Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN

LEULIMIA MIELOBLASTIK

1.1. Pengkajian
A. Anamnesa :
a. Identitas
Meliputi, nama, usia, jk, suku , agama, alamat. Leukemia banyak menyerang
laki-laki dari pada wanita dan menyerang pada usia lebih dari 20 tahun
khususnya pada orang dewasa. Bisa juga terjadi pada anak-anak.
b. Keluhan utama
Lemas, sesak napas, demam, sakit kepala, lemah, nyeri tulang dan sendi.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang pada penyakit leukemia klien biasanya lemah,
lelah, wajah terlihat pucat, anemis, sakit kepala, anoreksia, muntah, sesak,
nafas cepat.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada riwayat kesehatan dahulu pada klien dengan leukemia, kaji adanya
tanda-tanda anemia yaitu pucat, kelemahan, sesak, nafas cepat. Adanya tanda-
tanda leucopenia yaitu demam dan adanya infeksi. Kaji adanya tanda-tanda
trombositopenia yaitu ptechiae, purpura, perdarahan membran mukosa. Kaji
adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola yaitu limfadenopati, hepatomegali,
splenomegali. Kaji adanya pembesaran testis. Kaji adanya hematuria,
hipertensi, gagal ginjal, inflamasi disekitar rectal, nyeri ( Lawrence, 2003).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dari riwayat kesehatan keluarga, adanya keluarga yang mengalami gangguan
hematologis serta adanya faktor herediter misal kembar monozigot.
f. Pengkajian Psikososial
Pada pengkajian psikososial perlu dikaji tentang bagaimana respon klien
terhadap penyakit leukemia yang sedang dialaminya. Apakah ada perubahan

1
gambaran peran dan fungsinya terhadap penyakit yang dialaminya sekarang.
Kemudian tanyakan bagaimana cara keluarga memberikan dukungan ketika
pasien dengan keadaannya sekarang.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Keadaan umum pada penderita leukemia tampak lemah, kesadaran bersifat
composmentis selama belum terjadi komplikasi.
2. Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : tidak normal (TD normal 120/80 mmHg)
Nadi :
Suhu : meningkat jika terjadi infeksi
RR : Dispneu, takhipneu
3. Pemeriksaan B1-B6
a. B1 (Breath):
RR 37x/menit, sesak napas, menggunakan otot bantu pernapasan yaitu
otot sternokleidomastoid.
b. B2 (Blood):
TD 80/50 mmHg, CRT >3detik, akral dingin, HR 80x/menit, Hb 6,7 gr/dl,
leukosit 70.500 ml3, trombosit 44.000ml3
c. B3 (Brain): sakit kepala
d. B4 (Bladder):
Apakah ada masalah dalam pengeluaran urine. Mengkaji apakah
menggunakan alat bantu untuk berkemih.
e. B5 (Bowel):
BB turun, mual, muntah, pembesaran limfa, pembesaran hati
f. B6 (Bone):
Nyeri tulang dan sendi

2
C. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Diagnostik Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa
leukemia tersebut mungkin timbul.Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis dengan
aspirasi dan biopsi sumsum tulang.Contoh ini biasanya didapat dari tulang iliaka
dengan pemberian anestesi lokal dan dapat juga diambil dari tulang sternum (Gale,
2000 : 185).
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti:
a. Darah tepi
1) Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul
cepat.
2) Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
3) Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun.

Gambar Pemeriksaan Darah Tepi pada Pasien Leukemia


4) Menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast,
monoblast, erythroblast atau megakariosit) yang melebih 5% dari sel berinti
pada darah tepi.

3
Gambar Limfoblast pada penderita Leukemia

b. Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik.Ditemukan banyak sekali
sel primitif.Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk
membedakannya dengan anemia aplastik. Hiperseluler, hampir semua sel sumsum
tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya
leukomic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang,
tanpa sel antara). System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada
apusan sumsum tulang).

Gambar Pemeriksaan Sumsum Tulang


c. Pemeriksaan sitogenetik

4
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan
dalam diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan
prognosis.

Gambar Contoh Hasil Interpretasi Pemeriksaan Sitogenik


d. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan surface
marker guna membedakan jenis leukemia.

Gambar Hasil Interpretasi immunophenotyping

2. Pemeriksaan Diagnostik pada Kronik Leukimia Myeloblast (CML)


a. Darah Tepi
1) Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 /L dan kadang – kadang >500 x
109/L.
2) Meningkatnya jumlah basofil dalam darah.

5
3) Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segmen
netrofil dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga
dijumpai. Sel blast kurang dari 5%.
4) Trombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase [NAP] score) selalu
rendah
b. Sumsum Tulang.
Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan.Gambarannya mirip dengan
apusan darah tepi.Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%.
Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
c. Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada kasus 95%
kasus.
d. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric
protein bcr – abl pada 99% kasus.
f. Kadar asam urat serum meningkat.

Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai oleh:
1. Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
2. Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik menjadi tidak
adekuat.
3. Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4. Blast dalam sumsum tulang >10%.

Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO:


1. Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. Basofil darah tepi > 20%.

6
3. Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak dihubungkan dengan
terapi, atau thrombositosis (>1000 x 109/L) yang tidak responsive pada terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.

Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO:


1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang.

3. Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Myeloma


a. Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah
leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang
terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali
pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60%
pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar
seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi
ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones
yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

Gambar Hasil Pemeriksaan Adanya Protein M pada Penderita Multyple Myeloma

7
Gambar Keganasan Multiple Myeloma
b. Radiologi
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas
tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi
terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga
medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang
kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit
pengecualian, mengalami demineralisasi difus.Pada beberapa pasien, ditemukan
gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.Saat timbul gejala sekitar 80-
90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:
1) Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama
tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan
mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda
radiologis satu-satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering
dijumpai.
2) Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
3) Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang
berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
4) Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa
jaringan lunak.

8
5) Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada
suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga
44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula
10%.

Gambar Radiologi Pasien Multiple Myeloma

c. CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,
kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak
dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan
kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.

Gambar CT Scan Pada Multiple Myeloma

9
d. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik
untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma
berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi
intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai mieloma.MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak
spesifik.Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti pengukuran
nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai
plasmasitosis.Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk
menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.
e. Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik.Tumor dapat memiliki zona perifer dari
peningkatan vaskularisasi.Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk
mendiagnosis multipel mieloma.

D. Penatalaksanaan Medis
1. Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)
a. Pengobatan
Pengobatan khusus dan harus dilakukan di rumah sakit.Berbagai regimen
pengobatannya bervariasi, karena banyak percobaan pengobatan yang masih terus
berlangsung untuk menentukan pengobatan yang optimum.
1) Obat-obatan kombinasi lebih baik daripada pengobatan tunggal.
2) Jika dimungkinkan, maka pengobatan harus diusahakan dengan berobat jalan.
3) Daya tahan tubuh penderita menurun karena sel leukemianya
b. Terapi
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1) Kemoterapi
a) Induksi Remisi.

10
Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia limfositik
akut.Pada waktu remisi, penderita bebas dari symptom, darah tepi dan
sumsum tulang normal secara sitologis, dan pembesaran organ
menghilang.Remisi dapat diinduksi dengan obat-obatan yang efeknya hebat
tetapi terbatas. Remisi dapat dipertahankan dengan memberikan obat lain
yang mempunyai kapasitas untuk tetap mempertahankan penderita bebas dari
penyakit ini.
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu
keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast sumsum tulang
kurang dari 5%.Dengan pemeriksaan morfolik tidak dapat dijumpai sel
leukemia dalam sumsum tulang dan darah tepi (Bakta,I Made, 2007 : 131-
133).
Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara berurutan
yang tergantung pada regimen atau protocol yang berlaku. Beberapa rencana
induksi meliputi: prednisone, vinkristin (Oncovin), daunorubisin
(Daunomycin), dan L-asparaginase (Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin
dimasukan pada pengobatan awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan
Metotreksat (Mexate).Allopurinol diberikan secara oral dalam dengan
gabungan kemoterapi untuk mencegah hiperurisemia dan potensial adanya
kerusakan ginjal.Setelah 4 minggu pengobatan, 85-90% anak-anak dan lebih
dari 50% orang dewasa dengan ALL dalam remisi komplit.Teniposude (VM-
26) dan sitosin arabinosid (Ara-C) mungkin di gunakan untuk menginduksi
remisi juka regimen awal gagal. (Gale, 2000 : 185)
b) Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin
yang pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan:
(1) Kemoterapi lanjutan, terdiri atas:
Terapi konsolidasi
Terapi pemeliharaan (maintenance)
Late intensification

11
(2) Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang
memberikan penyembuhan permanen pada sebagaian penderita,
terutama penderita yang berusia di bawah 40 tahun.
2) Terapi suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya
dengan kemoterapi karena akan menentukan angka keberhasilan terapi.
Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula,
kalau tidak penderita dapat meninggal karena efek samping obat,.Terapi
suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat.
Terapi suportif yang diberikan adalah;
a) Terapi untuk mengatasi anemia
b) Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik
terdiri atas Antibiotika adekuat, Transfusi konsentrat granulosit.
Perawatan khusus (isolasi) dan Hemopoitic growth factor (G-CSF atau
GM-CSF)
c) Terapi untuk mengatasi perdarahan
d) Terapi untuk mengatasi hal-hal lain seperti pengelolaan leukostasis,
pengelolaan sindrom lisis tumor
2. Leukimia Myeloblastik Akut (CML)
Terapi CML tergantung pada dari fase penyakit, yaitu
a. Fase kronik, obat pilihannya meliputi:
1) Busulpan (Myleran), dosis : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun
setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa
aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya
leukemia akut (Bakta, 2007).
2) Kemoterapi Hydroxiurea bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit
dan mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi

12
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Hoffbrand, 2005) dan
memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek samping minimal.
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg – 2000 mg. Kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000 – 15.000/mm3. Efek
samping lebih sedikit dan bahaya, keganasan sekunder hampir tidak ada
(Bakta, 2007).
3) Inhibitor tirosin kinase. Obat ini sekarang sedang diteliti dalam percobaan
klinis dan tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat STI 571 adalah suatu
inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tirosin kinase dan mampu
menghasilkan respons hematologik yang lengkap pada hampir semua
pasien yang berada dalam fase kronik dengan tingkat konversi sumsum
tulang yang tinggi dari Ph+ menjadi Ph- (Hoffbrand, 2005).
4) Interferon alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh
hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan remisi
hetologik pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenetik hanya tercapai pada 5
– 10% kasus (Bakta, 2007;Hoffbrand, 2005).
b. Terapi fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons
sangat rendah.
c. Transplantasi sumsum tulang: memberikan harapan penyembuhan jangka
panjang terutama untuk penderita yang berumur <40 tahun. Sekarang yang
umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell transplantation.
Modus terapi ini merupakan satu – satunya yang dapat memberikan
kesembuhan total.
d. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi
molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleevec)
dapat menduduki ATP – binding site of abl oncogen sehingga menekan
aktifitas tyrosine kinase sehingga menekan proliferasi seri myeloid (Bakta,
2007).

13
3. Multiple Myeloma
a. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat yang ampuh untuk membunuh
sel-sel kanker.Kemoterapi merupakan terapi sistemik, artinya beredar melalui
aliran darah dan mempengaruhi hampir seluruh bagian tubuh. Yang umum
sebagian besar efek samping kemoterapi termasuk kelelahan, meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi, mual dan muntah, kehilangan selera makan,
rambut rontok , luka di mulut dan saluran pencernaan, nyeri otot, dan mudah
memar atau pendarahan. obat khusus mungkin berunding lainnya khusus efek
samping.
b. Terapi radiasi
1) Dalam myeloma, radiasi digunakan terutama untuk mengobati tumor yang
lebih besar, atau untuk mencegah fraktur patologis dalam-dikompromikan
tulang myeloma.
2) Pada orang dengan penyakit yang luas, radiasi dapat diterapkan ke area
yang lebih besar untuk membunuh beberapa situs myeloma.
3) Radiasi dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan gejala lain
yang berhubungan dengan area kecil kerusakan parah terutama tulang.
c. Pengobatan ditujukan untuk:
1) Mencegah atau mengurangi gejala dan komplikasi
2) Menghancurkan sel plasma yang abnormal
3) Memperlambat perkembangan penyakit.
d. Penatalaksanaan yang bisa diberikan
1) Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada tulang
yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.
2) Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya harus
bayak minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu mencegah
dehidrasi, yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3) Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa
mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah

14
patah. Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-
tulangnya rapuh.
4) Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,
daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.
5) Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau
mendapatkan eritropoetin.

E. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakseimbangan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah ke
perifer (anemia)
2) Resiko infeksi b.d penurunan sistem kekebalan tubuh
3) Resiko perdarahan b.d trombositopenia
4) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum (anemia)
5) Nyeri b.d agen cedera biologis (efek fisiologis dari leukemia)
6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologi
(anoreksia)
7) Kerusakan integritas kulit b.d zat kimia (kemoterapi, radioterapi)

F. Implementasi
Dalam implementasi perawat melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan
intervensi yang telah disusun. Dilakukan sesuai standar operasional dalam
melakukan tindakan. Agar tindakan yang dilakukan perawat ada bukti dan diharus
dicatat hasil monitoring tindakan.

G. Evaluasi
Evaluasi wajib dilakukan karena sebagai tolak ukur tindakan yang diberikan pada
pasien memiliki hasil yang sudah diharapkan sesuai dengan kriteria hasil atau
belum. Dan dalam melakukan tindakan sudah sesuai perencanaan atau tidak.
Evaluasi memberikan nilai atas hasil yang diperoleh dari kondisi pasien. Jika

15
kriteria hasil tidak mencapai tujuan, maka dilakukan pengkajian ulang selanjutnya
dilakukan perencanaan tindakan dan dilakukan pelaksanaannya.

16

Anda mungkin juga menyukai