OLEH:
NIM. 1402105021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN LEUKEMIA MYELOID AKUT (LMA)
2. EPIDEMIOLOGI
LMA adalah bentuk leukemia akut yang paling sering terjadi pada dewasa seiring
dengan pertambahan usia dan jarang terjadi pada anak-anak (Rogers, 2010). Kejadian
AML diperkirakan terjadi pada dua sampai tiga orang dari 100.000 penduduk, dengan
presentase penduduk usia dewasa adalah 85% dan anak-anak adalah 15%. AML lebih
sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (American Cancer
Society, 2016).
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan bahwa setiap tahun ditemukan 650
kasus anak dengan leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di
Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML. Data kejadian AML di Indonesia
masih sangat terbatas, terdapat laporan insidens AML di Jogjakarta yaitu terdapat
delapan orang dari satu juta populasi (Supriyadi, Purwanto, Widjajanto, 2013).
5. MANIFESTASI KLINIS
Hiperleukositosis (> 100.000 sel darah putih/ mm3) terjadi pada AML dan dapat
menyebabkan gejala leukostasis, misalnya disfungsi atau perdarahan okuler dan
serebrovaskular yang termasuk kegawatdaruratan medis, walaupun hal ini jarang
terjadi. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus AML, sedangkan 15% pasien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah
tepi akan ditemukan pada 85% kasus AML. Oleh karena itu sangat penting untuk
memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal,
untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita AML
(Handayani & Haribowo, 2008).
Gejala AML biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat dibedakan
menjadi 3 tipe (Davis, Viera, & Mead, 2014). yaitu:
a. Gejala kegagalan sumsum tulang
Gejala kegagalan sumsum merupakan keluhan umum yang paling sering.
Leukemia menekan fungsi sumsum tulang sehingga menyebabkan kombinasi
dari anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala yang khas adalah lelah
dan sesak nafas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leukopenia) dan
perdarahan (akibat trombositopenia atau terkadang akibat koagulasi
intravaskuler diseminata/DIC). Pada pemeriksaan fisik juga sering ditemukan
kulit pucat, memar dan perdarahan serta demam sebagai tanda infeksi.
Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan
retina (Davis, Viera, & Mead, 2014).
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan berat badan,
berkeringat dan penurunan nafsu makan, serta kelainan metabolik seperti
hiperkalsemia (sangat jarang) (Davis, Viera, & Mead, 2014).
c. Gejala lokal
Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi leukemia/sel
blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Infiltrasi
sel-sel blast ke dalam gusi akan menyebabkan pembekakan pada gusi. Selain
itu dapat terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast di
hati dan limpa. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-
sel blast ke daerah meningen (Davis, Viera, & Mead, 2014).
6. KLASIFIKASI
French-American-British (FAB) sejak tahun 1976 telah mengklasifikasikan LMA
menjadi 8 subtipe, berdasarkan pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan
sitokimia. Klasifikasi FAB (Davis, Viera, & Mead, 2014): Tabel 1. Klasifikasi AML
menurut FAB
No Subtipe Penjelasan
1 M0 LMA berdiferensiasi minimal
2 M1 LMA tanpa maturasi
3 M2 LMA dengan berbagai derajat maturasi
4 M3 Leukemia promielositik hipergranular
5 M4 Leukemia mielomonositik
6 M5 Leukemia monoblastik
7 M6 Eritroleukemia
8 M7 Leukemia megakarioblastik
Klasifikasi tersebut kemudian digantikan dengan klasifikasi menurut World Health
Organization (WHO) dengan kriteria abnormalitas genetika atau genetika molekuler
(Yuliana, 2017): Tabel 2. Klasifikasi AML menurut WHO
Kategori
AML with recurrent genetic abnormalities
AML with t(8;21)(q22;q22); RUNX1-RUNX1T1
AML with inv(16)(p13.1q22) atau t(16;16)(p13.1;q22); CBFB-MYH11
APL with t(15;17)(q22;q12); PML-RARA
AML with t(9;11)(p22;q23); MLLT3-MLL
AML with t(6;9)(p23;q34); DEK-NUP214
AML with inv(3)(q21q26.2) atau t(3;3)(q21;q26.2); RPN1-EVI1
AML (megakaryoblastic) with t(1;22)(p13;q13); RBM15-MKL1
AML with mutated NPM1
AML with mutated CEBPA
AML with myelodysplasia-related changes
Therapy-related myeloid neoplasms
AML, not otherwise specified (NOS)
AML with minimal differentiation
AML without maturation
AML with maturation
Acute myelomonocytic leukemia
Acute monoblastic/monocytic leukemia
Acute erythroid leukemia
Acute megakaryoblastic leukemia
Acute basophilic leukemia
Acute panmyelosis with myelofibrosis
Myeloid sarcoma
Myeloid proliferations related to Down syndrome
Transient abnormal myelopoiesis
Myeloid leukemia associated with Down syndrome
Blastic plasmocytoid dendritic cell neoplasm
Acute leukemias of ambiguous lineage
Acute undifferentiated leukemia
Mixed phenotype acute leukemia with t(9;22)(q34;q11.2); BCR-ABL1
Mixed phenotype acute leukemia with t(v;11q23); MLL rearranged
Mixed phenotype acute leukemia, B/myeloid, NOS
Mixed phenotype acute leukemia, T/myeloid, NOS
Natural killer cell lymphoblastic leukemia/lymphoma
7. PEMERIKSAAN FISIK
Pada kasus LMA, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala akibat
anemia seperti kelelahan dan takipnea, akibat trombositopenia seperti petekie dan
ekimosis (peradarahan dalam kulit), serta adanya tanda-tanda infeksi seperti demam,
menggigil dan takikardi akibat menurunnya leukosit (leukopenia). Selain itu adanya
infiltrasi sel blast terutama pada jaringan tulang dapat menyebabkan terjadinya nyeri
tulang (Price & Wilson, 2006).
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan pada
jumlah dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari pemeriksaan ini akan
didapatkan gambaran adanya anemia, trombositopenia, leukopenia, leukositosis
ataupun kadar leukosit yang normal(Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum,
Buchner, Burnett, et al., 2010).
b. Morfologi, Biopsi aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan
rutin untuk diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang akurat,
diperlukan setidaknya 500 sel nucleated dari sumsum tulang dan 200 sel darah
putih dari perifer. Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20% diperlukan untuk
diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21), inv(16), atau t(16;16) yang
didiagnosis terlepas dari persentase blast (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum,
Buchner, Burnett, et al., 2010).
c. Immunophenotyping, Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry, sering untuk
menentukan tipe sel leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang
digunakan adalah ≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian
besar penanda) (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et al.,
2010).
d. Sitogenetika, Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML
dewasa (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et al., 2010).
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi (American Cancer Society, 2016).
e. Sitogenetika moleculer, Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ
hybridization) yang juga merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom
seperti RUNX1-RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya
kromosom 5q dan 7q (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et
al., 2010).
f. Pemeriksaan imaging, Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan
perluasan penyakit jika diperkirakan telah menyebar ke organ lain. Contoh
pemeriksaannya antara lain X-ray dada, CT scan, MRI (American Cancer Society,
2016).
11.PROGNOSIS
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama
(30-40 % angka kesembuhan keseluruhan), namun jika tidak diobati, LMA dapat
berdampak fatal dalam 3-6 bulan. Prognosis juga semakin buruk seiring dengan
pertambahan usia, serta apabila terdapat kelainan sel leukemia secara genetic (Price
and Wilson, 2006).
12.KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat AML, antara lain (Newton, Hickey, & Marrs,
2009): Gagal sumsum tulang, Infeksi, Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(KID/DIC), Splenomegali, Hepatomegali
3. RENCANA KEPERAWATAN
TERLAMPIR
DAFTAR PUSTAKA
Davis AS, Viera AJ, Mead MD. (2014). Leukemia: An overview for primary care.
Am Fam Physician;89(9):731-8.
Dohner H, Estey EH, Amadori S, Appelbaum FR, Buchner T, Burnett AK, et al.
(2010). Diagnosis and management of acute myeloid leukemia in adults:
Recommendations from an international expert, on behalf of the European
Leukemia Net. Blood;115:453-74.
Hockenberry, M.J & Wilson, D. (2009). Essential of Pediatric Nursing. St. Louis
Missoury: Mosby.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008.
Nursing Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby
Elsevier
Newton, Susan., Hickey, Margaret., Marrs, Joyce. (2009). Oncology nursing advisor.
Canada: Elsevier.
Price and Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Vol.
1, Ed. 6. Jakarta: EGC.
Suryani, Esti., Salamaha, Umi., Wiharto., Wijaya, Andreas Andy. (2014). Identifikasi
Penyakit Acute Myeloid Leukemia (AML)Menggunakan ‘ Rule Based System’
Berdasarkan Morfologi Sel Darah Putih Studi Kasus : AML2 dan AML4.
Semarang: Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan
2014. ISBN: 979-26-0276-3.