Anda di halaman 1dari 15

“ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA”

A. DEFINISI

Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal
dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya
pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur
dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu fungsi sel normal lain (Permono,
2005).

Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008) berdasarkan defek genetik yang
mendasarinya. Pada kelompok B-LLA (LLA sel B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe
dengan translokasi t(9; 22) atau t(12;21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom
(diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA (LLA
sel T) kariotipe abnormal ditemukan pada 50%-70% kasus (Hoffbrand, 2013). Sedangkan secara morfologik,
menurut FAB (French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:

a. L1: LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
b. L2: Sel lebih besar,inti ireguler,kromatin bergumpal,nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak,merupakan
14% dari LLA.
c. L3: LLA mirip dengan limfoma Burkitt,yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari
LLA (Bakta,2006).

Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi:

a. Sel pra-B awal: 60%-70% dari pasien LLA dengan precursor sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan tidak
ditemukan sitoplasmik immunoglobulin (cIg), sehingga disebut dengan “LLA umum”, Juga terdapat human
leukocyte antigen (HLA)-DR
b. Sel pra-B: 20%-30% dari pasien LLA dengan precursor sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan dari tipe sel
B, lebih matur dari sel pra-B awal, namun kurang matur dari sel B. Ditemukan antigen CD10 dan HLA-DR,
memiliki prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel pra-B awal.
c. Sel pra-B transisional: Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan, CD10 negatif, dan terdapat beberapa
ketidaknormalan pada kromosom,prognosis paling buruk.
d. Sel T:10%-15% LLA, biasanya pada anak yang lebih tua, hitung leukosit lebih tinggi dan prognosisnya lebih jelek
dibandingkan prekursor sel B.
e. Sel B mature:1%-2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan HLA-DR
(Orkin, et al.,2009)

B. ETIOLOGI

Etiologi leukemia akut belum diketahui, akan tetapi faktor-faktor berikut ini penting dalam patogenesis leukemia:

1. Radiasi ionisasi.
2. Bahan-bahan kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut (LMA)).
3. Obat-obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi radiasi
meningkatkan risiko LMA).
4. Pertimbangan Genetik: Kembar identik:Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia dibawah 5 tahun,
risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%. Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien
leukemia adalah empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.

Peningkatan kejadian dengan kondisi genetik sebagai berikut:

a. Agammaglobulinemia kongenital
b. Sindrom Polandia
c. Sindrom Shwachman Diamond
d. Ataksia telangiectasia
e. Sindrom Li-Fraumeni (mutasi gen p-53)
f. Neurofibromatosis
g. Diamond-Blackfan anemia
h. Penyakit Kostmann.

Sebagian besar kasus leukemia tidak berasal dari kecenderungan genetik yang diwariskan, tetapi dari perubahan
genetik somatik (Lanzkowsky,2008)
C. MANIFETASI KLINIS

Gambaran klinis terjadi karena hal-hal berikut:

A. Kegagalan Sumsum Tulang

a. Anemia (pucat,letargi,dan dispnea);


b. Neutropenia (demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianus, atau
bagian lain);
c. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragia) (Hoffbrand, 2013).

B. Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom
meningen (nyeri kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin
menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami demam yang biasanya mereda
setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda
penekanan mediastinum pada LLA sel T (Hoffbrand, 2013). Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa
ekstranodus dengan blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi diterapi juga
seperti LLA (Hoffbrand, 2013)

D. PATOFISIOLOGI

Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta
trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh
sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada
kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada
proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.

ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab
kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam
sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya
merupakan petunjuk untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel
muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali
rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan
sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre
pre-B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem
pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel
limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga anak-anak menderita
pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada
susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah, “seizures” dan gangguan penglihatan.

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini
menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit
imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah
dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit
kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan
jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel
kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh,
sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan
makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002)

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan
perencanaan terapi yang tepat, yaitu:

a. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat,
atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm³) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung
leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari
25.000mm³ (Fianza, 2009).

a. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang. Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi,
sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan
limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya
digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari
jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi (Fianza,2009).

a. Sitokimia. Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat
membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang
ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia
juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif
pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid
Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau
flow cytomerty (Fianza, 2009).

a. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry). Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi
LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap :

a. Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain,
dan TdT.
b. Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT.
c. Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.

Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi
adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada
leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk (Fianza, 2009).

e. Pemeriksaan lainnya

Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong
penyebaran sel tumor ke SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum, laktat
dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui
data dasar sebelum pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di tulang dan massa di
mediastinum yang khas untuk T-LLA (Hoffbrand, 2013).

F. PENATALAKSANAAN

Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi
suportif untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi
(Bakta, 2006).

1. Terapi Spesifik (Kemoterapi). Menurut Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2 klasifikasi
berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR) dan risiko normal (Standard Risk/SR). Pada
pasien dengan risiko tinggi, terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan
(maintenance). Sedangkan pada pasien dengan risiko standar, terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi,
konsolidasi, dan rumatan (maintenance) (Pertiwi, et al.,2013).

a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk
mengembalikan hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini hampir selalu meliputi
administrasi glukokortikoid (prednisone, prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen
lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak-anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan
risiko sangat tinggi dan hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih obat selama terapi
remisi-induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar
98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa. Telah terbukti jika upaya pengobatan
dilakukan lebih cepat dan terjadi pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi obat dan
meningkatkan tingkat kesembuhan (Pui, et al, 2006). Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada
kenyataannya, menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi,
atau dosis tinggi anthracycline menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang dewasa, sebagian
karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien yang lebih tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke
dalam sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan deksametason di induksi dan terapi post
remisi tampaknya memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan sistemik dibandingkan baik
prednisone atau prednisolon. Namun, satu studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan dalam
konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil yang serupa dengan yang dicapai dengan
deksametason (Pui, et al.,2006). Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan. Dalam remisi,
pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua
pasien akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah pertama yang penting dalam
pengobatan keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif
(Hoffbrand,2013)

b. Fase Konsolidasi (intensifikasi)

Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat kemoterapi untuk mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban
tumor ke tingkat yang sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan selama intensifikasi
pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup banyak (Hoffbrand, 2013). Pada protokol tipikal berisi vinkristin,
siklofosfamid, sitosin arabinosid, etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam berbagai
kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang
digunakan untuk dewasa (Hoffbrand, 2013).

c. Fase reinduksi

Fase reinduksi pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi awal yang diberikan selama beberapa bulan
pertama remisi merupakan salah satu komponen dari suksesnya protokol LLA. Penting untuk dicatat bahwa
vincristine tambahan dan prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa
perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti asparaginase. Karena sering
terjadinya osteonekrosis setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang diselidiki sebagai strategi untuk
mengurangi komplikasi (Pui, et al, 2006).
d. Fase rumatan (maintenance)

Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin (6 MP) per oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan
selama 2-3 tahun dengan diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi (Bakta, 2006).

2. Terapi Suportif

Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan
angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka
penderita dapat meninggal karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang
diberikan adalah :

a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells) untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-
10 g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :

a. Antibiotika adekuat
b. Transfusi konsentrat granulosit
c. Perawatan khusus (isolasi)
d. Hemopoietic growth factor

c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:

Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.

d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :

a. Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapharesis. Segera lakukan
induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit.
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine
(Bakta,2006).

G. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, leukemia akut menduduki
peringkat pertama pasien keganasan pada anak dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2000) yaitu 524 kasus atau 59%
dari seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis sebagai leukemia limfoblastik
akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia nonlimfoblastik akut dan sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia
mieoloblastik kronis.Insiden dari LLA pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru (Widiaskara, et al,2010).
Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi (HR) bila jumlah leukosit darah tepi > 50.000/ml, ditemukan sel blastpada
susunan saraf pusat, jumlah total blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm, ada masa dimediastinum, dan
umur <1 tahun atau >10 tahun (Widiaskara, et al, 2010). Pasien yang berusia antara 1 dan 9 dengan awal WBC
(White Blood Count) <50.000 / mm³ (Risiko Standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B LLA, memiliki
angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80%. Para pasien yang tersisa (risiko tinggi) memiliki angka ketahanan
hidup 4 tahun sebanyak 65%. Faktor-faktor yang harus dimasukkan dalam klasifikasi risiko adalah:

1. Umur: Pasien di bawah usia 1 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki prognosis yang lebih buruk dari anak-anak
dengan usia > 1 tahun dan <10 tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis terburuk.
2. Jumlah sel darah putih: Anak-anak dengan WBC yang tinggi cenderung memiliki prognosis yang buruk.
3. Imunofenotipe: pre-B LLA memiliki prognosis terbaik. Mature T-sel LLA memiliki kelangsungan hidup yang lebih
buruk karena hubungannya dengan usia yang lebih tua dan lebih tingginya angka WBC pada saat diagnosis.
Mature B-sel LLA sebelumnya memiliki prognosis buruk dengan risiko kekambuhan yang cepat dan keterlibatan
SSP tetapi terapi agresif baru-baru ini telah meningkatkan prognosis.
4. Indeks DNA > 1,16 hyperdiploid LLA dengan jumlah kromosom lebih dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik
karena peningkatan apoptosis dan meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi.
5. Sitogenetik: Kombinasi trisomi kromosom 4, 10, dan 17 dikaitkan dengan risiko kegagalan pengobatan yang
sangat rendah dan hasil yang baik. Translokasi melibatkan penataan ulang MLL pada 11q23 telah dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Philadelphia kromosom t (9; 22) (Q34; Q11). LLA adalah translokasi paling
sulit untuk diobati dan memiliki prognosis buruk. Hypodiploid LLA juga berhubungan dengan prognosis yang
buruk.
6. Penyakit SSP: Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan faktor prognostik yang merugikan
meskipun intensifikasi terapi dengan iradasi SSP dan tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin
tanpa peningkatan WBC (status CNS2) juga dikaitkan dengan hasil yang buruk.
7. Respon awal terhadap terapi induksi: Pasien yang tidak mengalami remisi pada akhir terapi induksi memiliki
prognosis yang sangat buruk. Hasil sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari ke 14 terapi induksi juga telah
digunakan untuk memperkirakan respon terhadap terapi (Lanzkowsky, 2008).

Komplikasi LLA yaitu:

a. Perdarahan

Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang rendah ditandai dengan:

1. Memar (ekimosis)
2. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum dipermukaan kulit)

Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam dan infeksi dapat memperberat perdarahan

b. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat netropenia dan disfungsi imun.

c. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.

Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar asam urat sehingga perlu asupan
cairan yang tinggi.

d. Anemia

e. Masalah gastrointestinal.
1. Mual
2. Muntah
3. Anoreksia
4. Diare
5. Lesi mukosa mulut

Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain akibat kemoterapi.

H. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian keperawatan

1. Identitas Pasien

Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (85%) , puncaknya berada
pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam, lesudan malas makan atau
nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi perdarahan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang erpapar oleh
chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan
obat-obatann seperti phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun kemoterapi.
c. Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam
mempertahankan kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang riwayat terpapar
bahan-bahan kimia dari orangtua.
d. Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah, perubahan sensasi rasa,
penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya
distensi abdomen, penurunan bowel sounds, pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah
putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran gusi (bisa
menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia)
e. Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri abdomen, dan ditemukan darah
segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan adanya
abses perianal, serta adanya hematuria.
f. Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk
tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan.
g. Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan kesadaran
(somnolence) , iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel darah
putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
h. Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah dengan pertahan tubuh yang
sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan iritabilitas.
Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung.
i. Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji
j. Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan bermain dan berkumpul
bersama teman-teman serta belajar.
k. Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan ketidakberdayaan melakukan
ibadah.
l. Pengkajian tumbuh kembang anak.

3. Pemeriksaan fisik head to toe

1. Kepala dan Leher


a) Rongga mulut:

i. Apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau bakteri). Penyebab yang paling sering adalah
stafilokokus,streptokokus, dan bakteri gram negative usus serta berbagai spesies jamur.
ii. Perdarahan gusi,
iii. Pertumbuhan gigi apakah sudah lengkap
iv. Ada atau tidaknya karies gigi.

b) Mata:

i. Konjungtiva: anemis atau tidak. Terjadi gangguan penglihatan akibat infiltrasi ke SSP,
ii. Sclera: kemerahan, ikterik.
iii. Perdarahan pada retina

c) Telinga : ketulian
d) Leher: distensi vena jugularis
e) Perdarahan otak
Leukemia system saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam status
mental, kelumpuhan saraf otak, terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal.

2. Pemeriksaan Dada dan Thorax

i. Inspeksi: bentuk thorax, kesimetrisan, adanya retraksi dada, penggunaan otot bantu pernapasan
ii. Palpasi denyut apex (Ictus Cordis)
iii. Perkusi untuk menentukan batas jantung dan batas paru.
iv. Auskultasi : suara nafas, adakah ada suara napas tambahan: ronchi (terjadi penumpukan secret akibat
infeksi di paru), bunyi jantung I, II, dan III jika ada

3. Pemeriksaan Abdomen

i. Inspeksi bentuk abdomen apakah terjadi pembesaran pada kelenjar limfe, ginjal, terdapat bayangan vena,
auskultasi peristaltik usus, palpasi nyeri tekan bila ada pembesaran hepar dan limpa
ii. Perkusi adanya asites atau tidak.

4. Pemeriksaan Genetalia
5. Pembesaran pada testis : hematuria
6. Pemeriksaan integument
Kulit :

i. Perdarahan kulit (pruritus, pucat, sianosis, ikterik, eritema, petekie, ekimosis, ruam)
ii. nodul subkutan, infiltrat, lesi yg tidak sembuh, luka bernanah, diaforesis (gejala hipermetabolisme).
iii. peningkatan suhu tubuh
iv. Kuku : rapuh, bentuk sendok / kuku tabuh, sianosis perifer.

7. Pemeriksaan Ekstremitas

i. Adakah sianosis, kekuatan otot


ii. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemi

4. Pemeriksaan Diagnostik

1. Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia


2. Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%
3. Retikulosit : menurun/rendah
4. Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)
5. White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”)
6. Serum/urin uric acid : meningkat
7. Serum zinc : menurun
8. Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid prekursor, sel matur dan
penurunan megakaryosit
9. Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu

Masalah Keperawatan yang muncul

1. Resiko Infeksi

Katerogi : Lingkungan
Sub kategori : Keamanan dan Proteksi
Definisi : Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Faktor Resiko :

1. Penyakit kronis (misalnya; diabetes mellitus)


2. Efek prosedur invasif
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:

1. Gangguan peristaltik
2. Kerusakan integritas kulit
3. Perubahan sekresi pH
4. Penurunan kerja siliaris
5. Ketuban pecah dini (KPD/KPP)
6. Merokok
7. Statis cairan tubuh

6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder:

1. Penurunan Hb
2. Imunosupresi
3. Leukopenia
4. Supresi respon inflamasi
5. Vaksinasi inadekuat

Kondisi klinis terkait :


1. AIDS
2. Luka bakar
3. PPOK
4. DM
5. Tindakan invasif
6. Kondisi penggunaan terapi steroid
7. Penyalahgunaan obat
8. KPD/KPP
9. Kanker
10. Gagal ginjal
11. Imunosupresi
12. Limpedema
13. Leukositopenia
14. Gangguan faal hepar

NOC NIC

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4-8 INFECTION PROTECTION


jam infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil:
1. Ukur suhu tubuh pasien
INFECTION SEVERITY 2. Anjurkan istirahat untuk mempertahankan
imunitas tubuh
1. Tidak ada kemerahan pada tubuh 3. Anjurkan minum air putih sesuai kebutuhan
2. Tidak ada perubahan suhu secara mendadak 4. Kolaborasikan pemberian antibiotik sesuai
3. Nyeri advis dokter
5. Monitoring tanda dan gejala infeksi

(Bullecheck et.al, 2013; Moorhead et.al, 2013)

2. Nyeri Akut

Katerogi : Psikologis
Sub kategori : Nyeri dan kenyamanan
Definisi : Pengalaman sensorik ataua emosional yang berkaitan dengan Kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset tiba- tiba atau mendadak dan berintensitas ringan < 3 bulan.
Penyebab :

1. Agen pencedera fisiologis (misalnya; inflamasi, iskemik, neoplasma)


2. Agen pencedera kimiawi (misalnya; terbakar, terkena bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (misalnya; abses, trauma, amputasi, terpotong, prosedur operasi, latihan
fisik yang berlebihan)

Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor

Subjektif
Subjektif
Mengeluh nyeri* (tidak ada)

Objektif

Objektif 1. Tekanan darah meningkat


2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
1. Tampak meringis
4. Proses berpikir terganggu
2. Bersikap protektif (waspada)
5. Menarik diri
3. Gelisah
6. Berfokus pada diri sendiri
4. Frekuensi nadi meningkat
7. Diaforesis
5. Sulit tidur

* Pengkajian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen skala nyeri:


1. FLACC Behavioral Pain Scale (usia < 3 tahun)
2. Bake-Wong-FACES Scale (usia 3-7 tahun)
3. Visual Analogue Scale atau VAS (usia >7 tahun)
Kondisi klinis terkait :

1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindroma Koroner Akut (SKA)
5. Glaukoma

(SDKI, 2017)

NOC NIC
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 4-8
jam nyeri akut hilang dengan kriteria hasil: PAIN MANAGEMENT

PAIN CONTROL 1. Kaji nyeri secara komprehensif


2. Observasi mimik wajah
1. Onset nyeri diketahui 3. Anjurkan pasien untuk melakukan distraksi
2. Dapat menyebutkan penyebab nyeri nyeri seperti bermain game, menggambar, dan
3. Dapat menggunakan diary sebagai monitor lain-lain
tanda dan gejala nyeri kapan pun 4. Kontrol lingkungan (tenang)
4. Dapat menggunakan teknik pengelolaan nyeri 5. Anjurkan pasien untuk banyak beristirahat
(farmaka maupun non farmaka) 6. Kolaborasikan pemberian analgesik
5. Skala nyeri 0 7. Monitoring TTV terutama nadi dan tekanan
6. Wajah tidak meringis kesakitan darah

(Bullecheck et.al, 2013; Moorhead et.al, 2013)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bullecheck et.al 2013, Nursing Interventions Classification (NIC) 6 th ed., Elsevier, USA
2. Herdman T.H. & Kamitsuru 2014, NANDA InternationalNursing Diagnoses: Definitions and Classifications 2015-
2017, Willey Black Well, Oxford
3. Moorhead et.al 2013, Nursing Outcomes Classification (NOC) 5 th ed., Elsevier, USA
4. Persatuan Perawat Nasional Indonesia 2017, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnosti Ed. 1, PPNI Pusat, Jakarta
5. Permono, Bambang dkk 2015, Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia
6. Ugrasena, I,M., Widiaskara, Permana B., Ratwita M 2010, Luaran Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukimia
Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Sari Pediatri. Vol12 (2): 128-134
7. Lanzkowsky, Philip., Jeffrey Lipton Jonathan Fish 2016, Lanzkowsky’s Manual of Pediatric Hematology and
Oncology, Sixth Edition. Academic Press, USA
8. Bakta,I Made 2006, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta
9. A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss 2005, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai