,
translokasi sebagian lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9, dan gen
gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan PCR (50% kasus). Pemahaman mekanisme kerja gen
BCR-ABL1 mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostic, perjalanan
penyakit, prognostic, serta implikasi terapetiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan
kejadiannya di tingkat molecular. Biasanya LGK dapat dibedakan dengan reaksi leukemoid yang
berkaitan dengan infeksi atau neoplasma dengan adanya kromosom Philadelphia, eosinofilia,
basofilia, dan skor alkali fosfatase netrofil yang rendah. Metaplasia myeloid agnogenk biasanya
muncul dengan mielofibrosis mencolok dan splenomegali tanpa adanya kromosom Philadelphia.2,5-7

Diagnosis Banding
Leukimia akut memerlukan pembuktian adanya sel leukemik di SST, darah tepi atau jaringan
ekstramedula. SST biasanya hiperseluler dengan sebukan monomorfik blas leukemik atau penurunan
mencolok unsure SST. Limfoblas memiliki ukuran lebih kecil dan berinti daripada mieloblas.
Limfoblas juga tidak mengandung enzim lisosom granulositik atau monositik sehingga tidak
bereaksi dengan pewarna sitokimia seperti peroksidase, suddan black, dan esterase non spesifik.
Gejala awal leukemia akut timbul dalam waktu <3 bulan dengan gejala anemia seperti pucat, mudah
lelah, dan sesak bila melakukan aktivitas. Adanya oklusi mikrosirkulasi oleh sel blas >30% dapat
menyebabkan munculnya leukositosis dan menimbulkan hipoperfusi jaringan vital (otak dan paru).
Pasien juga sering mengalami pendarahan (ptekiae dan mudah memar) akibat trombositopeni dengan
fungsi abnormal disertai megakariosit. Bila trombosit kurang dari 20.000/µL, pendarahan mukosa
dan saluran cerna akan lebih sering terjadi terutama bila terdapat infeksi atau koagulopati. Jumlah
netrofil <500/µL dan berasal dari sel progenitor leukemik sehingga fungsinya juga abnormal dan
semakin melemahkan daya tahan pejamu. Selanjutnya, hepatomegali dan splenomegali serta adanya
limfadenopati menimbulkan gejala mual, mudah kenyang.6,9
Leukemia limfoid kronik (LLK) adalah leukemia tersering di dunia Barat dengan rasio laki-
laki : perempuan = 2:1 dan insiden puncak antara usia 60-80 tahun. Etiologi tidak diketahui tetapi
insidennya memperlihatkan variasi geografik. Tidak ada pengaruh dari kemoterapi atau radioterapi,
tetapi didapatkan peningkatan tujuh kali lipat pada pasien dengan riwayat keluarga yang memiliki
predisposisi genetik. Pada banyak pasien terdapat pembesaran kelenjar limfe simetris pada servikalis,
aksilaris atau inguinalis yang diskret dan tidak nyeri. Pembesaran tonsil juga dapat terjadi.
Splenomegali dan yang lebih jarang hepato megali (biasanya tahap lanjut).6
Sebagian besar kasus terdiagnosis saat check-up medis rutin. Terdapat peningkatan leukosit
akibat adanya infeksi bakteri di awal, yang pada stadium lanjut justru menurun akibat infeksi virus
dan jamur. Leukositosis dengan jumlah absolute limfosit B klonal adalah >15.000/µL, 70-99%
apusan darah tepi leukosit adalah limfosit kecil dan terdapat smudge atau smear cell. Pemeriksaan
imunofenotipe limfosit memperlihatkan bahwa sel-sel tumor tampak seperti sel B (CD19 + di
permukaan sel) yang relative matang dengan ekspresi IgM atau IgD yang lemah. Sel ini
terakumulasi di darah, SST, hati, limpa, dan kelenjar limfe akibat meningkatnya pembentukan dan
memanjangnya usia yang berkaitan dengan gangguan apoptosis. Terjadi penurunan Ig serum yang
semakin nyata pada tahap lanjut. meskipun jarang, dapat ditemukan paraprotein.Mungkin terdapat
gambaran anemia normositik normokrom pada tahap lanjut akibat sel tumor yang menginfiltrasi SST
atau hipersplenisme. Sering terjadi autoimunitas terhadap system hematopoietic sehingga timbul
anemia hemolitik autoimun, trombositopeni imun, neutropeni dan aplasia SDM. Pada aspirasi SST
memperlihatkan elemen normal sumsum tulang digantikan oleh 25-95% limfosit.6,9

Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai laki atau perempuan (L:P = 4:1) dan semua usia (usia puncak
40-60 tahun. Namun dapat juga terjadi pada anak-anak dan neonatus atau pada orang sangat tua dan
biasanya lebih progresif. Tidak ada faktor predisposisi tertentu, tetapi kejadian meningkat pada
korban yang selamat dari bom atom Hiroshima Nagasaki di Jepang. Insidensi puncak dijumpai 5-12
tahun setelah pajanan radiasi dan tampaknya berkaitan dengan dosis radiasi.2,5-7
Leukimia mielositik kronik mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua
terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan
pasien masih berada pada fase kronik dan sering kali diagnosa ditemukan secara kebetulan saat
persiapan pra bedah karena adanya penyakit lain.2

Etiologi
Tidak ada korelasi pajanan obat sitotoksik dan infeksi virus dengan LGK. Adanya riwayat
merokok meningkatkan progresifitas fase LGK ke fase krisis blas. Tidak ada peningkatan insidensi
LGK pada Chernobyl. Pajanan radiasi dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama juga dapat
menginduksi terjadinya LGK.3

Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya kromosom Philadelphia (Ph) dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum
diketahui secara pasti, diduga akibat pengaruh radiasi atau adanya mutasi spontan. Penyakit ini
berasal dari stem cell ketika kromosom Ph terdapat pada precursor eritroid, granulositik,
megakariositik dan limfoid T.2,7
Sel leukemik pada 95% pasien memiliki translokasi resiprokal proto-onkogen Abelson (abl)
dari kromosom 9 ke breakpoint cluster region (brc) di kromosom 22 untuk membentuk gen fusi
BCR- ABL t(9,22). Kromosom 22 yang mengalami translokasi inilah yang dinamakan kromosom
Philadelphia. Gen fusi pada ini kromosom Philadelphia selanjutnya ditranskripsi menjadi mRNA
hybrid yang kemudian ditranslasikan, mengkode dan mensintesis protein tirosin kinase dengan berat
210 kD (p210) yang sangat meningkat dibandingkan produk ABL normal dan selanjunya berperan
dalam leukemogenesis, menyebabkan proliferasi berlebihan sel induk pluripoten pada system
hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama
dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme
di atas adalah terbentuknya klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.
dengan demikian terjadi ekspansi kompartemen precursor myeloid disertai oleh pembentukan
berlebihan unsur-unsur myeloid matang. Walaupun pada GLK sel yang mengandung kromosom Ph
mendominasi sumsum tulang, namun sel bakal normal tetap ada tetapi tertekan oleh klon positif
Ph.2,5,7

Manifestasi Klinis

Pada 70% pasien yang simptomatik, keluhan yang paling sering ditemukan adalah cepat
lelah, merasa tidak sehat, tidak dapat bekerja berat, anoreksia, rasa tidak nyaman pada abdomen,
early satiety yang disebabkan oleh pembesaran limpa, berat badan yang turun, dan keringat berlebih.
Manifestasi klinis pada pasien biasanya non spesifik dengan onset gradual.4

Meski jarang ditemukan, pasien juga dapat mengalami hipermetabolisme (night sweat, heat
intolerance, weight loss), gout arthritis yang kemungkinan diakibatkan oleh hiperurisemia, stupor
dikarenakan oleh leukostasis, nyeri pada bahu kiri karena infark limpa dan perisplenitis.4

Manifestasi Klinis leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :

1) Fase kronik

Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel
darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah
perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan,
penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-
800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel.
Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.6

2) Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang
lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa
bulan.6

Gejala fase akselerasi dapat berupa panas tanpa penyebab yang jelas. Spleenomegali
progresif. Trombositosis. Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%). Gambaran
myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang
besar. Fibrosis kolagen pada sumsum tulang. Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti
kromosom Philadelphia.6

3) Fase Krisis Blast

Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas
kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas.
Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.6

Tatalaksana
Tujuan terapi adalah untuk mecapai remisi lengkap, baik hematologi, sitogenik, maupun
reaksi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologi digunakan obat-obatan yang bersifat
mielosupresif. Begitu tercapai, dilanjutkan dengan terapi interferon atau cangkok sum-sum tulang
dengan indikasi usia <60 tahun, ada donor yang cocok, dan termasuk gologan risiko rendah menurut
perhitungan Sokal.2
Imatinib mesylate (Glyvec) 400 mg/hari p.c - inhibitor spesifik tirosin kinase yang dikode
BCR-ABl dengan cara bersaing pada ikatan ATP. Obat ini merupakan obat lini pertama dalam
penatalaksanaan penyakit fase kronis, karena mampu mengontrol jumlah darah dan menyebabkan
sumsum menjdi negative Ph. Penilaian terhadap respon diawali dengan penilaian sumsum tulang
secara teratur (3-6 bulanan) untuk menilai sitogenetik metaphase. Pasien dengan respon optimal
dimana hitung darah tepi normal, dan setidaknya respon sitogenetik minimal (Ph+ <95% dalam 3
bulan, Ph+ <35% dalam 6 bulan, atau Ph-dalam 12 bulan) serta respon molecular mayor dengan
setidaknya penurunan 3 log pada transkripsi BCR-ALB1 dalam 18 bulan tetap melanjutkan terapi ini.
Untuk yang gagal, dosis dapat dinaikkan menjadi 600-800 mg/hari atau diobati dengan generasi
keduanya (Dasatinib atau Nilotinib) atau bahkan sampai transplantasi sumsum tulang. Dosis harus
diturunkan apabila terjadi neutropeni berat (<500/ml) atau trombositopeni berat (<50.000/ml) atau
peningkatan SGOT/PT dan bilirubin. Efek samping yang mungkin timbul mual, ruam kulit, nyeri
kram otot, dan retensi cairan.6,7
Hidroksiurea (Hydrea) 30 mg/KgBB/hari. Apabila leukosit >300.000/ml, dosis dinaikkan
maks 2,5g/hari dan dihentikan bila leukosit <8.000/ml atau trombosit <100.000/ml. Bila leukosit
sangat tinggi dapat disertai hidrasi yang baik dan alopurinol untuk mencegah hiperurisemia.Obat
merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologic pada LGK sebab akan lebih efektif
dalam mengontrol peningkatan jumlah sel darah putih dan tidak menimbulkan fibrosis paru atau
supresi SST berkepanjangan seperti pada penggunaan Busulfan. Oleh karena itu, selama penggunaan
obat harus dipantau Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hati.2
α-Interferon 2a atau 2b 3juta IU/m2/hari sampai terjadi remisi sitogenetik (12 bulan pasca
terapi). Obat ini juga dapat mengontrol leukosit sekaligus menunda onset transformasi akut dan
memperpanjang harapan hidup keseluruhan menjadi 1-2 tahun. Responder terbaik terhadap IFN
menjadi Ph-, tetapi biasanya tetap BCR-ABL +.2,7
Transplantasi sel stem alogenik (stem cell transplantation/SCT) merupakan terapi definitive
untuk LGK. Indikasi dilakukan jika pasien berusia <50 tahun, pendonor berasal dari saudara
kandung dengan HLA yang cocok dengan pasien. Transfuse limfosit donor dapat berharga dalam
mengeliminasi sel BCR-ABL + pada kasus pasca SCT relaps.7

Prognosis
Dahulu kelangsungan hidup pasien sekitar 3-5 tahun sejak diagnosis ditegakkan. Sekarang
dengan adanya uji klinis kombinasi hydrea dan IFN median kelangsungan hidup menjadi 6-9 tahun.
Meskipun Imatinib lebih memberikan hasil yang menjajikan, tetapi median kelangsungan hidup
masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung. Faktor yang dapat
memperburuk prognosis pasien LGK adalah usia lanjut, keadaan umum yang buruk, disertai gejala
sistemik ditambah dengan hasil laboratorium yang menunjukan adanya anemia, basofilia, eosinofilia,
Ph-, BCR-ABL-. Terapinya lebih lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi serta memerlukan dosis
tinggi, waktu remisi yang singkat.2
Sebagian besar pasien LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut krisis
blastik. Gambarannya mirip dengan leukemia akut, yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit,
biasanya berupa mieloblas dan promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah
merah yang amat kurang.3,4

Kesimpulan
Pasien laki-laki usia 56 tahun dengan keluhan lemas, demam dan keringat malam, dan sering
merasa cepat kenyang dan begah membuat kita memikirkan adanya infeksi atau keganasan, anemia,
dan leukositosis berat didiagnosis menderita Leukimia Granulositik Kronik (LGK).
Diagnosis LGK bergantung pada hubungan mielopoiesis yang meningkat mencolok,
splenomegali dan adanya kromosom Philadelphia. Pemeriksaan apus darah tepi dan sumsum tulang
dapat menegakkan diagnosis dalam fase yang sesuai. Terkadang diperlukan juga pemeriksaan
konfirmasi seperti kajian sitogenik dengan adanya kromosom Philadelphia t(9,22) pada 98% kasus,
translokasi sebagian lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9, dan gen
gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan PCR (50% kasus). Prognosis terrgantung keadaan awal
pasien saat terdiagnosis dan terapi yang dilakukan. Saat ini hasil klinis sangat baik dan pasien dapat
mengontrol penyakit dalam waktu lama.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.h.70-1.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Pusat peneribitan Departemen IPD-FKUI; 2010.h.698-700,9-14.
3. Harrison’s hematology and oncology. 2nd edition. US: McGraw-Hill Education; 2013.
4. Buyukasik Y, Haznedaroglu IC, Osman I. Chronic Myeloid Leukimia: Practical issue in
diagnosis, treatment and follow-up. International Journal of Hematology and Oncology. 2010;
2(20).p.1-10.
5. Isselbacher KJ, et al. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2000.h.1956-
62.
6. Hoffbrand AV. Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2013.h.107,77-
85.
7. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2012.h.48-51.
8. Greer JP, et al. Wintrobe’s Clinical Hematology. 12th edition. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2009.p.2003-20.
9. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim AL, Santoso S. Penuntun patologi klinik hematologi.
Jakarta: Bagian PK FK Ukrida; 2007.h.147-8.

Anda mungkin juga menyukai