Anda di halaman 1dari 14

Kepada Yth :

Hari/Tanggal : Senin/21-11-2016, pukul 08.00 WITA


Rencana Baca : Rg. Pertemuan RS Unhas Gedung A Lt.4
Referat Hematologi

CHRONIC MYELOMONOCYTIC LEUKEMIA


Chelvi Wijaya, Agus Alim Abdullah, Mansyur Arif
Departemen Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS/ RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar

I. PENDAHULUAN
Chronic Myelomonocytic Leukem ia (CMML) menurut World Health
Organization (WHO) tahun 2008 didefinisikan sebagai kelainan stem cell
hematopoietik yang ditandai dengan monositosis absolut (>1x109/L) di darah
perifer dan adanya gambaran mielodisplastik dan mieloproliferatif di sumsum
tulang. 1
Klasifikasi French American British (FAB) tahun 1982 memasukkan
CMML ke dalam kategori Myelodisplastic Syndromes (MDS), tetapi terdapat
perdebatan tentang CMML sebaiknya dimasukkan ke kategori MDS atau
Myeloproliferative Neoplasm (MPN). Pasien CMML kemudian dibagi menjadi 2
kategori berdasarkan derajat leukositosis, yaitu CMML tipe MDS (leukosit
<13x109/L) dan CMML tipe MPN (leukosit >13x109/L). Studi klinis berdasarkan
klasifikasi tersebut gagal memberikan perbedaan yang bermakna dalam hal biologis
dan prognosis sehingga klasifikasi ini ditinggalkan. 1,2,3
World Health Organization (WHO) membuat klasifikasi tahun 2001 untuk
keganasan myeloid dan memasukkan CMML ke dalam kategori baru yaitu
Myelodisplastic/ Myeloproliferative disorders (MDS/MPD). Penyakit lain yang
masuk dalam kategori ini adalah juvenile myelomonocytic leukemia, atypical
chronic myeloid leukemia (aCML), dan unclassifiable MDS/MPD. Persentase
jumlah sel muda mempengaruhi prognosis pasien CMML sehingga WHO membuat
klasifikasi CMML-1 dan CMML-2 berdasarkan jumlah sel muda. 1,2
Revisi kemudian dibuat oleh WHO tahun 2008 dan megubah nama kategori
tersebut dari MDS/MPD disorders menjadi MDS/MPN neoplasms untuk
menggambarkan sifat neoplastik dari penyakit ini. Pengelompokan CMML
menjadi CMML-1 dan CMML-2 tetap digunakan karena bermakna dalam
menentukan prognosis. Revisi terbaru dari WHO untuk CMML dibuat tahun 2016.
1,3,4

1
II. DEFINISI
Chronic Myelomonocytic Leukemia adalah keganasan hematopoietik yang
memiliki gambaran mieloproliferatif dan mielodisplasia. Berdasarkan klasifikasi
WHO tahun 2016, CMML masuk dalam kelompok myelodisplastic/
myeloproliferative neoplasms dengan jumlah monositosis persisten >1x109/L dan
monosit ≥10% dari hitung jenis leukosit. 4,5

III. EPIDEMIOLOGI
Chronic Myelomonocytic Leukemia merupakan penyakit jarang dengan
insiden sekitar 3 kasus per 100.000 orang. Prevalensi di Amerika Serikat sekitar
0,37/100.000/tahun. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada populasi masyarakat
di Negara Barat dibandingkan dengan Asia. 5,6
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria dengan prevalensi 1,5-3:1.
Kebanyakan pasien CMML berusia lebih dari 50 tahun dan 75% pasien berusia
lebih dari 60 tahun pada saat diagnosis. Umur median pada saat diagnosis adalah
70 tahun. 6,7

IV. PATOGENESIS
Patogenesis CMML kurang diketahui, diperkirakan penyakit ini terjadi
melalui gangguan somatik genetik yang berturut-turut sehingga terbentuk klon sel
neoplastik. Banyak mutasi genetik yang diidentifikasi pada pasien CMML, tetapi
tidak ada satu mutasi atau abnormalitas kromosom yang spesifik. 8,9,10
Kelainan sitogenetik yang paling sering ditemukan pada CMML adalah delesi
kromosom 7 dan trisomi 8. Gen yang bermutasi pada penyakit ini seperti gen yang
mengkode epigenetic modifier (contoh ASXL1, TET2, EZH2), regulator
penyambung alternative mRNA (contoh SRSF2, ZRSF2), faktor transkripsi
(contoh RUNX1), atau cytokine signaling (contoh NRAS, JAK2, CBL). Penyakit
ini menunjukkan hipersensitivitas terhadap granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) secara in vitro, yang menyebabkan karakteristik
monositosis. Hal ini memberi kesan bahwa patogenesis genetik pada CMML

2
kompleks tetapi berpusat pada fenotip yang mengarah ke hematopoiesis monositik
dan hipersensitivitas GM-CSF.8

V. DIAGNOSIS
A. Manifestasi Klinis
Pasien CMML biasanya memiliki gejala dan tanda kegagalan sumsum
tulang seperti lemas, mudah infeksi dan perdarahan. Berat badan menurun, keringat
malam, demam, organomegali, infiltrasi ke jaringan seperti lesi kulit, dan efusi
serosa seperti pleura, perikardium, atau peritoneum juga dapat ditemukan. 1,5,6
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah rutin5
a. Jumlah leukosit bervariasi dari meningkat sampai normal. Terdapat
monositosis dengan jumlah monosit >1x109//L. Jumlah neutrofil juga
biasanya meningkat, tetapi tidak esensial untuk diagnosis, dan pada
beberapa pasien jumlahnya sedikit menurun. Kadang-kadang terdapat
eosinofilia.
b. Anemia sering terjadi dan kebanyakan normositik normokrom.
c. Jumlah trombosit dapat menurun atau normal.
2. Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT)1,5,6
a. Leukosit : Monositosis dengan morfologi monosit biasanya abnormal
yaitu hipersegmen atau bizzare-shaped nuclei atau dengan gambaran
imatur seperti meningkatnya sitoplasma basofilik atau menonjolnya
granul sitoplasma (Gambar 1). Beberapa promonosit dapat terlihat tetapi
monoblast jarang. Jumlah sel blast termasuk monoblast dan promonosit
<20%. Neutrofil kadang-kadang menunjukkan gambaran displasia
seperti sel pseudo-Pelger Huët dan hipogranulasi. Prekursor neutrofil
(promielosit dan mielosit) jumlahnya biasanya <10%.
b. Eritrosit : Kebanyakan gambaran anemia normositik normokrom, tetapi
kadang juga ditemukan makrositosis.
c. Trombosit: Jumlahnya dapat normal atau menurun dan dapat terlihat
gambaran displasia. Dapat ditemukan giant platelet.

3
Gambar 1. Gambaran monosit abnormal pada CMML 6

Gambar 2. Gambaran apusan darah tepi CMML 3


Monosit dengan sitoplasma yang banyak dan mengandung granula, nukleus terlipat dengan
kromatin halus dan nukleoli kecil. Displasia neutrofil hipogranul, sel muda, dan eritrosit berinti
juga terlihat. Wright-Giemsa, 1000x.

3. Pemeriksaan Aspirasi Sumsum Tulang (AST)


Monositosis di darah perifer merupakan satu tanda yang penting, tetapi
meskipun demikian diagnosis akhir CMML tidak dapat ditegakkan tanpa
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang.6
Gambaran sumsum tulang pasien CMML biasanya hiperseluler dan terdapat
hiperplasia monositik atau granulositik. Secara umum yang dominan adalah

4
granulocytic lineage dengan disgranulopoiesis, tetapi jumlah monosit juga
meningkat. Sel muda dan promonosit dapat meningkat hingga 19%, tetapi jika
jumlahnya ≥20% maka diagnosis menjadi Leukemia Mieloid Akut. Ketika yang
dominan adalah hiperplasia granulositik, maka mungkin sulit membedakan
populasi monosit abnormal dan mielosit. Pemeriksaan sitokimia esterase non
spesifik dapat membantu membedakan monosit abnormal pada CMML dengan
mielosit. 1,3
Prekusor eritroid dan megakariosit dapat memberikan gambaran displasia
yang menonjol, tetapi kadang juga memberikan gambaran normal. Ring sideroblast
dapat meningkat pada beberapa kasus. Displasia megakariosit berupa lobus inti
yang abnormal seperti bentuk mononukleus atau hypolobulated atau lobus nukleus
yang terpisah. Mikromegakariosit juga dapat ditemukan.3,6,7

Gambar 3. Gambaran aspirasi sumsum tulang CMML 6


Hiperplasia monositik dan myeloid. Wright-Giemsa, 1000x.

5
A

Gambar 4. Gambaran aspirasi sumsum tulang CMML 3


A.Hiperplasia monositik dan myeloid. B. Monoblast dan promonosit

Gambar 5. Pewarnaan butirat esterase membantu indentifikasi seri monosit 6

6
4. Diagnosis Molekuler
Tidak ada kelainan sitogenetik yang spesifik pada CMML. Sebanyak 20-
40% pasien CMML memiliki kelainan sitogenetik dan kelainan yang paling sering
ditemukan adalah trisomi 8, monosomi 7/delesi (7q), kelainan struktur 12 p, dan
i(17q). Mutasi gen juga terlihat pada pasien ini, seperti RUNX1, RAS, TET2, CBL,
JAK2, dan lain-lain (Tabel 1). 3,5,11

Tabel 1. Frekuensi relatif kelainan molekular yang teridentifikasi di CMML 11


Kelas mutasi genetik Gen Frekuensi mutasi (%)
Epigenetic control Modifikasi Histon ASXL 1 40
EZH2 5-10
DNA methylation TET2 40-60
DNMT3A <5
Keduanya IDH1 1
IDH2 5-10
Cytokine signaling JAK2 5-10
CBL 10
NRAS 10
KRAS 5-10
NOTCH2 <5
FLT3 <5
Pre-mRNA splicing SRSF2 30-50
SF3B1 5-10
U2AF1 <5
Transcription and RUNX1 15
nudeosom assembly SETBP1 5-10
Kerusakan DNA TP53 1

Pemeriksaan sitogenetik untuk memeriksa kromosom filadelfia atau gen


BCR-ABL harus dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis Chronic Myelocytic
Leukemia (CML). Tidak ada bukti Platelet-derived growth factor A (PDGFRA),
Platelet-derived growth factor B (PDGFRB), atau FGFR1 rearrangement dan ini
3,4,7,11
harus disingkirkan jika terdapat eosinofilia.

7
5. Immunophenotyping
Beberapa marker dapat digunakan untuk membantu diagnosis CMML,
seperti ekspresi antigen mielomonositik yaitu CD33 dan CD13, ekspresi bervariasi
dari CD68 dan CD64, dan berkurangnya ekspresi CD14. 12

6. Kriteria diagnostik
Tabel 2. Kriteria WHO tahun 2016 untuk diagnosis CMML4

Chronic Myelomonocytic Leukemia dibagi menjadi 3 subkategori, yaitu 13:


1. CMML-1 : sel muda (termasuk promonosit) <5% di darah perifer dan <10%
di sumsum tulang
2. CMML-2 : sel muda (termasuk promonosit) 5-19% di darah perifer atau 10-
19% di sumsum tulang atau terdapat Auer Rod

VI. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding CMML adalah CML fase kronik dan penyakit-penyakit
yang juga masuk dalam kategori MDS/MPN, yaitu atypical chronic myeloid
leukemia (aCML), juvenile myelomonocytic leukemia (JMML), dan MDS/MPN
yang tidak dapat diklasifikasikan. 1

8
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) fase kronik dibedakan dengan yang
lainnya melalui deteksi kromosom Filadelfia atau BCR/ABL1. Jumlah leukosit
pada CML juga lebih tinggi dibandingkan CMML atau aCML, yaitu biasanya
sekitar 200x109/L. Basofilia yang menonjol juga menjadi ciri khas dari CML,
meskipun basofilia ringan dapat terjadi pada CMML ataupun aCML. Membedakan
aCML dan CMML mungkin agak susah. Monositosis (biasanya >10%) menjadi ciri
khas CMML dibandingkan yang lainnya, meskipun jumlah monosit pada aCML
dapat sedikit meningkat tetapi tidak melebihi 10%. Displasia granulosit lebih
menonjol pada aCML dibandingkan CMML. Peningkatan jumlah granulosit imatur
(blast, promielosit, dan mielosit) lebih dari 20% di darah tepi terjadi pada aCML,
sedangkan pada CMML biasanya <10% (Tabel 3).3
Tabel 3. Diagnosis banding CML fase kronik, aCML dan CMML pada orang
dewasa3

Juvenile myelomonocytic leukemia (JMML) merupakan MDS/MPN yang


terjadi pada anak-anak dan kebanyakan terdiagnosis pada usia < 3 tahun. Penyakit
ini ditandai dengan leukositosis yang terdiri dari granulosit dan mielosit dan juga
gambaran displasia dan hiperseluler pada sumsum tulang yang mirip dengan
CMML. Beberapa kasus memiliki gambaran MDS dan MPN, tetapi tidak
memenuhi kriteria CMML, aCML, dan JMML sehingga disebut MDS/MPN yang
tidak dapat diklasifikasikan. 3,9

9
VII. PENATALAKSANAAN
Belum ada terapi yang spesifik untuk pasien CMML. Allogenic stem cell
transplant (ASCT) merupakan satu-satunya terapi kuratif untuk CMML, tetapi
jarang dilakukan karena umur rata-rata pasien ini adalah 65-75 tahun. Pengobatan
CMML telah berkembang dari obat kemoterapi sitotoksik dengan toksisitas tinggi
dan respon terapi yang rendah, seperti etoposide dan hydroxyurea menjadi
hypomethylating agents dengan respon terapi yang lebih tinggi dan toksisitas lebih
rendah.2,10,14
1. Kemoterapi
Hydroxyurea merupakan terapi lini pertama yang direkomendasikan
untuk pasien yang lebih tua dengan jumlah sel blast di sumsum tulang
<10% dan yang tujuan utama terapi adalah mengurangi gejala dan bukan
memperpanjang masa hidup.15
2. Hypomethylating agents
Hypomethylating agents seperti azacitidine dan decitabine telah disetujui
untuk menjadi salah satu terapi CMML di Amerika. Pasien CMML
dengan jumlah leukosit <13x109/L, jumlah sel blast meningkat, dan
tujuan terapi adalah memperpanjang masa hidup maka pilihan utama
adalah azacitidine. Terapi harus diberikan minimal 6 siklus. Terapi
azacitidine untuk pasien CMML dengan jumlah leukosit >13x109/L
belum memberikan hasil yang jelas. Semakin tinggi jumlah leukosit,
semakin rendah respon pasien terhadap obat ini.2,15
3. Allogenic stem cell transplant (ASCT)
Peran ASCT untuk pasien CMML masih kontroversi. Terapi ini
merupakan satu-satunya terapi yang diketahui dapat menyembuhkan
pasien, tetapi angka mortalitas relatif tinggi. Data menunjukkan dengan
ASCT, angka bebas penyakit sebesar 35-40%, transplant related
mortality (TRM) sebesar 30-40%, dan angka relaps sebesar 20-30%.
Pasien yang dapat dipertimbangkan ASCT adalah usia di bawah 70 tahun,
CMML-2, CMML-1 dengan risiko sitogenetik tinggi (trisomi 8,
abnormalitas kromosom 7), tidak ada penyakit penyerta yang serius.15

10
VIII. PROGNOSIS
Prognosis pasien CMML sangat bervariasi untuk tiap-tiap pasien, yaitu
antara 1 hingga 100 bulan. Secara keseluruhan prognosis pasien CMML buruk
dengan rata-rata kelangsungan hidup hanya 20-30 bulan dan transformasi menjadi
leukemia akut sekitar 15-20%. 2,5,6
Analisis multivariat menunjukkan jumlah sel blast di darah perifer dan
sumsum tulang terbukti menjadi prediktor terkuat untuk kelangsungan hidup dan
transformasi mejadi Acute Myeloid Leukemia (AML). Hal ini yang menjadi dasar
pembagian subkategori CMML-1 dan CMML-2. Pasien dengan jumlah sel blast
≥10% di sumsum tulang sebanyak 63% berubah menjadi AML, sedangkan yang
jumlah sel blast <10% hanya 18% pasien yang bertransformasi menjadi AML.
Prognosis CMML-2 lebih buruk dari CMML-1. 5,6

IX. KESIMPULAN
Chronic Myelomonocytic Leukemia adalah keganasan hematopoietik yang
memiliki gambaran mieloproliferatif dan mielodisplasia sehingga masuk dalam
kelompok MDS/MPN dan ditandai dengan monositosis absolut di perifer. Penyakit
ini jarang terjadi dan lebih banyak ditemukan pada pria dengan usia median di atas
70 tahun. Patogenesis CMML kurang diketahui. Diagnosis CMML dengan melihat
manifestasi klinik dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, apusan darah
tepi, aspirasi sumsum tulang, dan pemeriksaan molekular. Kriteria diagnosis
CMML merurut WHO adalah monositosis (>1x109/L) di darah perifer, tidak ada
kromosom filadelfia atau gen BCR-ABL, PDGFRA dan PDGFRB tidak mengalami
penyusunan kembali, jumlah sel blast (mieloblas, monoblas, promonosit) di darah
dan sumsum tulang <20%, dan displasia pada satu atau lebih lineage.
Penatalaksanaan CMML belum ada yang spesifik. Allogenic stem cell transplant
(ASCT), kemoterapi sitotoksik seperti etoposide dan hydroxyurea,
hypomethylating agents seperti azacitidine dan decitabine adalah terapi yang
tersedia saat ini. Secara keseluruhan prognosis pasien CMML buruk dan dapat
bertransformasi menjadi AML.

11
ALGORITMA (Modifikasi) 4

Monositosis > 1x 109/L & ≥10% dari jumlah leukosit

Apusan darah tepi

Blast > 20% Blast < 20%

Keganasan
Aspirasi sumsum tulang
myeloid lain

Blast > 20% Blast < 20%

Disertai displasia Tanpa displasia

Disertai kelainan sitogenetik yang berhubungan


atau
Monositosis persisten 3 bulan + eksklusi penyebab lain

Ya Tidak

 Kromosom Filadelfia atau fusi gen BCR-ABL Bukan


 Rearrangement of the PDGFRA atau PDGFRB atau FGFR1 CMML

- +

CMML
12
DAFTAR PUSTAKA

1. Parikh S.A. and Tefferi A. Chronic Myelomonocytic Leukemia: 2012 Update


on Diagnosis, Risk Stratification, and Management. American Journal of
Hematology. 2012; 87:611-619.
2. Padron E, Komrokji R, and List A. The Clinical Management of Chronic
Myelomonocytic Leukemia. Clinical Andvances in Hematology and Oncology.
2014; 12(3):172-178.
3. Greer J, Arber D, Glader B, List A, Means R, et al. The Myelodisplastic
Syndromess. In: Wintrobes Clinical Hematology. Wolters Kluwer.
Philadelphia. 2014: 1699-1702.
4. Arber D, Orazi A, Hasserjian R, Thiele J, Borowitz M, et al. The 2016 Revision
to the World Health Organization Classification of Myeloid Neoplasms and
Acute Leukemia. American Society of Hematology. 2016;127 (20):2391-405.
5. Barbara. J.Bain. Chronic Myeloid Leukaemias. In: Leukaemia Diagnosis.
Blackwell Publishing. United Kingdom. 2010: 288-291.
6. Porwit A, McCullough J, and Erber WN. Myelodisplastic / Myeloproliferative
Neoplasms. In: Blood and Bone Marrow Pathology. Churchill Livingstone
Elsevier. China. 2011: 392-397.
7. Kaushansky K, Lichtman M, Beutler E, Kipps T, Seligsohn U, et al. Chronic
Myelogenous Leukemia and Related Disorders. In: Williams Hematology.
McGraw Hill Companies. China. 2010.
8. David S and Eric P. Chronic Myelomonocytic Leukemia. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/chronic-myelomonocytic-leukemia. Last
Update: October 2016.
9. McKenzie S and Williams J. Neoplastic Hematologic Disorders. In: Clinical
Laboratory Hematology. Pearson. England. 2016: 526-527.
10. P.D. Emanuel. Juvenille Myelomonocytic Leukemia and Chronic
Myelomonocytic Leukemia. Leukemia. 2008; 22:1335-1342.

13
11. Parikh S.A. and Tefferi A. Chronic Myelomonocytic Leukemia: 2013 Update
on Diagnosis, Risk Stratification, and Management. American Journal of
Hematology. 2013; 88:968-974.
12. Santos M, Franzon C, Koga A. Laboratory Diagnosis of Chronic
Myelomonocytic Leukemia and Progression to Acute Leukemia in Association
with Chronic Lymphocytic Leukemia: Morphological Features and
Immunophenotypic Profile. Rev Bras Hematol Hemoter. 2012; 34(3): 242-4.
13. Williamson M and Snyder L. Wallach’s Interpretation of Diagnostic Tests.
Wolters Kluwer. Philadelphia. 2015: 437-438.
14. Eric Solary. Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML). Atlas of Genetics
and Cytogenetics in Oncology and Hematology. 2014; 18(1): 50-52.
15. Nordic MDS Group. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Myelodisplastic Syndromes and Chronic Myelomonocytic Leukemia. Available
at: www.nmds.org. Last Update: February 2014.

14

Anda mungkin juga menyukai