Anda di halaman 1dari 6

Chronic Myeloid Leukemia (CML)

Posted on September 1, 2010. Filed under: Uncategorized |

LATAR BELAKANG
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan
meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-sum
tulang dan terakumulasi juga di dalam darah. Chronic myeloid Leukemia adalah
gangguan pda sum-sum tulang dimana terjadi proliferasi dari granulosit yang matur
(neutrofil, eosinofil, dan basofil). Chronic myeloid leukemia adalah salah satu tipe
penyakit myeloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi kromosom yang
disebut dengan philadelphia chromosome.
Sejak dahulu, penyakit ini telah di terapi dengan kemoterapi, interferon, dan
transplantasi sum-sum tulang, walaupuntargeted therapy telah diperkenalkan pada awal
abad 21 secara radikal telah merubah menejemen dari Chronic Myeloid Leukemia.
Chronic myeloid leukemia disebut juga sebagai chronic granulocytic leukemia adalah
gangguan myeloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari granulosit
tanpa menghilangnya kemampuan granulosit untuk berdiferensiasi. Pada pemeriksaan
darah tepi dijumpai peningkatan jumlah granulosit dan adanya sel-sel imatur termasuk
sel blast.
Chronic myeloid leukemia jarang terjadi pada anak-anak, hanya 2-3% dari semua jenis
leukemia pada anak-anak.3Umumnya pada penderita chronic myeloid leukemia, dijumpai
splenomegali pada pemeriksaan fisik, yang mana hal ini berkolerasi dengan jumlah
granulosit pada pemerikasaan darah tepi. Hepatomegali juga dapat dijumpai sebagai
bagian dari hematopoiesis extramedullary yang terjadi di limfe. Kemudian dijumpai
demam, nyeri sendi, anemia dan pendarahan.
Chronic myeloid leukemia merupakan translokasi dari kromosom 9 dan 22 yang disebut
dengan kromosom Philadelphia. Yang merupakan tanda khas pada CML. 5
Chronic myeloid leukemia dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:
1. fase kronik, dimana 85% pasien didiagnosa pada fase ini.
2. fase akselerasi, dan
3. krisis blast, dimana merupakan tahapan akhir dari perjalanan pennyakit chronic
myeloid leukemia, serupa seperti leukemia akut dengan progresifitas yang cepat.
DEFINISI
Chronic myeloid leukemia (CML) yang disebut juga sebagai chronic granulocytic
leukemia (CGL), adalah merupakan keganasan klona dari sel induk (stem cell) sistem
hematopoetik yang ditandai oleh translokasi spesifik, t(9;22) (q34 ;q1) yang dikenal
sebagai kromosom philadelphia. Translokasi ini mendekatkan gen bcr pada kromosom
22 dengan gen abl pada kromosom 9, sehingga menghasilkan gen gabungan yang

menyandi protein gabungan bcr-abl.CML pada kebanyakan kasus, tidak ada gambaran
predisposisi.1
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
ETIOLOGI
CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya untuk 3%
dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak.1 Penyebab dari CML pada anak-anak
belum diketahui. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan.
Juga tidak dijumpai peningkatan resiko terhadap CML pada gangguan kromosom
preleukemik seperti pada anemia Fanconi dan Down syndrome. Pada kebanyakan kasus,
tidak terdapat faktor predisposisi.
Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan paparan radiasi telah dijelaskan, terutama
pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan di Jepang pada saat adanya
ledakan hebat pada tahun 1940.3
Juga telah dilaporkan CML terjadi pada anak-anak dengan immunosuppresed, termasuk
anak dengan infeksi HIV, dan imunosupresi pada transplantasi ginjal.1
PATOGENESIS
Chronic myeloid leukemia adalah malignansi pertama yang dihubungkan dengan gen
yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom
yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga ditandai oleh
hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah
dan sum-sum tulang.1
Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah
tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22
bergabung dengan gen ABL pada kromosom. Penyatuan abnormal ini menyebabkan
penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel, penurunan sel
adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl produk penyatuan gen adalah juga
tyrosine kinase.
Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor. Transkrip bcrabl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh protein sel yang
lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang mengontrol siklus sel,
mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl menghambat perbaikan DNA,
menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh
menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari protein bcr-abl adalah penyebab patofisiologi
dari chronic myeloid leukemia. Dengan pemahaman tentang protein bcr-abl dan
tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara
spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl. Inhibitor dari tyrosine kinase dapat
menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut adalah penyebab dari CML.1
KLASIFIKASI
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil
laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik, dan stelah beberapa tahun berkembang
menjadi fase akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast. Krisis blast adalah
tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut. Perkembangan dari fase
kronik melalui akselerasi dan krisis blast diperoleh kromosom abnormal yang baru yaitu
kromosom philadelphia. Beberapa pasien datang pada tahap akselerasi ataupun pada
tahapan krisis blast pada saat mereka didiagnosa.

Fase Kronis
85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka didiagnosa
dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya ada
gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi
dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang
digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat
berkembang menuju ke fase akselerasi.
Fase Akselerasi
Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas
sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah
menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah
kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria
WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu :

10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang.

>20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang.

Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.

Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.

Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia.

Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.

Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda yang telah
disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan perubahan
menjadi krisis blast berjarak berdekatan.
Krisis blast
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia akut,
dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast
didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :

>20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang.

Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang.

Perkembangan dari chloroma.5

GEJALA DAN TANDA


Umumnya gejala CML pada anak-anak, biasanya tidak spesifik, seperti fatigue, malaise
dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort, yang disebabkan oleh splenomegali,
biasanya juga dijumpai. Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan
bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan
splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala hipermetabolisme, termasuk
kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis seperti
gangguan pengelihatan atau priapismus, jarang terjadi.

Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya ditemukan peningkatan


leukosit pada pemerikasaan jumlah leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan ini
CML harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada pemeriksaan darah tepi
memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML adalah malaise, demam, gout atau
nyeri sendi, meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia, trombositopenia, mudah
lebam, dan didapatnya splenomegali pada pemerikasaan fisik.2
Tabel. 1. Gambaran Klinis Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia
Umum
Jarang
Fatigue
Nyeri tulang
Berat badan turun

Perdarahan

Abdominal discomfort

Demam

Asimtomatik

Berkeringat
Leukositosis
Gout
Spleen Infark

Mayoritas anak-anak dijumpai splenomegaly, penemuan lain biasanya tidak spesifik.


Hepatomegaly teraba (1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati sangat
tidak umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda leukositosis
(e.g. retinal hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya hanya keliatan jika leukosit
sangat tinggi (>30010 9/L). Beberapa laporan menduga bahwa tanda-tanda CML lebih
umum pada anak-anak daripada dewasa, walaupun dari 40 anak-anak hanya 3 (7,5%)
yang mengalami leukositosis. Nodul di kulit akibat deposit leukemic (chloromas) jarang
dijumpai, biasanya dihubungkan dengan fase lanjut atau blast krisis.
DIAGNOSIS
Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang
dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel myeloid tampak di apus darah.
CML sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan darah, yang mana
menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk sel myeloid yang
matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi indikasi
untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang sering dilakukan
sebagai evaluasi dari CML.2 Pada pemeriksaan sum-sum tulang CML ditandai dengan
hipercellular di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama
hiperplasia dari sel granulocytic.3
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia.
Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin,
dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu.5
Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML, atau kasus terhadap kecurigaan CML
dimana kromosom philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak pasien yang faktanya
memiliki kromosom abnormal yang kompleks yang menutupi translokasi kromosom 9
dan kromosom 22, atau mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR
sehubungan dengan karyotyping rutin yang normal.5

TERAPI
Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang pertama adalah
imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Sebelumnya digunakan antimetabolit (cytarabine,
hydroxyurea), alkalysis agent, interferon alfa 2b, dan steroid, tetapi obat-obat ini
sekarang telah digantikan oleh imatinib. penggunaan Imatinib telah disetujui oleh FDA
Amerika Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang mengaktifkan penyatuan protein
tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi kromosom philadelphia. Imatinib ini
dapat ditolerir lebih baik dan lebih efektif dibandingkan terapi sebelumnya. Transplantasi
sum-sum tulang juga digunakan sebagai terapi pilihan untuk CML.
Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol. Pada
hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit >200.000/mm3 mulai
diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai diberikan setelah diagnosis
dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat respon yang kurang memuaskan
terhadap Imatinib maka digunakan IFN- atau IFN- dan Ara-C 5106 unit/m2 per hari
secara subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah
leukosit menjadi 10.000-20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap
dan tidak dilanjutkan kembali.2
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,
diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm 3, tidak
dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan adanya respon
pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit kurang dari
20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan parsial (partial
respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari 20.000/mm 3 dan
dijumpai splenomegali.2
Pengaturan pada CML fase akselerasi tergantung dari pengobatan sebelumnya dan
masalah spesifik yang dirasakan si anak. Pada anak yang penyakitnya berkembang
menjadi fase akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi sum-sum tulang harus
dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib adalah obat yang paling berguna untuk
mengontrol penyakit ini sampai transplantasi tulang dilakukan, untuk anak-anak yang
telah relaps terhadap Imatinib dapat menggunakan hydroxycarbamide. Manifestasi yang
paling umum dari fase akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy
dapat dilakukan untuk splenomegali yang masif. Trombositosis mungkin sulit untuk
dikendalikan karena trombositosis kadang-kadang resisten terhadap imatinib dan sering
resisten terhadap hydroxycarbamide. Untungnya, walaupun jumlah platelet meningkat
biasanya ditolerir dengan baik dengan trombosis dan pendarahan pada anak-anak.
Prognosa pada krisis blast jelek, walaupun dengan regimen kemoterapi baru-baru ini dan
berlawanan denan krisis blast pada limfoid, vincristine dan steroid mempunyai sedikit
keuntungan. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan 50% dari pasien respon
terhadap Imatinib tetapi kurang dari 20% mempunya respon hematologi yang komplit
dan respon sitogenik yang sempurna. Pada anak-anak pada CML tahap krisis blast terapi
pilihan adalah Imatinib dan kemoterapi tipe AML (Acute myeloid leukemia) seperti
daunorubicin, cytarabine atau thioguanine. Tetapi pengobatan ini tidak bersifat
menyembuhkan penyakit.3 Pada stadium ini pengobatan yang paling efektif adalah
transplantasi sum-sum tulang stelah kemoterapi dosis tinggi.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Heslop, Helen E. Leukemia myeloid kronik. In Nelson ilmu kesehatan anak, editor:
Nelson, Waldo E.ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005 p: 1776-1777
2. Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 4th Edition.
London; Elsevier Academic Press; 2006; 401-411
3. Roberts, Irene A.G. Chronic myeloid leukemia. In Pediatric hematology, editor:
Arceci, Robert J. 3rd edition. London: Blackwell publishing; 2006 p: 384-399
4. Sondheimer, Judith M. Myeloproliferative disease. In Current essentials pediatrics.
London: Lange; 2007 p: 151
5. Chronic Myeloid Leukemia available
from http://www.wikipedia.com/Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on
January, 14 2009
6. Chronic Myeloid Leukemia available
from http://www.eMedicine.com/hematology/stem cells and disorders.Chronic
Myelogenous Leukemia/ Accessed on January, 14 2009

Anda mungkin juga menyukai