Anda di halaman 1dari 24

HEMATOLOGY CANCER

(LEUKEMIA)










Oleh:

Vania Stefi Yuliani (118114092)
Leonardo Susanto Utomo (118114105)
Fransisca Zagita Tielman (118114107)
Sabrina Handayani Tambun (118114130)
Rambu Roku Sowi (118114145)
Sherly Mecillia (118114151)

FKK B 2011



FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
1. DEFINISI
Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik.
Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang
berasal dari sel induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah
perifer dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar
limfe (Rofinda, 2012).
Leukemia dibagi menjadi empat jenis:
a. Acute myelogenous leukemia (AML): suatu subtipe leukemia mielositik akut yang
ditandai dengan translokasi resiprokal kromosom 15 dan 17 (Rofinda, 2012).
b. Chronic myelogenous leukemia (CML): ditandai dengan translokasi timbal balik
antara kromosom 9 dan 22 yang menghasilkan kromosom Philadelphia. CML
ditandai dengan proliferasi sel myeloid normal yang matang (Kolibaba, Druker,
2002).
c. Acute lymphocytic leukemia (ALL): terjadi kelainan genetik pada DNA dari satu sel
di tulang sumsum (Fighting Blood Cancer, 2014).
d. Chronic lymphocytic leukemia (CLL): leukemia yang sering terjadi pada orang
dewasa terjadi dari hasil ekspansi klonal antigen sel-B dewasa (Johnson, Carr,
Pirmohamed, Pettitt, 2014).

2. EPIDEMIOLOGI
a. Internasional
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa angka kematian di
Amerika Serikat disebabkan oleh leukemia meningkat dua kali lipat sejak tahun 1971.
Pada tahun 2007 International Cancer Parent Organization (ICPO) menunjukkan bahwa
dari setiap satu juta anak terdapat 120 anak yang mengidap kanker dan 60% diantaranya
disebabkan oleh leukemia. Kasus baru leukimia per tahun 2010 terjadi sebanyak kurang
lebih 3000 di Amerika, 5000 di Eropa dan diperkirakan 2000-3000 kasus di Indonesia
(Pinontoan, Mantik, Rampengan, 2013).

(American Cancer Society, 2014).
b. Indonesia
Di Indonesia berdasarkan survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit kanker merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia. Pada tahun
2006 jumlah penderita leukemia rawat inap di Rumah Sakit di Indonesia sebanyak 2.513
orang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi kanker di
Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk (Pinontoan, Mantik, Rampengan, 2013).

3. GEJALA DAN TANDA
Beberapa tanda atau gejala leukemia mirip dengan penyakit umum lainnya. Tes darah
tertentu dan tes sumsum tulang diperlukan untuk membuat diagnosis. Tanda dan gejala
bervariasi berdasarkan jenis leukemia.
a. Leukemia akut
Kelelahan atau tidak ada energi, sesak napas selama aktivitas fisik, kulit pucat,
demam ringan atau berkeringat di malam hari, luka sulit sembuh dan terjadi
pendarahan mukosa, pendarahan vagina, adanya memar tanpa diketahui sebabnya,
adanya bintik-bintik merah di bawah kulit, sakit pada tulang atau sendi (misalnya,
lutut, pinggul atau bahu), adanya infeksi lokal, jantung berdebar, kejang, sakit kepala.
b. Leukimia kronis
Pembesaran kelenjar getah bening di leher, ketiak atau pangkal paha, merasa lelah
dan malas, sesak nafas, pembesaran limfa, keringat pada malam hari dan penurunan
berat badan, nyeri tulang, nyeri sendi (Fighting Blood Cancer, 2012; Deliverska,
Krasteva, 2013; Dipiro, 2008).

4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. CBC (Complete blood count) adalah sebuah prosedur yang dimana sampel dari darah
dicek dengan menggunakan jarum ke dalam pembuluh darah. Lalu setelah darah masuk
ke dalam tabung, sel darah merah, sel darah putih dan platelet dihitung. CBC digunakan
untuk pengujian diagnose dan monitor berbagai macam kondisi (National Cancer
Institute, 2014). Berikut beberapa hal yang harus di cek dalam tes laboratorium:
- Acute myeloid leukemia
o Thrombocytopenia: <50.000 sel/mm3
o Sel darah putih: Menurun atau meningkat
o Anemia: Normokromik, normositik
- Acute lymphoblastic leukemia
o Thrombocytopenia: <20.000/mm3
o Sel darah putih: Menurun (<10.000 sel/mm
3
) atau meningkat (50.000 sel/mm
3
)
o Anemia: <7 g/dL
o Pemeriksaan darah tepi: terdapat sel muda limfoblas
- Chronic myelogenous leukemia
o Sel darah putih: Menurun (25%) atau meningkat (60%)
o Leukosit neutrofil: rendah
o Kadar hemoglobin dan trombosit: rendah
o Pemeriksaan darah tepi: trombositosis, basofilia, leukosit alkalin fosfat yang
rendah bahkan tidak ada, ditemukan sel muda limfoblas
- Chronic lymphocytic leukemia
o Sel darah putih: meningkat (>50.000/mm3)
o Limfosit B: meningkat
o Pemeriksaan daarah tepi: Limfositosis, autoimun, hiper atau
hipogammaglobulinemia, gammopati monoclonal, anemia, trombositopenia
(Dipiro, 2008) (Mansjoer, 2001)
b. Pengecekan zat kimia dalam darah adalah sebuah prosedur yang dimana sampel darah
dicek lalu diukur jumlah substansi. Jumlah kadar yang tidak biasa dapat menjadi tanda
dari penyakit pada organ atau jaringan tersebut (National Cancer Institute, 2014).
- Acute myeloid leukemia
o Asam urat: meningkat, biasanya bersama peningkatan sel darah putih
o Potassium dan fosfat: meningkat
o Kalsium: menurun
- Acute lymphoblastic leukemia
o Asam urat: meningkat
o Potassium dan fosfat: meningkat
- Chronic myelogenous leukemia
o Asam urat dan dehidrogenase laktat: meningkat
(Dipiro, 2008) (Mansjoer, 2001)
c. Selain dilakukan tes laboratorium, dilakukan pula tes diagnosis yang berupa bone
marrow aspiration dan biopsi yang merupakan proses pengangkatan sumsum tulang
belakang, darah dan bagian kecil dari tulang panggul atau tulang dada. Setelah kulit
dibius, jarum Jamshidi dimasukan kedalam tulang panggul pasien. Lalu sampel dari
darah, tulang dan sumsum tulang diuji dibawah mikroskop untuk melihat sel yang
abnormal (National Cancer Institute, 2014).

(National Cancer Institute, 2014).
Beberapa tes yang harus dilakukan pada sampel darah atau jaringan sumsum tulang
belakang yang telah diangkat yaitu:
- Analisis sitogenetik
Tes laboratorium yang dimana sel pada sampel darah atau tulang belakang dilihat
dibawah mikroskop untuk mengetahui jika ada perubahan kromosom dalam
limfosit. Misalnya pada beberapa kasus Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL),
salah satu bagian kromosom berpindah ke kromosom lainnya. Hal tersebut disebut
kromosom Philadelphia. tes lainnya seperti fluorescence in situ hybridization
(FISH) juga harus dicek apakah terdapat perubahan kromosom (National Cancer
Institute, 2014).

(National Cancer Institute, 2014).

- Immunophenotyping
Proses yang digunakan untuk mengidentifikasi sel, berdasarkan pada tipe antigen
atau marker pada permukaan sel. Proses ini digunakan untuk mendiagnosa
subtype dari Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) dengan membandingkan sel
kanker ke sel normal dari sistem imun. Misalnya, tes sel dalam sampel pada
jaringan menggunakan zat kimia untuk melihat adanya perubahan pada sampel.
Zat kimia dapat menyebabkan perubahan warna dalam salah satu tipe sel leukemia
tetapi tidak di tipe sel leukemia yang lain (National Cancer Institute, 2014).
Berikut hasil tes laboratoriumnya:
- Acute lymphoblastic leukemia
o Terdapat sel blast yang dominan
- Chronic myelogenous leukemia
o Tes molecular: Kehadiran dari bcr-abl oleh reaksi polimerasi
o Sumsum tulang: Hiperselular, sel myeloid yang matang, peningkatan
megakariosites, <10% blasts di fase kronik
o Sitogenetik: Kehadiran kromosom Ph, abnormal
o Terdapat sel blast yang dominan
- Chronic lymphocytic leukemia
o Tes molecular: Sitogenetik (17p-), mutasi ZAP-70
o Sumsum tulang: Hiperselular, peningkatan limfosit matang, peningkatan
megakaryocytes
o Terdapat infiltrasi merata oleh limfosit kecil, yaitu lebih dari 40% dari total sel
yang berinti
(Dipiro, 2008) (Mansjoer, 2001)
5. PATOFISIOLOGI

(Winslow, 2007).
Hematopoiesis normal mengalami beberapa tahap perkembangan sel. Sumsum
tulang memproduksi stem sel. Stem sel pluripoten mengalami diferensiasi, poliferasi dan
pematangan. Pluritoten stem sel mulanya membentuk 2 stem sel yaitu myeloid dan
limfoid. Stem sel myeloid berdiferensiasi membentuk eritrosit, platelet, monosit, basofil,
neutrofil, eosinofil. Sedangkan, stem sel limfoid berdiferensiai membentuk limfosit B
dan T (Dipiro, 2008).
Leukimia akut limfoblastik dan mielositik dapat berkembang dalam setiap tahap.
Pertama, bermula dari sel tunggal yang berkembang dan mengalami mutasi menjadi sel
leukimia. Kedua, adanya kegagalan untuk menjaga keseimbangan relatif antara
proliferasi dan diferensiasi, sel (lympoblast atau myeloblast) kemudian berkembang tidak
terkendali (Dipiro, 2008).
A. Acute Lymphocytic Leukemia (ALL)
ALL merupakan penyakit leukemia yang sering terjadi pada anak-anak ditandai
dengan tidak terkontrolnya proliferasi prekursor limfosit dan memblok diferensiasi
dari sumsum tulang. Leukemia akut didorong oleh translokasi kromosom yang
berulang sehingga menghasilkan fusi gen baru menyebabkan deregulasi expresi gen
atau karena mutasi gen tertentu.
Penyimpangan yang terjadi sampai pada Level DNA tersebut terjadi karena adanya
silencing dari WNT pathway WNT pathway bisa disebut juga dengan -catenin
pathway merupakan suatu mediator penting pada jalur signaling kompleks yang
berperan pada regulasi proliferasi dan diferensiasi sel.


(Mikesch,2007).

(Mikesch,2007).

Pada kondisi normal (kiri), -catenin terdegradasi oleh protein APC, Axin atau GSK3
shingga terjadi degradasi dan tidak bisa seluruhnya masuk ke inti sel. Namun pada
panyakit kanker, Wnt terikat pada reseptor Frizzled, dan melalui jalur yang kompleks
sehingga -catenin jumlahnya banyak (tidak terdegradasi dan stabil) pada sitoplasma
sehingga bisa masuk ke inti sel, berikatan dengan TCF dan mengaktifkan gen target.
Proses tersebut yang menyebabkan overexpresion dari miR-128 sehingga terjadi
deregulasi yang menjadi kontributor penting terjadinya ALL. (Teitel,2009).

B. Acute Myeloid Leukemia (AML)
Pada AML terjadi gangguan pada signaling WNT karena adanya mutasi pada reseptor
tirosin kinase Flt3 berupa translokasi pada t(15;17) dan t(8;21). Mutasi Flt3
menghasilkan ligan-independen aktivasi kinase yang mediasi proliferasi, menghambat
diferensiasi myeloid, serta menginduksi transformasi sel leukemia di progenitor
hematopoietik dan sumsum tulang.

C. Chronic Myeloid Leukemia (CML)
CML merupakan kelainan genetik spesifik yaitu pada lengan panjang dari kromosom
nomor 22 yaitu Ph kromosom . Ph kromosom terjadi karena translokasi dari bagian
dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 pita 11 bergabung
dengan gen ABL pada kromosom 9 pita 34, dilambangkan sebagai t (9; 22) (Q34;
Q11) dan hasil fusi gennya hibrida BCR - ABL. Ph ditemukan dalam granulosit dan
eritrosit, makrofag, megakariosit, dan limfosit . Adanya translokasi kromosom ini,
ekspresi protoonkogen ABL mampu terbebas dari kontrol genetik normal dan
diaktifkan menjadi onkogen fungsional, mengarahkan transkripsi dari mRNA 8.5-
kilobase. Hasil translasi proteinnya 210kDa dikenal sebagai p210BCR-ABL, yang
memiliki aktivitas tirosin phosphokinase lebih tinggi dari 145kDa yang merupakan
translasi protein dari mRNA gen ABL normal. Pada p210BCR-ABL menyebabkan
proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem hematopoiesis. BCR-ABL juga
bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih
lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya klon-klon abnormal
yang mendesak sistem hematopoiesis (Dipiro, 2008).


D. Chronic lymphocyt leukemia (CLL)
Pada kondisi normal antigen akan menempel pada reseptor di sel limfoid sehingga
akan dibawa masuk kedalam bagian germinal center yang akan menyebabkan adanya
perubahan mutasi dan penataan ulang gen VHDJH and VLJL yang mengkode
binding site dari reseptor di limfoid. Ketika terjadi mutasi dan penataan ulang afinitas
dari reseptor terhadap antigen akan meningkat. Proses tersebut dapat dibantu dengan
Sel T walaupun juga bisa terjadi tanpa sel T dan terjadi di luar germinal center. Proses
tersebut menghasilkan plasma sel maupun sel memori.

Pada CLL mutasi dan penataan ulang gene gen VHDJ berbeda dari normal. Limfosit
yang seharusnya dapat berproliferasi normal dan dapat mengaktifasi apoptosis pada
dirinya sendiri tidak dapat melakukan regulasi tersebut karena adanya mutasi dan
kesalahan penataan ulang sehingga terjadi proliferasi yang berlebih.
(Chiorazzi,2005).

6. TERAPI NON FARMAKOLOGI
a. Terapi radiasi
Terapi radiasi menggunakan energy radiasi yang tinggi untuk menyusutkan tumor
dan membunuh sel kanker. X-ray, gamma ray dan partikel bermuatan adalah tipe
radiasi yang digunakan untuk treatment kanker.Radiasi dihantarkan oleh mesin dari
luar tubuh yang biasa disebut terapi radiasi external-beam atau muncul dari material
radioaktif yang ditempatkan didekat tubuh yang terkena kanker (terapi radiasi
internal atau brachyterapi).Terapi radiasi sistemik menggunakan substans radioaktif,
seperti iodine radioaktif yang membawa darah untuk membunuh kanker sel. Sekitar
setengah atau seluruh pasien kanker menerima beberapa tipe terapi radiasi selama
terapi mereka (National Cancer Institute, 2014).

b. Transplantasi sumsum tulang belakang dan stem sel darah
Sumsum tulang bersifat lembut, terdapat material seperti spons yang dapat
ditemukan didalam tulang. Mengandung sel yang tidak matang yang dikenal sebagai
hematopoietic. Stem sel hematopoietic dibagi menjadi bentuk stem sel blood-
farming. Kebanyakan stem sel hematopoietic ditemukan di sumsum tulang tetapi
untuk beberapa sel, yang disebut peripheral blood stem sel, ditemukan di dalam
aliran darah. Darah di umbilical cord juga mengandung stem sel hematopoietic. Sel
dari bermacam macam sumber ini dapat digunakan dalam transplants (National
Cancer Institute, 2014).
Alasan transplantasi sumsum tulang belakang dan transplantasi stem sel darah
digunakan dalam terapi kanker adalah untuk memungkinkan pasien menerima dosis
yang sangat tinggi saat kemoterapi atau terapi radiasi. Kemoterapi dan terapi radiasi
pada umumnya mempengaruhi sel yang membelah dengan cepat. Bagaimanapun
juga karena sel sumsum tulang juga membelah dengan cepat, terapi dengan dosis
tinggi dapat cukup membahayakan atau merusak sumsum tulang pasien. Tanpa
sumsum tulang yang sehat, pasien tidak dapat lagi memproduksi sel darah yang
digunakan untuk mengangkut oksigen, melawan infeksi dan mencegah pendarahan.
transplantasi sumsum tulang belakang dan transplantasi stem sel darah menggantikan
stem sel yang rusak. Stem sel yang tertransplantasi dapat memulihkan
kemamampuan sumsum tulang untuk memproduksi sel darah yang dibutuhkan
pasien (National Cancer Institute, 2014).
Berikut tahap tahap dalam transplantasi stem sel:
1) Darah diambil dari pembuluh pasien di lengan donor. Darah mengalir melalui
sebuah mesin yang akan menghilangkan sel-sel induk atau stem sel. Kemudian
darah dikembalikan ke pasien melalui pembuluh darah di lengan lainnya.

2) Pasien menerima kemoterapi untuk membunuh sel-sel pembentuk darah. Pasien
juga dapat menerima terapi radiasi.

3) Pasien menerima stem sel melalui kateter yang ditempatkan ke dalam pembuluh
darah di dada.


c. Operasi
Dilakukan pada Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL) dengan splenectomy untuk
mengangkat limfa.
d. Terapi biologi
Dilakukan pada Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL) dan Chronic Myelogenous
Leukemia (CML). Terapi biologi adalah treatment yang menggunakan sistem imun
pasien untuk melawan kanker. Digunakan substansi yang dibuat oleh tubuh atau
laboratorium yang digunakan untuk memacu, mengatur atau memperbaharui sistem
defense alami tubuh dalam melawan kanker. Tipe treatment ini disebut bioterapi atau
imunoterapi.
e. Donor Lymphocyte Infusion (DLI)
Dilakukan pada Chronic Myelogenous Leukemia (CML). Donor Lymphocyte
infusion adalah terapi kanker yang dapat digunakan setelah transplantasi stem sel..
f. Lifestyle changes
Dilakukan dengan menerapkan pola makan yang baik dan olahraga. Selain itu tidak
mengkonsumsi alcohol dan rokok. Pada penderita kanker, pada pasien banyak yang
akan muntah. Tetapi pasien harus tetap makan setiap 2 3 jam sampai merasa lebih
baik. Pasien yang terkena kanker juga mudah merasa lelah. Hal tersebut normal,
tetapi jika pasien sampai merasa lelah pada tulang, sebaiknya pasien segera istirahat.
Untuk beberapa pasien, kelelahan berlangsung setelah treatment yang lama. Pasien
tetap harus melakukan olahraga untuk menurunkan kelelahan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pasien yang mengikuti program latihan olahraga yang
disesuaikan dengan kebutuhan pribadi mereka, akan merasa lebih baik secara fisik
dan emosional. Keuntungan yang didapat jika melakukan olahraga yaitu:
- Meningkatkan fungsi kardiovaskular tubuh (jantung dan sirkulasi darah)
- Jika dilakukan dengan diet, akan membantu pasien untuk hidup sehat
- Menguatkan otot dan menambah energy
- Menurunkan rasa lelah
- Menambah rasa bahagia
(National Cancer Institute, 2014)




7. TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan terapi leukemia adalah untuk memperpanjang kelangsungan hidup,
meminimalkan toksisitas, mengurangi mobiditas dan mortalitas, serta meningkatkan
kualitas hidup.
A. Acute Lymphocytic Leukemia (ALL)
Pengobatan biasanya berlangsung dalam 4 fase:
1. Induksi (induksi remisi)
Tujuan dari kemoterapi induksi adalah remisi. Dimana sel-sel leukemia tidak
ditemukan pada sumsum tulang, sel-sel sumsum yang normal kembali, dan jumlah
darah menjadi normal. Namun sel-sel leukemia belum tentu hilang sepenuhnya
tetapi masih bersembunyi di suatu tempat di tubuh. Ini adalah fase kemoterapi
intensif yang biasanya berlangsung selama satu bulan atau lebih. Kombinasi yang
berbeda dari obat kemoterapi dapat digunakan, tetapi mereka biasanya meliputi:
- Vinkristin 1,5 mg/m
2
IV, hari 1 (max, 2 minggu)
- Daunorubisin 30 mg/m
2
IV, hari 1,2, 14, 21, 28.
- Prednisone 40 mg/m
2
PO, hari 1-28 lalu tapering off 2 minggu.
- L-asparaginase 10.000 U/m
2
IV diberikan pada saat mendekari remisi komplit
selama 4 hari sebelum radiasi kranial.
- Biasanya diberikan 4 dosis vinkristin (tiap minggu) dan 5 dosis daunorubisin.
- Pemberian metotreksat intratekal sesuai dengan protocol biasa. Aspirasi sumsum
tulang dilakukan sekitar minggu ke-5 jika trombosit >100.000/mm
3
dan
neutrophil >1000/mm
3
untuk konfirmasi respon komplit. Selama pemberian
asparaginase harus diperiksa kadar fibrinogen. Bila fibrinogen <100 mg/dL
berikan fresh frozen plasma (Medscape, 2014).
2. Profilaksis SSP (Sistem saraf pusat)
Terapi yang bertujuan untuk menjaga sel-sel leukemia menyebar ke profilaksis SSP
mirip dengan apa yang digunakan untuk mengobati leukemia yang telah menyebar
ke profilaksis SSP. Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50%-
70% pasien LLA yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan menjadi relaps
pada SSP. Profilaksis SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal,
radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavabilitas SSP
yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi. Hal ini sering
dimulai selama induksi, dan dapat mencakup satu atau lebih hal berikut:
- Kemo disuntikkan langsung ke dalam cairan tulang belakang (disebut
kemoterapi intratekal). Obat yang paling sering digunakan adalah
methotrexate, tapi kadang-kadang sitarabin atau steroid seperti prednisone
dapat digunakan juga.
- Dosis tinggi IV metotreksat atau sitarabin: Metotreksat intratekal 10 mg/m
2
, 2
kali seminggu sebanyak 5 dosis. Radiasi kranial 2400 rad dal dosis terbagi (200
rad/kali) (Medscape, 2014).
- Terapi radiasi ke otak dan sumsum tulang belakang (American Cancer Society,
2014).
3. Konsolidasi (intensifikasi)
Terapi konsolidasi di semua dimulai setelah remisi komplit telah dicapai, dan
mengacu pada kemoterapi intensif terus dalam mencoba untuk memberantas
penyakit klinis tidak terdeteksi dalam rangka aman (mengkonsolidasikan) remisi.
Regimen biasanya menggabungkan baik obat non-resisten yang silang berbeda dari
induksi rejimen, atau penggunaan dosis yang lebih intensif dari obat yang sama.
Percobaan acak menunjukkan bahwa terapi konsolidasi jelas meningkatkan hasil
perkembangan pada pasien anak-anak, namun manfaatnya pada orang dewasa
kurang jelas. Manfaat relatif dari masing-masing komponen pengobatan rejimen
sulit untuk menunjukkan karena kompleksitas keseluruhan terapi di semua terapi.
Standard konsolidasi berlangsung 4 minggu dan biasanya terdiri dari vincristine,
merkaptopurin, dan intratekal metotreksat. Anak-anak dengan penyakit testis
biasanya menerima radiasi selama fase ini terapi jika respon klinis lengkap dalam
testis tidak tercapai pada akhir induksi. Pada anak-anak, intensitas terapi
konsolidasi berdasarkan klasifikasi risiko anak dan tingkat cytoreduction selama
induksi. pasien yang menanggapi perlahan induksi terapi berada pada risiko tinggi
kambuh jika mereka tidak diperlakukan pada rejimen yang lebih agresif.
konsolidasi mungkin ditingkatkan bagi responden awal lambat atau pasien berisiko
tinggi untuk termasuk siklofosfamid, sitarabin dosis rendah, dan pegaspargase.
(Dipiro, 2008).
4. Pemeliharaan (Maintenance)
Setelah konsolidasi, pasien umumnya memakai program kemoterapi pemeliharaan
metotreksat dan 6-merkaptopurin (6-MP). Dalam beberapa kasus, ini dapat
dikombinasikan dengan obat lain seperti vinkristin dan prednison. Pemeliharaan
biasanya berlangsung selama sekitar 2-3 tahun. Profilaksis SSP dapat dilanjutkan
pada saat ini (American Cancer Society, 2014). Dosis pemeliharan:
- 6 MP 70-90 mg/m
2
PO tiap hari
- Metotreksat 15 mg/m
2
PO tiap minggu
- Pemeliharaan diterukan sampai 3 tahun, lalu periksa apus sumsum tulang, cairan
spinal, biopsy testis. Bila terdapat remisi, obat-obatan distop. Dosis
pemeliharaan disesuaikan dengan target leukosit 3000-3500/mm
3
, jika leukosit
meninggi, dosis metotreksat dinaikan (Medscape, 2014).
Efek samping obat merupakan efek samping ini terjadi jangka pendek dan hilang setelah
pengobatan selesai. Biasanya seperti: Rambut rontok; luka pada mulut; kehilangan
nafsu makan; mual dan muntah; diare; peningkatan risiko infeksi (karena jumlah rendah
sel darah putih); mudah memar atau pendarahan (akibat jumlah trombosit darah yang
rendah); kelelahan (karena jumlah sel darah merah yang rendah); Terasa kebal,
kesemutan, atau kelemahan pada tangan atau kaki (dari kerusakan saraf) (Medscape,
2014).

B. Chronic lymphocyt leukemia (CLL)
Kemoterapi dengan pemberian obat dilakukan untuk membunuh sel-sel kanker yang
ada didalam tubuh pasien. Obat kemoterapi dibagi menjadi 2 yaitu obat kemotrapi
tunggal dan kombinasi.
(Dipiro, 2008).

Chlorambucil
Clorambucil telah digunakan sebagai obat andalan untuk CLL selama lebih dari 40
tahun. Ada beberapa dosis yang digunakan dalam CLL yaitu dosis intermiten dari 40
mg / m
2
setiap 28 hari sampai 10 mg / m2 x 7 setiap 28 hari; 0,5-0,8 mg / kg setiap 14
hari atau dosis harian terus menerus 0,1 mg / kg / hari. Obat ini merupakan obat oral
yang biasanya digunakan bagi pasien yang menolak atau tidak cocok untuk terapi
intravena lebih intensif (Alberta health services, 2013).
Cyclophosphamide
Siklofosfamid oral kurang umum digunakan dibandingkan dengan klorambusil karena
risiko sistitis hemoragik dan kanker kandung kemih dengan pengobatan jangka
panjang. IV (terapi intermiten): 40-50 mg / kg (400-1800 mg / m) terbagi atas 2-5
hari; dapat diulang dengan interval 2-4 minggu. IV (terapi harian terus menerus): 60-
120 mg / m / hari (1-2,5 mg / kg / hari). PO (terapi intermiten): 400-1000 mg / m
dibagi atas 4-5 hari. PO (terapi harian terus menerus): 50-100 mg / m / hari atau 1-5
mg / kg / hari (Medscape, 2014).
Fludarabine
Terapi berbasis fludarabine adalah pengobatan awal yang umum di CLL. Hal ini
sangat berguna pada pasien anak-anak dan pada pasien yang dapat mentolerir
kemoterapi imunosupresif. Pasien biasa menerima fludarabine 20 mg / m
2
intravena
setiap hari selama 5 hari (hingga 30 mg / s.meter) bila digunakan sebagai kemoterapi
agen tunggal. 40 mg / hari PO sq.meter x 5, Ulangi tiap 28 hari (Alberta health services,
2013).
Rituximab
Rituximab hanya memiliki aktivitas moderat, Biasanya diberikan dengan kombinasi
dengan fludarabine dan siklofosfamid (FC),dengan dosis: 375 mg / m IV (infus) pada
hari pertama dari siklus 1 (untuk siklus 1, mengelola 1 hari sebelum kemoterapi
dengan FC), kemudian 500 mg / m IV pada hari 1 dari siklus berikutnya (mengelola
pada hari yang sama dengan kemoterapi dengan FC). Ulangi tiap 28 hari hingga 6
siklus. The National Comprehensive Cancer Network (NCCN) saat ini
merekomendasikan penggunaan rituximab dalam kombinasi dengan F, FC, atau PC
(pentostatin-siklofosfamid) untuk pasien sesuai dengan CLL. Pada pasien lemah,
rituximab monoterapi mungkin pilihan lini pertama yang wajar; Namun, hasil yang
moderat sebagaimana disebutkan di atas (Alberta health services, 2013).
Alemtuzumab
Diindikasikan sebagai agen tunggal untuk pengobatan CLL sel-B. Mulai: 3 mg IV
qDay diinfuskan selama 2 jam sampai reaksi infus yang Grade 2, kemudian
dilanjutkan 10 mg IV qDay sampai reaksi infus yang Grade 2, dan dilanjutkan dosis
pemeliharaan: 30 mg IV 3 kali per minggu (hari alternatif), Lama pengobatan: 12
minggu (termasuk periode eskalasi), Tidak melebihi 30 mg / dosis ATAU 90 mg /
minggu (peningkatan risiko pansitopenia), Titrasi awal biasanya 3-7 hari (Medscape,
2014).

C. Acute Myeloid Leukemia (AML)
Kemoterapi adalah pengobatan utama untuk pasien AML.
Untuk pasien dibawah umur 65 tahun ada 5 tahapan:
a. Induksi
Kemoterapi sebaiknya menggunakan obat kombinasi sitarabin dan antrasiklin
dengan dosis standar, yang disebut kemoterapi 7&3 (Alberta health services,
2009).
b. Re-induksi
Jika CR tidak tercapai, maka diulangi kemoterapi 7&3 atau menggunakan pilihan
terapi lain seperti NOVE (mitoxantron atau etoposide), FLAG-Ida (fludarabin,
sitarabin, idarubisin, G-CSF), atau sitarabin dengan dosis tinggi (HiDAC) (Alberta
health services, 2009).
c. Konsolidasi
Jika CR telah tercapai digunakan terapi konsolidasi. Sifat terapi konsolidasi
individual untuk setiap pasien berdasarkan resiko kekambuhan AML vs resiko
terapi konsolidasi yang diusulkan. Hal ini juga tergantung pada prognosis
leukemia, respon terhadap terapi, keberhasilan terapi dan donor hematopoietic
stem cell yang tersedia. HiDAC adalah kemoterapi konsolidasi yang sering
digunakan karena telah terbukti mempunyai efek intensitas dosis (Alberta health
services, 2009).
d. Kekambuhan
- Re-induksi: upaya untuk mencapai CR harus dicoba. Jika remisi lebih besar
dibandingkan kemoterapi 7&3 selama 1 tahun maka digunakan lagi terapi re-
induksi seperti FLAG-Ida, NOVE, atau HiDAC.
- Transpalantasi Hematopoietic stem cell (Alberta health services, 2009).

- 7&3
Sitarabin 200 mg/m
2
/d diberikan terus menerus selama 1-7 hari
Idarubisin 12 mg/m
2
/d atau daunorubisin 60 12 mg/m
2
/d selama 1-3 hari
- NOVE
Mitoxanton 10 mg/m
2
/d 1-5 hari
Etoposid 100 mg/m
2
/d 1-5 hari
- FLAG-Ida
Fludarabin 30 mg/m
2
/d 1-5 hari
Sitarabin 2 g/m
2
/d 1-5 hari
Idarubisin 10 mg/m
2
/d 1-3 hari
G-CSF 300 m s/c od dimulai hari ke 7
- HiDAC
Sitarabin 3 g/m
2
setiap 12 jam hari 1,3, dan 5
- Dosis intermediet sitarabin
Sitarabin 1 g/m
2
setiap 12 jam hari 1,3, dan 5
(Alberta health services, 2009).

D. Chronic Myeloid Leukemia (CML)
First line therapy yang digunakan untuk pengobatan CML adalah TKI imatinib
Generasi kedua TKI (nilotinib dan dasatinib) direkomendasikan untuk pasien yang
resistensi imatinib, pilihan generasi kedua dilihat juga penyakit penyerta pasien.
Pasien yang memenuhi syarat untuk transpalantasi harus dievaluasi mengingat kurang
nya data efek jangka panjang obat generasi kedua.
Interferon- (IFN) harus dipertimbangkan hanya pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi TKI dan yang tidak memenuhi syarat untuk SCT atau masuk dalam
percobaan klinis, atau pada wanita yang ingin hamil. pengobatan harus digunakan
dengan bimbingan dokter dengan pengalaman klinis menggunakan IFN (Alberta
health services, 2012).
Terdapat 3 stage:
a. Chronic Phase
Penggunaan TKI sebagai first line therapy untuk semua pasien yang baru
didiagnosis CML. Dosis yang direkomendasikan :
- Imatinib: 400 mg / hari
Mekanisme: menghambat protein-tirosin kinase, khusus untuk normal BCR-
ABL tirosin kinase yang dihasilkan oleh kromosom Philadelphia di CML /
ALL
- Nilotinib: 300 mg dua kali sehari
- Dasatinib: 100 mg / hari
Semua obat TKI harus digunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit
kardiovaskular, aritmia jantung.

b. Accelerated-Phase & Blast-Crisis CML

(Alberta health services, 2012).

















Referensi
Alberta Health Services, 2009, Acute Myeloid Leukemia, Clinical Practice Guideline
Lyhe-006, pp.6-9.
Alberta Health Services, 2012, Management of Chronic Myeloid Leukemia, Clinical
Practice Guideline Lyhe-001, pp.8-10.
Alberta Health Services, 2013, Chronic Lymphocytic Leukemia, Clinical Practice
Guideline LYHE-007 Version 2, European, pp. 8-12.
American Cancer Society, 2014, Typical Treatment of Acute Lymphocytic Leukemia,
http://www.cancer.org/cancer/leukemia-
acutelymphocyticallinadults/detailedguide/leukemia-acute-lymphocytic-treating-
typical-treatment#top, diakses pada tanggal 20 September 2014.
Chiorazzi M.D., Nicholas, Rai, M.B., B.S., Kanti R., Ferrarini, M.D., Manlio, 2005,
Mechanism of Disease Chronic Lymphocytic Leukemia, The New England Journal of
Medicine, Volume 352, Nomor 8, pp.804-812.
Deliverska Elitsa G., Krasteva Assya, 2013, Oral Signs of Leukemia and
Dentalmanagement, Volume 19, Issue 4, pp.388.
Dipiro J.T., 2008, Pharmacotherapy Principles & Practice, The McGraw-Hill
Companies, America, pp.2262, 2265, 2267, 2282, 2288-2290, 2292, 2315.
Fighting Blood Cancer, 2012, Understanding Leukimia, Leukimia & Lymphoma Society,
New York, pp.11-12.
Fighting Blood Cancer, 2014, Acute Lymphoblastic Leukemia, Leukimia & Lymphoma
Society, New York, pp.6.
Johnson, Gilian G., Carr, Daniel F., Pirmohamed Munir, Pettitt, Andrew R., 2014,
Pharmacogenetics in the Treatment of Chronic Lymphocytic Leukemia: What Does
the Future Hold?, Pharmacogenomics, Volume 15, Nomor 7, pp.897-900.
Kolibaba, Kathryn S., Druker, Brian J., 2002, Current Status of Treatment for Chronic
Myelogenous Leukemia, http://www.medscape.com/viewarticle/408451, diakses pada
tanggal 19 September 2014.
Medscape, Alemtuzumab, http://reference.medscape.com/drug/campath-alemtuzumab-
342240, diakses pada tanggal 19 September 2014.
Medscape, Cytoxan-cyclophosphamide, http://reference.medscape.com/drug/cytoxan-
cyclophosphamide-342214, diakses pada tanggal 19 September 2014.
Medscape, Fludarabine, http://reference.medscape.com/drug/fludara-oforta-fludarabine-
342217, diakses pada tanggal 19 September 2014.
Medscape, Rituximab, http://reference.medscape.com/drug/rituxan-rituximab-342243,
diakses pada tanggal 19 September 2014.
Mikesch, J.H., Steffen, B., Berdel, W.E., Serve,H., Tidow, C.M., 2007, The emerging
role of Wnt signaling in the pathogenesis of acute myeloid leukemia, Department of
Medicine, Hematology and Oncology, University of Muenster, Jerman, pp.1638
1643.
National Cancer Institute, 2014, Treatment of Leukemia,
http://m.cancer.gov/types/leukemia, diakses pada tanggal 19 September 2014.
Pinontoan, Mantik, Rampengan, 2013, Pengaruh Kemoterapi Terhadap Profil
Hematologi Pada Penderita Leukimia Limfoblastik Akut, Fakultas Kedokteran
UNSRAT, Manado, pp.2-3.
Rofinda, Zelly Dia, 2012, Kelainan Hemostasis pada Leukimia, Jurnal Kesehatan
Andalas, Volume 1, Nomor 2, pp.68.
Teitell, Michael A., Pandolfi, Pier Paolo, 2009, Molecular Genetics of Acute
Lymphoblastic Leukemia, Arjournal Annuals Review, Volume 4, pp.175-190.

Anda mungkin juga menyukai