Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN LEUKEMIA MYELOID AKUT (LMA)

OLEH:

NI PUTU IRA FENARANI

NIM. 1402105021

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN LEUKEMIA MYELOID AKUT (LMA)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
AML adalah kelompok neoplasma dari sumsum tulang yang menyebabkan
menurunnya jumlah eritrosit, neutrofil dan trombosit yang dapat terjadi pada semua
umur, namun frekuensinya semakin meningkat dengan bertambahnya umur
seseorang. Acute Myeloid Leukemia merupakan suatu bentuk kelainan sel
hematopoetik yang dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi berlebihan dari sel
myeloid yang dikenal dengan myeloblas (Rogers, 2010).
Leukemia mieloid akut (Acute Myeloid Leukemia atau AML) dapat disebut dengan
beberapa nama diantaranya adalah leukemia mielositik akut, leukemia myelogenous
akut, leukemia granulositik akut, dan leukemia non-limfositik akut. Istilah akut
diartikan sebagai leukemia yang dapat berkembang cepat jika tidak diterapi dan
berakibat fatal dalam beberapa bulan, sedangkan istilah mieloid merujuk pada tipe sel
asal, yaitu sel-sel mieloid imatur (sel darah putih selain limfosit, sel darah merah, atau
trombosit) (American Cancer Society, 2016). AML merupakan suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor
dari seri myeloid, meliputi neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan
sebagainya (Suryani, Salamah, Wiharto, & Wijaya, 2014).

2. EPIDEMIOLOGI
LMA adalah bentuk leukemia akut yang paling sering terjadi pada dewasa seiring
dengan pertambahan usia dan jarang terjadi pada anak-anak (Rogers, 2010). Kejadian
AML diperkirakan terjadi pada dua sampai tiga orang dari 100.000 penduduk, dengan
presentase penduduk usia dewasa adalah 85% dan anak-anak adalah 15%. AML lebih
sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (American Cancer
Society, 2016).
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan bahwa setiap tahun ditemukan 650
kasus anak dengan leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di
Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML. Data kejadian AML di Indonesia
masih sangat terbatas, terdapat laporan insidens AML di Jogjakarta yaitu terdapat
delapan orang dari satu juta populasi (Supriyadi, Purwanto, Widjajanto, 2013).

3. PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO


Lebih dari 90% kasus AML pada anak-anak, belum diketahui pasti penyebab
dasarnya. Muculnya penyakit AML diperkirakan bukan penyebab tunggal tetapi
gabungan dari beberapa faktor risiko seperti genetik, lingkungan, infeksi, dan
diperantarai imun. Penelitian menununjukan kurang mengkonsumsi buah-buahan dan
sayur dapat menyebabkan perubahan DNA yang mungkin terjadi pengembangan sel
leukemia. Kekurangan asam folat, vitamin B12, dan B6 juga menjadi faktor risiko
AML (American Cancer Society, 2016).
Penelitian menunjukan teori virus sebagai penyebab AML, yaitu enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah manusia. Enzim ini ditemukan dalam virus
onkogenik seperti virus C atau retrovirus tipe C, yaitu jenis virus RNA yang
menyebabkan leukemia pada binatang. Adapun penelitian yang mendukung teori
virus penyebab leukemia yaitu Gross yang mengemukakan telah ditemukan virus C
pada mikroskop electron dari penderita AML. Selain lain itu, Virus Epstein-Barr
(virus RNA) menyebabkan penyakit Burkitt (sejenis tumor kelenjar limpe (limpoma)
terdapat pada anak-anak) yang kelak berkaitan dengan terjadinya keganasan. Faktor
risiko leukemia yaitu genetik, terjadi karena keabnormalan kromosom. Jenis
keabnormalan kromosom yang berhubungan dengan leukemia pada anak yaitu
sindrom Bloom, anemia Flanconi, sindrom klinefelter, ataxiatelangiectasia, trisomi G,
neurofibromatosis, dan sindrom. Anak dengan sindrom down mempunyai insiden
leukemia akut 20 kali lipat. Selain itu, terdapat insiden leukemia lebih tinggi dari
saudara kandung anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20%
pada kembar monozigot (American Cancer Society, 2016).
Faktor lingkungan berupa pajanan dengan radiasi ionisasi atau pergion dosis tinggi
dan zat-zat kimia (misal, benzen, arsen, peptisida, kloramfenikol, fenilbutazon, dan
agen antineoplastik) berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya AML.
Paparan radiasi dapat ditemui pada pengobatan kanker (kemoterapi), sinar nuklir, dan
sinar X-ray. Benzen ditemukan pada asap rokok atau di beberapa area kerja industri
yang berhubungan dengan minyak/gas. Benzen terdapat dalam perekat, lem karet,
aerosol spray, pelumas, bensin, semir sepatu cair, cat, pengencer cat, dan perekat
adesif (American Cancer Society, 2016).
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Namun terdapat
beberapa faktor prediposisi dari LMA pada populasi tertentu (Suryani, Salamah,
Wiharto, & Wijaya, 2014):
a. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan
methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum tulang
yang kemudian beresiko terhadap terjadinya LMA.
b. Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok, pestisida, herbisida, dan
benzene diketahui berpotensi merangsang perkembangan LMA.
c. Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA, seperti pada orang-
orang yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman.
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan kromosom, seperti pada sindrom
Down (trisomi kromosom 21), sindrom Bloom, anemia Fanconi dan klinefelter,
diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita LMA.
e. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya
LMA. Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide, melphalan, dan
nitrogen mustard sering dihubungkan dengan kejadian abnormalitas pada
kromosom 5 dan/atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor seperti
etoposide dan teniposide sering menyebabkan abnormalitas pada kromosom 11
dan/atau 27.

4. PATOFISIOLOGI (PATHWAY TERLAMPIR)


Patogenesis utama LMA adalah adanya gangguan pematangan yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat
terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang
akan menyebabkan terjadinya gangguan hematopoesis normal yang akhirnya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan
sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan,
serta adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi. Selain itu,
sel-sel blast yang terbentuk juga dapat bermigrasi keluar sumsum tulang atau
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem saraf
pusat dan merusak organ-organ tersebut (American Cancer Society, 2016).
Pada hematopoiesis normal, myeloblast merupakan sel myeloid yang belum
matang yang normal dan secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah putih
dewasa. Namun, pada AML myeloblast mengalami perubahan genetik atau mutasi sel
yang mencegah adanya diferensiasi sel dan mempertahankan keadaan sel yang
imatur, selain itu mutasi sel juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan tidak
terkendali sehingga terjadi peningkatan jumlah sel blast (Suryani, Salamah, Wiharto,
& Wijaya, 2014).

5. MANIFESTASI KLINIS
Hiperleukositosis (> 100.000 sel darah putih/ mm3) terjadi pada AML dan dapat
menyebabkan gejala leukostasis, misalnya disfungsi atau perdarahan okuler dan
serebrovaskular yang termasuk kegawatdaruratan medis, walaupun hal ini jarang
terjadi. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus AML, sedangkan 15% pasien
mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah
tepi akan ditemukan pada 85% kasus AML. Oleh karena itu sangat penting untuk
memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal,
untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita AML
(Handayani & Haribowo, 2008).
Gejala AML biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat dibedakan
menjadi 3 tipe (Davis, Viera, & Mead, 2014). yaitu:
a. Gejala kegagalan sumsum tulang
Gejala kegagalan sumsum merupakan keluhan umum yang paling sering.
Leukemia menekan fungsi sumsum tulang sehingga menyebabkan kombinasi
dari anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala yang khas adalah lelah
dan sesak nafas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leukopenia) dan
perdarahan (akibat trombositopenia atau terkadang akibat koagulasi
intravaskuler diseminata/DIC). Pada pemeriksaan fisik juga sering ditemukan
kulit pucat, memar dan perdarahan serta demam sebagai tanda infeksi.
Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan
retina (Davis, Viera, & Mead, 2014).
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan berat badan,
berkeringat dan penurunan nafsu makan, serta kelainan metabolik seperti
hiperkalsemia (sangat jarang) (Davis, Viera, & Mead, 2014).
c. Gejala lokal
Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi leukemia/sel
blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Infiltrasi
sel-sel blast ke dalam gusi akan menyebabkan pembekakan pada gusi. Selain
itu dapat terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast di
hati dan limpa. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-
sel blast ke daerah meningen (Davis, Viera, & Mead, 2014).

6. KLASIFIKASI
French-American-British (FAB) sejak tahun 1976 telah mengklasifikasikan LMA
menjadi 8 subtipe, berdasarkan pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan
sitokimia. Klasifikasi FAB (Davis, Viera, & Mead, 2014): Tabel 1. Klasifikasi AML
menurut FAB
No Subtipe Penjelasan
1 M0 LMA berdiferensiasi minimal
2 M1 LMA tanpa maturasi
3 M2 LMA dengan berbagai derajat maturasi
4 M3 Leukemia promielositik hipergranular
5 M4 Leukemia mielomonositik
6 M5 Leukemia monoblastik
7 M6 Eritroleukemia
8 M7 Leukemia megakarioblastik
Klasifikasi tersebut kemudian digantikan dengan klasifikasi menurut World Health
Organization (WHO) dengan kriteria abnormalitas genetika atau genetika molekuler
(Yuliana, 2017): Tabel 2. Klasifikasi AML menurut WHO
Kategori
AML with recurrent genetic abnormalities
AML with t(8;21)(q22;q22); RUNX1-RUNX1T1
AML with inv(16)(p13.1q22) atau t(16;16)(p13.1;q22); CBFB-MYH11
APL with t(15;17)(q22;q12); PML-RARA
AML with t(9;11)(p22;q23); MLLT3-MLL
AML with t(6;9)(p23;q34); DEK-NUP214
AML with inv(3)(q21q26.2) atau t(3;3)(q21;q26.2); RPN1-EVI1
AML (megakaryoblastic) with t(1;22)(p13;q13); RBM15-MKL1
AML with mutated NPM1
AML with mutated CEBPA
AML with myelodysplasia-related changes
Therapy-related myeloid neoplasms
AML, not otherwise specified (NOS)
AML with minimal differentiation
AML without maturation
AML with maturation
Acute myelomonocytic leukemia
Acute monoblastic/monocytic leukemia
Acute erythroid leukemia
Acute megakaryoblastic leukemia
Acute basophilic leukemia
Acute panmyelosis with myelofibrosis
Myeloid sarcoma
Myeloid proliferations related to Down syndrome
Transient abnormal myelopoiesis
Myeloid leukemia associated with Down syndrome
Blastic plasmocytoid dendritic cell neoplasm
Acute leukemias of ambiguous lineage
Acute undifferentiated leukemia
Mixed phenotype acute leukemia with t(9;22)(q34;q11.2); BCR-ABL1
Mixed phenotype acute leukemia with t(v;11q23); MLL rearranged
Mixed phenotype acute leukemia, B/myeloid, NOS
Mixed phenotype acute leukemia, T/myeloid, NOS
Natural killer cell lymphoblastic leukemia/lymphoma

7. PEMERIKSAAN FISIK
Pada kasus LMA, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala akibat
anemia seperti kelelahan dan takipnea, akibat trombositopenia seperti petekie dan
ekimosis (peradarahan dalam kulit), serta adanya tanda-tanda infeksi seperti demam,
menggigil dan takikardi akibat menurunnya leukosit (leukopenia). Selain itu adanya
infiltrasi sel blast terutama pada jaringan tulang dapat menyebabkan terjadinya nyeri
tulang (Price & Wilson, 2006).

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan pada
jumlah dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari pemeriksaan ini akan
didapatkan gambaran adanya anemia, trombositopenia, leukopenia, leukositosis
ataupun kadar leukosit yang normal(Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum,
Buchner, Burnett, et al., 2010).
b. Morfologi, Biopsi aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan
rutin untuk diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang akurat,
diperlukan setidaknya 500 sel nucleated dari sumsum tulang dan 200 sel darah
putih dari perifer. Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20% diperlukan untuk
diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21), inv(16), atau t(16;16) yang
didiagnosis terlepas dari persentase blast (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum,
Buchner, Burnett, et al., 2010).
c. Immunophenotyping, Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry, sering untuk
menentukan tipe sel leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang
digunakan adalah ≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian
besar penanda) (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et al.,
2010).
d. Sitogenetika, Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML
dewasa (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et al., 2010).
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi (American Cancer Society, 2016).
e. Sitogenetika moleculer, Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ
hybridization) yang juga merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom
seperti RUNX1-RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya
kromosom 5q dan 7q (Dohner, Estey, Amadori, Appelbaum, Buchner, Burnett, et
al., 2010).
f. Pemeriksaan imaging, Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan
perluasan penyakit jika diperkirakan telah menyebar ke organ lain. Contoh
pemeriksaannya antara lain X-ray dada, CT scan, MRI (American Cancer Society,
2016).

9. DIAGNOSISI ATAU KRITERIA DIAGNOSIS


Secara klasik diagnosis AML ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokinoia. Diagnosis LMA dapat ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia (Sutoyo dan
Setiyohadi, 2006). Ketika ditemukan ≥30% sel blast pada aspirasi sumsum tulang
belakang (berdasarkan pada kriteria French-American-British (FAB) Cooperative
Group) atau minimal 20% (berdasarkan kriteria WHO), maka dapat ditegakkan
leukemia akut. Kemudian akan dilakukan pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan
menggunakan Suddan Black B atau myeloperoxidase untuk mengetahui jenis
leukemia yang terjadi. Jika hasil pengecatan sitokimia positif maka dapat ditegakkan
diagnosis LMA (American Cancer Society, 2016).

10.TERAPI ATAU TINDAKAN PENANGANAN


Pengobatan AML dilakukan dalam 2 fase, yaitu fase induksi, yang bertujuan
untuk mencapai remisi, dan fase paska remisi untuk mempertahankan remisi.
a. Terapi induksi remisi
Remisi dicapai ketika dalam sumsum tulang ataupun darah tepi ditemukan kurang
dari 5% sel blast. Terapi induksi remisi menggunakan kombinasi dari
anthracycline (seperti idarubicin, daunorubicin) dan cytaribine. Golongan
anthracycline biasanya diberikan 40-60 mg/m2 secara rutin selama 3 hari
sedangkan cytaribine diberikan 100-200 mg/m2 secara rutin selama 7 hari
(Newton, Hickey, & Marrs, 2009). Penggunaan kombinasi golongan anthracycline
dan cytaribine secara rutin menghasilkan persentase CR (complete remission) 70-
80% pada usia ≤60 tahun dan 50% pada usia lebih tua (Newton, Hickey, & Marrs,
2009).
b. Terapi postremisi
Terapi postremisi bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Terdapat 2
pilihan terapi postremisi, yaitu transplantasi sumsum tulang (autolog atau
alogenik) dan kemoterapi. Transplantasi yang bersifat autolog dilakukan dengan
cara mengambil sel sumsum tulang sebelum pasien mendapatkan terapi induksi
untuk kemudian diinfusikan kembali ke paien, sedangkan transplantasi yang
bersifat alogenik dilakukan dengan mengambil sel sumsum tulang dari donor yang
memiliki kecocokan HLA atau dari saudara kandung (Newton, Hickey, & Marrs,
2009). Selain terapi standar untuk mengatasi LMA, terdapat beberapa penanganan
terhadap tanda gejala yang muncul atau tindakan resusitasi untuk memperbaiki
kondisi umum pasien yaitu dengan pemberian antibiotic dosis tinggi untuk
mengatasi infeksi, serta pemberian transfusi darah dengan PCR (Packed red cell)
atau darah lengkap untuk mengatasi anemi dan transfusi konsetrat trombosit untuk
mengatasi trombositopenia yang terjadi (Newton, Hickey, & Marrs, 2009).
c. Terapi Biologi
Metode ini, juga dikenal sebagai immunotherapy, menggunakan zat yang
memperkuat respon sistem kekebalan terhadap kanker. Salah satu bentuk terapi
biologi dikenal sebagai antibodi monoklonal. Meskipun antibodi ini diproduksi
dalam laboratorium, namun dapat meniru protein dalam sistem kekebalan tubuh
(antibodi) yang menyerang benda asing pada sel-sel leukemia. Gemtuzumab
ozogamicin adalah salah satu antibodi monoklonal yang digunakan sebagai terapi
biologis dalam AML (Newton, Hickey, & Marrs, 2009).
d. Transplantasi stem cell sumsum tulang
Metode ini dapat membantu dalam membangun kembali sel-sel induk yang sehat
dengan mengganti sumsum tulang yang tidak sehat dengan sel yang bebas dari sel
induk leukimia yang akan menumbuhkan sumsum tulang yang sehat. Metode ini
dapat digunakan untuk terapi konsolidasi. Untuk menghancurkan sumsum tulang
dan menghasilkan manfaat pada penyakit leukemia pasien, maka akan diberi dosis
yang sangat tinggi dari kemoterapi atau terapi radiasi sebelum transplantasi sel
induk. Setelah itu, akan diberikan infus sel induk dari donor yang kompatibel
(transplantasi alogenik). Sel induk sendiri seseorang juga dapat digunakan
(transplantasi autologous), yaitu dengan mengambil dan menyimpan sel-sel sehat
induk mereka untuk transplantasi di masa depan (Newton, Hickey, & Marrs,
2009).
e. Terapi obat lain
Ada obat anti kanker yang dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
kemoterapi untuk induksi remisi dari subtipe tertentu dari AML disebut
promyelocytic leukemia, seperti arsenik trioksida dan semua jenis trans retinoic
acid (ATRA) (Newton, Hickey, & Marrs, 2009).

11.PROGNOSIS
Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama
(30-40 % angka kesembuhan keseluruhan), namun jika tidak diobati, LMA dapat
berdampak fatal dalam 3-6 bulan. Prognosis juga semakin buruk seiring dengan
pertambahan usia, serta apabila terdapat kelainan sel leukemia secara genetic (Price
and Wilson, 2006).

12.KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat AML, antara lain (Newton, Hickey, & Marrs,
2009): Gagal sumsum tulang, Infeksi, Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(KID/DIC), Splenomegali, Hepatomegali

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
Pengkajian secara umum yang dapat dilakukan pada pasien adalah meliputi:

1) Identitas, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,


agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, serta diagnosa
medis.
2) Keluhan utama:
Biasanya keluhan utama klien adalah adanya tanda-tanda perdarahan pada kulit
seperti petekie, tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, serta tanda
anemia seperti kelelahan dan pucat.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien tampak lemah dan pucat, mengeluh lelah, dan sesak. Selain itu
disertai juga dengan demam dan menggigil, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit dengan gangguan pada kromosom atau pernah
mengalami kemoterapi atau terapi radiasi.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang pernah menderita leukemia atau penyakit keganasan lain
sebelumnya.
6) Hasil pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik, bisa didapatkan:
 Inspeksi
Kelemahan, tampak pucat, tanda-tanda perdarahan seperti petekie, ekimosis,
perdarahan pada gusi, serta adanya luka yang menandakan kelemahan imun
tubuh (sariawan/ stomatitis).
 Palpasi
Dapat terjadi leukemia kutis akibat infiltrasi sel blast pada kulit yaitu berupa
benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, pembekakan pada gusi,
hepatomegali dan splenomegali.
 Auskultasi
Ditemukan adanya perubahan pada suara dan frekuensi nafas karena sesak
akibat anemia.
7) Hasil pemeriksaan penunjang
 Dari hasil pemeriksaan darah akan didapatkan adanya penurunan jumlah
eritrosit sampai dengan ≤7,5 g/dl (anemia berat), penurunan trombosit
<100.000 g/ml (trombositopenia) dan penurunan leukosit (leukositopenia).
 Dari hasil biopsi sumsum tulang belakang akan didapatkan gambaran adanya
peningkatan jumlah sel blast (myeloblas) ≥20%.
 Dari hasil pemeriksaan pengecatan sitokimia dengan menggunakan Suddan
Black B atau myeloperoxidase akan didapatkan hasil yang positif.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


Pada kasus LMA, terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul
(pathway terlampir), yaitu:
a. PK anemia
b. Resiko Infeksi b/d leukopenia, penurunan Hb
c. Resiko Cedera b/d kelainan profil darah (anemia, trombositopenia)
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidaknyamanan pada perut, anoreksia, perubahan absorbsi nutrisi ditandai
dengan klien mengeluh mual muntah pasien mengeluh mengalami
penurunan berat badan, BB 10%-20% atau lebih di bawah BB ideal untuk
tinggi dan kerangka tubuh, adanya penurunan toleransi untuk aktivitas dan
kelemahan otot, penurunan albumin serum.

3. RENCANA KEPERAWATAN
TERLAMPIR
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2016). Leukemia-Acute Myeloid (Myelogenous). Diakses


pada 8 Juli 2017: http://www.cancer.org/acs/groups/
cid/documents/webcontent/003110.

Bulecheck, Gloria N. & Joanne McCloskey Doctherman. (2008). Nursing


Interventions Clasification (NIC). Fifth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.

Davis AS, Viera AJ, Mead MD. (2014). Leukemia: An overview for primary care.
Am Fam Physician;89(9):731-8.

Dohner H, Estey EH, Amadori S, Appelbaum FR, Buchner T, Burnett AK, et al.
(2010). Diagnosis and management of acute myeloid leukemia in adults:
Recommendations from an international expert, on behalf of the European
Leukemia Net. Blood;115:453-74.

Herdman, T.Heather & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International


Diagnoses: Definitions and Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell.

Hockenberry, M.J & Wilson, D. (2009). Essential of Pediatric Nursing. St. Louis
Missoury: Mosby.

Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008.
Nursing Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby
Elsevier

Newton, Susan., Hickey, Margaret., Marrs, Joyce. (2009). Oncology nursing advisor.
Canada: Elsevier.

Price and Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Vol.
1, Ed. 6. Jakarta: EGC.

Rogers, B. B. (2010). Advances in the Management of Acute Myeloid Leukemia in


Older Adult Patients. Oncology Nursing Forum, 37(3): 168-179. (Online),
diakses pada tanggal 5 Juli 2017, melalui:
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/2038231261/...3D.

Supriyadi E, Purwanto I, Widjajanto PH. (2013). Terapi leukemia mieloblastik akut


anak: Protokol Ara-C, doxorubicin dan etoposide (ADE) vs modifikasi Nordic
Society of Pediatric Hematology and Oncology (m-NOPHO). Sari
Pediatri;14(6):345-50.

Suryani, Esti., Salamaha, Umi., Wiharto., Wijaya, Andreas Andy. (2014). Identifikasi
Penyakit Acute Myeloid Leukemia (AML)Menggunakan ‘ Rule Based System’
Berdasarkan Morfologi Sel Darah Putih Studi Kasus : AML2 dan AML4.
Semarang: Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan
2014. ISBN: 979-26-0276-3.

Anda mungkin juga menyukai