Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

LEUKEMIA MYELOID AKUT (LMA)

OLEH :
NI KADEK DIYANTINI (1102105023)
PSIK A 2011

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Leukemia mieloid akut atau acute myeloid leukaemia (AML)
merupakan keganasan pada sumsum tulang yang berkembang secara cepat
pada jalur perkembangan sel myeloid (Safitri, 2005).
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel
progenitor dari seri myeloid (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006).
Acute Myeloid Leukemia merupakan suatu bentuk kelainan sel
hematopoetik yang dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi
berlebihan dari sel myeloid yang dikenal dengan myeloblas (Rogers,
2010).

2. Epidemiologi
LMA adalah bentuk leukemia akut yang paling sering terjadi pada
dewasa seiring dengan pertambahan usia dan jarang terjadi pada anak-anak
(Safitri, 2005; Handayani dan Haribowo, 2008). Di Negara bagian barat,
25 dari total insiden leukemia pada dewasa merupakan LMA (Deschler
and Lubbert, 2006, dalam Rogers, 2010). Insiden LMA di Amerika
berkisar antara 2,4 sampai dengan 2,7 per 100.000 dan meningkat secara
progresif berdasarkan usia yang puncaknya 12,6 per 100.000 dewasa ≥65
tahun (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999; Jabbour, Estey, and
Kantarjian, 2006).

3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor prediposisi dari LMA pada populasi tertentu
(Jabbour, Estey, and Kantarjian, 2006).
a. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan
methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum
tulang yang kemudian beresiko terhadap terjadinya LMA.
b. Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok, pestisida,
herbisida, dan benzene diketahui berpotensi merangsang perkembangan
LMA.
c. Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA, seperti pada
orang-orang yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki
pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai
tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya
6 atau 7 tahun sesudah pengeboman.
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan kromosom, seperti pada
sindrom Down (trisomi kromosom 21), sindrom Bloom, anemia
Fanconi dan klinefelter, diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih
tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
e. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko
terjadinya LMA. Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide,
melphalan, dan nitrogen mustard sering dihubungkan dengan kejadian
abnormalitas pada kromosom 5 dan/atau 7. Terpapar golongan
topoisomerase II inhibitor seperti etoposide dan teniposide sering
menyebabkan abnormalitas pada kromosom 11 dan/atau 27.

4. Patofisiologi
Patogenesis utama LMA adalah adanya gangguan pematangan yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi
Blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan terjadinya gangguan
hematopoesis normal yang akhirnya akan mengakibatkan sindrom
kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai
dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih
berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-
tanda perdarahan, serta adanya leukopenia akan menyebabkan pasien
rentan terhadap infeksi. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga dapat
bermigrasi keluar sumsum tulang atau berinfiltrasi ke organ-organ lain
seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem saraf pusat dan merusak
organ-organ tersebut.
Pada hematopoiesis normal, myeloblast merupakan sel myeloid yang
belum matang yang normal dan secara bertahap akan tumbuh menjadi sel
darah putih dewasa. Namun, pada AML myeloblast mengalami perubahan
genetik atau mutasi sel yang mencegah adanya diferensiasi sel dan
mempertahankan keadaan sel yang imatur, selain itu mutasi sel juga
menyebabkan terjadinya pertumbuhan tidak terkendali sehingga terjadi
peningkatan jumlah sel blast (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006).

5. Klasifikasi
French-American-British (FAB) sejak tahun 1976 telah
mengklasifikasikan LMA menjadi 8 subtipe, berdasarkan pada hasil
pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia (Sutoyo dan
Setiyohadi, 2006; Wakui, et al, 2008).
Klasifikasi FAB (Wakui, 2008:164):
No Subtipe Penjelasan
1 M0 LMA berdiferensiasi minimal
2 M1 LMA tanpa maturasi
3 M2 LMA dengan berbagai derajat maturasi
4 M3 Leukemia promielositik hipergranular
5 M4 Leukemia mielomonositik
6 M5 Leukemia monoblastik
7 M6 Eritroleukemia
8 M7 Leukemia megakarioblastik

6. Gejala Klinis
Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan
dapat dibedakan menjadi 3 tipe (Safitri, 2005), yaitu:
a. Gejala kegagalan sumsum tulang
Gejala kegagalan sumsum merupakan keluhan umum yang paling
sering. Leukemia menekan fungsi sumsum tulang sehingga
menyebabkan kombinasi dari anemia, leukopenia dan trombositopenia.
Gejala yang khas adalah lelah dan sesak nafas (akibat anemia), infeksi
bakteri (akibat leukopenia) dan perdarahan (akibat trombositopenia atau
terkadang akibat koagulasi intravaskuler diseminata/DIC). Pada
pemeriksaan fisik juga sering ditemukan kulit pucat, memar dan
perdarahan serta demam sebagai tanda infeksi. Perdarahan biasanya
terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di
ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan
berat badan, berkeringat dan penurunan nafsu makan, serta kelainan
metabolik seperti hiperkalsemia (sangat jarang).
c. Gejala lokal
Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi
leukemia/sel blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel
blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di
jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma).
Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang
yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Infiltrasi sel-sel blast ke
dalam gusi akan menyebabkan pembekakan pada gusi. Selain itu dapat
terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast di
hati dan limpa. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai
infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningen.

7. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus LMA, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala
akibat anemia seperti kelelahan dan takipnea, akibat trombositopenia
seperti petekie dan ekimosis (peradarahan dalam kulit), serta adanya
tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil dan takikardi akibat
menurunnya leukosit (leukopenia). Selain itu adanya infiltrasi sel blast
terutama pada jaringan tulang dapat menyebabkan terjadinya nyeri tulang
(Price and Wilson, 2005; Safitri, 2005).

8. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada
penyakit leukemia akut (Safitri, 2005), meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan
pada jumlah dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari
pemeriksaan ini akan didapatkan gambaran adanya anemia,
trombositopenia, leukopenia, leukositosis ataupun kadar leukosit yang
normal.
b. Biopsi sumsum tulang, dilakukan ketika ditemukan adanya kelainan
pada hasil pemeriksaan darah lengkap, yang bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya peningkatan pada jumlah sel blast.
c. Lumbal pungsi, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyebaran
penyakit ke cairan serebrospinal (sistem saraf pusat).
d. Pemeriksaan radiologi, seperti Ultrasound, X-ray, CT scan, dan MRI,
bertujuan untuk membantu penegakan diagnosis dan mengetahui ada
tidaknya infiltrasi ke organ lain.

9. Kriteria Diagnosis
Diagnosis LMA dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
morfologi sel dan pengecatan sitokimia (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006).
Ketika ditemukan ≥30% sel blast pada aspirasi sumsum tulang belakang
(berdasarkan pada kriteria French-American-British (FAB) Cooperative
Group) atau minimal 20% (berdasarkan kriteria WHO), maka dapat
ditegakkan leukemia akut (Jabbour, Estey, and Kantarjian, 2006).
Kemudian akan dilakukan pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan
menggunakan Suddan Black B atau myeloperoxidase untuk mengetahui
jenis leukemia yang terjadi. Jika hasil pengecatan sitokimia positif maka
dapat ditegakkan diagnosis LMA.
10. Penatalaksanaan
Terapi standar untuk LMA dibagi menjadi 2 yaitu induksi remisi dan
terapi postremisi.
a. Terapi induksi remisi
Remisi dicapai ketika dalam sumsum tulang ataupun darah tepi
ditemukan kurang dari 5% sel blast (Lowenberg, Downing, and Burnett,
1999). Terapi induksi remisi menggunakan kombinasi dari
anthracycline (seperti idarubicin, daunorubicin) dan cytaribine.
Golongan anthracycline biasanya diberikan 40-60 mg/m 2 secara rutin
selama 3 hari sedangkan cytaribine diberikan 100-200 mg/m2 secara
rutin selama 7 hari (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999; Jabbour,
Estey, and Kantarjian, 2006). Penggunaan kombinasi golongan
anthracycline dan cytaribine secara rutin menghasilkan persentase CR
(complete remission) 70-80% pada usia ≤60 tahun dan 50% pada usia
lebih tua (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999).
b. Terapi postremisi
Terapi postremisi bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan. Terdapat 2 pilihan terapi postremisi, yaitu transplantasi
sumsum tulang (autolog atau alogenik) dan kemoterapi. Transplantasi
yang bersifat autolog dilakukan dengan cara mengambil sel sumsum
tulang sebelum pasien mendapatkan terapi induksi untuk kemudian
diinfusikan kembali ke paien, sedangkan transplantasi yang bersifat
alogenik dilakukan dengan mengambil sel sumsum tulang dari donor
yang memiliki kecocokan HLA atau dari saudara kandung (Safitri,
2005).
Selain terapi standar untuk mengatasi LMA, terdapat beberapa
penanganan terhadap tanda gejala yang muncul atau tindakan resusitasi
untuk memperbaiki kondisi umum pasien (Safitri, 2005; Sutoyo dan
Setiyohadi, 2006), yaitu dengan pemberian antibiotic dosis tinggi untuk
mengatasi infeksi, serta pemberian transfusi darah dengan PCR (Packed
red cell) atau darah lengkap untuk mengatasi anemi dan transfusi
konsetrat trombosit untuk mengatasi trombositopenia yang terjadi.

11. Prognosis
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan
hidup lama (30-40 % angka kesembuhan keseluruhan), namun jika tidak
diobati, LMA dapat berdampak fatal dalam 3-6 bulan (Price and Wilson,
2005; Sutoyo dan Setiyohadi, 2006). Prognosis juga semakin buruk seiring
dengan pertambahan usia, serta apabila terdapat kelainan sel leukemia
secara genetic (Safitri, 2005).

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, A. W., dan Setiyohadi, B. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
II, Ed. 4. Jakarta: FKUI.
Price and Wilson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Vol. 1, Ed. 6. Jakarta: EGC.
Safitri, A. (Ed). (2005). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. (Online),
diakses pada tanggal 5 Juli 2015, melalui https://books.google.co.id/books?
id=wzIGJflmD4gC&pg=PA314&dq=leukemia+myeloid+akut&hl=en&sa=
X&ei=T-
6XVfGXEeermAXqxIigCA&redir_esc=y#v=onepage&q=leukemia
%20myeloid%20akut&f=false.
Handayani, W. dan Haribowo, A. S. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
(Online), diakses pada tanggal 5 Juli 2015, melalui
https://books.google.co.id/books?
id=PwLdwyMH9K4C&pg=PT101&dq=leukemia+myeloid+akut&hl=en&sa
=X&ei=T-
6XVfGXEeermAXqxIigCA&redir_esc=y#v=onepage&q=leukemia
%20myeloid%20akut&f=false.
Lowenberg, B., Downing, J. R., and Burnett, A. (1999). Acute Myeloid
Leukemia. N Engl J Med, (341):1051-1062. DOI:
10.1056/NEJM199909303411407.
McCloskey, J.C. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC), Fourth
Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Nanda International. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2015-
2017, Tenth Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
Aquilino, M.L., et al. 2004. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourt
Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Jabbour, E. J., Estey, E., and Kantarjian, H. M. (2006). Adult Acute Myeloid
Leukemia. Mayo Clinic Proceedings, 81(2): 247-260. (Online), diakses pada
tanggal 5 Juli 2015, melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/984554411/...3D.
Wakui, et al. (2008). Diagnosis of acute myeloid leukemia according to the
WHO classification in the Japan Adult Leukemia Study Group AML-97
protocol. Int J Hematol, 87:144–151. DOI 10.1007/s12185-008-0025-3.
(Online), diakses pada tanggal 5 Juli 2015, melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/1896243621/...3D.
Rogers, B. B. (2010). Advances in the Management of Acute Myeloid
Leukemia in Older Adult Patients. Oncology Nursing Forum, 37(3):
168-179. (Online), diakses pada tanggal 5 Juli 2015, melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/2038231261/...3D.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian secara umum yang dapat dilakukan pada pasien adalah
meliputi:
1) Identitas, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
serta diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Biasanya keluhan utama klien adalah adanya tanda-tanda perdarahan
pada kulit seperti petekie, tanda-tanda infeksi seperti demam,
menggigil, serta tanda anemia seperti kelelahan dan pucat.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien tampak lemah dan pucat, mengeluh lelah, dan sesak.
Selain itu disertai juga dengan demam dan menggigil, penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit dengan gangguan pada kromosom atau pernah
mengalami kemoterapi atau terapi radiasi.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang pernah menderita leukemia atau penyakit
keganasan lain sebelumnya .
6) Hasil pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik, bisa didapatkan:
 Inspeksi
Kelemahan, tampak pucat, tanda-tanda perdarahan seperti petekie,
ekimosis, perdarahan pada gusi, serta adanya luka yang menandakan
kelemahan imun tubuh (sariawan/ stomatitis).
 Palpasi
Dapat terjadi leukemia kutis akibat infiltrasi sel blast pada kulit yaitu
berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit,
pembekakan pada gusi, hepatomegali dan splenomegali.
 Auskultasi
Ditemukan adanya perubahan pada suara dan frekuensi nafas karena
sesak akibat anemia.
7) Hasil pemeriksaan penunjang
 Dari hasil pemeriksaan darah akan didapatkan adanya penurunan
jumlah eritrosit sampai dengan ≤7,5 g/dl (anemia berat), penurunan
trombosit <100.000 g/ml (trombositopenia) dan penurunan leukosit
(leukositopenia).
 Dari hasil biopsi sumsum tulang belakang akan didapatkan gambaran
adanya peningkatan jumlah sel blast (myeloblas) ≥20%.
 Dari hasil pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan menggunakan
Suddan Black B atau myeloperoxidase akan didapatkan hasil yang
positif.

2. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul


Pada kasus LMA, terdapat beberapa masalah keperawatan yang
mungkin muncul (pathway terlampir), yaitu:
a. PK anemia
b. Resiko Infeksi b/d leukopenia, penurunan Hb
c. Resiko Cedera b/d kelainan profil darah (anemia, trombositopenia)
d. Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit b/d mekanisme regulasi
e. Ansietas b/d perubahan status kesehatan, ancaman kematian t/d kontak
mata kurang, susah tidur, khawatir
f. Defisiensi Pengetahuan b/d kurangnya pajanan informasi t/d kurangnya
pengetahuan terkait penyakit
g. Gangguan Rasa Nyaman b/d regimen pengobatan (kemoterapi) t/d
muntah, nyeri
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Rencana Tujuan dan Rencana Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
PK anemia Setelah diberikan asuhan NIC Label: Blood Product
keperawatan selama …x24 Administration
jam, diharapkan anemia px 1. Pastikan kebutuhan px akan 1. Memastikan darah yang akan diterima
dapat teratasi, dengan: darah (golongan darah, sesuai dengan kebutuhan, serta
NOC Label: Blood Loss jumlah darah) mencegah adanya komplikasi.
Severity 2. Berikan produk darah 2. Mencegah resiko infeksi
1. Kadar Hb px >10mg/dl dengan teknik yang steril
2. TD px dalam batas dan benar
normal (120/80 mmHg) 3. Monitor tanda-tanda adanya 3. Memonitor ada tidaknya reaksi
3. Pucat px berkurang reaksi transfuse (gatal, transfuse serta untuk memutuskan
NOC Label: Blood pusing, perubahan frekuensi transfuse dilanjutkan atau tidak
Transfution Reaction nafas, nyeri dada), serta
1. Gatal tidak ada ajarkan dan jelaskan pada
2. Frekuensi nafas normal keluarga px
(12-20 x/menit) 4. Monitor status cairan dan 4. Memonitor ada tidaknya perubahan
3. Kedalaman nafas TTV sebelum, selama dan status kesehatan yang berhubungan
normal setelah transfuse dengantransfusi yang diberikan
4. Suhu tubuh normal 5. Hentikan transfuse jika 5. Mencegah adanya alergi lebih lanjut
(36,5-37,5 0C) terdapat tanda reaksi
5. Kemerahan pada kulit transfuse
tidak ada 6. Berikan NaCl setelah 6. Mengembalikan aliran darah seperti
6. Nyeri dada normal transfusi dihentikan sebelum diberikan transfusi

Resiko Infeksi Setelah diberikan asuhan NIC Label: Infection


b/d leukopenia, keperawatan selama …x24 Protection
penurunan Hb jam, diharapkan px tidak 1. Monitor tanda-tanda infeksi 1. Mencegah tanda-tanda infeksi lebih
mengalami tanda-tanda pada klien secara rutin lanjut
infeksi, dengan: 2. Ajarkan pada klien dan 2. Tangan merupakan sarang kuman yang
NOC Label: Risk Control keluarga untuk mencuci besar, sarung tangan dapat mengahndari
Dengan criteria hasil: tangan dengan air sabun dan klien dari paparan kuman
1. Px dan keluarga mampu air mengalir sebelum dan
memonitor factor resiko sesudah merawat klien
(4) 3. Ajarkan pada klien dan 3. Lingkungan yang bersih mempersempit
2. Px dan keluarga mampu kleuarga untuk menjaga tempat hidup mikroorganisme
memodifikasi gaya kebersihan lingkungan
hidup untuk mengurangi 4. Ajarkan pada klien dan 4. Mengetahui perkembangan klien lebih
resiko (4) keluarga untuk mengenali awal
3. Px dan keluarga mampu tanda-tanda infeksi dan
menggunakan kapan seharusnya
pelayanan kesehatan melaporkan pada tenaga
yang sesuai dengan medis bila klien mengalami
kebutuhan (4) hal tersebut
4. Px dan keluarga mampu 5. Ajarkan pada klien dan 5. Menggaruk dapat memperparah
mengenali perubahan keluarga tingakah laku yang keaadaan kulit
dalam status kesehatan dapat memicu infeksi
(4) seperti: menggaruk kulit
6. Ajarkan pada keluarga untuk 6. Menghindari penyebaran penyakit yang
menggunakan sarung tangan lebih luas
jika melakukan tindakan
yang kontak dengan kulit
klien
Resiko Cedera Setelah diberikan asuhan NIC Label: Bleeding
b/d kelainan keperawatan selama …x24 Precaution
profil darah jam, diharapkan cedera 1. Monitor tanda-tanda 1. Memonitor ada tidaknya tanda
(anemia, tidak terjadi, dengan: perdarahan perdarahan agar dapat diberikan
trombositopenia) NOC Label: Blood penanganan
Coagulation 2. Monitor hasil pemeriksaan 2. Memonitor ada tidaknya resiko
1. Kadar hematocrit dalam kogulasi darah perdarahan
batas normal 3. Berikan produk darah 3. Meningkatkan jumlah darah (trombosit
2. Kadar trombosit dalam berupa platelet dan plasma, dan plasma) yang hilang
batas normal jika terjadi trombositopenia 4. Mengurangi resiko terjadinya
3. Tanda-tanda perdarahan 4. Instruksikan px dan perdarahan pada gusi
tidak ada (petekie, keluarga untuk 5. Mengurangi resiko cedera akibat
ekimosis, dll) menggunakan sikat gigi tindakan invasive
yang lembut 6. Mengurangi resiko cedera
5. Instruksikan px dan
keluarga untuk menghindari
tindakan yang invasive, jika
tidak perlu
6. Instruksikan px dan
keluarga untuk menghindari
tindakan yang beresiko
menimbulkan cedera,
seperti mengangkat benda
berat

NIC Label: Environmental


Management: Safety
1. Modifikasi lingkungan 1. Mengurangi atau mencegah resiko
sekitar px (pasang side rails, bahaya dari lingkungan
pastikan lantai tidak licin)

Anda mungkin juga menyukai