Anda di halaman 1dari 45

Mentah

Leukemia Granulositik Kronik


Leukimia granulositik kronik (LGK) (chronic granulocytic leukemia) dikenal juga dengan
nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari
leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak
terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah.
LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari
granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis
penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom
Philadelphia.

Darah tepi (pewarnaan MGG) Leukemia Granulositik Kronik (LGK); leukositosis dengan shift kiri
granulosit
Gejala Klinis
Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan
laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak terlalu
signifikan, gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan
(meskipun kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK).
Splenomegali seringkali terjadi.
Diagnosis
Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang memperlihatkan
kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk sel-sel myeloid dewasa.
Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; halini membantu
membedakan LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya dilakukan sebagai
pemeriksaan penunjang dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup untuk
menetapkan diagnosis LGK.
Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom Philadelphia. Karakteristik
abnormalitas kromosomal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan
hibridisasi fluorescent in situ, atau dengan PCR untuk gen bcr-abl.
Patofisiologi/ Patogenesis
LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan abnormalitas genetik secara
langsung, yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom Philadelphia. Kelainan
kromosomal ini dinamai berdasarkan penemunya pada tahun 1960, dua orang ilmuwan dari
Philadelphia, Pennsylvania: Peter Nowell dan David Hungerford.
Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya, bagian dari
gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur dengan gen ABL dari kromosom 9.
Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran
berat protein selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan gugus
phosphat ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen BCR-ABL juga berupa
tirosin kinase.
Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin 3beta(c). Transkrip BCR-
ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-
ABL mengaktifkan kaskade protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih
lagi, protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen
dan membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL
merupakan penyebab patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-
sifat dari protein BCR-ABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah
dikembangkan, yaitu dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL.
Klasifikasi
LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa tahun kemudian
berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis).
Krisis blast merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut.
Beberapa pasien telah berada pada fase terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis.
Fase Kronik
Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama fase ini, pasien
seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak
nyaman pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat
penyakit didiagnosis dan seberapa efektif terapi yang diberikan.
Fase Terakselerasi
Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling umum digunakan
adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase
terakselerasi telah terjadi bila:
10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang
>20% basofil pada darah atau sum-sum tulang
Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi
Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi
Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia
Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi
Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan diatas.
Krisis Blast
Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut dengan perkembangan
sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu tanda berikut pada pasien LGK:
> 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang
Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang
Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)
Referensi:
Faderl S, Talpaz M, Estrov Z, Kantarjian HM (1999). Chronic myelogenous leukemia: biology
and therapy. Annals of Internal Medicine.
Tefferi A (2006). Classification, diagnosis and management of myeloproliferative disorders in
the JAK2V617F era. Hematology Am Soc Hematol Educ Program.
Hehlmann R, Hochhaus A, Baccarani M; European LeukemiaNet (2007). Chronic myeloid
leukaemia.
Nowell PC (2007). Discovery of the Philadelphia chromosome: a personal
perspective.Journal of Clinical Investigation.
Karbasian Esfahani M, Morris EL, Dutcher JP, Wiernik PH (2006). Blastic phase of chronic
myelogenous leukemia. Current Treatment Options in Oncology.

Definisi
Leukemia granulositik kronik (LGK) adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang ditandai dengan
produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tersering dijumpai adalah rasa lelah, penurunan berat badan, rasa penuh di perut;
kadang-kadang rasa sakit di perut, dan mudah mengalami perdarahan.

Pada pemeriksaan fisik hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Juga sering,
didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang, terdapat purpura,
perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm
3
, pergeseran ke kiri
pada hitung jenis, trombositopenia, kromosom Philadelphia, kadar fosfatase alkali leukosit rendah
atau sama sekali tidak ada, dan kenaikan kadar vitamin B
12
dalam darah. Pada pemeriksaan sumsum
tulang didapatkan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas
granulopoeisis.

Penatalaksanaan
Pengobatan dapat dilakukan per oral dengan obat-obatan sebagai berikut:
1. Tablet Busulfan (2 mg)
Induksi
Bila leukosit 50.000 /l 6 mg/hari sampai dengan leukosit 5.000 15.000 /l
Kemudian istirahat 2 minggu
Selanjutnya diteruskan dengan maintenance (pemberian disesuaikan dengan jumlah leukosit saat
itu).
Bila leukosit:
15.000 25.000/l : 2 mg/hari (7 hari)
25.000-35.000/l : 4 mg/hari (7 hari)
> 35.000/l : 6 mg/hari (7 hari)
2. Pengobatan dengan hidropurea 500 mg
Dosis 15-25 mg/kg BB dalam 2 dosis per oral

Prognosis
Sebagian besar pasien LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut krisis blastik.
Gambarannya mirip dengan leukemia akut, yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit, biasanya
berupa mieloblas dan/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah merah yang
amat kurang.

















Leukemia Mielositik Kronik
Dipublikasi pada Mei 30, 2010 oleh banunendro
Pendahuluan
1. Definisi
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik adalah suatu
penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit
mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006). Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten
dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007). Penyakit
proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri
granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia mielositik kronik
yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
1. Prevalensi
Leukemia mielositik kronik sering terjadi pada usia pertengahan dewasa dan pada anak-anak.
Penyakit ini menyerang 1-2 orang per 100.000 dan membuat 7-20% kasus leukemia (Dugdale,
2010). Leukemia mielositik kronik terjadi pada kedua jenis kelamin dengan rasio pria : wanita
sebesar 1,4:1 dan paling sering terjadi pada usia antara 40-60 tahun. (Hoffbrand et al, 2005).
Kejadian leukemia mielositik kronik meningkat pada orang yang terpapar bom atom Hiroshima
dan Nagasaki (Besa, 2010).
Isi
1. Etiologi
Menurut Markman (2009), Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus. Transformasi
leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada
kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang
dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen tersebut,
meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.
1. Patogenesis
Pada leukemia mielositik kronik terjadi hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22,
yaitu kromosom Philadelphia (Ph) (Fadjari, 2006). Kromosom ini dihasilkan dari translokasi
t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson ABL
dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9.
Pada translokasi Ph, ekson 5 BCR berfusi dengan ekson 3 ABL menghasilkan gen khimerik
untuk mengkode suatu protein fusi berukuran 210kDa (p210) yang memiliki aktivitas tirosin
kinase melebihi produk ABL 145 kDa yang normal (Hoffbrand et al, 2005). Dengan kemajuan
teknologi dibidang biologi molecular, didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada
dilengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (break cluster
region). Yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan kedua gen ini sering
ditulis sebagai BCR-ABL(Fadjari, 2006).
Gen BCR-ABL menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada sistem
hematopoiesis. Disamping itu, BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis sehingga menyebabkan
gen ini dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuknya
klon-klon abnormal yang mendesak sistem hematopoiesis (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), Mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya
peranan gen ini pada diagnostik, perjalanan penyakit, dan prognostik, serta implikasi
teraupetiknya, sehingga perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.
Sitogenetik
Para ahli berpendapat terbentuknya kromosom Ph diduga terjadi akibat pengaruh radiasi
seperti kejadian Hiroshima dan Nagasaki dan akibat mutasi spontan. Saat ini diketahui terdapat
beberapa varian dari kromosom Ph yang terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau
kromosom 9 dengan kromosom lainnya (Fadjari,2006).
Menurut Fadjari (2006), bahwa Gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada
semua pasien leukemia mielositik kronik, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada
70% pasien leukemia mielositik kronik. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih
rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+
yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom
lengan panjang kromosom 17 i (17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa
gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi leukemia mielositik kronik atau terjadi
abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.
Biologi molekular
Menurut Fadjari (2006), Ada 3 variasi letak patahan pada gen BCR-ABL yaitu :
1. Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau daerah e13-
e14 pada ekson 2 yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul
210 kD. Gambaran klinis : trombositopeni.
2. Minor bcr (m-bcr), patahan yang ditemukan di daerah 54,4-kb atau el yang gen BCR-ABL
nya akan mensintesa p190. Gambaran klinis : monositosis yang prominent.
3. Micro bcr (mikro-bcr), patahan pada 3 gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan
terbentuk p230. Gambaran klinis : netrofilia dan atau trombositosis.
Menurut Fadjari (2006), p210(BCR-ABL) mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara :
gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase,
sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan
mengaktivasi beberapa protein dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1),
sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat adheren sel-sel terhadap
stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Fusi gen BCR-ABL akan
berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal
yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosis.
1. Klasifikasi
Menurut Hoffbrand et al, (2005), klasifikasi leukemia mieloid kronik adalah :
1. Leukemia mielositik kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
2. Leukemia mielositik kronik, Ph negatif (CML, Ph-).
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR-ABL dengan prognosis
yang tampaknya lebih buruk daripada leukemia mielositik kronik Ph positif (Hoffbrand et al,
2005).
1. Leukemia mielositik kronik juvenilis.
Menurut Hoffbrand et al (2005), Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang
khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi rekuren. Pada
pemeriksaan apusan darah terlihat adanya monositosis. Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali
netrofil normal, dan kromosom Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah
pengobatan yang terpilih.
1. Leukemia netrofilik kronik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,
2005).
1. Leukemia eosinofilik.
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel matur yang relative murni,
disamping itu didapatkan spleenomegali dan secara umum prognosisnya baik (Hoffbrand et al,
2005).
1. Leukemia mielomonisitik kronik (CMML).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat
badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi
trombosit yang abnormal.
5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin
yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapismus.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel
darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah
perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan,
penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-
800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel.
Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
1. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang
lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa
bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
1. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas
kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas.
Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.
1. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.
Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat
500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).
Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi
eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit
terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil
dan basofil. (Fadjari, 2006).
Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio
mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak
bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom
yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17).
(Fadjari, 2006).
Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.
1. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
Polisitemia Rubra Vera (PRV).
Trombositemia.
Myelofibrosis.
Reaksi leukemoid tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor
padat.
1. Terapi
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi
biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok
sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida
reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat
terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan
bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan
kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah,
depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat
depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga
pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-
6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung
leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali
setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi,
mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis,
amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi
tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah
fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu
suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan
translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan
diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme
oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap
penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib
140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah
membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat
dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni
(<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta
IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta
IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai
>9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak
dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Penutup
Leukemia mielositik kronik biasanya memperlihatkan respon yang sangat baik terhadap
kemoterapi pada fase kronik. Ketahanan hidup rata-rata adalah 5-6 tahun dan kematian
biasanya disebabkan transformasi akut terminal atau pendarahan atau infeksi yang menyelingi
(Hematologi). 20% pasien dapat hdup hingga 10 tahun atau lebih.
Menurut Fadjari (2006), Faktor-faktor yang memperburuk keadaan pasien antara lain :
1. Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat
badan, demam, keringat malam.
2. Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,
kromosom Ph negative, BCR-ABL negative.
3. Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi
dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.
Leukemia mielositik kronik adalah penyakit yang jarang terjadi, tetapi memiliki angka kematian
yang tinggi. Dunia kedokteran kini sudah sangat maju dan telah ditemukan berbagai metode
untuk menekan leukemia mielositik kronik. Diharapkan dengan diagnosis dan penanganan yang
baik tersebut, kualitas dan harapan hidup penderita leukemia mielositik kronik dapat
ditingkatkan. Harapan untuk bertahan hidup itu menjadi semangat para penderita kanker dalam
menjalani hidupnya.
Daftar Pustaka
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4
th
ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4
th
ed), EGC,
Jakarta.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al.
Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after failure of first-
line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American Society of
Hematology 2007;12: 5143-5150
Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5
th
ed),Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6
th
ed),
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American Journal
Clinical Pathology, 132, 248-249












2.4.1. Leukemia Kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi
neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan
hematologi.22
a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit T).
Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang
berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur panjang.34(gambar 2.8. a dan
b. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa perbesaran 1000x).27
LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang
individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1 untuk
laki-laki.
35
a b
Gambar 2.10. Leukemia Limfositik Kronik
b. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)
LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan
produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.34
LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang
dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
Universitas Sumatera Utaradinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita
LGK/LMK.36(gambar 2.8. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa
a. perbesaran 200x, b. perbesaran 1000x).27
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah memasuki
fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi berlebihan sel muda
leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil,
trombosit dan sel darah merah yang amat kurang.21
a b
Gambar 2.11. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik

2.6.3. Leukemia Limfositik Kronik21
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita LLK yang
mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat
badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya nafsu makan dan penurunan
kemampuan latihan atau olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi semakin
parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya.
2.6.4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik21
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat desakan
limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung
lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan anemia yang bertambah berat, petekie,
ekimosis dan demam yang disertai infeksi.
Universitas Sumatera Utara2.7. Pencegahan
2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan
kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.43
a. Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif44
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang
penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas radiologi
dapat dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi
paparan terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat
dilakukan dengan memberikan pelayanan diagnostik radiologi serendah
mungkin sesuai kebutuhan klinis.
b. Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia44
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan
benzene dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan dengan
memberikan pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan karsinogen
agar pekerja dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan langsung
terhadap zat-zat kimia tersebut.
c. Mengurangi frekuensi merokok
Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar dapat
berhenti atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA disebabkan
oleh merokok.45 Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang
bahaya merokok yang bisa menyebabkan kanker termasuk leukemia (LMA).
Universitas Sumatera Utarad. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah46
Pencegahan ini lebih ditujukan pada pasangan yang akan menikah.
Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing calon mempelai.
Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari pasangan tersebut
mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom Down atau kelainan
gen lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli hematologi. Jadi
pasangan tersebut dapat memutuskan untuk tetap menikah atau tidak.
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit
atau cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.43
Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat.47
a. Diagnosis dini
a.1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali
(86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan
perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang mudah
berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang disebabkan adanya
perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis LLK ditemukan
hepatosplenomegali dan limfadenopati. Anemia, gejala-gejala
hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat) menunjukkan
penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan
splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga didapatkan nyeri tekan
Universitas Sumatera Utarapada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura,
perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan kadangkadang priapismus.31, 41
a.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi
dan pemeriksaan sumsum tulang.
a.2.1. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan
kadang-kadang leukopenia (25%).48 Pada penderita LMA ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit.31 Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3
,
48 sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3
.
18
a.2.2. Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut
ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel
leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang
matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel
berinti dalam sumsum tulang.20 Pada penderita LLK ditemukan adanya
infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang
berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit
B.47 Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular
dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah
granulosit lebih dari 30.000/mm3
.
16
Universitas Sumatera Utarab. Penatalaksanaan Medis
b.1. Kemoterapi
b.1.1. Kemoterapi pada penderita LLA
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua
fase yang digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh
sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang.29
Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit
yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam
proses membunuh sel leukemia.9 Pada tahap ini dengan memberikan
kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan
asparaginase.19
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi
yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah
relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat. Terapi ini
dilakukan setelah 6 bulan kemudian.21
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis
yang lebih rendah.29 Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang
Universitas Sumatera Utaraberbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.9
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi.
Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.29
Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60%
menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan
sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai
dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan SSP.18
b.2.1. Kemoterapi pada penderita LMA21
a. Fase induksi
Fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi
komplit. Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa sel-sel
leukemia di dalam tubuh penderita tetapi tidak dapat dideteksi. Bila
dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa yang
akan datang.
b. Fase konsolidasi
Fase konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari fase induksi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi
dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar
dari dosis yang digunakan pada fase induksi.
Universitas Sumatera UtaraDengan pengobatan modern, angka remisi 50-75%, tetapi angka ratarata
hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya
10%.18
b.3.1. Kemoterapi pada penderita LLK
Derajat penyakit LLK harus ditetapkan karena menetukan strategi
terapi dan prognosis. Salah satu sistem penderajatan yang dipakai ialah
klasifikasi Rai:20
a. Stadium 0 : limfositosis darah tepi dan sumsum tulang
b. Stadium I : limfositosis dan limfadenopati.
c. Stadium II : limfositosis dan splenomegali/ hepatomegali.
d. Stadium III : limfositosis dan anemia (Hb < 11 gr/dl).
e. Stadium IV : limfositosis dan trombositopenia <100.000/mm3
dengan/tanpa gejala pembesaran hati, limpa, kelenjar.21
Terapi untuk LLK jarang mencapai kesembuhan karena tujuan terapi
bersifat konvensional, terutama untuk mengendalikan gejala.20 Pengobatan
tidak diberikan kepada penderita tanpa gejala karena tidak memperpanjang
hidup. Pada stadium I atau II, pengamatan atau kemoterapi adalah
pengobatan biasa. Pada stadium III atau IV diberikan kemoterapi intensif.9
Angka ketahanan hidup rata-rata adalah sekitar 6 tahun dan 25%
pasien dapat hidup lebih dari 10 tahun. Pasien dengan sradium 0 atau 1
dapat bertahan hidup rata-rata 10 tahun. Sedangkan pada pasien dengan
stadium III atau IV rata-rata dapat bertahan hidup kurang dari 2 tahun.32
Universitas Sumatera Utarab.4.1. Kemoterapi pada penderita LGK/LMK
a. Fase Kronik
Busulfan dan hidroksiurea merupakan obat pilihan yag mampu
menahan pasien bebas dari gejala untuk jangka waktu yang lama.Regimen
dengan bermacam obat yang intensif merupakan terapi pilihan fase kronis
LMK yang tidak diarahkan pada tindakan transplantasi sumsum tulang.35
b. Fase Akselerasi,
Sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respons sangat rendah.
b.2. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh selsel leukemia. Sinar berenergi
tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian
lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi
gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma.
Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan
karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.21
b.3. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum
tulang yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang
rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain
itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah
yang rusak karena kanker.49 Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80%
angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun
setelah terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang
Universitas Sumatera Utarasesuai.33 Pada penderita LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita
yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia
muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.30
b.4. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan
penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah
untuk penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk
mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.36
2.7.3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier ditujukan untuk membatasi atau menghalangi
perkembangan kemampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke
tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif.43 Untuk penderita leukemia
dilakukan perawatan atau penanganan oleh tenaga medis yang ahli di rumah sakit.
Salah satu perawatan yang diberikan yaitu perawatan paliatif dengan tujuan
mempertahankan kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas penyakit.
Selain itu perbaikan di bidang psikologi, sosial dan spiritual. Dukungan moral dari
orang-orang terdekat juga diperlukan.41





LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK
Pendahuluan
Leukemia adalah golongan penyakit yang ditandai dengan penimbunan sel darah putih
abnormal dalam sumsum tulang. Sel abnormal ini dapat menyebabkan kegagalan sumsum
tulang, hitung sel darah putih sirkulasi meninggi dan menginfiltrasi organ lain. Dengan demikian
gambaran umum leukemia mencakup sel darah putih abnormal dalam darah tepi, hitung sel
darah putih total meninggi, bukti kegagalan sumsum tulang misalnya : anemia, netropenia atau
trombositopenia dan keterlibatan organ lain misalnya : Hati, limpa, limfonodi, meningen, otak,
kulit dan testis.
Leukemia digolongkan ke dalam kelompok akut dan kronis berdasarkan derajat maturasi sel-sel
ganas di dalam sumsum tulang. Leukemia akut ditandai adanya gangguan maturasi yang
mengakibatkan meningkatnya sel-sel muda dan terjadi kegagalan diferensiasi sel-sel darah.
Keadaan ini menyebabkan penyakit tampak sangat berat dan menyebabkan kematian dalam
beberapa bulan tanpa pengobatan.
Sebaliknya pada leukemia kronik terjadi peningkatan sel matur yang tidak terkendali, sehingga
penyakit tampak relatif lebih ringan. Leukemia kronik pada stadium akhir dapat menjadi
progresif seperti leukemia akut.
Leukemia mielositik kronik (LMK) merupakan penyakit keganasan akibat hiperproliferasi klonal
system hemopoetik pluripotensial dari system sel yang mencakup system Granulosit, Monosit,
Eritroid dan Megakariosit. Leukemis Mielositik Kronik ini juga sering disebut Leukemia
Granulositik Kronik, Leukemia Myelogenous Kronik dan Leukemia Myeloid Kronik.

Angka kejadian
LMK mencakup 15 20 % dari semua leukemia. Umumnya mengenai usia pertengahan,
dengan puncak umur 40 50 tahun. LMK jarang dijumpai pada masa anak-anak dan
diperkirakan hanya merupakan 1 5 % kasus Leukemia. Diagnosis penyakit ini hampir 80 %
didiagnosis setelah umur 2 tahun. Umur terendah yang terdiagnosis LMK adalah 3 bulan.

Faktor penyebab
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis terjadinya LMK adalah factor
radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi
pada orang yang bekerja di unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita
yang mendapat terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain.
Walaupun begitu, hanya 5 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya
paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan
penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang
diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun.
Pada anak muda, khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan
kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan
yang ibunya terpapr saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari
masa inisiasi preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia.

Patogenesis
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan kelainan
genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien
terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal
(nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi
bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada
golongan C. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid
dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit
B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan
gambaran klinisnya.
Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom
22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki
aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang
menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya krisis
blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent
kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph-2 kromosom pada kromosom nomor 9,
dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada
penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah
tepi penderita LMK. Khususnya fase akselerasi dan blas.

Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit LMK dibagi menjadi 3 fase yaitu, fase kronik,akselerasi dan blas.
1. Fase kronik
Fase kronik ditandai ekspansi yang tinggi dari hemopoetik pool dengan peningkatan
pembentukan sel darah matur, dengan sedikit gangguan fungsional. Umumnya sel neoplasma
sedikit dijumpai di sumsum tulang, hepar, lien dan darh perifer. Akibatnya gejala penyakit
tergantung infiltrasi ke organ, pengaruh metabolik dan hiperviskositas serta umumnya mudah
dikontrol. Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun.
Gejala klinik umumnya non spesifik akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam,
lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat badan dan anoreksia.
Pada pemeriksaan fisik penderita tampak pucat, ekimosis, hepatosplenomegali dan nyeri
sternum. Gejala tersebut berhubungan dengan derajat leukositosis Kadang-kadang (20%)
asimptomatis dan ditemukan secara kebetulan. Pemeriksaan Laboratorium dapat dijumpai
anemia normokrom normositer, Leukostosis berat dengan shift to the left dan trombostosis.
Kadar leukosit meningkat antara 80.000 800.000 / mm3. Leukositosis sangat berat (> 500.000
/mm3) dapat dijumpai pada anak-anak. Pemeriksaan hapusan darah tepi dijumpai seluruh
stadium diferensiasi sel seperti myeloblas dan promileosit yang umumnya dibawah 15%, serta
tidak dijumpai hiatus leukemikus. Juga dijumpai peningkatan absolut basofil dan eosinofil.
Pemeriksaan sumsum tulang dijumpai hiperselular dengan granulositosis (sering diikuti
megakariositik), maturasi granulosit lebih matur disertai basofilia dan eosinofilia. Myelofibrosis
umumnya jarang dijumpai pada fase kronik, dan dapat dijumpai pada 30-40% penderita. Juga
dapat dijumpai lipid-laden histiosit atau gaucher sel atau sea blue histiosit. Pada pemeriksaan
serologi dapat dijumpai peningkatan asam urat, laktik dehidrogenase, vitamin B12 dan vitamin
B12 binding protein. Kelainan granulosit dapat diketahui dengan adanya penurunan aktivitas
leukosit alkalin fosfatase (LAP) dengan pemeriksaan sitokimia. Diagnosis banding LMK fase
kronik reaksi lekemoid, LMK tipe juvenil dan penyakit myeloproliferatif lain. Pada lekemoid,
splenomegali biasanya tidak menonjol, aktivitas LAP meningkat tinggi, Ph kromosom negatif,
leukositosis dan splenomegali tidak sehebat LMK dan melibatkan organ seperti kulit dan
kelenjar limpa. Penyakit myeloproliferatif dibedakan dari LMK dengan pemeriksaan granulosit
berseri dan Ph kromosom.

1. Fase akselerasi
Setelah lebih kurang 3 tahun, LMK kronik akan menjadi fase akselerasi dengan meningkatnya
progresifitas penyakit. Sekitar 5 % kasus, terjadi perubahan mendadak dengan peningkatan
yang cepat sel blas pada darah perifer (krisis blas). Sekitar 50% kasus akan berkembang
menjadi lebih progressif yang menimbulkan gejala seperti leukemia akut dan sisanya 45%
terjadi peningkatan progresif secara pelan-pelan. Gejala dan tanda dari fase akselerasi :
- Panas tanpa penyebab yang jelas dan splenomegali progresif
- Anemia dan trombositopnia setelah sebelumnya sempat normal
- Trombositosis > 1000 x 109/ L
- Basofil > 20% dan myeloblas > 5 %
- Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi nuetrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti Ph-2 kromosom
- Peningkatan uptake timidin oleh neutrofil
- Peningkatan kandungan DNA dan penurunan fraksi proliferasi.

3. Fase blas
Pada fase ini gejala klinik meliputi anemia, trombositopenia dan peningkatan sel blas pada
darah tepi dan sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai lebih dari 30 % sel blas yang
merupakan tanda diagnostik fase ini. Sel blas didominasi oleh sel myeloid tetapi sel eritroid,
megakariositik dan limfoblas dapat dijumpai. Gejala klinik pada fase ini sama dengan leukemia
akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka penderita memiliki resiko
terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini dibedakan dengan leukemia akut di mana
splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya Ph-2 kromosom.

Komplikasi
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1. Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya
hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi
dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.
2. Hiperleukositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada
beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang
dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit
tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga
meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi
secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus
intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3. Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya
penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran
lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat,
radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari
intravena).
4. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada
stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada
fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis
dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan
memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.
5. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi
kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

Terapi
Secara umum tujuan terapi penderita LMK pada fase kronik adalah menghilangkan gejala klinik
dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu hilangnya
Ph+klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan konvensional.
Walaupun demikian dengan teknik transplantasi sumsumtulang, kesembuhan tersebut
memungkinkan, tujuan terapi LMK pada fase akselerasi dan blas adalah mengembalikan ke
fase kronik.

Terapi LMK fase kronik
Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun kebanyakan kasus
jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat tunggal tersebut akan
terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi normal tetapi
hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph+ di sumsum tulang tetap terjadi. Obat yang sering
diberikan sebagai obat tunggal adalah :
Busulfan
Obat ini dipakai pertam kali tahun 1950 dalam pengobatan LMK, dan samapi saat ini
merupakan obat standar. Merupakan obat ankilating non spesifik pada fase siklus sel, yang
bekarja mengganggu fungsi DNA- guanin dan timidin dari sel ganas. Ciri khas dari obat ini
memiliki onset lambat dan durasi yang lama. Ekskresi obat kebanyakan melali urine. Dosis
yang digunakan adalah 2-6 mg/kgbbperoral dosis tunggal.
Pengobatan awal diberikan selama 10-14 hari sampai leukosit turun secara bermakna dan
hitung jenis menjadi normal. Limpa biasanya kembali normal setelah 3 bulan pengobatan. Dosis
diturunkan menjadi 50 % jika kadar leukosit mencapai 30.000-40.000/mm3 dan dihentikan jika
turun mencapai kurang atau sama dengan 20.000/mm3.
Prognosis
Harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun dari saat diagnosis ditegakkan. Hanya
30% dari penderita tersebut bertahan hidup sampai 5 tahun. Kematian biasanya terjadi
beberapa bulan setelah mengalami fase akselerasi dari fase kronik. Bila telah sampai pada fase
blas maka kematian akan terjadi setelah 1-5 bulan akibat kegagalan sumsum tulang.
Beberapa petanda prognosis buruk adalah :
1. Splenomegali (>5 cm di bawah arkus, kosta)
2. Trombositopenia (<150/mm3)>500.000/mm3)
4. Leukositosis berat (>100.000/mm3)
5. Proporsi sel blas meningkat (>1%) atau terdapat granulosit imatur (>20%)













Komplikasi
Leukemia granulositik kronik (LGK) dapat menyebabkan berbagai komplikasi, diantaranya yaitu:
Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah merah, maka anemia
dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan anemia tersebut. Proses terapi LGK juga
dapat meyebabkan penurunan jumlah sel darah merah.
Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada
keadaan LGK dapat mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien
mengalami epistaksis, pendarahan dari gusi, ptechiae, dan hematom.
Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada LGK dapat timbul dari tulang atau sendi. Keadaan ini
disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan leukosit abnormal yang berkembang pesat.
Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat keadaan LGK
sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah besar, bahkan beresiko
untuk pecah.
Stroke atau clotting yang berlebihan (excess clotting). Beberapa pasien dengan kasus LGK
memproduksi trombosit secara berlebihan. Jika tidak dikendalikan, kadar trombosit yang
berlebihan dalam darah (trombositosis) dapat menyebabkan clot yang abnormal dan
mengakibatkan stroke.
Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan LGK adalah abnormal, tidak menjalankan fungsi
imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
Selain itu pengobatan LGK juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah,
sehingga sistem imun tidak efektif.
Kematian.









Leukemia Mielositik Kronik
Leukemia Mielositik (mieloid, mielogenous, granulositik, LMK) adalah suatu penyakit dimana
sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan sejumlah besar
granulosit (salah satu jenis sel darah putih)yang abnormal.

Penyakit ini bisa mengenai semua kelompok umur, baik pria maupun wanita; tetapi jarang
ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 10 tahun.

Sebagian besar granulosit leukemik dihasilkan di dalam sumsum tulang, tetapi beberapa
diantaranya dibuat di limpa dan hati.
Pada LMK, sel-selnya terdiri dari sel yang sangat muda sampai sel yang matang; sedangkan pada
LMA hanya ditemukan sel muda.

Granulosit leukemik cenderung menggeser sel-sel normal di dalam sumsum tulang dan
seringkali menyebabkan terbentuknya sejumlah besar jaringan fibrosa yang menggantukan
sumsum tulang yang normal.

Selama perjalanan penyakit ini, semakin banyak granulosit muda yang masuk ke dalam aliran
darah dan sumsum tulang (fase akselerasi).
Pada fase tersebut, terjadi anemia dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit) dan
proporsi sel darah putih muda (sel blast) meningkat secara dramatis.

Kadang granulosit leukemik mengalami lebih banyak perubahan dan penyakit berkembang
menjadi krisis blast.
Pada krisis blast, sel stem yang ganas hanya menghasilkan granulosit muda saja, suatu pertanda
bahwa penyakit semakin memburuk.
Pada saat ini kloroma (tumor yang berisi granulosit) bisa tumbuh di kulit, tulang, otak dan
kelenjar getah bening.

PENYEBAB

Penyakit ini berhubungan dengan suatu kelainan kromosom yang disebut kromosom Filadelfia.

GEJALA

Pada stadium awal, LMK bisa tidak menimbulkan gejala.
Tetapi beberapa penderita bisa mengalami:
- kelelahan dan kelemahan
- kehilangan nafsu makan
- penurunan berat badan
- demam atau berkeringat di malam hari
- perasaan penuh di perutnya (karena pembesaran limpa).

Lama-lama penderita menjadi sangat sakit karena jumlah sel darah merah dan trombosit
semakin berkurang, sehingga penderita tampak pucat, mudah memar dan mudah mengalami
perdarahan.

Demam, pembesaran kelenjar getah bening dan pembentukan benjolan kulit yang terisi dengan
granulosit leukemik (kloroma) merupakan pertanda buruk.

DIAGNOSA

LMK sering terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin.
Jumlah sel darah putih sangat tinggi, mencapai 50.000-1.000.000 sel/mikroliter darah (mornal
kurang dari 11.000).

Pada pemeriksaan mikroskopik darah, tampak sel darah putih muda yang dalam keadaan
normal hanya ditemukan di dalam sumsum tulang.

Jumlah sel darah putih lainnya (eosinofil dan basofil) juga meningkat dan ditemukan bentuk sel
darah merah yang belum matang.

Untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan untuk menganalisa kromosom atau bagian
dari kromosom.
Analisa kromosom hampir selalu menunjukkan adanya penyusunan ulang kromosom.
Sel leukemik selalu memiliki kromosom Filadelfia dan kelainan penyusunan kromosom lainnya.

Leukemia mielositik kronik
Krisis

PENGOBATAN

Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya memperlambat
perkembangan penyakit.
Pengobatan dianggap berhasil apabila jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang
dari 50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan
semua sel leukemik.

Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan pencangkokan sumsum tulang.
Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium awar dan kurang efektif jika dilakukan
pada fase akselerasi atau krisis blast.

Obat interferon alfa bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi.

Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk
penyakit ini.
Busulfan juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya
tidak boleh terlalu lama.

Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel leukemik.
Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk:
- mengurangi rasa tidak nyaman di perut
- meningkatkan jumlah trombosit
- mengurangi kemungkinan dilakukannya transfusi.

PROGNOSIS

Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan
setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya.

Banyak penderita yang betahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya
terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.

Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa
memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan.




Leukemia Limfositik Kronik
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar limfosit (salah satu
jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran kelenjar getah bening.

Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3 kali lebih sering menyerang pria.

Pada awalnya penambahan jumlah limfosit matang yang ganas terjadi di kelenjar getah bening.
Kemudian menyebar ke hati dan limpa, dan keduanya mulai membesar.

Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga
terjadi anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah.
Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk melawan infeksi) juga berkurang.

Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari luar, seringkali
menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan tubuh yang normal.
Hal ini bisa menyebabkan:
- penghancuran sel darah merah dan trombosit
- peradangan pembuluh darah
- peradangan sendi (artritis rematoid)
- peradangan kelenjar tiroid (tiroiditis).

Beberapa jenis leukemia limfositik kronik dikelompokkan berdasarkan jenis limfosit yang
terkena.
Leukemia sel B (leukemia limfosit B) merupakan jenis yang paling sering ditemukan, hampir
mencapai 3/4 kasus LLK.
Leukemia sel T (leukemia limfosit T) lebih jarang ditemukan.

Jenis yang lainnya adalah:
- Sindroma Szary (fase leukemik dari mikosis fungoides)
- leukemia sel berambut adalah jenis leukemia yang jarang, yang menghasilkan sejumlah besar
sel darah putih yang memiliki tonjolan khas (dapat dilihat dibawah mikroskop).

PENYEBAB

Penyebabnya tidak diketahui.

GEJALA

Pada stadium awal, sebagian besar penderita tidak memiliki gejala selain pembesaran kelenjar
getah bening.

Gejala yang timbul kemudian bisa berupa:
- lelah
- hilang nafsu makan
- penurunan berat badan
- sesak nafas pada saat melakukan aktivitas
- perut terasa penuh karena pembesaran limpa.

Pada stadium awal, leukemia sel T bisa menyusup ke dalam kulit dan menyebabkan ruam kulit
yang tidak biasa, seperti yang terlihat pada sindroma Szary.

Lama-lama penderita akan tampak pucat dan mudah memar.
Infeksi bakteri, virus dan jamur biasanya baru akan terjadi pada stadium lanjut.

DIAGNOSA

Kadang-kadang penyakit ini diketahui secara tidak sengaja pada pemeriksaan hitung jenis darah
untuk alasan lain.
Jumlah limfosit meningkat sampai lebih dari 5.000 sel/mikroL.

Biasanya dilakukan biopsi sumsum tulang.
Hasilnya akan menunjukkan sejumlah besar limfosit di dalam sumsum tulang.

Pemeriksaan darah juga bisa menunjukkan adanya:
- anemia
- berkurangnya jumlah trombosit
- berkurangnya kadar antibodi.
Leukemia limfositik kronik
Sumsum tulang

PENGOBATAN

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak
memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak,
kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit.

Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang
pembentukan sel-sel darah merah).

Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit.
Infeksi diatasi dengan antibiotik.

Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa.

Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat
banyak.
Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia
yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian
jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping.

Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan
mempengaruhi DNAnya.
Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.


PROGNOSA

Sebagian besar LLK berkembang secara perlahan.
Prognosisnya ditentukan oleh stadium penyakit.

Penentuan stadium berdasarkan kepada beberapa faktor, seperti:
- jumlah limfosit di dalam darah dan sumsum tulang
- ukuran hati dan limpa
- ada atau tidak adanya anemia
- jumlah trombosit.

Penderita leukemia sel B seringkali bertahan sampai 10-20 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis dan biasanya pada stadium awal tidak memerlukan pengobatan.

Penderita yang sangat anemis dan memiliki trombosit kurang dari 100.000/mikroL darah, akan
meninggal dalam beberapa tahun.
Biasanya kematian terjadi karena sumsum tulang tidak bisa lagi menghasilkan sel normal dalam
jumlah yang cukup untuk mengangkut oksigen, melawan infeksi dan mencegah perdarahan.

Prognosis leukemia sel T adalah lebih buruk.


c. Protokol pengobatan leukemia granulosit kronik (LGK)
1) INDUKSI : bila leukosit 50.000/ml myleran 6 mg/hr s/d leukosit 5 15.000 mg, kemudian istirahat 3
minggu, selanjutnya teruskan dengan maintenance
2) Maintenance : Myleran
15.000 :
15-25.000 : 2 mg/hari (7 hari)
25-35.000 : 4 mg/hari (7 hari)
35.000 : 6 mg/hari (7 hari)
3) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) 500 mg (menurut AZL)
Dosis : 15-25 mg/kg BB dalam 2 jam dosis peroral
4) Pengobatan dengan Hydroxpurea (HYDREA) menurut anjuran pembuat obat

BB
(kg)
Terapi INTERMITEN
(80 mg/kg BB, setiap 3 hari
sebagai dosis tunggal)
Terapi CONTINUOUS
(20-30 mg/kg BB, setiap hari
dosis tunggal)
10 1 kapsul kapsul
15 2 kapsul 1 kapsul
10 3 kapsul 1 kapsul
10 5 kapsul 2 kapsul
10 6 kapsul 2 kapsul
10 8 kapsul 3 kapsul
10 10 kapsul 3 kapsul
10 11 kapsul 4 kapsul
10 13 kapsul 4 kapsul
10 14 kapsul 5 kapsul
100 16 kapsul 6 kapsul
Efek samping :
supresi sumsum tulang : leukopenia, terombositopenia, anemia.
Anoreksia, nausea, vomiting, nyeri kepala, pusing, stomatitis,alopesia, skin rash, melena,
nyeri perut, diorientasi, edema paru.














Pendahuluan
Leukemia mielositik kronik (LMK) atau chronis myeloid leukemia atau chronic myelogenous leukemia atau
chronic granulocytic leukemia (ICD-9 CM 201.1) adalah gangguan mieloproliferatif atau gangguan clonal stem
cell yang ditandai dengan meningkatnya proliferasi sel mieloid atau granulocytic cell line tanpa kehilangan
kemampuan untuk berdiferensiasi. LMK disebabkan oleh defek genetik didapat atau abnormalitas sitogenik
yaitu kromosom Philadelphia (Ph).
Insiden dan Etiologi
LMK ditemukan kira-kira 15% dari semua leukemia, serta ditemukan 3% dari semua leukemia pada anak-anak.
Insiden leukemia mielositik kronik adalah 1-2 kasus per 100.000 penduduk tiap tahun. LMK dapat terjadi pada
semua umur, meningkat tiap dekade umur, sehingga lebih banyak dijumpai pada orang dewasa. Penyakit ini
lebih banyak dijumpai pada laki-laki dengan rasio 2,2:1,3 terhadap wanita.
Penyebab LMK pada kebanyakan pasien tidak diketahui, namun risiko LMK meningkat setelah terpapar
radiasi.
Gambaran Klinik
Sekitar 40% tidak menunjukkan gejala (asimtomatis), lebih dari 50% kasus LMK terdeteksi secara kebetulan
saat dilakukan tes darah rutin.
LMK dibagi 3 fase, yaitu kronik, akselerasi, dan blast crisis.
[Fase Kronik]
Gejala: fatigue, penurunan berat badan, rasa penuh di perut dan anoreksia, mudah memar atau timbul
perdarahan, nyeri perut, demam.
Tanda dan gambaran laboratorium: splenomegali, sternal tenderness, limfadenopati, hepatomegali, purpura,
perdarahan retina, leukositosis, trombositosis, anemia.
[Fase Akselerasi]
Gejala: demam, keringat malam, penurunan berat badan, splenomegali refrakter, nyeri tulang.
Tanda dan gambaran laboratorium: basofilia di darah tepi >20%, blast di darah tepi >15%, blast dan
promielosit di darah tepi >30%, blast di sumsum tulang >10%, basofil atau eosinofil di sumsum tulang >10%,
evolusi klonal sitogenetika, leukositosis, hematokrit <25%, trombositopenia, tidak responsif terhadap terapi
antileukemia, fibrosis kolagen atau retikulin sumsum tulang meningkat.
[Fase Blast Crisis]
Gejala: sama dengan fase akselerasi, limfadenopati.
Tanda dan gambaran laboratorium: blast di darah tepi dan sumsum tulang >30%, clumps of blast pada
evaluasi sumsum tulang, chloroma blastik ekstrameduler.
Patofisiologi Molekular
Kromosom Ph (Philadelphia) dapat diidentifikasi melalui analisis sitogenik darah atau sumsum tulang dan
ditemukan lebih dari 90% pada penderita LMK. Protein p210 ditemukan pada 95% penderita LMK. Protein
p190 jarang terjadi pada LMK, sekitar 40-80% terdapat pada kasus leukemia limfoblastik akut (LLA) Ph-positif,
sedangkan p230 ditemukan pada kasus leukemia netrofilik kronik.
Sel LMK fase kronik responsif terhadap faktor pertumbuhan, menunjukkan apoptosis yang kurang, adanya
altered adhesion dan mengaktivasi hematopietic signaling pathways. Setelah fase kronik (sekitar 3-5 tahun),
LMK biasanya mengarah ke fase blast crisis. Walaupun c-abl dan bcr dipercaya sebagai penyebab utama fase
kronik, namun progresi ke blast crisis ini memerlukan perubahan molekular lain.
Diagnosis
Tes laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis LMK adalah:
[Tes hematologi]
Tes darah rutin:
= Anemia ringan sampai berat.
= Leukositosis, biasanya lebih dari 25000/mm3.
= Basofilia dan eosinofilia.
= Jumlah trombosit normal atau meningkat.

Evaluasi darah tepi:
= Anemia normositik normokrom.
= Terdapat normoblast.
= Ditemukan semua stadium maturasi dari seri granulosit dengan sel predominan neutrofil matur, metamielosit,
dan mielosit.
= Basofilia dan eosinofilia.
Evaluasi sumsum tulang:
= Hiperseluler dengan hiperplasia granulopoietik.
= Rasio sel mieloid dan eritroid meningkat.
= Erythroid hypoplasia.
= Jumlah megakariosit biasanya meningkat.
= Blast dan promielosit kurang dari 10% dari semua sel.
= Basofilia, eosinofilia.
Pewarnaan sitokimia: Tes Neutrophil Alkaline Phospatase (NAP):
= Pada sekitar 95% pasien LMK, aktivitas NAP rendah, bahkan mungkin turun hingga nol.
[Tes kimia]
= Kadar asam urat serum dan urin meningkat.
= Kadar vitamin B12 serum dan protein pengikat vitamin B12 meningkat.
= Aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) serum meningkat.
[Tes imunologi]
= Terminal deoxynucleotidyl transferase (Tdt) positif pada sekitar 30% pasien pada fase blast crisis.
Analisis Sitogenetika dan Genetika Molekuler
Metode untuk mendeteksi kromosom Ph antara lain: sitogenetik konvensional, analisis Southern Blot untuk
mendeteksi BCR-ABL, RT-PCR, imunoprepitisasi untuk mendeteksi protein abnormal, dan fluorescence in situ
hydridization (FISH). Untuk tes sitogenetika sebaiknya sampel diambil dari aspirasi sumsum tulang, meskipun
bisa juga dari buffy coat darah tepi. Analisis sitogenetika memiliki sensitivitas yang rendah (1-5%).
Terapi
Tujuan terapi LMK adalah untuk mencapai: remisi hematologik (jumlah sel normal), remisi sitogenetik
(kromosom normal dengan 0% sel Ph-positif) dan pada akhirnya diupayakan mencapai remisi molekular (hasil
PCR negatif terhadap mutasi BCR-ABL m-RNA).
1] Terapi obat mielosupresif
= Busulfan (Myleran)
= Hidroksiurea (Hydrea)
2] Interferon alfa
3] Radioterapi dan splenektomi
4] Transplantasi sumsum tulang (bone marrow transplantation, BMT)
5] Leukopharesis
6] Terapi molekular dengan interferon (IFN)-based regimen.
Prognosis
Faktor prognosis buruk pada pasien LMK antara lain: adanya splenomegali, umur yang lebih tua, leukositosis,
jumlah blast atau basofil yang tinggi, trombositosis, trombositopenia, dan evolusi klonal sitogenetik. LMK fase
kronik mempunyai respon yang sangat baik terhadap kemoterapi, kematian jarang terjadi pada fase kronik.
Penutup
LMK ditandai dengan abnormalitas sitogenik yaitu kromosom Philadelphia. Diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang.







BCR-ABL adalah fusi antara dua gen, yaitu BCR dan ABL. Pada orang sehat, gen
BCR terlokasi pada kromosom 22, dan gen ABL pada kromosom 9. Produk dari gen
ABL adalah enzim yang diperlukan dalam proses proliferasi. Akan tetapi ketika
sebagian kromosom 9 pindah ke kromosom 22

Fusi gen BCR ke ABL akibat translokasi kromosom 22 ke kromosom 9
, gen BCR akan terfusi dengan gen ABL yang menyebabkan peningkatan aktifitas
enzim yang sangat tinggi pada protein ABL. Perpindahan atau translokasi
kromosom 9:22 ini dikenali sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Terbentuknya
kromosom Ph ini jarang terjadi pada orang normal tapi hampir selalu (95%)
ditemukan pada kasus kanker darah dengan tipe CML (chronic myeloid Leukemia),
dimana merupakan salah satu contoh terjadinya kerusakan genetik pada sel punca
(stem cell) darah. Bukti yang menunjukkan bahwa kromosom Ph adalah penyebab
CML terlihat pada uji mencit yang telah direkayasa untuk mengekspresikan
kromosom Ph (BCR-ABL), dimana mencit itu menderita CML seperti CML manusia

Model CML pada mencit transgenik (Miething et al 2007). Itu sebabnya pemeriksaan kromosom Ph
diperlukan untuk menegakkan diagnosa CML.
. Itu sebabnya pemeriksaan kromosom Ph diperlukan untuk menegakkan diagnosa
CML.
Bagaimana periksa BCR-ABL?
Pemeriksaan BCR-ABL secara klasik menggunakan teknik sitogenetik dimana
karyotipe sel diperiksa untuk mencari keberadaan kromosom Philadelphia. Untuk
melakukan teknik sitogenetik memerlukan jumlah sel yang banyak yang biasanya
dikoleksi dari sumsum tulang.
Kini dengan berkembangnya teknologi PCR, pemeriksaan BCR-ABL bisa dilakukan
dengan mengkoleksi dari sel darah tepi saja, tidak perlu dari sumsum tulang. Hal ini
dimungkinkan karena teknik PCR sangat sensitif.
Apa obat yang tepat bagi pasien CML dengan BCR-ABL positif?
Di tahun 1990an, para ilmuwan telah memahami bahwa aktifitas protein BCR-ABL
bisa ditargetkan secara spesifik dengan mengembangkan molekul kimia secara
khusus, yang kini dinamai Glivec (imatinib mesylate, Novartis).

Mekanisme kerja Glivec (Novartis) yang spesifik mengenali BCR-ABL dan menghambat aktifitas
enzimnya
Dengan obat ini, pasien CML mengalami efek samping yang lebih rendah ketimbang
mengkonsumsi kemoterapi yang berbasis hidroksiurea, yang memberikan dampak
kepada sel normal juga. Spesifisitas obat Glivec terjadi karena ia hanya mengenali
enzim ABL yang telah beraktifitas berlebihan akibat fusi dengan BCR.
Apa manfaat pemeriksaan BCR-ABL?
Pemeriksaan BCR-ABL berguna untuk dua hal:
1. Menegakkan diagnosa CML. Hasil tes BCR-ABL positif menunjukkan bahwa
pasien layak diterapi dengan Glivec.
2. Memonitor efektifitas obat Glivec. Pasien CML umumnya memberikan respon
yang cukup baik dengan terapi Glivec dimana sekitar 86% pasien CML masih hidup
setelah 7 tahun di terapi.
Apa keunikan pemeriksaan BCR-ABL di KalGen Laboratory?
Di KalGen, tes BCR ABL dilakukan dengan teknik kuantitatif menggunakan
teknologi Quantitative Reverse Transcript (QRT) PCR secara Real-Time. Manfaat
teknologi ini adalah sampel yang diperlukan cukup sekitar 5 cc darah tepi. Kedua,
hasil pemeriksaan memiliki angka kuantitatif yang didasarkan dengan skala I.S.
(International Scale). Artinya, jumlah BCR-ABL bisa dimonitor sebelum dan
sesudah terapi Glivec. Lebih jauh, penggunaan unit I.S. dalam pelaporan BCR-ABL
berarti sudah menggunakan unit yang diterima secara internasional. Dengan
demikian apabila dirujuk ke luarnegeri, dokter luar negeri juga bisa menafsirkan
angka jumlah BCR ABL secara tepat.
Kedua, apabila pemeriksaan dilakukan secara rutin setiap 3 bulan (menurut standar
guideline tatalaksana internasional seperti NCCN/National Comprehensive Cancer
Network dan ESMO (European Society of Medical Oncology), maka status BCR-ABL
bisa diukur secara seksama. Apabila pengobatan berhasil maka jumlah BCR-ABL
harus mengalami penurunan hingga 1000 kali lipat. Apabila tingkat penurunan ini
tidak tercapai maka ada kekhawatiran bahwa BCR-ABL telah mengalami mutasi
sehingga tidak lagi mempan diterapi Glivec.
Bagi dokter, pemeriksaan secara kuantitatif juga membantu untuk memonitor
apakah pasien mengkonsumsi obat Glivec ini secara rutin. Apabila tidak dikonsumsi
rutin, jumlah BCR-ABL akan naik kembali dan bisa meningkatkan tingkat
keganasan.
Untuk info lebih lanjut silakan konsultasikan ke dokter spesialis hemato onkologi di
rumah sakit rujukan terdekat. atau email ke info@kalgenlab.com.
Syarat pemeriksaan BCR-ABL Kuantitatif QRT PCR:
1. Surat rujukan dari klinisi dokter spesialis onkologi
2. Darah sebanyak 5 cc dipaket dengan es (ice packed) dikirim ke dan harus sampai
di KalGen Laboratory 36 jam sejak darah diambil (Penting: harus menghubungi
anggota tim KalGen sebelum pengiriman. Untuk Indonesia Barat hubungi 021-
70381283, Indonesia Tengah 08151662241, Indonesia Timur 081230373622.
3. Pengiriman sampel darah tidak boleh pada hari Kamis dan Jumat. Kenapa?
KalGen tidak beroperasi pada hari sabtu dan minggu, sehingga ketika sampel
sampai di hari sabtu dan minggu dijamin akan rusak.
4. Lama pemeriksaan maksimum 10 hari kerja sejak sampel diterima di KalGen Lab.
Sampel akan dikerjakan setiap Jumat pagi. Maka selambat-lambatnya sampel harus
sudah sampai hari Kamis.

Anda mungkin juga menyukai