Anda di halaman 1dari 35

LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK

PENDAHULUAN
Leukemia granulositik kronis (LGK) merupakan penyakit mieloproliferatif
yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi,
sehingga pada apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan
diferensiasi dari seri granulosit mulai dari promielosit bahkan mieloblast ,
metamielosit sampai granulosit.1

Gambar 1. Kromosom Philadelpia.2

Nowel dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama


pada LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22
yang kita kenal sebagai kromosom Philadelpia (Ph). Rowley menemukan bahwa
kromosom Philadelpia terjadi akibat translokasi resiprokal antara lengan panjang
kromosom 9 dan 22, t(9;22) (q34;q11). Gabungan antara gen yang ada di lengan
panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break
cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan
kedua gen ini sering disebut sebagai BCR – ABL.1

EPIDEMILOGI
Kejadian leukemia granulositik kronik mencapai 20% dari semua
leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada
umumnya menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia

1
muda, dan biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah
peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hirosima, demikian juga di Rusia setelah
reactor atom chernobil meledak.1 LGK merupakan keganasan hematologic paling
umum di Asia. Sebagian besar LGK didiagnosis saat fase kronis.3

PATOFISIOLOGI

Gambar 2. Patofisiologi LGK.4

Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang


berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain
proliferasinya berlebihan juga dapat dapat bertahan hidup lebih lama dibanding
sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua
mekanisme diatas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya
mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Gen BCR berfungsi sebagai heterodimer
dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen
ini mempunyai kemampuan untuk otofosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa
protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1) sehingga
terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel
terhadap stroma sumsum tulang dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen
BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma
sehingga terjadilah transduksi sinyal bersifat onkogenik. Sinyal ini akan
menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA,
sehingga terjadi kekacauan pada proses apoptosis.1

2
GAMBARAN KLINIS
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase
kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis
ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnosis LGK
ditemukan secara kebetulan. Sebagian besar penderita LGK tidak memberikan
gejala klinis. Bila ditemukan umumnya tidak khas seperti demam, banyak
berkeringat, berkeringat malam, nyeri tulang, rasa lelah, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau
merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul
nyeri seperti diremas diperut kanan atas akibat peregangan kapsul limpa.1
Ciri khas fase akselerasi adalah leukositosis yang sulit di kontrol oleh
obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%,
dan trombosit <100.000/mm3. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia
bertambah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada
infeksi.1,
Pada fase krisis blas, didapatkan sel muda lebih dari 30% baik di daerah
perifer atau sumsum tulang. Pada fase ini, sel-sel LGK mulai berprilaku seperti
leukemia akut. Penderita sering demam, malaise, pembesaran limpa, penurunan
berat badan, dan gejala lain yang menyerupai leukemia akut. Umumnya dalam
waktu 3-5 tahun, LGK fase kronis akan progresif menjadi fase akselerasi dan
krisis blastik yang berakibat fatal.1,5

LABORATORIUM
1. Darah tepi
 Leukositosis berat (20.000-50.000/mm3) pada permulaan, kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3
 Apusan darah tepi menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai
dari mieloblast sampai neutrofil dengan komponen yang paling
menonjol adalah neutrofil, metamielosit, promielosit dan mieloblast juga
ditemukan

3
 Anemia mula - mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut , bersifat
normositik normokrom
 Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun
 Fosfatase alkai neutrofil selalu rendah.
2. Sumsum tulang
Hiperseluler dengan sistem granulosit dominan. Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi menunjukkan spektrum lengkap seri mieloid,
dengan komponen paling banyak ialah neutrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30%. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
3. Sitogenetik
Dijumpai adanya kromosom philadelphia pada 95 % kasus
4. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi adanya chimeric protein BCR-ABL
ada pada 99% kasus.
5. Kadar asam urat serum meningkat. 6

TERAPI
Pengobatan LGK dalam sejarahnya bergantung pada busulfan, yang
tidak lagi digunakan, lalu dengan hydroxyurea, yang masih digunakan untuk fase
preterapi yang singkat dan cepat dalam kasus terdapatnya leukositosis dan
trombositosis. Interferon-α (IFN α) menjadi baku emas pada tahun 90an dan
selama satu dekade, sebelum diperkenalkannya tyrosine kinase inhibitors (TKI).
Imatinib merupakan TKI pertama yang digunakan dan masih menjadi baku emas
dalam terapi pilihan pertama di seluruh dunia. Baru-baru ini, generasi kedua TKI,
nilotinib dan dasatinib telah dicobakan dan disetujui sebagai lini kedua, yang juga
dapat sebagai lini pertama.1,5
Hydroxyurea merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik
pada LGK. Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu
setelah pengobatan dihentikan. Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis
tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh
ditinggikan sampai maksimal 2.5 gr. Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit
<8.000/rnm3 atau trombosit <100.000/mm3. Selama menggunakan hydroxyurea
harus dipantau Hb, lekosit, trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.1,5

4
Imatinib tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk
menghambat aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL. Diabsorbsi secara
baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral. Untuk fase kronik, dosis
400mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/ hari bila tidak
mencapai respons hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi
rendah dan/atau lekosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit.
Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau
trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan SGOT/SGPT dan
bilirubin.2 Untuk penderita dengan SOKAL skor intermediet dan high riskpilihan
terapi yang utama adalah TKI generasi kedua, seperti nilotinib 300 mg dua kali
sehari.5,8 Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan imatinib
langsung 800mg/hari (400mg b.i.d). Dapat timbul reaksi hipersensitivitas,
walaupun sangat jarang. Selain remisi hematologik, obat ini dapat menghasilkan
remisi sitogenetik yang ditandai dengan hilangnya./berkurangnya kromosom Ph
dan juga remisi biologis yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen
BCR-ABL atau protein yang dihasilkannya.1,5

PROGNOSIS
Untuk mengetahui risiko relatif terjadinya progresifitas penyakit pada
LGK dipergunakan formula Sokal dan Hasford berdasarkan umur, ukuran limpa,
jumlah trombosit, jumlah blas, jumlah basofil dan eosinofil. Penderita dapat
diklasifikasikan menjadi kelompok risiko tinggi, intermediet, dan rendah. Dahulu
median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3- 5 tahun. Saat ini dengan
ditemukannya obat- obat baru, median kelangsungan pasien dapat diperpanjang
secara signifikan.1

5
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

PENDAHULUAN
Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia=AIHA/AHA)
merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit
sehingga eritrosit mudah lisis dan umur eritrosit memendek. Meskipun umur
eritrosit pada orang dewasa berkisar 120 hari namun disepakati bahwa umur
eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari. Jadi untuk timbulnya AIHA
diperlukan adanya antibodi dan proses destruksi antibodi.7

EPIDEMIOLOGI
Anemia hemolitik autoimun merupakan suatu kelainan yang jarang terjadi,
hanya sekitar 0,001 % dari seluruh populasi. Insiden AIHA diperkirakan 1 sampai
3 kasus per 100.000 penduduk dalam suatu populasi per tahun dan lebih sering
dijumpai pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1 dan dapat
terjadi pada semua umur Insiden umur. Insiden warm AIHA oleh karena IgC
mencapai puncaknya pada dekade keempat dan kelima sedangkan cold AIHA
oleh karena IgM umumnya terjadi pada dekade ketujuh.8

ETIOLOGI
Penyebab dari anemia hemolitik autoimun masih belum diketahui secara
pasti. Anemia jenis ini dapat merupakan proses primer atau sekunder. Anemia
hemolitik autoimun primer bersifat idiopatik, tidak diketahui penyebabnya.
Sedangkan anemia hemolitik autoimun sekunder dapat terjadi karena penyakit
lain. Lebih dari 50% pasien dengan AIHA ternyata mempunyai penyakit lain yang
mendasari.8

GEJALA DAN TANDA


Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan
oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah
konjugtiva pucat, sclera berwarna kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah
gelap. Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik,

6
retikulositosis, peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum
haptoglobulin, dan Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.8,9

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya
rasa lelah, mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala,
riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didapatkan pucat, ikterik, splenomegali, dan hemoglobinori. Pemeriksaan fisik
juga dilakukan untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang mendasari
AIHA. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya kadar hemoglobin yang
rendah (biasanya sekitar 7-10 g/dl), MCV normal atau meningkat, bilirubin
indirek yang meningkat, LDH meningkat dan retikulositosis. Serum haptoglobin
tidak secara rutin dilakukan di Indonesia. Morfologi darah tepi menunjukkan
adanya proses fragmentasi pada eritrosit (sferosit, skistosit, helmet cell dan
retikulosit). Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif pada AIHA.
Diagnosis banding AIHA adalah hemolisis karena obat.7
Pemeriksaan Untuk Mendeteksi Autoantibodi Pada Eritrosit.8
 Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s Test): sel eritrosit pasien
dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan
antiserum atau antibodi monoklonal terhadap berbagai immunoglobulin
dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. bila pada permukaan sel
terdapat salah satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi
aglutinasi.
 Indirect antiglobulin test (indirect coomb’s test) : untuk mendeteksi
autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan
dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin yang beredar pada serum akan
melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.

TERAPI
Terapi pada AIHA adalah kortikosteroid, splenektomi, sitostatik
imunosupresif, transfusi darah, terapi hormonal, immunoglobin intravena dan

7
plasma feresis. Terapi sangat bergantung dari penyebab penyakitnya sehingga
diagnosis yang akurat menjadi dasar sebelum terapi yang tepat diberikan.10
Kortikosteroid merupakan lini pertama yang penting pada AIHA dengan
dosis predison 1 mg/kgBB/hari dibagi beberapa dosis, selama 14 hari apabila
memberikan respons yang baik (Hb normal, retikulosit normal) diteruskan 14 hari
lagi kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan sampai dosis paling kecil tanpa
adanya tanda-tanda hemolisis (Hb normal; retikulosit normal). Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid sebaiknya menggunakan methyl prendnisolon dengan
dosis 3 x 16 mg/hari. Apabila dengan kortikosteroid tidak memberikan respons
setelah pemberian selama 14 hari dosis kotikosteroid diturunkan kemudian
distop.8

PROGNOSIS
Pada warm AIHA prognosisnya tidak dapat diduga, sebagian kecil akan
mengalami remisi komplit, sebagian lagi menjadi kronis. Perkiraan angka
kematian penderita dalam 5-10 tahun adalah 15-25%.7

8
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki, 35 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RS


M Djamil Padang sejak tanggal 7 Mei 2019 dengan :

Keluhan Utama (Autoanamnesis dan Alloanamnesis) :


 Perut kiri atas terasa semakin membengkak sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


 Perut kiri atas terasa semakin membengkak sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. . Perut terasa bengkak sudah dirasakan sejak 6 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa perut terasa penuh dan merasa
cepat kenyang saat makan.
 Riwayat sering nyeri kepala sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri kepala dirasakan diseluruh bagian kepala, hilang timbul, dan tidak
berdenyut.
 Lemah dan letih sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Lemah dan
letih meingkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemah dan letih
terutama saat menjalankan aktivitas sehari-hari.
 Penurunan berat badan +/- 15 kg dalam 4 bulan.
 Riwayat pusing berputar 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pusing
berputar hilang timbul, meningkat jika pasien membuka mata dan berubah
posisi. Saat ini pusing berputar tidak ada.
 Mual sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Mual hilang timbul.
Muntah tidak ada.
 Riwayat telinga berdenging 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Saat ini
telinga berdenging tidak ada
 Penurunan pendengaran sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya penurunan pendengaran telinga kiri, diikuti penurunan
pendengaran telinga kanan 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.

9
 Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tidak tinggi,
terus menerus, tidak disertai keringat banyak dan tidak disertai menggigil.
 Batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak warna
putih. Batuk berdarah tidak ada.
 Benjolan di punggung kiri sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya benjolan seukuran telur puyuh, makin lama makin besar, saat ini
benjolan seukuran telur ayam. Benjolan terasa nyeri.
 Riwayat menderita priapismus pada bulan Oktober 2018. Pasien berobat di
Rumah Sakit di Jakarta dan dilakukan tindakan operasi untuk pengobatan
priapismus. Menurut dokter, penyebab priapismus dicurigai akibat
penyakit kanker darah. Pasien dianjurkan dilakukan pemeriksaan BMP,
tapi pasien menolak.
 Riwayat transfusi darah +. Pasien tranfusi darah bulan Maret dan April
2019.
 Buang air besar volume dan frequensi normal.
 Sesak nafas tidak ada
 Riwayat perdarahan tidak ada.
 Riwayat nyeri dada tidak ada
 Riwayat lemah anggota gerak tidak ada
 Pasien sudah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Solok selama 2 hari.
Pasien dirujuk untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut untuk
kecurigaan penyakit kanker darah.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat diabetes melitus tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit keganasan.

Riwayat Pengobatan:.
 Riwayat operasi priapismus bulan Oktober 2018

10
 Riwayat transfusi darah

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


 Pasien seorang karyawan di bimbingan belajar.
 Pasien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak.
 Pasien tinggal di rumah permanen dengan ventilasi dan pencahayaan yang
cukup.
 Riwayat konsumsui alkohol tidak ada

Pemeriksaan Fisik
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis cooperatif
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 106 x/menit, regular, kuat angkat, pengisian cukup
Nafas : 20 x/menit, regular
Suhu : 36,5˚ C
Tinggi Badan : 162 cm
Berat Badan : 45 kg
BBI : 55,8 kg
IMT : 17,147 kg/m2
Kesan : Underweight
Sianosis : (-)
Anemis : (+)
Ikterus : (-)
Edema : (-)

Kulit : Turgor kulit normal, ptekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
Kepala : Normocephal
Rambut : Rambut rontok tidak ada
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
2mm/2mm, refleks cahaya (+/+)

11
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ada deviasi septum
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis
Gigi & mulut : Hipertrofi gingiva tidak ada, candidiasis oral tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjer tiroid tidak membesar.
Thoraks : Benjolan di hemithoraks sinistra, dengan ukuran 9x14 cm, batas
tegas, permukaan rata, konsistensi kenyal, fluktuasi (-), nyeri tekan
+, immobile.
Paru depan :
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru, batas pekak hepar setinggi RIC 5
kanan
Auskultasi : Bronchovesikuler, ronkhi (+/+) basah halus nyaring di basal kedua
paru, wheezing (-/-)
Paru belakang :
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis,
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Bronchovesikuler, ronkhi (+/+) basah halus nyaring di basal kedua
paru, wheezing (-/-)

Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus kuat angkat, teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas: RIC II
Batas kanan: LSD

12
Batas kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : Irama teratur, bising jantung (-), M1>M2, P2 < A2

Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak membuncit, venektasi tidak ada
Palpasi : Hepar teraba 1 jari bawah arcus costa dan 1 jari bawah prosesus
xypoideus, pinggir tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri
tekan tidak ada.
Lien teraba Schuffner 2 (5 cm)
Perkusi : Timpani, shifting dullnes tidak ada
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada


Alat kelamin : Tidak terdapat kelainan
Anus : Tidak teradapat kelainan
Anggota gerak : Edema (-/-), RF +/+ RP -/-, akral hangat.

Laboratorium
Hb : 7,3 gr/dl
Leukosit : 645.780 /mm3
Hematokrit : 22 %
Trombosit : 214.000/mm3
LED : 7 mm
Hitung Jenis : (2/4/18/31/1/0)

Gambaran darah tepi :


Eritrosit : Anisositosis normokrom, ditemukan eritrosit berinti 2/100 sel
leukosit
Leukosit : Jumlah meningkat, ditemukan blast 7%, promielosit 13%,
mielosit 16%, metamielosit 8%
Trombosit : Jumlah cukup, morfologi normal

13
Kesan : Anemia normositik normokrom, leukositosis, ditemukan blast 7%,
promielosit 13%, mielosit 16%, metamielosit 8%

Urinalisa:
Makroskopis : Silinder :-
Warna : kuning Kristal :-
Kekeruhan : negatif Epitel : gepeng +
BJ : 1.015 Kimia
pH : 6,5 Protein :-
Mikroskopis : Glukosa :-
Leukosit : 0-1/LPB Bilirubin :-
Eritrosit : 0-1/LPB Urobilinogen : +
Kesan : Ditemukan eritrosit 2-3/LPB

Feses:
Warna : Cokelat Lendir :-
Konsistensi : Lembek Telur cacing : -
Darah :-
Kesan : Dalam batas normal

EKG
Irama : Sinus QRS Komplek : 0,06-0,08 detik
HR : 107x/menit ST Segmen : Isoelektrik
Axis : Normal Gel T : Normal
Gel P : Normal SV1 + RV5 : < 3
PR Interval : 0,12-0,16 detik
Kesan : Takikardi

Daftar Masalah:
 Splenomegali
 Penurunan pendengaran
 Demam

14
 Batuk
 Benjolan di punggung kiri
 Underweight
 Anemia
 Hiperleukositosis dengan blast

Diagnosis Kerja:
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Infiltrasi Sel Leukemia
 Sudden Deafness Aurikula Dextra Sinistra ec Leukostasis
 Hospital Acquired Pneumonia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

Differensial Diagnosis:
 Leukemia Limfositik Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimun
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Non Autoimun
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Penyakit Kronik

Terapi
 Istirahat/ Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein 2100 kkal (Karbohidrat 1365
kkal, Protein 78 gram, Lemak 420 kkal)
 IVFD NaCl 0,9% 500cc/8 jam
 Ceftazidim 3x1 gr iv
 Levofloxacin 1x750 mg iv
 N-Acetylsistein 3x200 mg po
 Paracetamol 3x500 mg po

Anjuran
 Darah perifer lengkap (MCV,MCH, MCHC, Retikulosit)
 Faal ginjal (Ureum, Kreatinin)
 Cek faal hepar (SGOT, SGPT, Albumin, Globulin)

15
 Elektrolit (Natrium, Kalium, Klorida, Kalsium)
 Gula darah sewaktu
 Asam urat
 Hepatitis marker (HBSAg, anti-HCV, HIV rapid)
 Analisa gas darah
 Kultur Sputum
 Rontgen Thorak PA
 Bone Marrow Puncture

FOLLOW UP
Tanggal 8 Mei 2019
S : Demam (-), batuk + menetap, sesak nafas (-), penurunan pendengaran +
Menetap, nyeri di benjolan + berkurang
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 120/70 95x/ mnt 22x.mnt 36,7°C
mmHg
Hasil Laboratorium
MCV 90 fl GDS 77 mg/dl
MVH 32 pg Asam urat 5,3 mg/dl
MCHC 34 % HBSAg Non reaktif
Retikulosit 4,9 % Anti HCV Non reaktif
Ureum 34 mg/dl Anti HIV Non reaktif
Kreatinin 1,1 mg/dl pH 7,486
SGOT 22 u/l pCO2 30,7
SGPT 10 u/l pO2 33,4
Albumin 3,8 gr/dl HCO3 23
Globulin 3,5 gr/dl BE -0,7
Kalsium 10,6 mg/dl SO2 70
Asam Natrium 137 Mmol/L
Kalium 3,3 Mmol/L
Klorida 107 Mmol/L

16
Kesan : Alkalosis respiratorik dengan hipoksemia

Hasil Ekspertise Rontgen Thorak


Cor tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Tampak pembercakan di lapangan bawah paru kanan
Skletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan : Bronkhopneumonia

Konsul Bagian THT-KL


Kesan :
 Sudden Deafness Aurikula Dextra Sinistra
Advis :
 Audiometri

Konsul Bagian Bedah


Kesan :
 Soft Tissue Tumor Hemithorax Sinistra
Advis :
 Analisa cairan tumor
 CT Scan Thorak tanpa kontras

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Sudden Deafness Aurikula Dextra Sinistra ec Leukostasis
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Hipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

DD :
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Non Autoimmune
P :

17
 O2 NRM 10 lpm
 Cek AGD ulang
 Cek Bilirubin total, bilirubin I dan bilirubin II.
 Cek LDH
 Coomb Test
 Terapi lanjut

Tanggal 9 Mei 2019


S : Demam (-), batuk + berkurang, sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ menetap, nyeri di benjolan + berkurang
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 110/70 85x/ mnt 20x.mnt 36,8°C
mmHg
Hasil Laboratorium
Bilirubin Total 0,9 pH 7,168
Bilirubin I 0,4 pCO2 66,9
Bilirubin II 0,5 pO2 19,4
Coomb test Direct Coomb Test + HCO3 24,5
Indirect Coomb Test (-) BE -4,3
SO2 19,5
Kesan : Direct Coomb Test +, Asidosis respiratorik dengan hipoksemia, Gagal
nafas tipe campuran

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Sudden Deafness Aurikula Dextra Sinistra ec Leukostasis
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

P :

18
 O2 nasal kanul 3 lpm
 Metilprednisolon 3x12 mg po
 Lansoprazole 1x30 mg po
 Osteocal 1x1000 mg po
 Transfusi WRC 2 unit
 Screening Antibody
 Terapi lanjut

Tanggal 13 Mei 2019


S : Demam (-), batuk + berkurang, sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ menetap, nyeri di benjolan + berkurang
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 120/70 88x/ mnt 20x.mnt 36,6°C
mmHg
Hasil laboratorium
Hb 7,4 gr/dl Leukosit 577.360 /mm3
Hematokrit 21% Trombsoit 275.000 /mm3
Kesan : Anemia sedang, leukositosis

Hasil Bone Marrow Puncture


Mieloblast 3% Promonosit 0%
Progranulosit 5% Monosit 1%
Mielosit 13% Megakaryosit 0,1%
Metamielosit 16% Limfosit 4%
Batang 20 Rubriblast 0%
Segmen 30% Prorubrisit 0%
Basophil - Rubrisit 2%
Eosinophil 5% Metarubrisit 1%
M : E ratio 31 : 1

Kesimpulan :

19
Partikel ditemukan, selularitas hiperseluler menurut umur.
Aktivitas granulopoietik : meningkat, ditemukan semua tahap pematangan
dengan blast 3%, promielosit 5%, mielosit 13%, metamielosit 16%
Aktivitas eritropoietik : tertekan, M : E = 31 : 1
Aktivitas trombopoietik : megakariosit ditemukan, pancaran trombosit cukup
Kesan : Gambaran sum-sum tulang sesuai dengan LGK fase kronik

Sokal Skor : 1,2 (Intermediate Risk)

Hasil Audiometri
Aurikula Dextra : Tuli sensorineural derajat sedang dengan ambang dengar 42,5
dB
Aurikula Sinistra : Profound
Kesan : Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra

Konsul Bagian THT-KL


Kesan :
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra
Advis :
 Metilprednisolon 2x250 mg iv tappering off setelah 3 hari
 Mecobalamin 3x1 tab po
 Neurodex 2x1 tab po

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

P :

20
 O2 nasal kanul 3 lpm
 Metilprednisolon 3x12 mg po (off )
 Metilprednisolon 2x250 mg iv
 Transfusi WRC 2 unit
 Cek PT, APTT, D-Dimer
 Cek BCR-ABL
 Terapi lanjut

Tanggal 14 Mei 2019


S : Demam (-), batuk (-), sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ menetap, nyeri di benjolan + berkurang
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 120/60 86x/ mnt 20x.mnt 37°C
mmHg
Hasil laboratorium
PT 12,3 dtk D-Dimer 8.925,56 ng/ml
APTT 33,7 dtk
Kesan : D-Dimer meningkat

Hasil kultur sputum


Selected organism : Acinetobacter Haemolyticus
Antimicrobial Interpretation Antimicrobial Interpretation
Ampicillin/ R Meropenem S
Sulbactam
Cefazolin R Amikacin S
Ceftazidim S Gentamicin S
Ceftriaxone R Ciprofloxacin S
Cefepime S Trimethropin/ R
Sulfamehtoxazole

Hasil kultur cairan tumor

21
No Growth

Ekspertise CT Scan Thoraks


Kesan : Soft tissue swelling pada dinding thorax sinistra sisi lateral posterior dan
meluas sampai ke region flank sinistra, splenomegaly.

Konsul Bagian Bedah


Kesan :
 Soft Tissue Tumor Hemithorax Sinistra
 Efusi pericardium ?
Advis :
 Echocardiografi

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

P :
 Enoxaparin 1x60 mg sc
 Terapi lanjut

Tanggal 16 Mei 2019


S : Demam (-), batuk (-), sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ menetap, nyeri di benjolan + berkurang, perdarahan (-).
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 110/60 84x/ mnt 18x.mnt 36,8°C
mmHg
Hasil laboratorium

22
Hb 11,5 gr/dl Leukosit 389.320 /mm3
Hematokrit 36% Trombsoit 351.000 /mm3
Hitung jenis 0/4/20/36/3/1
Kesan : Leukositosis

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra

P :
 Metilprednisolon 2x125 mg iv
 Hydroxiurea 3x500 mg po
 Terapi lanjut

Tanggal 21 Mei 2019


S : Demam (-), batuk (-), sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ berkurang, nyeri di benjolan + berkurang, perdarahan (-).
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 110/60 84x/ mnt 18x.mnt 36,8°C
mmHg
Abdomen :
Palpasi : Lien tidak teraba. (0 cm)

Hasil laboratorium
PT 11,1 dtk D-Dimer 1.833 ng/ml
APTT 29,5 dtk
Kesan : D-Dimer meningkat
Hasil echocardiografi

23
 Fungsi sistolik global LV bai, EF 61% simpson
 Global normokinetik
 Fungsi diastolic LV baik
 Katub-katub baik
 Kontraktilitas LV baik
 Efusi pericard minimal di posterior dan lateral LV

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra
 Efusi pericard minimal

P :
 Enoxaparin (off)
 Metilprednisolon iv (off)
 Metilprednisolon 3x12 mg po
 Audiometri ulang
 Terapi lanjut

Tanggal 23 Mei 2019


S : Demam (-), batuk (-), sesak nafas (-), penurunan pendengaran
+ berkurang, nyeri di benjolan + berkurang, perdarahan (-).
O :
KU Kes TD N R T
Sedang CMC 130/70 84x/ mnt 20x.mnt 36,8°C
mmHg

Hasil pemeriksaan BCR-ABL

24
BCR-ABL Qulitative Status : b2a2 transcript detected (p210/ Major breakpoint
cluster region).

Hasil Audiometri
Aurikula Dextra : Tuli sensorineural derajat sedang dengan ambang dengar 40,5
dB
Aurikula Sinistra : Profound
Kesan : Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra

Konsul Bagian THT-KL


Kesan :
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra (perbaikan)
Advis :
 Metilprednisolon 3x4 mg po

A :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli sensorineural aurikula dekstra dan sinistra perbaikan
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra
 Efusi pericard minimal
P :
 Hydroxiurea off
 Imatinib 1x400 mg po
 Terapi lanjut

DISKUSI

25
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, 35 tahun dirawat di bangsal
Penyakit Dalam RS M Djamil Padang sejak tanggal 7 Mei 2019 dengan diagnosis
akhir :
 Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik
 Anemia Sedang Normositik Normokrom ec Hemolitik Autoimmune
 Tuli Sensorineural Aurikula Dekstra dan Sinistra
 Hospital Acquired Pneumonia dengan Psuedohipoksemia
 Soft Tissue Tumor er Hemithoraks Sinistra
 Efusi Pericard Minimal

Diagnosis Leukemia Granulositik Kronik (LGK) Fase Kronis ditegakkan


dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
pasien mengeluhkan perut terasa semakin penuh, rasa cepat kenyang saat makan,
lemah dan letih, dan penurunan berat badan. Perut terasa makin penuh dan rasa
cepat kenyang merupakan akibat dari splenomegali. Pasien juga mengeluhkan
penurunan pendengaran , riwayat sering nyeri kepala, riwayat pusing berputar,
riwayat telinga berdenging dan riwayat priasimus. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis, hepatomegaly dan splenomegaly. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan anemia, leukositosis, ditemukan blast
7% di darah tepi dan gambaran Bone Marrow Puncture (BMP) ditemukan
patikel, selularitas hiperseluler menurut umur. Aktivitas granulopoietik meningkat,
ditemukan semua tahap pematangan dengan blast 3%, promielosit 5%, mielosit
13%, metamielosit 16%. Aktivitas eritropoietik : tertekan, M : E = 31 : 1.Aktivitas
trombopoietik : megakariosit ditemukan, pancaran trombosit cukup. Gambaran
BMP sesuai dengan gambaran LGK fase kronis.
Splenomegali, lemah badan, penurunan berat badan, hepatomegaly
berturut-turut merupakan 4 gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada
pasien LGK. Splenomegali berhubungan dengan hematopoiesis ekstramedular
pada penyakit mieloproliferatif yang berujung pada hyperplasia jaringan lien.
Splenomegali pada pasien ini juga bisa tumpang tindih dengan splenomegali
akibat dari anemia hemolitik.1 Menurut Jabbour (2014), gejala paling umum dari

26
LGK fase kronis adalah gejala akibat anemia dan splenomegali. Keluhannya
meliputi lemah, letih, terasa penuh di perut kiri atas, rasa cepat kenyang saat
makan, dan penurunan berat badan.10 Semua keluhan tersebut ditemukan pada
kasus ini.
Gejala penurunan pendengaran , riwayat sering nyeri kepala, riwayat
pusing berputar, riwayat telinga berdenging dan riwayat priapismus merupakan
gejala leukostasis yang dapat ditemukan pada pasien LGK. Menurut McKee dan
Collins (1974) leukostasis didefinisikan sebagai bukti morfologi dari akumulasi
sel blast intravaskuler yang menyumbat sebagian besar sampai seluruh lumen
vaskuler, dengan atau tanpa adanya fibrin.11 Secara klinis dalam praktiknya,
leukostasis didiagnosis ketika pasien leukemia dengan hiperleukositosis dengan
keluhan respirasi, neurologi dan gangguan renal.12 Menurut Giammarco et al
(2016), gejala neurologis akibat leukostasis yang paling sering adalah nyeri kepala,
konfusi, letargi, pusing berputar, pandangan kabur dan gangguan keseimbangan.13
Menurut Gokce et al (2010), gejala tuli, telinga berdenging, dan kebutaan akibat
leukostasis dilaporkan pada 15,5% dari 33 pasien dewasa yang menderita
LGK.14 Pseudohipoksemia bisa menjadi salah satu tanda yang dapat ditemukan
pada pasien hiperleukositosis. Hal ini terjadi akibat uptake oksigen oleh sel kanker.
Solusi yang bisa dilakukan untuk menentukan saturasi oksigen pasien adalah
dengan pemeriksaan menggunakan pulse oksimetri.12 Pada pasien ini dari
pemeriksaan didapatkan nilai PO2 33,4%. Tapi kondisi PO2 yang rendah tidak
sesuai dengan kondisi klinis pasien.
Mielosupresi terjadi pada 35-50% LGK. Kejadian mielosupresi lebih
sedikit ditemukan pada pasien LGK yang baru dikenal dibanding pasien LGK fase
kornis yang sedang dalam terapi. Mielosupresi mengakibatkan anemia,
neutropenia dan trombositopenia.15 Pada pasien dari hasil pemeriksaan labor
didapatkan kesan anemia, tanpa neutropenia dan tanpa trombsositopenia.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatakan nilai leukosit 654.780 /mm3.
Nilai leukosit yang lebih dari 100.000 /mm3 didefinisikan sebagai
hiperleukositosis. Hiperluekositosis bisa mengakibatkan berbagai macam
komplikasi diantaranya leukostasis, sindrom lisis tumor dan Disseminated
Intravascular Coagulopathy (DIC). Tapi komplikasi ini lebih sering terjadi pada

27
leukemia akut dibanding leukemia kronik. Secara epidemiologi, walaupun pasien
LGK sering muncul dengan nilai leukosit yang lebih dari 100.000 /mm3, gejala
leukostasis jarang ditemukan, dan biasanya hanya terjadi ada fase akselerasi atau
krisis blast.12 Pada pasien ini, dari gambaran darah tepi ditemukan blast
sebanyak 7%. Sesuai NCCN, pasien dikategorikan kedalan LGK fase kronis. Tapi
pada pasien ini sudah ditemukan gejala leukostasis.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan sitogenetika berupa pemeriksaan gen
BCR-ABL dengan hasil BCR-ABL Qulitative Status : b2a2 transcript detected
(p210/ Major breakpoint cluster region). Sesuai NCCN 2018 pemeriksaan gen
BCR-ABL merupakan pemeriksaan yang termasuk dalam alur diagnostik LGK.5

Gambar 3. Alur Diagnosis LGK

Dari penilaian skor SOKAL, didapatkan hasil 1,2 (intermediate risk). Dari
penilitian Kuntegowdanahalli (2016), survival rate pasien dalam 2 tahun adalah
90% untuk pasien dengan SOKAL skor low risk, dan 65% untuk pasien dengan
16
SOKAL skor intermediate risk.
Pada pasien diberikan terapi Hydroxiurea 3x500 mg po. Menurut Cortes
(2012), Hydroxiurea diberikan sebagai terapi inisial pada pasien yang dicurigai
LGK dan belum terkonfirmasi dengan pemeriksaan gen BCR-ABL dengan nilai

28
leukosit yang meningkat diatas 80.000 – 100.000 /mm3. Tujuan pemberian
Hydroxiurea adalah untuk menurunkan nilai leukosit mendekati nilai normal.
Hydroxiurea diberikan sampai konfirmasi hasil pemeriksaan gen BCR-ABL.17
Setelah diketahui hasil pemeriksaan gen BCR-ABL positif, pemberian
Hydroxiurea dihentikan dan diganti dengan Imatinib 1x400 mg po. Menurut
Khoury dalam ASCO Education Book (2017), dalam memilih terapi lini pertama
pasien LGK harus mempetimbangkan beberapa hal, yaitu skor risiko, sitogenetik,
kondisi komorbid dan biaya. Pertimbangan pemberian Imatinib sebagai terapi
awal untuk pasien LGK dinilai sudah tepat. Imatinib dapat diganti ke Tyrosin
Kinase Inhibitor (TKI) generasi ke-2 hanya pada kasus yang intoleran atau target
terapi tidak tercapai. Pada pasien ini nilai SOKAL skor adalah 1,2 (intermediate
risk). Jika mengacu pada NCCN, maka terapi yang harus diberikan adalah TKI
generasi ke-2 seperi Nilotinip. Tetapi sesuai ASCO terapi yang diberikan tetap
Imatinip.18
Kanker merupakan salah satu faktor risiko TEV, sedangkan TEV sendiri
merupakan penyebab kematian nomor dua penderita kanker, baik rawat inap
maupun rawat jalan. Tromboemboli vena (TEV) dapat ditemukan pada 20%
penderita kanker. Penderita kanker mempunyai kecenderungan mengalami TEV
sebesar 4-7 kali lipat dibanding penderita bukan kanker. Beberapa biomarker telah
diidentifikasi sebagai prediksi TEV yang potensial. Suatu studi menyebutkan
bahwa beberapa biomarker tersebut meliputi kenaikan hitung leukosit dan
trombosit, serta kadar hemoglobin yang rendah. D-dimer juga merupakan suatu
faktor prediktif TEV terkait kanker usus besar. Selain itu, kenaikan kadar D-dimer
juga meningkatkan risiko TEV berdasarkan pada hasil the Vienna cancer and
thrombosis study (CATS). 19
Pada pasien didapatkan nilai hemoglobin yang rendah,, nilai leukosit yang
tinggi, trombosit normal. Berdasarkan skor risiko Khorana, pasien memiliki
risiko menengah untuk mengalami TEV. Gejala penurunan pendengaran pada
pasien ini diduga akibat kejadian TEV. Hal ini diperkuat dengan nilai D – Dimer
yang tinggi pada pasien yaitu 8.925,56 ng/ml. Sesuai Panduan Nasional
Tromboemboli Vena, LMWH merupakan pilihan yang lebih utama dibandingkan
UFH untuk terapi awal selama 5-10 hari sebagai antikoagulasi pasien kanker

29
dengan TEV yang baru terdiagnosa, yang tidak mempunyai gangguan fungsi
ginjal berat (klirens kreatinin <30 mL/menit). Pilihan LMWH yang biasa
digunakan yaitu Enoxaparin dengan dosis 1 mg/kg setiap 12 jam atau 1,5 mg/kg
sekali sehari. Pada pasien diberikan Enoxafarin 1x60 mg sc selama 5 hari.19
Pasien juga didiagnosis dengan Anemia Hemolitik Autoimun /
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA). Kecurigaan anemia hemolitik pada
pasien ini didasarkan gambaran klinis berupa anemia, hepatomegali,
slenomegali disertai pada hasil gambaran darah tepi tampak anemia normositik
normokrom, ansisositosis, eritrosit berinti dan retikulositosis. Diagnosis pasti dari
kelainan ini adalah ditemukannya direct Coomb’s test yang positif. Untuk
menentukan tipe dari AIHA ini dilakukan pemeriksaan sreening antibody, pada
pasien sudah dilakukan namun masih menunggu hasil. Pada pemeriksaan bilirubin,
didapatkan kadar bilirubin yang normal.6
Terapi AIHA pada pasien ini adalah dengan pemberian metilprednisolon
0,8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respon klinis yang baik. Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid
dosis < 30 mg/hari dapat diberikan secara selang hari.20
Pada pasien dilakukan transfusi WRC untuk mengoreksi anemia.
Pemberian transfusi darah pada pasien AIHA tergantung kepada derajat anemia,
progresivitas hemolitik, dan temuan klinis lainnya pada pasien. Transfusi darah
diberikan pada pasien dengan gejala hipoksemia seperti angina pectoris,
gejala-gejala neurologis, tampak lemah, cenderung mengantuk dan perubahan
kesadaran. Anemia berat (terutama jika Hb <5 gr/dl) biasanya akan menimbulkan
gejala-gejala tersebut, sehingga membutuhkan transfusi darah. Untuk Hb > 8 gr/dl
tidak membutuhkan transfusi darah. Untuk Hb antara 5 – 8 gr/dl, tergantung dari
pertimbangan klinis dan progresivitas penyakit.21
Sudden Deafness merupakan tuli sensorineural 30dB atau lebih minimal
pada 3 frekuensi audiometri yagn berdekatan dan terjadi dalam periode 72 jam.
Kelainan vaskuler dan hematologi merupakan salah satu penyebab sudden
deafness, termasuk emboli, transien iskemic attack, sickle cell anemia dan lainnya.

30
Kelainan – kelainan ini mengakibatkan aliran darah ke koklea berkurang sehingga
suplai oksigen juga berkurang. Hipoksia di koklea akan menyebabkan penurunan
pendengaran yang bisa bersifat transien da permanen. Steroid masih menjadi
terapi pilihan untuk sudden deafness.22 Pada pasien di dapatkan keluhan
penurunan pendengaran pada kedua telinga terutama telinga kiri. Dari
pemeriksaan audiometri didapatkan kesan ambang dengar telinga kanan 42,5 dB
sedang kan telinga kanan tidak dapat mendengar sama sekali. Setelah pemberian
steroid, ambang dengar telinga kiri membaik menjadi 40,5 dB.
Dari ekokardiografi pasien, didapatkan kesan efusi pericardial minimal
dan tidak bergejala. Dari sebuah laporan kasus Kadikoylu (2009), dilaporkan
pasien yang baru dikenal menderita LGK dengan kromosom Philadelpia positif.
Dari ekokardiografi pasien didapatkan kesan efusi pericardium. Pada kasus
tersebut, efusi pericardium dikaitkan dengan hematopoiesis ekstramedular. Efusi
pericardium menghilang setelah 6 bulan pemberian obat kemoterapi.23 Pada
pasien ini saat ini tidak ada indikasi untuk dilakukan perikardiosintesis.
Ekokardiografi ulang setelah 6 bulan terapi diperlukan untuk melihat respon terapi
terahadap efusi pericardium.
Pasien juga didiagnosis dengan soft tissue tumor hemithoraks sinistra. Dari
pemeriksaan fisik dan CT scan thorax mendukung suatu soft tissue tumor.
Menurut Goswami (2015) infiltrasi ekstramedular yang sering terlibat adalah
kelenjar limfa (10-61%) tulang (33-37%), dan soft tissue / jaringan lunak (30%).
Infiltrasi ekstramedular Sangat jarang terjadi pada LGK. Tapi pernah dilaporkan
suatu laporan kasus LGK dengan infiltasi jaringan lunak, yang dibuktikan dengan
Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Dengan pemberian Hydroxiurea memberikan respon
yang baik terhadap infiltrasi tersebut.24 Pada kasus ini, masih diperlukan
penelusuran lebih lanjut untuk membuktikan apakah soft tissue tumor yang
muncul merupakan suatu infiltrasi sel leukemia atau tidak.
Sampai saat ini belum ada mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan
antara LGK dan AIHA. LGK merupakan kelainan hematologi yang melibatkan
kelainan pada kromosom Philadelphia, sementara AIHA adalah kelainan
autoimun pada eritrosit. Jarangnya kasus AIHA pada pria menimbulkan
kecurigaan adanya keterlibatan patogenesis dari LGK yang menyebabkan AIHA.

31
Hingga saat ini sudah terdapat beberapa laporan penelitian yang menyebutkan
adanya kecenderungan terjadinya kelainan autoimun pada LGK.
Gunnarsson (2016) menyebutkan bahwa adanya proses autoimun pada
patogenesis LGK, namun tidak menjelaskan aspek imunologis yang terlibat.25
Anderson (2009) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa kelainan autoimun
berhubungan dengan peningkatan risiko keganasan limfoproliferatif dan mieloid.
Predisposisi genetik dan infiltrasi langsung ke sumsum tulang oleh kelainan
autoimun ini, diasumsikan oleh Anderson (2009) menjadi penyebab peningkatan
risiko keganasan mieloid.26
Jasim (2012) juga menyatakan bahwa AIHA berhubungan dengan beberapa
kelainan. Dibandingkan kelompok yang lain di penelitiannya, kelompok LGK
memiliki persentase terbanyak (47,62%) dibandingkan kelompok LLK, limfoma
Hodgkin, LLA, dan limfoma non-Hodgkin.27
Pasien juga didiagnosis dengan Hospital Acquired Pneumonia (HAP).
Pasien mengeluhkan demam dan batuk, dari pemeriksaan fisik ditemukan rhonki
basah halus nyaring di kedua basal paru. Dari rontgen thoraks ditemukan infiltrate
dengan kesan pneumonia dan dari hasil kultur ditemukan kuman Acinetobacter
Haemolyticus yang sensitive Ceftazidim dan Florroquinolon. Pada pasien
diberikan terapi antibiotic empiris Ceftazidim dan Levofloxacin. Fauzar (2018)
menyatakan pemberian antibiotik pada pasien pneumonia seharusnya berdasarkan
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya. Akan tetapi karena hasil
pembiakan bakteri mebutuhkan waktu yang lama maka pada penderita pneumonia
antibiotik dapat diberikan secara empiris. Untuk pasien HAP yang mempunyai
faktor risiko yang tinggi untuk mortalitas dan risiko tinggi terinfeksi kuman MDR
(pemakaian antibiotic intravena dalam 90 hari terakhir), direkomnedasikan
pemberian 2 antibiotik anti pseudomonas yang berbeda.28
Perencanaan selanjutnya pada pasien ini mencakup penilaian darah tepi
untuk setiap 1 bulan sampai tercapai respon hematologik komplit dan tiap 3 bulan
untuk memonitor respon pengobatan. Selain itu diperlukan juga Blood, RT-Q-PCR
(quantitative, BCR-ABL %), setiap 3 bulan sampai tercapai respon molekular
mayor (MMR). Dan setiap 6 bulan, ketika MMR telah dicapai.5

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Fadjari, H. Sukrisman, L. Leukemia Granulositik Kronik . Dalam: Sudoyo


AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014.
2. Trela E, Glowacki S, Blasiak J. Therapy of Chronic Myeloid Leukemia :
Twilight of Imatinib Era?. ISRN Oncology. 2014. 1-9
3. Rendra M, Yaswir R, Hanif AM. Gambaran Laboratorium Leukemia
Kronik di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
4. An X, Tiwari AK, Sun Y, Ding PR, Ashby Jr CR, Chen ZS. BCR-ABL
tyrosine kinase inhibitors in the treatment of Philadelphia chromosome
positive chronic myeloid leukemia: A review. Leukemia Research. 2010.
Vol 34 : 1255-1268.
5. Radich, JP. Gotlib, J. Shah, NP. Deininger, M. Hobbs, G. Smith, BD. et al.
In : Chronic Myeloid Leukemia. National Comprehensive Cancer Network.
2018.
6. Bakta IM. Anemia Hemolitik. Dalam : Hematologi Klinik Ringkas.
Jakarta. EGC. 2006
7. W. Barcellini and B. Fattizzo. Clinical Applications of Hemolytic Markers
in the Differential Diagnosis and Management of Hemolytic Anemia.
Disease Markers. 2015
8. Yamil, Arbaje, Germanbeltran. Chronic Myelogenous Lukemia
Complicated by Autoimmune Hemolityc Anemia. The American Journal of
Medicine. 1990
9. Anderson LA, Pfeiffer RM, Landgren O, Gadalla S, Berndt SI, Engels EA.
Risks of myeloid malignancies in patients with autoimmune conditions.
British Journal of Cancer. 2009; 100: 828-8.
10. Jabbour, EJ. Kanterjian, H. CME Informastion : Chronic myeloid
leukemia : 2014 update on diagnsosis, monitoring, and management.
American Journal of Hematology. 2014. Vol 89(5) ; 547-556

33
11. Mc.Kee LC, Collins RD. Intravaskular leukocyte thrombi and aggregates
as a cause of morbidity and mortality in leukemia. Medicine (Baltimmore)
1974; Vol 53(6): 463-478
12. Ali, AM. Mirrakhimov, AE. Abboud, CN. Chasen, AF. Leukostasis in
adult acute hyperleukocytic leukemia : a clinician’s digest. Hematological
Oncology. 2016. Vol 34; 69-78.
13. Giammarco, S. Chiusolo, P. Piccirillo, N. DiGiovanni, A. Metafuni, E.
Laurenti, L. et al. Hyperleukocytosis and leukostasis management of a
medical emergency. Expert Review of Hematology. 2016.
14. Gokce, M. Unal, S. BAyrakci, B. Tuncer, M. Chronic Myeloid Leukemia
Presenting with Visual and Auditory Impairment in an Adolescent : An
Insight to Management Strategies. Indian Journal Hematology Blood
Transfusion. 2010. Vol 26(3); 96-98
15. Mohammed, AH. Abdulsalam, AH. Abdulbaqee, AG. Types of Anemia in
Patients With Chronic Myeloid Leukemia Chronic Phase on Imatinib
Mesylate. Iraqi Journal Community Medicine. 2012. Vol 1 ; 19-22
16. Kuntegowdanahalli LC, Kanakasetty GB, Thanky AH, Dasappa L, Jacob
LA, Mallekavu SB et al. Prognostic and predictive implications os Sokal,
Euro and EUTOS scores in chronic myeloid leukemia in the imatinib
era-experience from a tertiary oncology centre in Southern India. ECancer
Medical Science. 2016. Vol 10(679); 1-10.
17. Cortes J, Kantarjian H. How I treat newly diagnosed chronic phase CML.
Blood Journal. 2012. Vol 120(7); 1390-1397
18. Khoury HJ, Williams LA, Atallah E, Hehlmann R. Chronic Myeloid
Leukemia : What Every Practitioner Needs to Know in 2017. ASCO
Educational Book. 2017. Didownload dari ascopubs.org pada 24 Mei
2019.
19. Fadjari TH, Shayudin, Suharti C. Penatalaksanaan Tromboemboli Vena
Pada Kanker. Dalam : Tambunan KL, Suharti C, Sukrisman L, Fadjari TH,
Setiawan B, editor. Panduan Nasional Tromboemboli Vena. Jakarta.
Perhimopunan Trombsosis dan Hemostasis Indonesia. 2018.

34
20. Hariadi KWT, Pardjono E. Anemia Hemolitik Imun . Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014.
21. Barros MMO, Langhi Jr DM, Bordin JO. Autoimmune hemolytic anemia:
transfusion challenges and solutions. International Journal of Clinical
Transfusion Medicine. 2017. Vol 5 ; 9-18.
22. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm P. Sudden Sensorineural
Hearing Loss : A Review of Diagnosis, Treatment, and Prognosis. Trends
in Ampification. 2011. Vol 15(3); 91-105.
23. Kadikoylu G, Onbasili A, Barutca S, Tekten T, Bolaman Z. Asymptomatic
Pericardial Effusion in Chronic Myelogenous Leukemia. Leukemia and
Lymphoma Journal. 2003. Vol 44 ; 723-725
24. Goswami G, Devi YS, Singh LJ. Chronic myeloid leukemia with soft
tissue infiltration : a case report. Medical Journal of Indonesia. 2015. Vol
24(1);50-54
25. Gunnarsson N, Hoglund M, Stenke L, Wallberg-Jonsson S, Sandin F,
Bjorkholm M, et al. Increased prevalence of prior malignancies and
autoimmune diseases in patients diagnosed with chronic myeloid leukemia.
Leukemia. 2016; Vol 30(7): 1562-7.
26. Anderson LA, Pfeiffer RM, Landgren O, Gadalla S, Berndt SI, Engels EA.
Risks of myeloid malignancies in patients with autoimmune conditions.
British Journal of Cancer. 2009; Vol 100: 828-8.
27. Jasim AM, Fadil SA. Autoimmune haemolytic anemia associated with
some diseases. Iraq Academic Scientific Journal. 2012; 23(6): 43-52.
28. Fauzar. Antibiotic Regiment For Hospital Acquired Pneumonia. Dalam :
Manaf A, Zasra R, Kam A, Fardila F, Ihsani A, Nurdin R. Improving
Health Care Providers Competencies in Internal Medicine in JKN Era.
Padang. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Andalas. 2018.

35

Anda mungkin juga menyukai