Anda di halaman 1dari 8

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Diagnostik Leukimia Limfoblastik Akut (ALL)
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa leukemia tersebut
mungkin timbul.Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis dengan aspirasi dan biopsi
sumsum tulang.Contoh ini biasanya didapat dari tulang iliaka dengan pemberian anestesi
lokal dan dapat juga diambil dari tulang sternum. (Gale, 2000 : 185)
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti:
1) Darah tepi
 Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat.
 Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
 Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun.

Gambar Pemeriksaan Darah Tepi pada Pasien Leukemia


 Menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast,
erythroblast atau megakariosit) yang melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi.

Gambar Limfoblast pada penderita Leukemia


2) Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik.Ditemukan banyak sekali sel
primitif.Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk
membedakannya dengan anemia aplastik. Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang
diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukomic gap
(terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa sel antara).
System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal 30% dari sel
berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang).

Gambar Pemeriksaan Sumsum Tulang


3) Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis
leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.

Gambar Contoh Hasil Interpretasi Pemeriksaan Sitogenik


4) Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik
leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna
membedakan jenis leukemia.

Gambar Hasil Interpretasi immunophenotyping

2. Pemeriksaan Diagnostik pada Kronik Leukimia Myeloblast (CML)


1) Darah Tepi
 Leukositosis biasanya berjumlah >50 x 109 /L dan kadang – kadang >500 x 109/L.
 Meningkatnya jumlah basofil dalam darah.
 Apusan darah tepi : menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segmen netrofil
dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast
kurang dari 5%.
 Trombosit bisa meningkat, normal, atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
 Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase [NAP] score) selalu rendah
2) Sumsum Tulang.
Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan.Gambarannya mirip dengan apusan darah
tepi.Menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah
netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal
atau meningkat.
3) Sitogenik: dijumpai adanya Philadelphia (Ph1) chromosome pada kasus 95% kasus.
4) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein
bcr – abl pada 99% kasus.
6) Kadar asam urat serum meningkat.
Perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut ditandai oleh:
1) Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
2) Respons penurunan leukosit terhadap kemoterapi yang semula baik menjadi tidak
adekuat.
3) Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil.
4) Blast dalam sumsum tulang >10%.
Diangnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO:
1) Blast 10 – 19 % dari WBC pada darah tepi atau dari sel sumsum tulang berinti.
2) Basofil darah tepi > 20%.
3) Thrombositopenia persisten (<100 x 109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau
thrombositosis (>1000 x 109/L) yang tidak responsive pada terapi.
4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5) Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal.
Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO:
1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2) Proliferasi blast ekstrameduler.
3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsy sumsum tulang.

3. Pemeriksaan Diagnostik pada Multiple Myeloma


1) Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah leukosit
umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang
terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali
pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60% pasien.
Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar seperempat hingga
setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi ginjal dan 80% pasien
menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones yang dikonfirmasi dengan
imunoelektroforesis atau imunofiksasi.

Gambar Hasil Pemeriksaan Adanya Protein M pada Penderita Multyple Myeloma

Gambar Keganasan Multiple Myeloma


2) Radiologi
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas tegas, litik,
punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam
ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla , mengikis
tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai
tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami
demineralisasi difus.Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada
pemeriksaan radiologi.Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami
kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:
 Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang
belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma.
Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-
satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.
 Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis
senilis.
 Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada
di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
 Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan
lunak.
 Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu
penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%,
tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.

Gambar Radiologi Pasien Multiple Myeloma


3) CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun, kegunaan modalitas
ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak dibutuhkan lagi karena gambaran
pada foto tulang konvensional menggambarkan kebanyakan lesi yang CT scan dapat
deteksi.
Gambar CT Scan Pada Multiple Myeloma
4) MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik untuk
resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma berupa
suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas
sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai mieloma.MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak
spesifik.Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti pengukuran
nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai
plasmasitosis.Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk
menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.

5) Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik.Tumor dapat memiliki zona perifer dari peningkatan
vaskularisasi.Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk mendiagnosis multipel
mieloma.
Tamtam, Tiea. https://www.academia.edu/20618101/ASKEP_LEUKEMIA
Diagnosa keperawatan
1. Ketidakseimbangan perfusi jaringan perifer b.d penurunan suplai darah keperiferan
(anemia)
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d intake nutrisi yang tidak adekuat
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan (muntah, perdarahan, diare),
penurunan pemasukan cairan, dan peningkatan kebutuhan cairan
4. Resiko infeksi b.d menurunnya system pertahanan tubuh
5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, penurunan cadangan energi,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d melemahnya kemampuan fisik
7. Nyeri b.d agen fisikal dan agen kimia
8. Gangguan citra tubuh b.d aloplesia

Anda mungkin juga menyukai