Anda di halaman 1dari 14

Methodology Combined Evaluation of Bone Marrow Aspirate and Biopsy is Superior in

The Prognosis of Multiple Myeloma

Latar Belakang:
Analisis sumsum tulang merupakan elemen penting dalam menegakkan diagnosis multiple
myeloma (MM), terlepas dari temuan imunologi atau radiologi indikatif. Ini memberikan
informasi yang diperlukan tentang tingkat keterlibatan sumsum tulang oleh sel plasma dan
kekhususan morfologisnya. Kriteria minor dan mayor untuk diagnosis menurut definisi
klasifikasi WHO meliputi kategori yang berbeda dari jumlah sel plasma sumsum tulang:
pergeseran dari kelompok 10%-30% ke kelompok >30% sama dengan pergeseran dari
kriteria minor ke mayor, sedangkan < 10% kelompok tidak berkontribusi pada diagnosis.
Aspirasi sumsum tulang (Bone marrow aspiration/BMA) sangat penting untuk evaluasi yang
tepat dari diferensiasi sel plasma. Berdasarkan morfologi sel plasma pada BMA, mieloma
dapat diklasifikasikan menjadi matur, intermedier, imatur, dan plasmablastik. Dibandingkan
dengan BMA, biopsi sumsum tulang trephine (Bone marrow biopsy/BMB) tidak cocok untuk
analisis sel plasma atipikal karena sangat sulitnya identifikasi morfologi plasmablastik,
limfoid, nukleus lobus dan sel plasma polimorfik.
Di sisi lain, infiltrat sel plasma di sumsum tulang dengan peningkatan serat retikulum yang
dapat diamati pada hampir 9% MM lebih disukai diperkirakan dalam BMB daripada BMA
karena retikuloplasia sering menyebabkan aspirasi seluler yang sedikit. Selain itu, penelitian
telah menunjukkan BMB memungkinkan klasifikasi infiltrat sel plasma menjadi tipe
interstisial, nodular, dan difus.
Karena kuantifikasi akurat sel plasma sumsum tulang merupakan langkah penting dalam
diagnosis dan penilaian pasca perawatan diskrasia sel plasma, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk berkontribusi pada pandangan saat ini tentang pentingnya mengevaluasi BMA
dan BMB. Pada saat yang sama, nilai analisis gambar dalam pemeriksaan diagnostik masih
harus ditentukan.

Hasil Penelitian:
Secara umum, BMB yang diwarnai CD138 secara konsisten menunjukkan infiltrasi sel
plasma yang lebih besar dibandingkan dengan BMA. Pada analisis gambar, perangkat lunak
mendeteksi sel dan area sumsum tulang berdasarkan sifat warnanya (panjang gelombang,
intensitas dan saturasi) dan morfometri (ukuran dan bentuk). Persentase rata-rata infiltrat sel
plasma yang tercatat di BMA adalah 29% (kisaran 3%-68%) dan di BMB 50% (kisaran 5%-
100%) ketika dinilai oleh ahli patologi dan 39% (kisaran 1%-99%) dengan penggunaan CIA.
Analisis statistik dengan uji-T untuk sampel independen menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara BMA dan BMB, sedangkan tidak ada perbedaan yang diamati antara jumlah
ahli patologi dan CIA (P = 0,49).

Diskusi:
Kuantifikasi sel plasma di sumsum tulang merupakan langkah penting dalam diagnosis
diskrasia sel plasma. Pada titik ini, orang dapat berargumen bahwa partikel sumsum tulang
yang didapat yang tersebar di BMA cukup untuk diagnosis mikroskopis dalam banyak kasus.
Namun, MM adalah proses fokus, dalam penelitian kami di hampir 20% kasus, dan mungkin
berdampak pada akurasi dan keandalan penilaian persentase sel plasma di BMA. Seperti yang
ditunjukkan di tempat lain, ada perbedaan mencolok dan korelasi yang relatif buruk dalam
menentukan persentase sel plasma sumsum tulang antara BMA dan BMB.
Banyak faktor prognostik telah dilaporkan pada pasien dengan MM dan di antaranya
persentase sel plasma yang tinggi di sumsum tulang juga telah diakui sebagai prediktor yang
andal untuk kekambuhan dalam kasus MM yang diobati. Pada saat diagnosis, sekitar 50%
pasien kami memiliki >50% infiltrasi sel plasma ketika dianalisis pada BMB dan persentase
yang hampir sama dari pasien MM memiliki gambaran sitologi yang tidak menguntungkan,
yaitu morfologi sel plasma atipikal. Pada 59 pasien dengan data tindak lanjut yang tersedia,
penilaian kelangsungan hidup menggunakan analisis Kaplan-Meier mengungkapkan
prognosis yang baik untuk pasien dengan sel plasma berdiferensiasi baik dan <50% infiltrat
tumor sumsum tulang yang diperkirakan dalam BMB. Temuan serupa telah dilaporkan dalam
literatur. Temuan ini mendukung pentingnya mengevaluasi slide BMA dan BMB dalam
diagnosis dan pemantauan perjalanan MM, seperti yang juga disarankan oleh penulis lain.
Diagnosis dan Terapi Terkini Multiple Myeloma

Multiple myeloma (MM) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai oleh
proliferasi klonal sel plasma ganas di sumsum tulang dengan protein monoklonal dalam
serum dan/atau urin serta disfungsi organ terkait disertai dengan morbiditas dan mortalitas
substansial, berupa end-organ damage: gangguan ginjal, hiperkalsemia, lesi tulang litik, dan
anemia. Multiple myeloma merupakan penyakit yang unik karena tes diagnostik dasarnya
hanya mencakup sel darah lengkap dengan hitung diferensial, panel metabolik dasar; serum
kalsium, serum dan elektroforesis protein urin; serta bone survey.
Multiple Myeloma (MM) adalah keganasan sel plasma yang diperoleh dari sebuah klon
tunggal. Keganasan ini ditandai adanya kerusakan skeletal, gagal ginjal, anemia, dan
hiperkalsemia.6 Pematangan dan proliferasi limfosit B matang menjadi sel plasma pada
keadaan normal distimulasi oleh paparan tubuh terhadap antigen dan selanjutnya sel plasma
tersebut akan melepaskan imunoglobulin yang ikut berperan dalam respons imun adaptif
humoral, namun pada kasus MM kontrol terhadap proses ini hilang. Sel ganas akan
terakumulasi pada sumsum tulang dan memproduksi imunoglobulin yang abnormal.
Keberadaan tumor itu sendiri, produk yang dikeluarkan oleh sel tumor (imunoglobulin), dan
respons tubuh terhadap sel tumor menyebabkan berbagai gejala disfungsi organ seperti nyeri
tulang, patah tulang, gagal ginjal, kerentanan terhadap infeksi, anemia, hiperkalsemia,
gangguan koagulasi, gejala neurologis, dan hiperviskositas darah beserta manifestasinya.
Insiden MM berbanding lurus dengan usia, dengan median usia pada saat diagnosis adalah 70
tahun.
Penyebab MM tidak diketahui secara pasti. Hubungan antara risiko terjadinya myeloma
dengan faktor lingkungan, seperti radiasi, paparan racun kimia oleh industri atau pertanian
masih belum jelas. Abnormalitas sitogenetik dan onkogen terjadi pada sebagian besar
penderita myeloma, yaitu DNA hiperploidi pada 75% penderita dan abnormalitas multipel
pada setiap kariotipe.
Multiple Myeloma (MM) secara klinis memiliki gejala yang terangkum dalam istilah
CRAB. CRAB merupakan akronim dari gejala-gejala MM berupa hypercalcemia, renal
failure, anemia, dan lytic bone lession.11 Nyeri tulang adalah gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh pasien MM, dan gejala ini dijumpai pada 70% dari seluruh pasien MM.
Nyeri pada kasus MM dipresipitasi oleh gerakan. Hal ini berbeda dengan nyeri pada
metastasis karsinoma yang karakteristik nyerinya tidak dipresipitasi oleh gerakan dan
terutama terjadi pada malam hari. Nyeri yang terlokalisasi dan terjadi secara persisten dapat
merupakan pertanda adanya fraktur patologis.
Peningkatan kreatinin serum terjadi pada hampir 50% pasien MM. Lebih dari 20%
pasien MM memiliki kreatinin serum >2 mg/dl. Anemia normokromik normositik terjadi
pada 73% pasien MM. Pemeriksaan radiografi dada dan tulang dapat menunjukkan adanya
lesi litik atau osteopenia difus. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya
anemia dan peningkatan laju endap darah (LED). Kadar kalsium serum, urea nitrogen serum,
kreatinin serum, dan asam urat serum dapat meningkat. Elektroforesis protein (ELP) serum
atau urin berguna untuk mendeteksi dan mengidentifikasi adanya M spikes.
Diagnosis MM ditegakkan dengan adanya plasmasitosis (≥10%) pada pemeriksaan
sumsum tulang atau pada plasmasitoma melalui biopsi ditambah bukti adanya satu atau lebih
MDE (myeloma defining event), yaitu CRAB (hypercalcemia, renal failure, anemia, dan lytic
bone lession) yang sudah ditegakkan serta tiga biomarker spesifik: sel plasma sumsum tulang
klonal ≥60%, rasio serum free light chain (FLC) ≥100 (FLC ≥100 mg/l), dan terdapat 1 atau
lebih lesi fokal pada MRI (dengan ukuran minimal 5 mm).
IMWG baru-baru ini mengembangkan sistem ISS yang direvisi (Revised International
Staging System/R-ISS) yang dianggap lebih mampu memprediksi prognosis dibanding sistem
ISS sebelumnya. R-ISS memasukkan faktor-faktor yang sebelumnya sudah ada dalam ISS
(kadar mikroglobulin β2 dan albumin serum) ditambah dengan kadar LDH serum serta
abnormalitas kromosom risiko tinggi seperti yang terlihat pada tabel 5
Stadium Overall survival 5 tahun (%)
Stadium I Semua hal di bawah ini: 82
• Albumin serum >3,5 mg/dl
• Mikroglobulin β2 serum ,3,5 mg/l
• Tidak terdapat sitogenetik risiko tinggi
• Kadar LDH serum normal
Stadium II 62
• Tidak termasuk stage I atau III
Stadium III 40
Semua hal dibawah ini:
• Mikroglobulin β2 serum >5,5 mg/l
• Sitogenetik risiko tinggi [t(4;14), t(14;16),
atau del(17p)] atau kadar LDH serum
meningkat.

Obat-obat yang digunakan dalam tata laksana MM bekerja melalui berbagai


mekanisme, beberapa di antaranya tidak sepenuhnya dipahami. Thalidomide, lenalidomide,
dan pomalidomide disebut agen imunomodulator (IMiDs); mereka berikatan dengan cereblon
dan mengaktifkan aktivitas cereblon E3 ligase. Hal ini menghasilkan ubiquitination proteins
Ikaros (IKZF 1) dan Aiolos (IKZF3). Obat ini dapat menyebabkan sitotoksisitas langsung
dengan menginduksi kerusakan DNA yang dimediasi oleh radikal bebas. Selain itu, obat ini
juga memiliki sifat antiangiogenesis, penghambatan tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan
efek imunomodulator. , dan ixazomib adalah golongan proteasome inhibitor. Elotuzumab
adalah terapi tertarget yang bekerja pada SLAMF7; daratumumab dan isatuximab bekerja
pada target CD38; sementara panobinostat adalah suatu deacetylase inhibitor.
Pada terapi awal pasien MM yang memenuhi syarat untuk ASCT umumnya pasien
dirawat dengan sekitar 3-4 siklus terapi induksi sebelum pengambilan sel punca. Setelah
panen, pasien dapat menjalani ASCT frontline atau melanjutkan terapi induksi, menunda
ASCT hingga kambuh pertama. Ada banyak pilihan untuk terapi awal yang juga dapat
digunakan pada saat kambuh. Secara umum, regimen dexamethasone dosis rendah (40 mg
sekali seminggu) lebih disukai di semua regimen untuk meminimalisasi toksisitas. Dalam uji
coba acak yang dilakukan oleh Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG), pendekatan
dexamethasone dosis rendah dikaitkan dengan OS yang superior dan toksisitas yang secara
signifikan rendah. Pada pasien dengan multiple myeloma yang baru didiagnosis dan bukan
kandidat untuk ASCT karena faktor usia atau penyakit penyerta lainnya, pilihan utama untuk
terapi awal adalah VRd dan DRd. Meskipun regimen berbasis melphalan telah diuji secara
ekstensif pada kelompok pasien ini, melphalan tidak direkomendasikan karena adanya
kekhawatiran tentang kerusakan sel punca dan risiko sindrom myelodysplastic sekunder serta
leukemia. Di Amerika Serikat, kelayakan transplantasi tidak ditentukan oleh batasan usia
yang ketat, dan banyak pasien yang terdaftar dalam uji klinik berbasis melphalan akan
digolongkan sebagai kandidat ASCT.
Terapi suportif simtomatik untuk mencegah morbiditas dari komplikasi yang ditimbulkan
oleh MM: • Transfusi darah pada penderita yang anemia
• Pengobatan terhadap gagal ginjal kronis
• Pengobatan terhadap infeksi
• Pengobatan terhadap hiperurisemia
• Pengobatan patah tulang dan gangguan neurologis
• Radiasi untuk penderita dengan lesi osteolitik yang terasa sangat nyeri dan soliter

Terapi suportif pasien MM meliputi terapi dini terhadap infeksi, mengendalikan


hiperkalsemia dengan glucocorticoid, hidrasi, dan natriuresis. Pemberian bisphosphonate
dalam jangka panjang dapat mengurangi kerusakan skeletal. Nefropati akibat hiperurisemia
dan dehidrasi harus dihindari untuk mencegah terjadinya gagal ginjal.
FLAMMING CELLS DI MULTIPLE MYELOMA

Multiple myeloma adalah tipe kanker sel plasma yang ditandai dengan adanya
produksi antibody berlebihan dari sel sel sistim imun sumsum tulang. Multiple myeloma
adalah tumor ganas pratama (primer) sumsum tulang (SST) yang ditandai dengan
pertumbuhan dan proliferasi abnormal sel plasma disertai hasil (produksi) immunoglobulin
monoclonal. Multiple Myeloma yang juga dikenal sebagai penyakit tumor sel plasma atau
Kahler's disease
Etiologi MM tidak diketahui secara jelas. MM ditemukan lebih banyak di rumpun
bangsa (ras) Afrikan-Amerikan dibandingkan dengan Kaukasian, laki-laki usia 65 Tahun.
MM merupakan penyebab keganasan (kanker) hematologis terbanyak kedua (10%) setelah
Lymfoma Non Hodgkin, sekitar 1% dari semua jenis keganasan dan sekitar 2% penyebab
kematian di semua kanker.
Patogenesis MM diawali adanya hasilan (produksi) sel plasma yang tidak terkendali
(uncontrol) yang berdampak di produksi imunoglobulin monoclonal (protein M, protein
myeloma atau paraprotein) nirfungsi (nonfungsional) yang berlebihan serta, merangsang
hasilan (stimulasi produksi) IL-6 yang berperan dalam kegiatan (aktivitas) sel penyerap
tulang (osteoklas) menghasilkan jejas tulang terurai (bone lytic lesions) sebagai penanda
(hallmark) MM dengan penampakan (manifestasi) nyeri tulang sehingga sering disalahartikan
dengan kanker tulang (bone cancer).
Protein M ditemukan dalam bentuk IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE dan/atau keluar
kemih protein (BenceJones proteinuria) yang terdiri dari Kappa(k) dan lambda (l), dan dapat
ditemukan secara bersamaan dalam tubuh dengan perbandingan (proporsi) yang berbeda. Di
antara jenis (tipe) Ig yang tersering ditemukan adalah IgG (60–70%) dan IgA (20%).
Flaming cells (plasma flame cell) merupakan modifikasi sel plasma seperti yang
digambarkan pertama kali oleh Undritz dengan gambaran tepi/pinggir sitoplasma yang
umbai-umbai seperti nyala api (fiery fringers) berwarna merah hingga lembayung. Sel ini
secara sederhana (klasik) berhubungan dengan multiple myeloma IgA.
Gejala klinik beragam bergantung banyaknya alat tubuh (organ) yang terlibat. Dikenal
empat (4) yang disingkat "KGKdT/CRAB" yang terdiri dari C: kalsium/calcium
(meninggi/elevated), R:gagal/kekurangan fungsi ginjal (renal failure/insufficiency), A:
anemia dan B: tulang (bone)
Bakuan (standar) diagnosis MM ditetapkan bila ditemukan paling sedikit (minimal)
satu
patokan utama (kriteria mayor) dan satu patokan kecil (kriteria minor) atau tiga kriteria
minor.

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berumur 47 tahun masuk instalasi rawat darurat (IRD) RS Labuang
Baji (RSLB)
Makassar pada tanggal 4 Mei 2008 dikirim oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan
diagnosis
sementara nyeri sengal pangkal paha (ischialgia).
ANAMNESIS
Anamnesis penderita sendiri (autoanamnesis) Keluhan utama nyeri tungkai kanan
dialami sejak satu bulan yang lalu, semakin berat sejak satu minggu yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan mulai dari pinggang menjalar ke tungkai kanan dan berkurang
bila istrahat. Riwayat penyakit sebelumnya tularan (infeksi) saluran kemih (ISK) berulang (2
kali) dialami pasien dalam 6 bulan terakhir. Riwayat pekerjaan nakhoda kapal barang selama
25 tahun. Riwayat keluarga untuk penyakit yang sama tidak ada.
Pemeriksaan Ragawi (fisik)
Keadaan umum: sadar (compos mentis)
Tanda kehidupan (vital):
Tekanan darah 130/80 mmHg
Nadi 80 ×/menit teratur (reguler)
Pernapasan 36×/menit
Suhu 37,3° C.
Kepala: selaput kelopak mata dalam (konjungtiva) pucat. Leher, dada (thorax) dan perut
(abdomen) tidak ada kelainan
Anggota badan (Ekstremitas) bawah: pergerakan tungkai kanan terbatas disertai nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
Tes Laboratorium:
Hasil memeriksa laboratorik ditemukan:
Darah lengkap: ditemukan Hb 5,3 g/dL, eritrosit 1.900.000/mm3, hematokrit 16,6%, MCV
87,1 fL, MCH 27,7 pg, MCHC 31,8 g/dL, RDW 19,9%, leukosit 4200/mm3 (hitung jenis
leukosit: limfosit 2.100/mm3, monosit 400/mm3, granulosit 1700/mm3), trombosit
153.000/mm3, laju endap darah (LED) 140 mm/jam Pemeriksaan air kemih lengkap: pH 5,5,
BJ 1,020, protein 10 mg/dL, leukosit 10/µL, (darah, bilirubin dan keton negatif),
mikroskopik: eritrosit 1/lpb, leuko 1–2/lpb, sel epitel 3–5/lpk.
Protein urin (Esbach): 1 gr/24 jam
Kimia darah: Gula darah sewaktu 98 g/dL, SGOT 18 U/L, SGPT 12 U/L, bilirubin jumlah
keseluruhan (total) 0,25 mg/dL, bilirubin langsung (direk) 0,10 mg/dL, kolesterol 68 mg/dL,
LDL 52 mg/dL, HDL 13 mg/dL, albumin 2,5 g/dL, protein total 14,5 g/dL, ureum 33,6
mg/dL, kreatinin 2,44 mg/dL, asam urat 11,9 mg/dL, kalsium 8,8 mg/dL, LDH serum 476
U/L, CRP 12 µg/mL, IgA 9 g/dL.
Hapusan darah tepi: pada pewarnaan May-GrunwaldGiemsa (MGG) ditemukan anemia
normositik normokrom dengan pengaturan dan bentuk (Rouleaux formation).
Air kemih protein (Bence Jones Proteinuria): positif
Pemeriksaan serologik: SPE (serum protein electrophoresis): M runcing (spike) dengan
gamaglobulin = 11,05 (76,2%), total protein 14,5 g/dL dan hipoalbuminemia (2,5 g/dL)
Pemeriksaan radiologis
foto pinggul (pelvis) dan tulang kelangkang pinggang (lumbosakral) AP/Lateral
ditemukan ada patah tekanan (fraktur kompressi) di T12-L1 (torakal 12–lumbal 2) dan radang
ruas tulang belakang (spondilitis) (dugaan kelainan hematologis).
Lebih lanjut di sigian tulang (Bone survey) ditemukan pelunakan tulang berganda (osteolitik
multiple) kecil-kecil (lytic bone lesion) di tulang belikat (ossa scapula), tulang selangka
(klavikula), tulang lengan atas (humerus), kerangka kubah tengkorak (kalvaria kranii), dan
tulang rusuk (kosta)
DIAGNOSIS
Sel fleming (Flaming cells) di multipel mieloma stadium (Multiple myeloma stadium)
IIIB Ramalan jalannya penyakit (prognosis) MM stadium IIIB: jelek
PEMBAHASAN
Multiple myeloma umumnya tanpa gejala (asimptomatis) di masa penyakit (stadium)
awal, sehingga sering terdiagnosis secara kebetulan (insidentil) saat seorang pasien/penderita
menjalani pemeriksaan kegiatan biasanya (rutin) untuk jenis penyakit yang lain (berbeda)
seperti penderita ini masuk RSLB dengan keluhan nyeri tungkai kanan.
Manifestasi gejala klinik MM terjadi akibat periapan (proliferasi) dan
pelompokan/akumulasi sel plasma berlebihan dalam sumsum tulang dan proses patologis
yang terjadi akibat produksi protein M (IgG, IgA, IgD, IgE) berlebihan dan/atau Bence-Jones
proteinuria(k dan l) atau pesusun (komponen) protein M yang dicirikan dengan M-spike di
SPE atau UPE.
Dominasi sel plasma tersebut berdampak pada penekanan produksi semua tipe sel
darah menyebabkan anemia, trombositopenia dan leukopenia sehingga mudah terserang
tularan (infeksi) kambuhan (rekuren) seperti ISK (infeksi saluran kemih) berulang di kasus
ini. Di sisi lain pertumbuhan sel myeloma akan merusak struktur normal tulang baik secara
langsung melalui mekanisme invasif oleh pertumbuhan plasmositoma atau melalui
pengaktifan (mekanisme aktivasi) osteoklast menghasilkan jejas tulang melarut (bone lytic
lesion)yang bertanda khas penyakit (patognomonik) untuk MM.
Gejala klinik tersering berupa nyeri tulang (70%) hiperkalsemia, gejala kelikatan
meninggi (hiperviskositas) yang muncul ketika kepekatan (konsentrasi) protein sangat tinggi
dalam darah yang ditandai dengan napas pendek, pusing dan nyeri dada. Di kasus ini
ditemukan protein total 14,5 mg/dL dengan komponen M tertinggi di daerah (area)
gamaglobulin 11,05 g/dL (76,2%) dan Bence Jones protein dalam urine. Hal ini menunjukkan
telah terjadi kelebihan (over) produk imunoglobulin monoklonal, tetapi belum ada gejala
sindrom hiperviskositas. Serum kalsium masih dalam batas normal meskipun di hasil bone
survey ditemukan ada lesi tulang di beberapa tempat. Diagnosis dan peringkat (staging) MM
sangat diperlukan sehubungan dengan prognosis dan rencana terapi yang tepat guna (efektif).
Bakuan pengobatan (standar terapi) multiple myeloma menggunakan pengobatan
kimiawi (kemoterapi) atau terapi antikanker dengan kombinasi melphalan dan prednisone
(MP). Biasanya obat diberikan setiap 3–4 minggu selama 6–9 bulan atau lebih. MP dapat
memberikan pengurangan
(reduksi) kadar protein M sampai 50%. Terapi lainnya berupa terapi terkait gejala
(simptomatik) seperti: pemberian cairan darah (transfusi) untuk anemia berat, pemisahan
plasma (plasmapharesis), allopurinol untuk menurunkan asam urat.
Protein monoklon immunofixation perlu diuji (tes) untuk variasi Ig dan menentukan
tipe imunoglobulin monoklon yang penting untuk prognosis dan diagnosisnya yang lebih
spesifik.

Karakteristik Klinis, Radiografis dan Biokimia dari Pasien Multiple Myeloma


dengan Osteonekrosis pada Rahang

Penyakit tulang mencakup berbagai kondisi termasuk osteoporosis pascamenopause,


penyakit Paget, metastasis di payudara, paru-paru, prostat, dan kanker lainnya, dan
keterlibatan sel tumor primer pada multiple myeloma (MM). Osteoporosis pascamenopause
menyebabkan 1,5 juta fraktur tulang per tahun. Meskipun insiden yang tepat dari metastasis
tulang dari kanker tidak diketahui, diperkirakan >350.000 orang amerika meninggal karena
metastasis pada tulang setiap tahunnya.
ONJ (Osteonekrosis pada Rahang) telah dilaporkan pada pasien yang diterapi
menggunakan aminobi sphosphonates. Sebagian besar laporan kasus yaitu pasien dengan
MM atau metastasis payudara dan kanker prostat, dan juga beberapa pasien dengan
osteoporosis. Sebagian besar studi melaporkan kasus dengan perkiraan insidensi dan
frekuensi yang belum jelas. Studi-studi ini telah menyarankan hubungan dengan bifosfonat,
namun peran bifosfonat dalam patogenesis ONJ masih harus ditentukan.
Pasien diidentifikasi secara retrospektif dari pasien MM yang menerima atau telah
menyelesaikan terapi aminobifosfonat dengan ONJ yang terdokumentasi secara klinis.
Kriteria untuk diagnosis ONJ adalah tulang yang terpapar di daerah maksilofasial yang terjadi
secara spontan atau diakibatkan oleh operasi bedah pada gigi dan menunjukkan
penyembuhan tertunda setelah setidaknya 6 minggu pasca perawatan, tanpa perawatan radiasi
sebelumnya pada bagian kepala dan leher. Terdapat delapan pria dan tiga wanita memiliki
penyakit tulang pada waktu dimulainya terapi bisphosphonat. Waktu rata-rata dari MM
sampai terjadinya ONJ adalah 54 bulan (dengan jarak antara 12-111 bulan). Perawatan untuk
MM termasuk melphalan dosis tinggi dan transplantasi autologus stem sel, bortezomib,
thalidomide, lenalidomide, terapi kemoterapi konvensional.
Bisphosphonat adalah analog pyrofosfat dengan penambahan rantai saming. Satu rantai
samping biasanya bagian hidroksil dengan afinitas tinggi untuk kristal hidroksiapatit dan
kalsium, bagian lain memungkinkan untuk penambahan atom nitrogen untuk menambahkan
potensi obat, sehingga konsentrasi tinggi dapat dipertahankan pada tulam dalam waktu yang
lebih lama. Walaupun bisphosponat dikaitkan dengan ONJ, perannya dalam patofisiologi
masih harus didefinisikan. Gangguan pada homeostasis normal pada tulang yang disebabkan
oleh bisposphonat dapat menyebabkan akumulasi kerusakan mikro, sehingga mempengaruhi
kepadatan tulang. Efek antiangiogenik dari bisphosponat mungkin juga dapat berpengaruh,
namun predileksi dari ONJ pada maksila dan mandibula tidak hanya disebabkan oleh
vaskularitas dari tulang, karena pada maksila, tidak seperti mandibula, memiliki supply
vaskuler yang banyak dan sering kali terlibat. Sebaliknya, kurangnya perbaikan kerusakan
fisiologis secara mikro, kekuatan mengunyah yang tinggi, kebutuhan remodeling tilang akibat
adanya ekstraksi dan terbukanya soket gigi dapat menjadi penyebab berkembangnya ONJ.
Rekomendasi terkini untuk menghindari terjadinya ONJ adalah dengan tidak melakukan
tindakan invasif pada gigi dan melakukan perawatan gigi dan periodontal secara hati-hati
pada pasien bisphosponat.
Walaupun bisphosphonat menguntungkan untuk pasien MM, ONJ menampilkan
keadaan klinis sebaliknya pada pasien dan dua tindakan dilakukan untuk menghindari
terjadinya ONJ. Pertama dilakukan beberapa terapi terapi seperti menargetkan protein
makrofag inflamasi 1a, RANK-1, dan OPG sedang dalam masa evaluasi klinis untuk dapat
digunakan dalam perawatan penyakit tulang. Kedua, regimen alternatif dari bisphosphonat
direkomendasikan diberikan secara terbatas. Sebagai contoh, konsensus Mayo klinik
menyatakan penggunaan bisphosponat pada pasien MM selama 2 tahun, bila lebih dari 2
tahun maka bisphosponat digunakan dalam dosis yang dikurangi dan hanya pada pasien yang
memiliki penyakit tulang yang signifikan.
Hubungan Sitokin Tulang Plasma Dengan Hiperkalsemia Pada Pasien Kanker

1. Pendahuluan
Hiperkalsemia adalah temuan umum pada pasien kanker, terutama pada stadium
lanjut. Factor humoral yang dihasilkan oleh tumor akan meningkatkan resoksi tulang
yang di mediasi osteoplastic dan atau meningkatkan reapsorbsi kalsium ginjal yang
mennyebabkan hiperkalsemia.
Pasien hiperkalsmia berbeda dengan pasien dengan hiperparatiroidisme primer,
biasanya mengalami penurunan 1,25 (OH) dan bone tour over yang tidak
berpasangan.
.
2. Pembahasan
Diantara tumor yang mempengaruhi metabolisme tulang L-1 dan 14pa
ketidaknormalan resorpsi tulang yang ditentukan oleh tumor skuamosa dan
hematologis. Sitokin ini dan TGFa produk tumor umum lainnya bekerja secara
sinergis dengan pthp untuk meningkatkan hiperkalsemia pada hewan pengerat in vivo.
Dalam penelitian ini, nilai TGFa dalam plasma lebih rendah pada pasien HT,
dibandingkan dengan kelompok CT. dengan adanya kreatinin serum rata-rata yang
lebih tinggi pada kelompok sebelumnya dibandingkan kelompok terakhir. Selain itu,
kami menemukan hubungan yang signifikan antara hiperkalsemia dan kada IL-1b
plasma yang rendah (yang dikawinkan secara berlebihan, berdasarkan pendekatan
yang dijelaskan pada bagian 2) dan TGFa yang tidak bergantung pada kadar pthrP
plasma pada pasien kanker. Dalam penelitian ini kami menemukan bahwa kadar
serum ICTP penanda resorpsi tulang secara signifikan lebih tinggi pada pasien HT
dibandingkan pada pasien CT dan berkorelasi dengan kalsium serum terkoreksi.
Namun tidak ada korelasi yang diamati antara penanda ini dalam serum dan IL-6 atau
salah satu sitokin lain yang dipelajari dalam plasma pada pasien HT. Diambil
bersama-sama data ini menunjukkan bahwa sitokin tulang ini yang disekresikan oleh
jumlah dan sel imun tampaknya tidak berkontribusi langsung terhadap hiperkalsemia
pada subjek kanker. Dalam penelitian ini kami tidak menemukan TNFa plasma dan
hiperkalsemia pada pasien dengan berbagai jenis tumor. Ringkasnya kami
menemukan bahwa beberapa sitokin osteolitik tidak meningkat pada plasma pasien
kanker dengan hiperkalsemia dan PTHP plasma tinggi. Oleh karena itu konsentrasi
sistemik sitokin ini tampaknya tidak meningkat oleh PTHP pasien kanker.

Anda mungkin juga menyukai